Hari ini kedai memang sangat ramai, namun aku tetap bersemangat melayani pelanggan. Sejak awal aku sudah tahu suatu saat akan dihadapkan pada situasi ketika kami harus melayani banyak pelanggan dengan waktu yang singkat, namun dengan tetap menjaga kualitas dari minuman yang kami sajikan.
Pukul delapan malam, Mba Lidya turun dari lantai dua. Lagi-lagi tanpa mengatakan apapun pada kami. Dia berlalu begitu saja, terlihat sesekali dia berjalan menunduk, sekilas tampak matanya sedikit sembab.
Wah.. Aku mulai bertanya-tanya sendiri lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Mba Lidya. Apa sesuatu itu ada hubungannya dengan Henry. Tapi.. Sejak kapan aku mau ikut campur urusan orang lain? Apa yang terjadi pada Mba Lidya, itu bukan urusanku. Begitu pun yang dialami oleh Henry. Semua bukan urusanku. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku sudah membuang-buang energiku untuk memikirkan urusan orang lain. Kenapa aku jadi sering berlaku bodoh belakangan ini?! Hmm.. Ini sama sekali bukan Amel yang ku kenal.
Ponselku bergetar, tanda pesan masuk. Aku menarik ponselku dari saku celemek yang ku kenakan. Ternyata dari Henry.
“Amel, maaf ya tadi aku langsung pulang. Aku lihat kamu sibuk banget. Sampe ketemu lagi ya.”
Tanpa sadar, aku tersenyum. Membaca pesan darinya telah membuatku tersenyum. Artinya dia masih mau datang ke kedai kami atau... karena besok sudah hari Senin, kami bisa saja tidak sengaja bertemu lagi ketika waktunya makan siang. Memang agak aneh sebetulnya mendengar kalimat “Sampe ketemu lagi” yang sering terlontarkan dari Henry. Seolah kami pasti akan bertemu lagi. Entah itu besok atau lusa atau kapanpun itu.
Aku urungkan niatku untuk bertanya tentang sesuatu yang sempat mengganggunya tadi. Aku rasa tanpa bertanya, suatu saat dia akan menceritakannya sendiri kalau kami sudah berteman lebih lama. Aku pun membalas pesan Henry tanpa banyak bertanya.
“Iya ngga apa-apa Mas. Santai aja. Biasa kalau Minggu gini kedai pasti lebih rame.”
“Kamu slalu bilang santai Mel.. Aku jadi ngga enak lho, ganggu kerja kamu.”
“Hehe, oke lah. Sudah dulu ya Mas, maaf. Aku mau closing, sebentar lagi kan jam 10 harus tutup.”
Aku terpaksa harus mengakhiri kegiatan berbalas pesan dengan Henry. Karena aku harus bersiap-siap untuk tutup kedai. Banyak pekerjaan yang harus ku rapikan sebelum pulang. Oh iya, aku hampir lupa. Papa dimana ya.. Aku memanjang-manjangkan leher memandang ke arah luar kedai. Wah, pas sekali.. Sebelum aku menelponnya, aku telah melihat si Dul baru saja memasuki area parkir ruko. Papa selalu mengendarai Toyota dx-nya jika harus menjemputku malam-malam begini.