Tak ada bahan ajar yang bisa saya pelajari sebagai persiapan sebelumnya. Juga tak ada alat atau referensi pendukung lainnya, yang benar-benar dibutuhkan untuk bisa menjadi seorang guru yang baik.
Bagi yang pernah mengenal saya, tentu semua itu akan terasa lebih aneh lagi, sebab mereka tahu betapa ngap-nya saya terhadap pelajaran-pelajaran eksakta.
Atau betapa amat asing dan hijaunya saya dengan materi Bahasa Inggris. Sementara keseriusan seringkali terlihat sebagai musuh terbesar buat saya.
Dan dengan semua gambaran tersebut, tak ragu lagi mereka akan langsung mem-vonis saya sebagai guru terburuk yang pernah ada!
Tapi anehnya saya justru berhasil menjadi guru yang baik. Tentu saja setelah sebelumnya membayar lunas semua dosa masa lalu saya saat masih menjadi anak sekolah, seperti yang telah saya tulis dalam fragmen ke-9 pada link yang “INI”.
Hingga saat terakhir kepengajaran saya, saya tetap menjadi satu-satunya guru yang mampu menangani kelas gabungan dari berbagai tingkat sekolah yang berbeda, dengan tetap menjadikan seluruh siswa tersebut mampu untuk menunjukkan prestasi terbaiknya di sekolah. Dan itu adalah satu-satunya kelas tersulit yang paling banyak ditampik oleh guru yang lainnya!
Begitu cerdaskah saya hingga mampu melakukan semua itu dengan sangat baik? Saya khawatir akan kembali mendengar ‘bwahaha’ yang riuh saat teman-teman saya mendengar pertanyaan itu.
“Si Bay cerdas? Hehehe... Kiamat udeh makin dekat aje...”
Barangkali itu pernyataan paling obyektif yang mampu mereka berikan. Karena setahu saya, seumur hidup baru satu orang yang menuduh saya sebagai orang cerdas: L’es Farada dari IPB!
Itu juga kata Mulan, karena saya tidak pernah mendengarnya secara langsung. Sebagai bantahan dia terhadap ‘ramainya’ dugaan yang sering menganggap saya sebagai orang yang ‘cuma beruntung’ atas berbagai peristiwa, yang tidak hanya di UI dan IPB saja mengingat jaringan teman yang saya punya tersebar di berbagai kampus dan tempat kerja.
Bahkan Mulanpun tak pernah mengakui saya sebagai orang yang cerdas. Walau saya amat yakin tak seorangpun akan dapat menjelaskan begitu banyaknya ‘peristiwa aneh’ yang membuat saya selalu mampu memperoleh IPK di atas tiga koma saat masih ngampus di UI dulu, tanpa perlu banyak belajar bahkan juga tanpa perlu banyak kuliah, yang membuat Si Eksentrik misuh-misuh di koridor dua karena yang dia peroleh jauh lebih rendah sementara dia merasa lebih rajin dan lebih berusaha.