Hal itulah yang saya lakukan. Menjadikan siswa bukan sekedar karung yang siap di isi, melainkan justru seperti menyulut tungku hingga menjadi begitu besar dan menggelora, serta siap melalap habis apapun yang dihidangkan kepadanya. Dan hal tersebut terus saya lakukan dengan tidak begitu saja, melainkan dengan sepenuh ruh dan segenap hati juga rasa yang saya punya. Hasilnya? Silahkan kau coba sendiri dengan kegiatan apapun yang tengah kau lakukan saat ini...^_
Berfilsafat Bersama Puisi Celananya Joko Pinurbo
Tapi menjadi guru miskin tentu saja amat bertentangan dengan keinginan saya. Karena seterhormat apapun jabatan guru, miskin tetap saja cuma miskin. Cuma sebentuk keadaan yang seringkali membuat tak mampu untuk memberi manfaat yang lebih ke sekitar diri.
Dan hal itu tentu saja amat bertolak belakang dengan kebutuhan saya. Terutama sekali kebutuhan akan celana, yang membuat saya tak harus terus telanjang setelah kelahiran baru tersebut, dan memaksa Al Hallaj untuk setidaknya memakai celana terlebih dahulu sebelum berlari-lari mencari Tuhannya. Karena celana memang amat penting untuk menutup sumber rasa malu yang dimiliki. Mengingatkan untuk selalu bersikap rendah hati sebab ada yang terus berpotensi membuat malu saat salah memakai dan atau lupa membukanya tanpa akal dan hati. Sementara telanjang seringkali cuma alat demi meng-kamuflase dan me-mimikri, yang tak lebih sekedar sikap lebay yang terlalu kerap memaksa ‘mesti’ kosong saat mencari isi, lalu setelahnya narsis habis mengenakan sombong sebagai refleksi diri. Walau tentu celana terpenting dan paling terkenal adalah milik Joko Pinurbo, dengan sastra sebagai merek, dan dibuat dari berbagai huruf dan kata sebagai bahannya.
Dan sekali lagi, celana menjadi begitu penting peranannya buat saya. Setidaknya dengan bercelana, saya menjadi enggak terlalu malu saat harus bertemu kembali dengan teman-teman yang telah memakai toga wisuda atau kemeja kantor.
Keinginan akan celana itulah yang kemudian memaksa saya untuk secepat mungkin menuntaskan kangtaw yang ada. Lengkap dengan pengembalian besar sebagai penebus dari semua kehilangan yang pernah terjadi. Walau untuk itu saya harus melepaskan jabatan sebagai guru, yang katanya terhormat serta penuh kedamaian, dan mulai memasuki area kejam yang bernama: Bisnis.
Talkless Do More
Dengan mempergunakan seluruh kelebihan yang saya peroleh dari teman-teman terhebat saya seperti yang telah saya tulis dalam fragmen ke-6 kisah ini, saya panggil Si Eksentrik yang ada dalam diri saya, dan mulai menyusun ulang peta diri sekali lagi. Mulai dari grand design yang ‘sekecil-kecilnya’ hingga kepada blue print yang ‘sebesar-besarnya’.
Setelah dirasa cukup lengkap, saya pergunakan logika Mulan yang memang telah amat lama memarginal dalam benak, dengan beberapa modifikasi dan perubahan penting di sana-sini, menjadikannya sebagai sebuah logika terbalik paling aneh yang pernah saya miliki. Mengembangkan “we must to...” menjadi serangkaian panjang ”what if...” sebagai hipotesa terliar dari semua destinasi yang saya inginkan, dengan begitu banyak deretan ”how to...” yang lebih panjang serta benar-benar mewajibkan saya untuk menjadi setangguh Si Eksentrik, dengan karakter yang jauh lebih kuat lagi dari yang dia miliki.