sunyikah itu lagi, yang berkejaran kian kemari
dalam puisi yang kukirim padamu tempo hari
sunyi yang menghasutmu kembali
pada kenangan yang enggan alpa
tentang aku yang keras kepala
menerka bahwa cinta mestinya tak sukar di eja
-
“Lantas dengan apa lagi kumaknai cinta
Jika semua mesti saja kau baca noda...?”
-
adakah sunyi itu
serupa dulu, laksana deja vu
gelisah menunggu di balik pintu
yang terkunci kalimat-kalimat bisu
dan waktu yang memuai di tengah kita
seketika meletupkan tanya
tentang kau yang gigih menghela
menduga bahwa cinta tak lebih pemunah dogma
-
“Cinta itu, kekasihku, mesti juga menjelma zina... ^_”
-
#
“Kita ke laut, belum saatnya menjelma hujan,”
ucapmu, alpa bahwa cinta
telah amat sempurna bermetamorfosa
tanpa perlu ribuan siklus lagi tuk mematangkannya
-
“Tapi kita masih amat muda...?” ragumu
“Meski kita masih amat muda...!” tegasku
-
#
satu windu telah lagi pergi
entah berapa lama lagi
mesti berguru pada sepi
menafsir kembali tentang cinta
yang tadinya kusangka cukup cuma rasa
-
#
mendadak kau datang lagi
masih lewat pintu yang dulu juga
menghadap jalan raya
yang daunnya kerap begitu lebar terbuka
hingga malam-malam menua dan melahirkan pagi
“Nikahi aku tiga bulan lagi...”
-
malam jadi begitu seram, ucapmu
tak sengaja tertangkap waktu
dan tertawan di telingaku
menggetarkan dawai-dawai pilu
dengan denting yang nyaris persis
sebab nada yang kupunya, lebih gema, tanpa jeda
menyulap hampir seluruh waktu serupa hantu
-
mengapa, kini, raguku
kuingin dirimu, pastimu, tapi tidak dengan jalan dulu
kau pergi lagi, walau katamu, untuk kembali
-
haruskah kini, tanyaku lagi pada diri
sendiri
pada nyeri
yang pernah terpatri
setelah sepi yang berkali-kali
menyeka diri
tentu tak soal waktu, kau tahu itu pasti
tak ada perbedaan kini
tiga bulan lagi, minggu nanti, atau sore ini
tentu tak sebab ku tak hendak, kau jelas mengerti
yang tak mesti kau jelas pahami dengan pasti
warna diri ini, yang kini tak lagi hijau benih padi
seringkali merah pekat terbakar ilusi
tentang cinta yang tak terkira betapa nyeri
malah terakhir hitam sekali
dengan gosong di sana-sini
-
#
waktu kembali pagi
membawa sunyi mendaki puncaknya yang paling ngeri
dalam lakon kata yang bertukaran peranannya
tentang kau yang keras kepala
memaksa bahwa cinta tak melulu cuma rasa
atau aku yang gigih membela
tentang rasa yang tak mesti dibaca dosa
-
“Bersamamu, semua menjelma hanya sulit,”
ungkitmu, menukil sangit teramat lekit
yang kabarnya tertera di kitab langit
-
“Tak mesti menjelma segala untuk memenangkan cinta,”
kukuhku, menyusur lagi jejak yang terbaca
dari sumber yang itu jua
-
#
kau kembali berlalu
masih lewat pintu yang dulu
menghadap jalan itu
hanya daunnya kini tak lagi terbuka selalu
barangkali jemu, sebab tahu
tak pernah ada yang baru
di bawah matahari kita itu
-
kembali sunyi, kembali nyeri
kembali berlompatan ke sana-ke mari
dalam puisi yang kukirim padamu tempo hari
dengan sebuah tanya tentang sunyi
yang terus saja kembali
datang dan datang lagi
dan tak mau pergi-pergi
-
Secangkir Kopi Tentang Sunyi, Cld-Dk, 1408-2310.811
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H