Mohon tunggu...
13_Fandi Achmad Fahrezi
13_Fandi Achmad Fahrezi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai tulisan tulisan edukasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Antalogi Puisi

4 Juli 2024   22:07 Diperbarui: 4 Juli 2024   22:07 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tak Mengapa Berbeda

Tubuh yang terjerat oleh serangkaian kegiatan yang masih tabu manfaatnya

 Pikiran yang disandera oleh hasrat memenangkan mata manusia

 Kicau burung gagak yg dengan nyamanya bersarang di dalam gendang telinga.

Si Budi kecil begitu terperangah dengan semua ini... Ingar-bingar dunia yang makin muskil terjaring. Namun, semua itu tiba-tiba meleleh berkat dekapan hangat darinya.

Dekapan yang tak hanya mampu melelahkan melainkan juga mampu mengundang derasnya air dari kelopak mata yang hitam. 

Sembari di dekapnya hangat, ia membisikkan dengan begitu lembut tepat di bawah daun telinganya: " You're an unique human being and then you deserve it."

Antartikaku

Ribuan kata yang telah di puitisasi masih belum mampu menyampaikan jutaan indahmu

Ratusan lagu yang telah tercipta tak pernah cukup untuk melukiskan betapa mulianya dirimu. 

Tak mau dan juga butuh lagu dan puisi itu... Hanya mau kamu

Kamu... yang membuatku rela mengarungi dinginya Antartika demi menyatunya kita... Menyatu di dalam kedalaman cinta dan membeku diantara bongkahan rindu. 

Rindu yang tak akan meleleh kendatipun ditiup oleh sang bayu dan cinta yang sukar untuk surut dikala pasangnya gelombang air laut.

Kamulah perwujudan Aurora di Antartika... Kamu Luarbiasa

Luarbiasa

Semesta di lukis dengan begitu indahnya

Segala bentuk keindahannya terhampar luas di seluruh penjuru dunia

Mustahil untuk tidak mencintai pencipta dan muskil untuk tak terkesima oleh ciptaanya.

Entah bagaimana dia dilukis... Warna apa saja yang dipadu-padankan sehingga membentuk urna yang begitu sempurna, sempurna untuk diriku. 

Pejuang, mungkin itu kata yang pantas untuk mencerminkan Kilauan urna.

Kisah perjuangannya terekam jelas dalam ingat. Ia begitu rajin menyambut pagi dengan tergopoh-gopoh untuk menyambung hidup

Tetao berdiri dengan tegar menghadapi sinar mentari, badai ia terjang dengan begitu gagah dan berani.

 Namun, ia tetaplah manusia. Sering kali terjatuh kemudian merintih dan tersedu-sedu di pojok kamar. Sekali lagi, ia adalah seorang pejuang yang pantang untuk menyerah... Perjuanganya semata-mata hanya untuk Si Mata Wayang.

Rinduku

Ketika melangkah diantara butiran pasir niscaya akan menimbulkan jejak, jejak kaki yang sempurna. 

Jejak itu di sapu bersih oleh pasang surut air laut. Sempurna bukan berarti selamanya. 

Barangkali ada yang sempurna dan selamanya tentu bukan manusia.

 Apa yang bisa diharapkan dari manusia?

 Terlalu rapuh untuk dijadikan sandaran, Terlena akan harta namun gencar bicara perihal kemurnian, terbang tinggi ketika di sanjung namun tak siap untuk terhempas ke tepian.

Kalau pun ada yang sempurna dan selamanya, ialah komedi tragis kehidupan. 

Di dalam kisah tragis terdapat komedi yang mengundang gelak tawa dan di dalam gelak tawa terdapat tragedi yang bersahabat dengan derai air mata di setiap malamnya.

Bu. Aku lelah... Lelah untuk tetap bersabar dan bersikap di dalam kendali. 

Ingin rasanya ku tumpahkan semua ini, ingin rasanya kuteriakki mereka-mereka ini.

Bu. Kadang aku tak sekuat itu dan meratapi banyak hal di dalam bahtera ini.

Puluhan jam ku habiskan untuk tidur bukan karena ingin menghindar melainkan untuk memenuhi harapan untuk bertemu denganmu dan menumpahkan semua ini.

Ku mohon berkunjunglah ibu... Rindu ini mulai mencekik relung hati serta menghantam keras kelopak mata. Ibu, anakmu sedang tidak berdaya.

Terima Kasih Telah Pergi

Semua mulai terasa membosankan...

Perempuan dambaan, aktivitas kegemaran serta hiruk-pikuk dunia kedua benar-benar hambar.

Bersamanya bukan lagi sebuah impian meskipun ia pernah membuatku merasa "aku menjadi lebih baik karenanya." 

Awalnya ku rasa semesta enggan melihatku bahagia sebab merenggangkan aku denganya. Akan tetapi... Pamitnya adalah anugerah.

Tak ku jumpai lagi semangat itu, Jarang terjadi lagi kebersamaan dikala senggang dan pupus sudah impian kita.

Kemana semua itu?

Air masih tersisa, sebagian tanah masih subur dan beberapa tanaman belum gersang... 

Bukankah ini sebuah kesempatan untuk perbaikan? Bukannya malah meninggalkan dan membenamkan diri di kebun tetangga.

Gundah, buncah dan gelisah terangkum sempurna dalam diam.

Anglocita

Mentari telah semakin terik... Pertanda bahwa diri ini harus segera mengungsi ke suatu tempat yang mampu menyelamatkan kulit, perut serta dahaga.

Perpustakaan kampuslah jawabanya... Gazebo,air mancur dan tahu Tek favorit merupakan suatu sebab yang sulit ditolak. 

Lontong, tahu, kecambah, serta hamburan bumbu kacang pedas yang dipadu-padankan dengan iringan suara "tek-tek" ialah suatu bentuk kebesaran pencipta untuk memuaskan lidah hamba-hambanya.

Entahlah... Tahu Tek pada siang hari itu mengingatkanku pada kadet-kadet di zaman ini. 

Kadet-kadet yang lupa bahwa kesempurnaan tahu Tek terletak pada bumbu kacangnya... Mereka lupa kalau tahu Tek tanpa lontong akan menjadi tahu bumbu... Mereka lupa jikalau sangatlah berbeda antara tahu Tek dan lontong sayur. 

Sungguh Runyam.

Perihal perut telah di usut tuntas oleh tahu Tek itu. Namun, tidak dengan dahaga. 

Acap kali es teh manis merupakan pelipur dahaga yang manjur. Tapi, tidak pada kala itu. Pikiranku kembali menemukan titik temu antara es teh manis dengan kadet-kadet itu.

Pada awalnya teh sendiri di santap dengan tambahan alkohol untuk menghangatkan tubuh manusia eropa... Seiring berjalanya waktu datang seseorang yang tidak sengaja mencampurkan salju pada tehnya itu. Sehingga jadilah es teh. 

Seakan-akan es teh masih kurang menggoda lidah dengan kesejukanya ditambhakanlah gula sebagai pemikat agar lidah lebih giat berdansa.

Jikalau es teh saja yang terkenal ke seluruh pelosok dunia mengalami beberapa proses sebelum menjadi sosok yang begitu mempesona dihadapan seluruh manusia lantas mengapa kadet-kadet ini enggan melalui hal yang sama? Enggan menambahkan salju jika dirasa kurang menyejukkan... Enggan menambahkan gula ketika dirasa tawar malah terkurung dalam labirin idealisme eksistensi. 

Haduhh.

Titik Temu

Semilir angin dengan gesitnya menyusup diantara bintang-bintang yang bergantung di cakrawala biru itu seolah-olah menyeret diriku untuk melaju ke warung Maju. Disanalah kita bertemu.

Seorang perempuan yang mengenakan Hoodie kuning kenari dengan celana jeans putihnya sedang merogoh saku... Seperti tampak kebingungan untuk membayar seporsi bakso yang telah di pesanya. Wajahnya tampak muram sekali kala itu sehingga aku menganggap sesuatu yang dicarinya tak kunjung ketemu.

"Gpp kak, bareng saya aja" sebuah kalimat yang telah membuka pintu kebahagiaan dan menutup erat cerita masa silam. 

Senyummu yang selalu merekah setiap kita bertemu...Caramu mendengar dan merespon ceritaku dan teguran dikala diriku sedang terjerumus begitu sederhana dan membuatku bahagia.

Nona, tuan tidak sedang merayu melainkan sedang bersyukur kepada Tuhan.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Kisah ini berawal dari pencarian dengan cara tanya sana-sini sampai pada akhirnya GmnI menjadi rumah yang terpilih.

Merdeka!, GmnI jaya!, Marhaen Menang! merupakan pekikkan yang menjadi saksi perjuangan dan memiliki ruang tersendiri dalam labirin memori.

Air mata yang berderai-derai...Gelak tawa yang begitu menggelegar turut menemani dalam proses penggemblengan di dalam rumah kami yang sederhana.

Alangkah beruntungnya kami dapat mewarisi pisau analisis yang begitu tajam...

Alangkah beruntungnya kami terpilih menjadi pewaris sejarah yang begitu melimpah dengan segala pembelajaran di dalamnya...

Semoga segalanya dapat menjadi lebih baik... Regenerasi, Kapasitas berpikir dan hati nurani yang jernih untuk saling memahami.

Meruncinglah tandukmu dan Setialah terhadap kawananmu. MERDEKA!

Kita Bukan Budak

Suara lantang menantang dihiraukan dendang

Dijunjung setara nabastala, terpelanting sedalam palung mariana

Akal dan nalar tak lagi menemukan jati dirinya

Gesek tangan yang mahir beretorika

Menghamba pada pena tertikam seketika

Menghamba pada hamba luluhlantak tak karuan

Terbesit tanya sederhana; Quovadis anak bangsa?"

Air mata yang menghitam, darinya coretan serapah terlukis.

Terlukis sebuah daun yang telah gugur namun enggan tertiup, dasar bebal!

Terlukis seorang yang mengaku pejuang tetapi menikam, dasar bajingan!

Terlukis sebuah tong sampah di samping gerobak sampah, dasar rendahan!

Hai kalbu, telah runtuh kerajaanmu.

Hai tarkavada, jayalah dirimu!

Tolong!!!

Laut tampaknya mulai gusar, petir beralih peran menjadi lentera di dalam gulita lautan.

Gemuruh guntur dengan sukarela mengiri irama syahdu sang bayu

Apa gunanya aku meringkuk dan terisak jika maut dengan sopanya mencoba menyapa

Ibu, salahkah aku yang bercumbu mesra dengan waktu?

Ibu, kepalaku nanar tak bernanah

Ibu, kapankah siksa ini meredah dan aku dapat melangkahkan kaki menuju surga?

Harap

Sendu itu canda

Sumringah itu candu

Kapankah akan terlupa?

Kapankah akan kembali bersua?

Detak-detak yang mencoba diterka

Sungging senyum haruslah merekah

Air tuba menjelma air susu

Menarik simpul tetaplah menjadi candu

Penantian Pangkas

Sofa usang yang terus menggoda pinggul untuk tetap rekat, sepasang insan yang nampak mesra menonton Spongebob di sofa sebrang serta ribuan helai rambut yang terus meniti keteguhan hati.

Kapankah akan tiba giliranku? Puluhan motor telah merayap meninggalkan tempat sedangkan aku masih disini menunggu untuk di eksekusi.

Puluhan batang rokok telah di hisap dan rasa dahaga begitu menggerogoti tenggorokan. Namun, sayangnya perjuangan ini tak bisa kubiarkan patah di tengah jalan

Ohh jagat dewa Batara... Andai saja kau mempertemukanku lebih dahulu dengan si pemotong rambut pastilah telah ku persunting dirinya untuk menjamah rambutku terlebih dahulu.

Antara Aku, Kau dan Hujan.

Teringat saat rintik hujan menjadi titik pengukir senyum kita... Berlari dan menari diatas bumi yang bersimbah genangan membuat kita basah kuyup di hujani kebahagiaan.

Semuanya tampak indah.. maksudku kau dan rambutmu yang tak ingin mengering itu, bulu mata yang manja melentik, binar-binar mata yang menyipit serta gelak tawamu yang menggelegar membuat waktu enggan berputar.

Tak hanya sampai disitu, kita sama-sama keras... Menantang langit dengan mendongakkan kepala dan mengadu netra dengan nabastala... Menantang gemuruh dengan lantangnya suara kita... Menantang sakit dengan acuhnya sikap kita.

Kisah picisan namun membawa kepingan kesan.

Selamat Ulang Tahun Rayhan Arini Pertiwi

Kala sepuluh hari yang di nanti-nanti

Kala Seribu malaikat yang turun ke bumi

Telah memperingati hari kelahiran putri bumi Pertiwi

Dua puluh tiga tahun menapaki bumi 

Telah terlewati Retorika meja makan yang begitu bising sampai menusuk hati

Kicau burung yang minta diberi makan pembuktian telah dibuat kenyang 

Berderai-derai dan berdarah-darah bukanlah sinonim dari menyerah.

Semoga semakin tangguh

Semoga semakin runcing tandukmu

Semoga pertemanan kita selamanya... Bukan seperlunya.

Usia hanya sebatas angka sedangkan umur adalah hal-hal baik yang telah dilalui seiring bertambahnya usia.

Maka doaku, panjang umur selalu Rayhan Arini Pertiwi

Pecel lele

Akankah semua orang dapat memakan dengan lahap lele itu? Lele dengan buntut yang melengkung. Darinya lahir sebuah pandangan kalo Ia kebanyakan mengkonsumsi kotoran manusia.

Lantas, akankah aku melanggengkan pandangan itu? Pandangan yang diutarakan lewat sosial media, pandangan yang tidak mengurangi cita rasa lele apalagi lele bumbu merah Bu Sri di jalan Sumatra.

Terdengar dan terlihat ada baiknya untuk tetap selaras. Namun diatas kedua hal itu... Afirmasi asertif yang menghasilkan imajinasi yang kemudian di iringi dengan etos kerja yang mumpuni dapat merubah dunia. Buktinya apa? Silahkan pelajari tokoh tokoh hebat dari hal-hal yang kita kenakkan. Tulisan ini hanya sebagai pemantik.

Salahkapra

Telinga menjadi mata namun mata enggan meraba 

Pengecap tak berfungsi seutuhnya sehingga hanya merasa 

Perasa juga begitu terpaut dengan telinga sebab telah luntur percaya

Lihatlah mereka! Si bisu berusaha menjelaskan kepada si tuli bahwa si buta mengamati si pincang telah berjalan sebagaimana umumnya. 

Ironis bukan? Ketika insan tak mengenal panca indra

Maaf

Dulu, Teraweh selalu ku tunaikan demi berburu jajanan yang telah dipersiapkan. Pertempuran dimulai ketika lantunan niat berpuasa lantang di lantunkan.

Sikut-sikut manusia tampak bersahabat dengan diriku, jari-jemari mendarat di kepalaku tanpa ragu. Tak mengapa, semuanya tak sia-sia.

Aku memenangkan dua kolak dan dua es buah yang aku bawa dengan riang gembira untuk di suguhkan kepada ibu.

Setelahnya, aku membenamkan diri di rumah suci untuk melantunkan Kalam Allah. Lagi-lagi, ada bonus beberapa santapan yang begitu nikmat dipandang, menggoda lidah sampai cairan itu tak terbendung. Namun, aku tak pernah lupa akan ibu, tak ingin menikmati kenikmatan sendiri, santapan itu aku hantarkan ke ibu. Tiga puluh hari selalu saja begitu, ibu selalu menyambut pemberianku dengan senyuman.

Ibu selalu tersenyum manis seolah-olah ia lupa bahwa ia sangat dilarang untuk terlena dalam kemanisan.

Es buah menjelma menjadi kuldi... Manis yang berujung petaka.

Maafkan aku Bu, sungguh maafkanlah aku.

Fitri Tak Berarti

Kala si biru dibombandir habis-habisan

Kala manusia saling mendesak dalam lintasan

Sorak-sorai bergembira memenuhi sudut kota

Masih adakah maaf itu meskipun telah dibombandir pilu?

Akankah maaf itu meredam hasrat yang bergemuruh?

Mungkinkah kemenangan itu menjadi semu?

Dimanakah letak kemurnian itu? Ketika ruang melembab dan lumut terus saja berkembang.

Tak Istimewa

Di sinilah aku, di apit romansa picisan dengan aroma kuah pop mie yang menari-nari diantara indra pencium.

Di sinilah aku, meratapi kesombongan rembulan dengan binarnya

Disinilah aku, meyoroti bintang yang angkuh atas representasi manusia.

Di sinilah aku, menanggapi rentetan tinta yang berkilah.

Tak ada yang ku lakukan selain menyandra netra, menjerat realita dan memuja kebijaksanaan.

Rasa

Gemerlap dunia telah membuat mereka lupa bahwa harta tak selamanya berharga. Apa yang berharga adalah masa yang melahirkan rasa.

Tiap masa memiliki kenangan yang dapat mengokohkan rasa. 

Namun, rasa tak selamanya indah... Rasa yang lahir dari perlakuan buruk akan menimbulkan dendam kesumat yang tak berujung. 

Dendam itu menginginkan luka yang lebih dalam terhadap orang yang melukainya.

Tak dapat bergerak, akhirnya berontak.

Tak dapat beranjak, akhirnya teriak.

Mari mati bersama!

Buruh

Rumah ditinggalkan untuk singgah di negeri sebrang dengan tujuan yang mulia.

Sesuap nasi menjadi patokan untuk tetap bertahan di dalam karamnya kapal

Terombang-ambil di tengah lautan sama sekali tak mengguncang keyakinan.

Namun mereka sama sekali tak berdaya.... Melangkah tanpa di beri bekal landasan atau perlindungan hukum.

Gantung diri menjadi jawaban untuk mengakhiri kebengisan majikan.

Dua puluh jam bekerja tanpa mendapatkan logistik sebagai pemercik semangat.

Mereka di jadikan komoditi atas rasa dahaga manusia akan harta

Sementara kita? Seenaknya saja menghitung jumlah korban sebagai acuan untuk bertindak. Padahal, di punggung kita terdapat mandat konstitusi untuk melindungi hak hidup setiap warga negara

Sementara kita? Menginginkan boikot terhadap pejuang visa negara tanpa merangkul kekurangan mereka.

Sementara aku? Saat ini hanya bisa tersedu-tersedu sebab membayangkan seorang tulang punggung keluarga yang kembali ke rumahnya tanpa berbekal nafas, membayangkan tulang rusuk yang tertusuk pilu, membayangkan buah cinta mereka merintih tak berdaya meratapi kepergian pejuang visa negara itu.

Sunyi

Sunyinya malam menjadi tabir akan pilu yang mencekam

Suara sumbang diperdaya, suara merdu di jerat menjadi persuasi.

Suara lantang melantunkan janji, menentang janji dipeluk persekusi

Elegi jelata tak begitu berarti sebab sunyi dibungkus nasi.

Apalah arti sumpah suci ketika jas, lencana dan kopiah hitam dinikmati di dalam kursi yang berputar dan kaki yang bersandar.

Setetes harapan diberi namun lautan engkau curi

Lihatlah! Bahkan air mata ibu Pertiwi tak mampu meredam dahaga jelata yang haus akan bukti.

Realita Meja Billiard

Meja billiard ini sama halnya seperti hamparan dunia... Terdapat enam lubang sebagai destinasi akhir dari bola-bola kecil itu. Pada setiap bola terukir angka agar kita mengerti bahwa setiap orang mendapat bagianya dan supaya kita paham bahwa meniti perjalanan untuk mewujudkan kemenangan perlu kesadaran. 

Kesadaran akan bola hitam sebagai kunci kemenangan, kesadaran bahwa semuanya bisa saja terbalik seketika!

Namun, sepertinya bola hitam itu merupakan angan-angan yang pekat.

Pekatnya membuat eksekutor menjadi buta akan sebuah proses dan membuatnya tak mawas akan sekitar.

Sempat terpikir bahwa si putih merupakan tangan kanan tuhan yang menentukan segalanya. Lagi-lagi keliru, si putih hanya perantara yang mengantarkan setiap bola menuju singgahsananya.

Tongkat tampaknya sebagai penghancur kemelekatan. Namun hal itu tak membuat dia menjadi biadab... Kehancuran itu perlu untuk membuat setiap bola memperoleh tempat yang memeluk dirinya dengan sepenuh hati.

Selanjutnya, akan ku perkenalkan Sang Raja... Dia yang menggenggam tongkat, dia yang membuat si putih tampak gelap dan ia pula yang membuatnya seperti terang-benderang.

Dialah sang penentu akankah setiap bola akan singgah sesuai urutannya atau membuatnya menjadi bencana.

Oleh karenanya, kemenangan dalam kehidupan ini tak lepas dari kualitas raja. Apakah sang raja mencintai kebijaksanaan atau merasa bijaksana? Apakah tangan sang raja tercipta untuk sekedar menghancurkan atau memegang triangle untuk kembali menyatukan tiap butirnya?

Apakah sang raja sadar bahwa ini bukan sekedar permainan tapi termaksud dalam olahraga yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan dan juga memperoleh kesehatan?

Biasa Saja

Mata yang sayu sayup-sayup membuka pintu.

Pintu dibuka, gulita menyapa dan tentakel gurita menyeret fakta .

Ikan koi yang berlaga gagah Adiguna sontak terkesiap lantaran bersua dengan sesama.

Mamalia yang katanya paling ulung tak berdaya menyambut manusia

Angsa Romansa berkerabat dengan sampah yang turut akrab dengan kotoran dari hulu hingga hilirnya.

Tenggelam dalam kata, terlelap oleh retorika. Padahal, ya gitu-gitu aja.

Masih

Menjelang subuh masih menjadi waktu favoritku.

Gemericik air, detak perdetik dan hening yang selalu berhasil merasuki rumit

Layaknya vacum... Ku serap semuanya. Namun bukanlah debu yang ku peroleh melainkan nunchi

Lembaran halus dengan wanginya yang semerbak berhasil mengoyak pikiran dan menggiling hatiku.

Aku... Bukanlah senja yang ditunggu dan juga bukan terbit yang dinanti

Tak ada yang istimewa, sebab indah bagi semua.

Apa yang lebih purba dari mawar? Apakah raga yang akan menua? atau..mahkota yang bahkan pernah tanggal bersama kepala.

Jangan-jangan purbanya mawar adalah jaring dari ilusionis yang berhasil menangkap skizofrenia?

Sudahlah... Kembali saja merangkul takaran, mencumbu ukuran dan mesra dengan keadaan. Sebab, tulang dan daging sama-sama bermakna.

Rezeki

Cahayanya yang semakin terik dan sinarnya yang seolah-olah ingin melahap habis seisi bumi. 

Diburu mati-matian oleh kantuk ditengah isi perut yang melompong bersisakan kepulan asap sebagai simbol kegigihan .

Sempat sedikit terlelap kemudian seketika tersentak oleh secerca harapan yang datang dengan riangnya

Ia datang membawa semua hal yang aku curahkan dengan lirih jauh di pelupuk hati.

Benarlah kata imam Malik bahwa terkadang rezeki datang dengan sendirinya tanpa kita cari, ia datang melalui perantara yang tak disangka-sangka.

Putar

Patah akan tumbuh, tumbuh perlu waktu.

Waktu tak pernah menunggu, waktunya melaju

Melaju dengan sungguh, terlalu laju mungkin akan jatuh

Atur pikiran, nikmati, pahami dikta yang sedang di dikte.

Tahun demi tahun kita lewati berdua

Pertikaian yang akhirnya terselesaikan, marahku yang kau tenangkan dan moodku yang selalu kau mengerti.

Segala keresahan yang ku alami tercurahkan kepadamu kala rembulan menyapa dan peluk yang kau suguhkan.

Aku tak mampu membohongi diri...aku merasa kehilangan.

Aku juga tak mau terus-terusan begini karena

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun