Mohon tunggu...
Riski Septiana
Riski Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi aktif di universitas Pamulang

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Islam di Indonesia

16 Desember 2023   10:55 Diperbarui: 16 Desember 2023   10:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama penulis:

1.Riski Septiana

2.Syalisana

3.Kusumawati

I.PENDAHULUAN

 Pembaharuan hukum itu senantiasa harus dilakukan seiring perkembangan zaman, karena

 hukum itu akan tetap ada apabila kehidupan di dunia pun masih ada. Salah satu pembaharuan hukum yang harus dilakukan ialah pada konteks hukum pidana, sebab sekarang ini hukum pidana tidak hanya perlu memberi sanksi pidana seperti penjara, kurungan, denda, bahkan pidana mati yang dirasa sudah kurang efektif dan tidak berpengaruh sangat terhadap pemikiran orang-orang. Sekarang ini, dalam konteks hukum pidana haruslah dilakukan pembaharuan dengan menerapkan konsep atau pendekatan kebijakan dengan menitikberatkan pada musyawarah dan perdamaian

 untuk mencapai keadilan yang sebenarnya.

 Pembaharuan hukum khususnya di Indonesia ini mestilah senantiasa dikaitkan dengan

 moral, budaya dan agama di samping dari nilai-nilai hukum yang melekat di dalamnya. Pendekatan kebijakan ini dapat ditempuh dengan sebuah mediasi atau yang kita kenal dengan istilah restorative justice, yaitu sebuah konsep yang menitikberatkan musyawarah secara langsung antara pelaku, korban serta masyarakat yang terkait. Restorative justice ini merupakan konsep kebijakan baru yang dapat digunakan oleh penegak hukum di Indonesia untuk menyelesaikan suatu perkara

 pidana.

uni 2022

  Pendekatan atau konsep restorative justice ini bukan hanya terdapat dalam hukum positif

 saja, namun terdapat pula dalam hukum Islam lebih tepatnya dalam hukum pidana Islam atau yang biasa disebut dengan Fiqh Jinayah. Adanya konsep restorative justice dalam beberapa hukum yang berlaku di Indonesia ini, menjadikan penulis mengangkat masalah mengenai perbandingan kedua konsep restorative justice di atas. Selain itu, masyarakat yang saat ini belum sepenuhnya mengetahui mengenai konsep restorative justice sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara di dalam hukum pidana terlebih dalam hukum Islam, menjadi pendorong penulis untuk menyelesaikan masalah ini. Konsep restorative justice merupakan pembaharuan dalam hukum positif khususnya dalam hukum pidana di Indonesia. Sedangkan konsep retorative justice di dalam hukum Islam sudah ada sejak lama dan sudah jelas tercantum pembahasannya di dalam Al-qur'an

 dan Hadits Nabi SAW.

 Maka secara garis besar, konsep restorative justice di dalam hukum Islam itu merupakan

 masalah yang sudah lama. Akan tetapi masyarakat yang tidak menyadari adanya konsep restorative justice dalam hukum Islam ini, mengklaim bahwa konsep restorative justice ini merupakan masalah yang baru muncul sekarang. Pada kenyataannya konsep restorative justice tergolong masalah baru itu ialah dalam hukum positif atau hukum pidana di Indonesia. Sehingga pembahasan mengenai perbandingan konsep restorative justice menurut hukum Pidana di Indonesia dengan hukum Islam bertujuan untuk menunjukkan apakah perbedaan dan persamaan yang terdapat dalam kedua konsep tersebut, serta konsep manakah yang lebih relevan untuk diterapkan mengingat bahwa konsep restorative justice dalam hukum Islam itu sudah ada sejak lama sedangkan konsep restorative justice dalam hukum pidana di Indonesia tergolong masih baru.

 Dalam tulisan ini, masalah yang akan kami angkat adalah mengenai

perbedaan dan persamaan dari konsep Restorative Justice dalam Hukum Pidana di Indonesia dengan Hukum Islam serta konsep manakah yang lebih relevan untuk diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui apa saja yang menjadi perbedaan dan persamaan dari konsep Restorative Justice dalam Hukum Pidana di Indonesia dengan Hukum Islam serta dapat menyimpulkan konsep mana yang lebih relevan untuk diterapkan dalam menyelesaikan

perkara pidana.

Nama penulis :

1.Riski Septiana

2.Syalisana

3.Kusumawati

ABSTRAK

Masyarakat Muslim di Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk

memberlakukan ketentuan hukum perdata Islam di tengah masyarakatnya. Hal ini

ditopang oleh kodifikasi ketentuan hukum perdata Islam, seperti perkawinan dan

kewarisan, dalam sistem perundang-undangan nasional. Hal ini merupakan langkah

awal dari pemberlakukan hukum Islam di Indonesia melalui hukum positif. Langkah

selanjutnya untuk memberlakukan hukum pidana Islam hingga sekarang belum

terwujud. Berbagai upaya sudah dilakukan demi terwujudnya hukup pidana nasional

yang dapat mengakomodasi aspirasi umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas

di negeri ini. Pemerintah sudah mengajukan draf yang berisi RUU KUHP nasional.

Draf ini sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan praktisi hukum kita,

namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat. Yang menjadi pembahasan

utama RUU KUHP tersebut adalah pasal-pasal baru yang memuat ketentuan hukum

pidana Islam (HPI). Sebagian masyarakat kita masih keberatan untuk

memberlakukan ketentuan HPI di negara kita. Berbagai argumen diajukan agar HPI

tidak dapat diberlakukan di tengah-tengah masyarakat kita. Hingga akhir ini belum

ada kepastian tentang pemberlakuan RUU KUHP nasional yang memuat ketentuan

HPI tersebut.

I. PENDAHULUAN.

      Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia agak tersendat dengan berkuasanya

pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda berusaha menekan

umat Islam dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam secara resmi dengan

dibuatnya aturan-aturan yang sangat merugikan umat Islam. Dinamika pemberlakuan

hukum Islam di Indonesia digambarkan dengan munculnya berbagai teori yang

dikemukakan oleh para ahli (sejarawan), seperti teori penerimaan autoritas hukum

dari H.A.R. Gibb (Ichtijanto, 1991: 114), teori receptio in complexu dari L.W.C. van

den Berg (Ichtijanto, 1991: 120), teori receptie dari C. Snouck Hurgronje yang

kemudian dikembangkan oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar (Ichtijanto, 1991:122), teori receptie exit dari Hazairin (Ichtijanto, 1991: 128), dan teori receptio a

contrario dari Sajuti Thalib (Ichtijanto, 1991: 132).

Sejak pemerintah Belanda hengkang dari bumi nusantara, keberadaan hukum

Islam mulai dianggap signifikan dan mendapat perhatian yang baik di dalam

penyusunan peraturan perundang-undangan nasional. Usaha mengembalikan dan

menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya seperti semula terus dilakukan oleh

para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan. Perjuangan mereka dimulai sejak

peletakan hukum dasar bagi negara kita, yaitu ketika mereka dalam wadah Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah

bertukar pikiran melalui musyawarah, para pemimpin Indonesia yang menjadi

perancang dan perumus UUD Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan

UUD 1945 mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam satu piagam yang

kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Dalam Piagam

Jakarta, yang kemudian diterima menjadi Pembukaan UUD 1945, dinyatakan antara

lain bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir ini kemudian oleh Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dihilangkan dan diganti dengan kata Yang

Mahaesa (Daud Ali, 1989: 231-2).

Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia memberlakukan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. KHI ini terdiri

dari tiga buku yang semuanya merupakan bagian dari hukum perdata Islam, yakni

buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III

tentang Hukum Perwakafan. KHI ini merupakan pegangan para hakim agama dalam

memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya di

Pengadilan Agama. KHI ini hanya berlaku bagi umat Islam yang berperkara dalam

hal perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa KHI yang merupakan kumpulan aturan-

aturan mengenai hukum Islam di Indonesia belum menjangkau semua bidang yang

ada dalam bagian hukum Islam. Salah satu bidang yang sama sekali tidak disinggung

dalam hal ini adalah hukum pidana Islam. Oleh karena itu, jika umat Islam

berperkara dalam hal pidana atau kriminal, tidak bisa ditemukan aturannya dalam

KHI tersebut, bahkan Pengadilan Agama -- tempat diterapkannya KHI -- tidak

mempunyai wewenang mengadili masalah-masalah yang menyangkut pidana yang

dilakukan oleh umat Islam.

 Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hukum pidana Islam tidak bisa atau

belum bisa diberlakukan di Indonesia? Atau, mengapa hukum pidana Islam belum

memberikan kontribusi bagi pembuatan hukum pidana nasional? Tentu saja,jawabannya bisa bervariasi, tergantung siapa yang memberikan jawaban atas

masalah ini. Tulisan ini mencoba mengungkap prospek hukum pidana Islam di

Indonesia dengan melihat kondisi Indonesia sekarang ini. Dari hari ke hari di tengah-

tengah masyarakat selalu diwarnai oleh tindak kriminal. Hukum pidana yang

diberlakukan sekarang nampaknya belum dapat membuat para pelaku tindak

kriminal jera dan takut, tetapi sebaliknya malah memberi peluang untuk

melakukannya dengan cara dan taktik yang lebih canggih untuk dapat terhindar dari

jeratan hukum pidana yang ada. Kalaupun sampai dipidana, para pelaku kejahatan

tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat.

I.I. RUMUSAN MASALAH.

  1. Apa itu Hukum Pidana Islam ?

  2. Bagaimana Konsep Pemberlakuan Hukum           Pidana Islam ?

 3. Apa saja Prospek Hukum Pidana Islam di             Indonesia dan Tantangannya ?

II.PEMBAHASA.

1.Pengertian Hukum Pidana Islam.

      Istilah hukum Islam berasal dari tiga kata dasar, yaitu 'hukum', 'pidana', dan

'Islam'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata 'hukum' diartikan dengan (1)

peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh

penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dsb. untuk

mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai

peristiwa (alam dsb.) yang tertentu; dan (4) keputusan (pertimbangan) yang

ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis (Tim Penyusun Kamus, 1997:

360). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau

norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik

peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan

ditegakkan oleh penguasa (M. Daud Ali, 1996: 38). Dalam ujudnya, hukum ada

yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat)

dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Kata yang kedua,yaitu 'pidana', berarti kejahatan, (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan

lain sebagainya); kriminal (Tim Penyusun Kamus, 1997: 871). Adapun kata yang

ketiga, yaitu 'Islam', oleh Mahmud Syaltut didefinisikan sebagai agama Allah yang

diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan

syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak

mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana,

Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk

disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di

dunia maupun di akhirat kelak.

Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam.

Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana

Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan

Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah

masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat

diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam.

Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al-ahkam

al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang

mukallaf dan hukuman-hukuman baginya (Khallaf, 1978: 32). Para ulama

menggunakan istilah jinayah bisa dalam dua arti, yakni arti luas dan arti sempit.

Dalam arti luas, jinayah merupkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara'

dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada ketentuan nash-nya

seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta'zir (hukuman yang tidak ada

ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak

pidana, dll). Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yangdilarang oleh Syara' dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta'zir (A. Jazuli,

2000: 2). Istilah lain yang identik dengan jinayah adalah jarimah.

2.Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam.

     Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat

tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum

pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf

memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam

yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya

'Ilmu Ushul al-Fiqh (Khallaf, 1978: 200-204):

a. Memelihara agama (hifzh al-din).

 Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan

undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia

dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga

dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka Allah

mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang menghalangi

dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan

melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan terancamlah

eksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh memerangi orang yang murtad

dan musyrik.

b. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs).

 Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan

kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan

tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam

dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang

menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang

kebinasaan (bunuh diri).

c. Memelihara akal (hifzh al-'aql).

 Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia

mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal

dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang

memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal.

Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang

yang meminum minuman keras.

d. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl).

 Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan

sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini,

akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini

dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk

seratus kali.

e. Memelihara harta (hifzh al-mal).

 Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta,

misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah

mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang

tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam

dengan hukuman potong tangan.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan

hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk

melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah

melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah

satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat

tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi

dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman

itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman

hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang

diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana

Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya.

3.Prospek Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Tantangannya.

    Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih

merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19

Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih

pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang

dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab

Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang (Bustanul Arifin, 2001: 46). Sejak
Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku
melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan
Nederlansch-Indie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan
"Indonesie" atau "Indonesche", yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI
(1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah
menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu
diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang
menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini
berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958
(Abdullah, 2001: 246).
Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan
sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional
sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen
hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP
di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis,
mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? (Abdullah, 2001: 246). Ketiadaan HPI
secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara
legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar
disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad

pada ulama (kitab-kitab fikih).

Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam

Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia,

termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan

diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari

semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi.

Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama

ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas

seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat

mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat

antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun

karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah keinginan untuk melaksanakannya

tidak terwujud. Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh

pengadilan di Indonesia seluruhnya bertentangan dengan HPI. Ada beberapa putusan

pengadilan kita yang terkadang sama dan sesuai dengan ketentuan HPI, seperti

hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang

diberlakukan di Nanggro Aceh Darussalam akhir-akhir ini.

Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru

yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan

disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi

yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan.

RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk

dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi

dari RUU tersebut.

Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat

pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup

bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsip-

prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana

perzinaan dan meminum minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan

hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang

paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai

tindak pidana yang tidak sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut

Masykuri Abdullah (Salim, 2001, 259), merupakan proses dari strategi legislasi

hukum Islam yang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku

kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh

ditinggalkan seluruhnya). Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup

memberikan harapan untuk dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara

bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak

yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Pandangan Masykuri seperti di atas belum tentu dapat diterima oleh semua

kalangan umat Islam di Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang menginginkan

diberlakukannya HPI secara penuh sesuai dengan ketentuan yang pasti (qath'iy) dari

al-Quran dan Sunnah Nabi. Pemberlakuan HPI dalam aspek fundamentalnya saja,

seperti di atas, bukan harapan mereka, namun juga harus menyertakan aspek

instrumentalnya. Karena itulah, yang mereka harapkan adalah dimasukkannya ketentuan-ketentuan pokok HPI dalam hukum pidana nasional, jika tidak bisa

diberlakukan HPI secara khusus.

Perlu ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui

pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk

mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik

tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU

tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara

keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan

terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak

mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekular,

sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing

warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam

rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik

kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau

yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang

terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut.

III. PENUTUP.

 Kesimpulan .

     Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa alotnya pembahasan materi

RUU KUHP nasional kita merupakan satu bukti bahwa tidak semua masyarakat kita sepakat untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam, termasuk

umat Islam sendiri. Berbagai alasan dan argumen mereka kemukakan untuk

menghalangi pemberlakuan HPI ini.

Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa alasan atau argumen yang

dikemukakan pihak yang tidak menyetujui pemberlakuan HPI di negara kita adalah

karena tidak memahami secara benar akan esensi dan hakikat HPI. Penulis

berkeyakinan, jika mereka ini faham dan tahu betul akan hakikat HPI, pastilah RUU

KUHP tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membahasnya.

Namun, jika kita sadar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, maka

kondisi seperti ini harus menjadikan perhatian kita. Kita selalu berharap, semoga

dalam waktu yang tidak lama upaya umat Islam untuk memiliki HPI yang bersifat

nasional dapat terwujud di negara Pancasila yang mayoritas penduduknya umat

Islam.

Daftar Pustaka.

Abdullah, Abdul Gani. 2001. "Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam ReformasiSistem Hukum Nasional". Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.)Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

A. Malik Fajar. 2001. "Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, AnalisisPerbandingan dan Kritik Konstruktif". Dalam Jaenal Aripin dan M. ArskalSalim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan.Jakarta: Pustaka Firdaus.

Mohammad Daud Ali. 1989. "Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem HukumIndonesia". Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.). Tradisi danKebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta:LP3ES.

               

I.I. RUMUSAN MASALAH.

  1. Apa itu Hukum Pidana Islam ?

  2. Bagaimana Konsep Pemberlakuan Hukum           Pidana Islam ?

 3. Apa saja Prospek Hukum Pidana Islam di             Indonesia dan Tantangannya ?

II.PEMBAHASA.

1.Pengertian Hukum Pidana Islam.

      Istilah hukum Islam berasal dari tiga kata dasar, yaitu 'hukum', 'pidana', dan
'Islam'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata 'hukum' diartikan dengan (1)
peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dsb. untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai
peristiwa (alam dsb.) yang tertentu; dan (4) keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis (Tim Penyusun Kamus, 1997:
360). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik
peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa (M. Daud Ali, 1996: 38). Dalam ujudnya, hukum ada
yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat)
dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Kata yang kedua,yaitu 'pidana', berarti kejahatan, (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan
lain sebagainya); kriminal (Tim Penyusun Kamus, 1997: 871). Adapun kata yang
ketiga, yaitu 'Islam', oleh Mahmud Syaltut didefinisikan sebagai agama Allah yang
diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan
syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak
mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana,
Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk
disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di

dunia maupun di akhirat kelak.
Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam.
Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana
Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan
Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah
masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat
diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam.
Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al-ahkam
al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang
mukallaf dan hukuman-hukuman baginya (Khallaf, 1978: 32). Para ulama
menggunakan istilah jinayah bisa dalam dua arti, yakni arti luas dan arti sempit.

Dalam arti luas, jinayah merupkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara'
dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada ketentuan nash-nya
seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta'zir (hukuman yang tidak ada
ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak
pidana, dll). Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yangdilarang oleh Syara' dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta'zir (A. Jazuli,
2000: 2). Istilah lain yang identik dengan jinayah adalah jarimah.

2.Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam.

     Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat
tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum
pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf
memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam
yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya
Ilmu Ushul al-Fiqh (Khallaf, 1978: 200-204):

a. Memelihara agama (hifzh al-din).

 Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan
undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga
dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka Allah
mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang menghalangi
dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan
melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan terancamlah
eksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh memerangi orang yang murtad dan musyrik.

b. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs).

 Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan
kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan
tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam
dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang
menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang
kebinasaan (bunuh diri).

c. Memelihara akal (hifzh al-'aql).

 Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia
mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal
dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang
memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal.
Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang
yang meminum minuman keras.

d. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl).

 Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan
sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini,
akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini
dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk
seratus kali.

e. Memelihara harta (hifzh al-mal).

 Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta,
misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah
mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang
tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam
dengan hukuman potong tangan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan
hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk
melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah
melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah
satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat
tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi
dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman
itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman
hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang
diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana
Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya.

3.Prospek Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Tantangannya.

    Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih
merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19
Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih
pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang
dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang (Bustanul Arifin, 2001: 46). Sejak
Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku
melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan
Nederlansch-Indie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan
"Indonesie" atau "Indonesche", yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI
(1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah
menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu
diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang
menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini
berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958
(Abdullah, 2001: 246).
Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan
sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional
sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen
hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP
di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis,
mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? (Abdullah, 2001: 246). Ketiadaan HPI
secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara
legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar
disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad
pada ulama (kitab-kitab fikih).

Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam
Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia,
termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan
diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari
semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi.

Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama
ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas
seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat
mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat
antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun
karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah keinginan untuk melaksanakannya
tidak terwujud. Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh
pengadilan di Indonesia seluruhnya bertentangan dengan HPI. Ada beberapa putusan
pengadilan kita yang terkadang sama dan sesuai dengan ketentuan HPI, seperti
hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggro Aceh Darussalam akhir-akhir ini.

Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru
yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan
disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi
yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan.
RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk
dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari RUU tersebut.

Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat
pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup
bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana
perzinaan dan meminum minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan
hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang
paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai
tindak pidana yang tidak sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut
Masykuri Abdullah (Salim, 2001, 259), merupakan proses dari strategi legislasi
hukum Islam yang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku
kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh
ditinggalkan seluruhnya). Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.


Pandangan Masykuri seperti di atas belum tentu dapat diterima oleh semua
kalangan umat Islam di Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang menginginkan
diberlakukannya HPI secara penuh sesuai dengan ketentuan yang pasti (qath'iy) dari
al-Quran dan Sunnah Nabi. Pemberlakuan HPI dalam aspek fundamentalnya saja,
seperti di atas, bukan harapan mereka, namun juga harus menyertakan aspek
instrumentalnya. Karena itulah, yang mereka harapkan adalah dimasukkannya ketentuan-ketentuan pokok HPI dalam hukum pidana nasional, jika tidak bisa
diberlakukan HPI secara khusus.
Perlu ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui
pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk
mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik
tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU
tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara
keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan
terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak
mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekular,
sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing
warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam
rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik
kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau
yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang
terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut.

III. PENUTUP.

 Kesimpulan .

     Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa alotnya pembahasan materi
RUU KUHP nasional kita merupakan satu bukti bahwa tidak semua masyarakat kita sepakat untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam, termasuk
umat Islam sendiri. Berbagai alasan dan argumen mereka kemukakan untuk
menghalangi pemberlakuan HPI ini.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa alasan atau argumen yang dikemukakan pihak yang tidak menyetujui pemberlakuan HPI di negara kita adalah karena tidak memahami secara benar akan esensi dan hakikat HPI. Penulis
berkeyakinan, jika mereka ini faham dan tahu betul akan hakikat HPI, pastilah RUU
KUHP tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membahasnya.
Namun, jika kita sadar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, maka
kondisi seperti ini harus menjadikan perhatian kita. Kita selalu berharap, semoga
dalam waktu yang tidak lama upaya umat Islam untuk memiliki HPI yang bersifat
nasional dapat terwujud di negara Pancasila yang mayoritas penduduknya umat Islam.

Daftar Pustaka.

Abdullah, Abdul Gani. 2001. "Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam ReformasiSistem Hukum Nasional". Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.)Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

A. Malik Fajar. 2001. "Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, AnalisisPerbandingan dan Kritik Konstruktif". Dalam Jaenal Aripin dan M. ArskalSalim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan.Jakarta: Pustaka Firdaus.

Mohammad Daud Ali. 1989. "Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem HukumIndonesia". Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.). Tradisi danKebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta:LP3ES.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun