Mohon tunggu...
Riski Septiana
Riski Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi aktif di universitas Pamulang

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Islam di Indonesia

16 Desember 2023   10:55 Diperbarui: 16 Desember 2023   10:56 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru
yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan
disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi
yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan.
RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk
dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari RUU tersebut.

Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat
pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup
bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana
perzinaan dan meminum minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan
hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang
paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai
tindak pidana yang tidak sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut
Masykuri Abdullah (Salim, 2001, 259), merupakan proses dari strategi legislasi
hukum Islam yang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku
kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh
ditinggalkan seluruhnya). Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.


Pandangan Masykuri seperti di atas belum tentu dapat diterima oleh semua
kalangan umat Islam di Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang menginginkan
diberlakukannya HPI secara penuh sesuai dengan ketentuan yang pasti (qath'iy) dari
al-Quran dan Sunnah Nabi. Pemberlakuan HPI dalam aspek fundamentalnya saja,
seperti di atas, bukan harapan mereka, namun juga harus menyertakan aspek
instrumentalnya. Karena itulah, yang mereka harapkan adalah dimasukkannya ketentuan-ketentuan pokok HPI dalam hukum pidana nasional, jika tidak bisa
diberlakukan HPI secara khusus.
Perlu ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui
pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk
mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik
tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU
tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara
keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan
terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak
mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekular,
sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing
warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam
rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik
kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau
yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang
terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut.

III. PENUTUP.

 Kesimpulan .

     Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa alotnya pembahasan materi
RUU KUHP nasional kita merupakan satu bukti bahwa tidak semua masyarakat kita sepakat untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam, termasuk
umat Islam sendiri. Berbagai alasan dan argumen mereka kemukakan untuk
menghalangi pemberlakuan HPI ini.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa alasan atau argumen yang dikemukakan pihak yang tidak menyetujui pemberlakuan HPI di negara kita adalah karena tidak memahami secara benar akan esensi dan hakikat HPI. Penulis
berkeyakinan, jika mereka ini faham dan tahu betul akan hakikat HPI, pastilah RUU
KUHP tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membahasnya.
Namun, jika kita sadar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, maka
kondisi seperti ini harus menjadikan perhatian kita. Kita selalu berharap, semoga
dalam waktu yang tidak lama upaya umat Islam untuk memiliki HPI yang bersifat
nasional dapat terwujud di negara Pancasila yang mayoritas penduduknya umat Islam.

Daftar Pustaka.

Abdullah, Abdul Gani. 2001. "Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam ReformasiSistem Hukum Nasional". Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.)Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

A. Malik Fajar. 2001. "Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, AnalisisPerbandingan dan Kritik Konstruktif". Dalam Jaenal Aripin dan M. ArskalSalim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan.Jakarta: Pustaka Firdaus.

Mohammad Daud Ali. 1989. "Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem HukumIndonesia". Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.). Tradisi danKebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta:LP3ES.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun