“Amel, gimana si Henry? Kok dia ngga kesini ya tadi pagi?”
“Kata kamu, balas aja tiap dia kirim pesan buat aku. Ya aku balas.”
“Maksud aku, dari isi pesannya kira-kira dia ada rasa ngga sama kamu?”
“Isinya sih biasa aja. Ya aku belum tahu niat dia yang sebenarnya, tapi aku sudah berhasil untuk ngga canggung lagi sama dia.”
Obrolan kami terhenti manakala empat orang Bapak Ibu memasuki pintu kedai kami. Mereka memesan dua cangkir kopi latte hangat dan dua gelas matcha latte dingin. Saat aku sedang menyiapkan kopinya, Faris datang di waktu yang sangat tepat. Dia sigap mengambil alih tugas menyiapkan dua gelas matcha latte. Bapak Ibu itu juga terlihat memilih-milih kue di etalase. Dari penampilan mereka, tampaknya mereka datang ke sini untuk suatu kerja sama membahas pekerjaan.
Huh, tiba juga saatnya aku bisa beristirahat sejenak. Sejak kedatangan Bapak Ibu tadi, aku dan Faris kedatangan pelanggan silih berganti dalam jeda waktu yang cukup singkat.
“Ris, gue makan dulu ya..”
“Lo sendiri? Sama Eka atau Mutia?”
“Harusnya sih jadwalnya bareng Mutia.”
“Mut, lo ngga istirahat?” tanya Faris kepada Mutia. Sedangkan aku sudah kabur duluan ke belakang lalu ngacir dari pintu samping. Aku ingat akan temu janji yang Henry rencanakan tadi. Sekarang aku menuju kedai sate padang yang letaknya masih sejajar dengan kedai mie ayam tempatku dan Henry bertegur sapa kala itu.
Dari jarak dua meter, aroma bumbu bakar khas sate Padang telah terhendus oleh hidungku. Aku langsung memesan satu porsi sate Padang lontong sekaligus segelas es teh manis. Aku duduk agak menjorok ke dalam kedai, menghadap ke arah luar jalanan ruko. Tidak lupa aku mengabari Henry.