pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang
dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang (Bustanul Arifin, 2001: 46). Sejak
Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku
melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan
Nederlansch-Indie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan
"Indonesie" atau "Indonesche", yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI
(1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah
menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu
diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang
menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini
berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958
(Abdullah, 2001: 246).
Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan
sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional
sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen
hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP
di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis,
mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? (Abdullah, 2001: 246). Ketiadaan HPI
secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara
legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar
disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad
pada ulama (kitab-kitab fikih).
Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam
Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia,
termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan
diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari
semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi.
Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama