Mohon tunggu...
Riski Septiana
Riski Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi aktif di universitas Pamulang

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Islam di Indonesia

16 Desember 2023   10:55 Diperbarui: 16 Desember 2023   10:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan
kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan
tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam
dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang
menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang
kebinasaan (bunuh diri).

c. Memelihara akal (hifzh al-'aql).

 Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia
mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal
dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang
memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal.
Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang
yang meminum minuman keras.

d. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl).

 Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan
sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini,
akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini
dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk
seratus kali.

e. Memelihara harta (hifzh al-mal).

 Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta,
misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah
mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang
tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam
dengan hukuman potong tangan.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan
hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk
melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah
melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah
satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat
tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi
dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman
itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman
hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang
diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana
Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya.

3.Prospek Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Tantangannya.

    Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih
merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19
Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih
pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang
dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang (Bustanul Arifin, 2001: 46). Sejak
Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku
melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan
Nederlansch-Indie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan
"Indonesie" atau "Indonesche", yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI
(1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah
menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu
diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang
menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini
berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958
(Abdullah, 2001: 246).
Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan
sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional
sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen
hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP
di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis,
mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? (Abdullah, 2001: 246). Ketiadaan HPI
secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara
legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar
disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad
pada ulama (kitab-kitab fikih).

Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam
Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia,
termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan
diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari
semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi.

Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama
ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas
seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat
mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat
antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun
karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah keinginan untuk melaksanakannya
tidak terwujud. Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh
pengadilan di Indonesia seluruhnya bertentangan dengan HPI. Ada beberapa putusan
pengadilan kita yang terkadang sama dan sesuai dengan ketentuan HPI, seperti
hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggro Aceh Darussalam akhir-akhir ini.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun