Pengecap tak berfungsi seutuhnya sehingga hanya merasaÂ
Perasa juga begitu terpaut dengan telinga sebab telah luntur percaya
Lihatlah mereka! Si bisu berusaha menjelaskan kepada si tuli bahwa si buta mengamati si pincang telah berjalan sebagaimana umumnya.Â
Ironis bukan? Ketika insan tak mengenal panca indra
Maaf
Dulu, Teraweh selalu ku tunaikan demi berburu jajanan yang telah dipersiapkan. Pertempuran dimulai ketika lantunan niat berpuasa lantang di lantunkan.
Sikut-sikut manusia tampak bersahabat dengan diriku, jari-jemari mendarat di kepalaku tanpa ragu. Tak mengapa, semuanya tak sia-sia.
Aku memenangkan dua kolak dan dua es buah yang aku bawa dengan riang gembira untuk di suguhkan kepada ibu.
Setelahnya, aku membenamkan diri di rumah suci untuk melantunkan Kalam Allah. Lagi-lagi, ada bonus beberapa santapan yang begitu nikmat dipandang, menggoda lidah sampai cairan itu tak terbendung. Namun, aku tak pernah lupa akan ibu, tak ingin menikmati kenikmatan sendiri, santapan itu aku hantarkan ke ibu. Tiga puluh hari selalu saja begitu, ibu selalu menyambut pemberianku dengan senyuman.
Ibu selalu tersenyum manis seolah-olah ia lupa bahwa ia sangat dilarang untuk terlena dalam kemanisan.
Es buah menjelma menjadi kuldi... Manis yang berujung petaka.