Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gadis Barista (Bagian 2 - 3)

27 Desember 2023   09:00 Diperbarui: 27 Desember 2023   09:04 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 2

Waktunya untuk beraktivitas kembali hari ini. Setelah menghabiskan waktu libur di rumah seharian bersama Mama kemarin. Hari ini sudah weekend, biasanya kedai kami semakin ramai oleh pengunjung. Aku kebagian jadwal shift pagi hari ini. Kalau weekend begini, aku jarang langsung pulang ke rumah seusai jam kerjaku berakhir. Aku lebih sering santai-santai dulu di kedai, dan sekali-sekali ikut membantu melayani pelanggan kalau sudah terdesak keramaian hingga tenagaku dibutuhkan.

Aku pikir aku sedang kehausan dan perlu lebih sering minum air mineral. Sehingga aku meletakkan gelas plastik berwarna biru berisi air mineral di pojok meja kerjaku. Aku sudah menenggaknya setengah gelas. Tiba-tiba saja Rena datang dan menyenggol gelas plastik itu dengan tas yang ditentengnya. Alhasil air yang masih setengah gelas itu tumpah semua. Airnya mengalir ke bawah meja kerjaku yang terbuat dari keramik.

Rena bergegas ke belakang mengambil lap pel. Dan aku mengelap meja bagian atas hingga ke sisi belakang meja tempatku biasa berdiri. Aku harus membungkukkan punggungku cukup lama. Hingga terdengar suara pintu kedai ada yang mendorongnya. Aku sigap memperbaiki sikapku untuk kembali berdiri tegap menyambut pelanggan. Betapa terkejutnya aku melihat siapa muncul di hadapan ku saat ini.

“Hai Amel!.. Mba Amel..” Henry mengoreksi panggilannya padaku.

“Hai.. Mau kopi moka?” mungkin aku malah terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya untuk melayani pesanan lelaki ini.

“Ah.. Betul.. Itu favorit Saya.” seraya mengangguk-angguk dan seperti sedang berpikir lagi, “Hmm.. Donat selai kacang dua.” menunjukkan dua jarinya kepada ku.

“Dua? Donatnya dua?”

“Iya, satu untuk di sini dan yang satunya untuk cemilan di kantor.”

Aku menjawab singkat, “Oh..” seraya mengangguk tersenyum.

Setelah Henry membayar pesanannya di meja kasir, dia kembali berdiri di hadapanku. Di depan meja kerjaku, menanti kopi pesanannya selesai ku buatkan. “Kenapa berdiri? Biasanya langsung cari tempat duduk dan minta kopinya diantar” gumamku dalam hati.

“Sudah lama ya Mel kerja di sini?”

Hmm.. dia malah mengajakku mengobrol sambil memperhatikan gerak gerikku menyiapkan kopi moka pesanannya. “Ya.. Lumayan, sudah satu tahun.”

“Kopi buatan kamu oke banget Mel, pas sama selera Saya.”

“Oh ya? Makasih..” akhirnya aku telah selesai menyiapkan secangkir kopi moka hangat untuknya, sehingga dia tidak mengajakku mengobrol lebih banyak. Aku langsung menyerahkan cangkir kopi itu ke tangan kanannya. Sedang tangan kirinya tampak sedang memegang bungkusan kertas warna cokelat berisi dua buah donat selai kacang yang tadi dipesannya dan disiapkan oleh Rena.

Henry melangkah menuju meja tamu di pojok ruang kedai. Sambil memakan donat, pandangannya sesekali menatap keluar kaca, memandang lalu lalang jalan raya. Sekali-sekali aku meliriknya. “Benar juga kata Faris, dia lumayan. Kemarin saat sedang tertawa dengan teman-temannya, dia terlihat lebih menarik.” kataku dalam hati.

Hari ini Henry mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hijau, penampilannya sungguh rapi. Sedap dipandang mata. Rambut hitamnya disisir belah pinggir. Sangat menawan. Aku mulai menyelidik sendiri, apa lelaki seperti dia belum memiliki kekasih. Atau jangan-jangan malah sudah beristri. Aku tidak bisa memastikan usia yang tepat untuknya. Waktu itu aku mengira-ngira usianya sekitar tiga puluh tahun, tapi aku tidak yakin. Sepertinya dia lebih muda, hanya penampilannya saja yang membuatnya terlihat lebih dewasa.

Aku rasa secangkir kopi moka itu sudah tandas, bungkusan berisi donat sudah selesai dimasukkannya ke dalam tas selempang hitam yang dibawanya. Pasti sebentar lagi dia berdiri dari kursinya. Nah kan.. Benar saja tebakanku. Aku segera ambil posisi berpura-pura sibuk dengan memegang sebuah pulpen dan notes. Layaknya sedang memikirkan sesuatu yang ingin ditulis, aku mengetuk-ngetukkan pulpen itu ke pelipisku.

Aku menghindari pandanganku dari dirinya yang hendak menuju pintu kedai. Hmm.. dia tetap menyapaku bahkan menghentikan langkahnya di hadapanku. Sembari membenarkan posisi tali tasnya yang hampir merosot, dia bicara padaku. “Mel, boleh Saya minta nomor hp kamu?”

Tentu saja aku mendongak dan memasang wajah melongo, “Hah? Nomor hp? Ya, boleh..” aku tersenyum simpul dan menyebutkan nomorku ketika dia sudah siap mencatat nomorku di ponselnya. Dia juga mengatakan baru saja mengirim pesan singkat ke nomorku untuk memberikan nomor ponselnya padaku. Dia belum beranjak juga dari hadapanku, padahal ku rasa urusan kami telah selesai.

“Oke! Makasih ya Mel..” akhirnya dia pergi juga dari kedai ini.

Sekitar lima belas menit kepergian Henry dari kedai kami, Mba Lidya datang dan menyapaku.

“Mel.. Pagi ini sudah ada customer?”

“Sudah Mba, baru tiga orang.”

Mba Lidya mengangguk-angguk dan berlalu melangkah meninggalkanku, menapaki tangga di pojok dekat jendela samping kedai, menuju ruang kerjanya di lantai dua.

Sudah pukul sebelas lebih tiga puluh, waktunya untukku istirahat makan siang. Posisiku digantikan oleh Dion. Aku sedang mengincar mie ayam hari ini. Membayangkan makan mie ayam yang super pedas, pasti mantap. Aku putuskan menuju kedai mie ayam yang terletak di blok belakang kedai kopi kami. Syukurlah belum begitu ramai karena aku tiba sebelum pukul dua belas siang. Meskipun ini hari Sabtu, tapi banyak juga kantor yang masih beroperasi di sekitar sini, mungkin hanya setengah hari kerja.

Tidak perlu menunggu lama, semangkuk mie ayam lengkap dengan sebuah bakso besar dan sawi hijau telah terpampang nyata di hadapan mataku. Siap kusirami saus dan sambal sesuka hatiku. Kucampur aduk jadi satu dan siap kusantap. Baru saja mau menyuap di suapan pertama, suara itu terdengar lagi sangat jelas di telingaku. Suara siapa lagi kalau bukan suara Henry. Ya Tuhan.. Orang ini benar-benar menghantuiku. Kalau telingaku bisa berteriak, pasti dia sudah menjerit sejak tadi pagi.

“Sendirian Mel?”

Aku menghentikan sejenak niatku menyuap mie ayam ke mulutku dan menjawab singkat pertanyannya, “Iya..” ku lanjutkan buru-buru menyuap mie ayam yang sudah mengambang diantara mulut ku dan mangkuk. Ku lirik, Henry mengambil posisi duduk di samping sebelah kananku, cukup dekat seolah kami sudah lama saling kenal. Dia juga memesan mie ayam satu porsi. Hmm.. Pasti dia datang seorang diri kesini.

“Kamu tambah cantik Mel, kalau lagi makan.”

Hampir saja aku tersedak mendengar ucapannya itu. To the point sekali dia. Tanpa basa-basi sebelumnya, tiba-tiba saja mengatakan hal semacam itu padaku. Lantas aku tertawa kecil dan mengangguk mengucapkan terima kasih setelah ku telan sisa mie ayamku di mulut. Akhirnya semangkuk mie ayam yang dipesannya telah tiba, syukurlah.. Aku harap mie ayam itu cukup membuatnya bungkam walau sesaat.

“Itu tempat kerja Saya Mel, yang paling pojok, yang dindingnya biru.”

Dia sedang makan, kenapa masih bicara juga. Lagi pula aku tidak bertanya dimana tempat kerjanya. Aku mengangguk saja seraya mengatakan, “Oh..” tapi aku berubah pikiran, rasanya kasihan sekali jika omongannya tidak ku tanggapi. Lalu ku lanjutkan dengan pertanyaanku, “Belum lama ya Mas kerja di situ?”

“Iya, baru mau tiga bulan.”

Hmm.., pantas saja aku baru melihatnya sering keluar masuk kedai kami satu bulan belakangan ini.

“Mie Saya sudah habis, Saya duluan ya Mas.”

“Oh.. oke Mel. Sampe ketemu lagi ya..”

Haduh, kenapa dia bilang begitu. Aku sama sekali tidak berharap bertemu lagi dengannya. Hampir saja aku lupa membayar mie ayamku, sama seperti kemarin lusa saat aku hampir lupa membayar pecel ayam karena diganggu oleh lelaki ini. Aku bergegas meninggalkan kedai mie ayam itu setelah membayarnya.

Setelah ku pikir-pikir lebih dalam, kenapa aku harus merasa terhantui oleh orang itu. Harusnya aku menanggapinya biasa saja. Seperti aku menanggapi teman-teman lelaki ku yang lain. Bisa mengobrol dengan santai, menertawakan sesuatu bersama. Kenapa saat berhadapan dengan Henry rasanya sangat aneh. Kenapa aku begitu canggung menanggapinya. Apa aku harus senervous itu saat bicara dengan orang tampan?! Ah.. Sudahlah.. Dia tidak penting.

Baru saja sebelah kakiku melangkah masuk ke kedai, ponselku berbunyi. Tanda satu pesan masuk. Wah, si Henry mengirimiku pesan.

“Maaf lho Mel, sudah ganggu makan siangnya tadi. Harusnya biar Saya aja yang traktir.”

Tak ada angin, tak ada hujan, si Henry itu bicara seperti ini padaku. Sepertinya dia memikirkan sesuatu tentangku. Dia pasti sadar kalau aku malas menanggapinya tadi. Maka itu dia merasa bersalah lantas mengirimiku pesan seperti ini. Agar tidak dikatakan sombong, aku pun membalas pesannya, “Ah ngga apa-apa kok. Santai aja Mas..”

Baru saja pesan balasanku selesai ku kirimkan, Rena yang melihatku masih berdiri memegangi ponsel di ambang pintu samping kedai, memanggilku dengan lantang.

“Amelia..! Sini cepet ada yang nyari kamu..”

Aku pun mendekat padanya untuk bertanya siapa yang mencariku.

“Itu lihat aja sendiri, orangnya ada di meja barista. Nunggu kamu.”

Oke, aku bergegas masuk memastikan sendiri siapa orang yang dimaksud Rena datang ke kedai mencariku. Begitu aku sampai di ambang pintu antara ruang belakang dan area barista, aku tercengang untuk kesekian kalinya hari ini. Beruntung aku tidak memiliki riwayat sakit jantung. Tangan orang itu melambai ke arahku dan tersenyum sangat ngeledek kepadaku.

“Hai Mel! Ini Saya bawa sesuatu untuk kamu” seraya mengangkat plastik merah yang dibawanya sampai setinggi kepalanya.

Henry lagi.. Henry lagi.. Dia ini kenapa sih..?! Manusia atau bukan, tadi saat ku tinggalkan di kedai mie ayam, dia masih asyik makan. Sekarang di tangannya sudah ada benda yang dia bawakan untukku. Gerakannya yang sangat cepat atau aku yang sangat lambat.

“Ah.. Sudah sampe sini duluan. Hebat.. Haha haha.” Aku berusaha tertawa bodoh untuk menutupi rasa malasku menghadapinya. Aku terpaksa jadi sok asyik begini. Plastik merah yang nampaknya berisi kotak makan itu disodorkannya padaku.

“Ini Mel, ada kue lapis talas. Rasa keju. Tadi teman Saya nawarin, Saya beli aja satu buat kamu. Mudah-mudahan kamu suka ya..”

“Oh.. Iya, iya.. Makasih banyak lho Mas, repot-repot segala.”

“Saya balik dulu ya Mel. Sampe ketemu lagi.. Selamat bermalam minggu..”

Haduh.. lagi-lagi dia mengatakan sampai ketemu lagi, apa dia berniat untuk selalu menemuiku?! Bagaimana kalau sekalian aku beri dia usul untuk menjadi salah satu personil di kedai kopi kami. Orang ini luar biasa anehnya.

Aku memanjang-manjangkan leherku, menyelidik dengan mataku sendiri, ku amati langkahnya sejak keluar dari kedai kami, ternyata motor kawasaki ninja berwarna biru itu miliknya. Hmm.. Keren juga. Cocok lah dengan postur tubuhnya. Ku lihat dia langsung tancap gas meninggalkan area kompleks ruko.

“Mel.. Mel..! Ameeeelllll..!!” suara Faris yang bernada cukup tinggi membuyarkan lamunanku.

“Eh, Faris.. Sudah dateng rupanya.”

“Lo lagi ngelamun lihat apa sih Mel di luar?”

“Lihat cowok ganteng, tapi sudah pergi orangnya.”

“Hahaha sejak kapan peduli sama cowok ganteng?!” Faris hobi sekali menggodaiku.

Selepas waktu makan siang, kedai kami sudah mulai tampak ramai. Aku bersama Dion membagi tugas meracik minuman pesanan pelanggan. Faris, entah kemana dia tadi. Biarlah, dia datang terlalu awal sedangkan jam kerjanya dimulai masih beberapa jam lagi. Mungkin dia sudah tidak betah di rumahnya. Tapi.. Saat aku tak sengaja menoleh ke arah meja tamu bagian tengah, aku melihat wajah Faris berada di tengah-tengah pelanggan. Dia ikut duduk bersama mereka. Mungkin Dion tahu kalau aku sedang mengamati wajah Faris dari kejauhan. Dion memberi tahu padaku kalau Faris sedang berkumpul dengan teman-teman satu tim futsalnya kala dulu mereka masih di sekolah menengah atas.

Kenapa Dion tahu segalanya? Padahal sejak tadi aku tidak melihatnya sedang bicara dengan Faris. Dari mana Dion tahu kalau mereka semua teman-teman futsalnya Faris? Haduh.. belakangan ini kenapa pikiranku jadi aneh dan kacau sendiri. Aku terlalu sering memikirkan hal-hal tidak penting. Apalagi sejak.. Sejak aku sering bertemu dengan Henry. Kepalaku terasa berat, ingin ku letakkan dulu sebentar kalau bisa dicopot dari batang leherku.

"Mel.. Itu krimnya berceceran..!” Dion melotot ke arah tanganku yang sedang memegang gelas tinggi dan sebotol whip krim.

“Astaga..” aku buru-buru membersihkan whip krim yang tercecer keluar dari gelas. Aku sudah kelewatan menyemprotkan krim itu di atas gelas. Ya ampun, aku melamun lagi. Untung bukan di hadapan pelanggan aku seceroboh ini. Eka sigap mengantar minuman yang telah selesai dibuat olehku dan Dion. Aku jadi malu pada Dion, nanti dikiranya aku melamun memikirkan hal yang tidak-tidak. Hmm.. tapi terserah sajalah, dia mau berpikir apa tentangku.

Nyatanya aku memang sedang terbayang-bayang oleh wajah Henry. Aku jadi ingat, aku masih punya sekotak kue lapis keju darinya. Tadi ku letakkan di ruang kecil bawah kolong meja kerjaku. Aku sedikit menekuk punggungku, untuk memastikan keberadaan plastik merah itu. Rupanya Dion masih mengamati tingkahku.

“Apa tuh Mel? Plastik merah..”

“Punya nyokap gue. Kue..”

“Oh.. anak baik beliin nyokapnya oleh-oleh.”

Hmm.. Aku sedang menipu mu, Dion. Aku hanya tidak mau jujur untuk mencegah tersebarnya gosip. Bisa kacau kalau sampai ada yang tahu aku dibelikan kue lapis itu oleh Henry. Jelas-jelas wajah Henry sudah tidak asing lagi bagi semua orang di kedai ini.

Aku melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Lima menit lagi pukul empat sore. Artinya setelah aku menyelesaikan satu pesanan yang sedang ku buat sekarang, aku bisa langsung ke belakang dan menyerahkan tugasku pada Faris dan Dion.

“Makasih Mba..” ucap si pelanggan setelah menerima segelas besar es kopi latte yang ku serahkan padanya. Tidak lupa aku membersihkan meja kerjaku dan membawa serta plastik merah berisi kue pemberian Henry untuk ikut pulang bersamaku. Kemudian aku bergegas melangkah ke ruang belakang, melepas celemek hijauku, melipat serta menyimpannya dengan rapi di dalam loker milikku.

Aku sedang heran pada diriku sendiri. Kenapa aku ingin buru-buru pulang hari ini? Biasanya hari Sabtu begini, aku masih betah berlama-lama di kedai. Aku melangkah keluar dari pintu samping kedai, menuju pintu gerbang ruko sambil sesekali ku tatap plastik merah yang ku jinjing di tangan kananku. Apa karena kue lapis ini, aku lantas buru-buru ingin pulang ke rumah? Kalau dibuka di kedai, aku harus berbagi dengan teman yang lain. Bukannya aku pelit dan tidak mau berbagi, tapi kue lapis itu ukurannya tidak besar, aku bingung bagaimana harus membaginya.

Sekian menit telah terlewati.

“Mama.. Aku punya kue lapis talas, ayo kita makan sama-sama.”

“Papa ngga dibagi?” papa muncul dari arah dapur. Oh iya, hari ini kan papa libur.

“Ini Pa.. ayo gabung.. Kuenya ngga besar, kita bagi sedikit-sedikit ya..” aku meninggalkan plastik berisi kue itu di atas meja depan televisi lalu bergegas ke dapur untuk mengambil pisau kue.

Mamaku tahu, aku termasuk orang yang tidak terlalu suka kue lapis semacam ini. Beliau tahu aku tidak pernah mengkhususkan diri untuk membelinya sendiri. Kalau lah aku memakan kue seperti ini, pasti aku mendapatkannya dari tangan orang lain.

“Lumayan, kejunya banyak. Siapa yang kasih?”

“Teman.”

“Temanmu ulang tahun? Cewek cowok?”

“Iya ulang tahun. Cowok.” aku menjawab singkat dan bangkit dari tempat dudukku, melangkah menuju ke kamar. Sisa kue lapis talas yang manis berpadu keju yang gurih itu, masih tersisa setengah di dalam mulutku. Aku kabur menghindari pertanyaan Mama selanjutnya. Aku sudah menjawabnya terlalu jujur dengan mengatakan yang memberi kue itu seorang lelaki. Sebelum beliau menyelidiki lebih lanjut jawabanku, alangkah lebih baik jika aku menghindar saja. Untung papa sedang asyik makan kue, jadi tidak peduli dengan percakapan aku dan Mama.

Tas selempang warna biru dongker yang sejak tadi masih menyangkut di pundakku, ku letakkan di ujung tempat tidurku. Aku mengganti pakaianku dengan pakaian rumah yang lebih santai. Lalu aku mengambil ponsel dari dalam tas. Ketika aku sedang membuka risletingnya, ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.

“Sudah pulang ya Mel? Gimana kuenya enak ngga?”

Ya Tuhan.. Henry lagi ternyata. Sepertinya dalam waktu dekat ini, kotak masuk pesan dalam ponselku akan berisi semua pesan darinya. Baiklah, aku akan mencoba bersikap biasa saja menghadapinya. Aku akan menganggapnya sebagai teman biasa, seperti Faris, Dion atau teman lelaki ku yang lainnya.

Setelah termenung sekian detik, aku memutuskan menjawab pesan itu. “Ya, Saya sudah di rumah. Kuenya enak. Trims ya.”

Aku sengaja tidak mau bertanya apapun lagi padanya. Biar terkesan aku sedang tidak ingin diganggu. Tapi, aku cukup mengapresiasi usahanya untuk berteman denganku. Karena setelah sepuluh menit aku meletakkan ponselku, dia mengirimiku pesan lagi.

“Kok sudah di rumah? Ini kan malem minggu lho. Amel rumahnya di mana?”

Kenapa dia terus bertanya padaku? Kenapa tidak ditanyakan saja tadi waktu kami bertemu langsung. Atau bertanya lain kali saat kami bertemu lagi. Aku benar-benar malas menjawab pesannya. Apa orang-orang yang punya kekasih itu melakukan pendekatan seperti ini? Aku tidak begitu paham. Kalau hanya ingin berteman, teman-teman lelaki ku yang lain tidak pernah mengirimiku pesan hanya untuk bertanya di mana rumahku. Mereka hanya mengirimiku pesan saat ada hal penting yang harus ditanyakan padaku. Biasanya, soal pekerjaan.

Henry benar-benar membuatku bingung dan tampak bodoh. Aku harus berkonsultasi pada siapa soal ini? Apa Eka masih bisa dipercaya jika aku bercerita soal Henry padanya. Aku menoleh ke arah jam dinding di kamarku. Sekarang hampir setengah tujuh malam. Harusnya jam kerja Eka juga sudah berakhir. Apa aku menceritakannya lewat telpon saja? Hmm.. baiklah akan ku coba dulu menanyakan keberadaannya lewat pesan.

“Eka, udah balik? Aku mau telpon nih, ganggu ngga?”

Tidak lama Eka langsung menjawab pesanku. “Iya Mel, aku baru sampe rumah. Kalau mau telpon sekarang boleh aja kok..”

Baiklah, aku akan memulai sesi curhatku pada Eka. Aku langsung menelponnya. Aku ceritakan padanya secara jelas dan sesuai urutan kronologis sejak awal pertama kali aku memperhatikan Henry sering datang ke kedai kami. Hingga saat dia mengajakku berkenalan di kedai pecel ayam. Dan hingga hari ini dia memberikanku sebuah kue serta dirinya yang terus mengirimiku pesan.

Menurut pendapat Eka, itu sebuah pertanda baik untukku. Menurutnya, mungkin Henry sudah cukup lama memperhatikan diriku dan baru belakangan ini dia berani mendekati aku. Tapi, aku tidak mau gegabah dengan percaya begitu saja pada pendapat Eka. Eka juga menyarankan agar aku membalas setiap kali Henry mengirimiku pesan. Jika ingin tahu tujuan Henry yang sebenarnya, sebaiknya aku menjawab setiap pertanyaan dari Henry.

Ya.. Boleh juga sarannya. Betul juga yang dikatakan Eka. Aku juga penasaran ingin tahu kelanjutan tentang sikap Henry padaku. Akhirnya setelah dua jam kemudian, aku baru membalas pesan Henry.

“Maaf baru sempat balas. Saya tinggal di sekitar Pasar Minggu. Kalau kamu di mana?” aku mencoba balik bertanya padanya agar dia merasa senang. Dia bahkan sangat cekatan membalas pesanku.

“Aku di Mampang Prapatan. Kapan-kapan aku boleh main ke rumah kamu, Mel?”

Apa? Kami belum lama berkenalan, kenapa dia ingin main ke rumahku? Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia berniat datang ke rumahku. Aku jadi bertambah bingung sekarang. Aku ini sudah terlalu percaya diri atau aku memang mudah dibodohi oleh situasi?!

Aku juga berulang kali membaca pesan terakhir dari Henry. Sekarang dia mulai menyebut dirinya dengan kata “Aku”, padahal sebelumnya kami sama-sama menggunakan kata “Saya” saat berkirim pesan atau ketika bertatap muka. Mungkin dia salah ketik. Ah.. tapi bisa juga sengaja. Sebaiknya sekarang aku membalasnya dengan kata “Aku” atau “Saya”?! Oke, aku putuskan untuk mengikuti alurnya saja. Aku harus menghargai kebaikannya padaku.

“Oh.. Boleh.. Silahkan saja kalau kamu mau main. Tapi bilang dulu ya sebelum ke rumahku, kan kamu belum tahu alamat lengkapnya. Hahaha..”

“Hahaha.. Oke Mel. Maaf ya sudah ganggu waktu istirahat kamu.”

“Oke, ngga apa-apa kok. Sip.”

Ah.. Sepertinya dia mulai kehabisan topik untuk menanyaiku sesuatu. Sejak tadi, aku hanya membalas pesan darinya, tapi kenapa rasanya begitu lelah. Apa karena aku sudah berpikir terlalu keras dalam menghadapi situasi seperti ini?!

Suara papa memecah keheningan kamarku. Papa berteriak-teriak memanggil seolah sedang terjadi situasi genting di luar sana. Haduh, papa ini.. kadang-kadang aku nyaris tidak bisa membedakan beliau sedang bercanda atau serius.

“Iya pa.. Kenapa..?” tanyaku seraya membuka pintu kamar lalu berdiri di depan pintu kamarku sambil memegangi gagang pintu.

“Ayo.. Ikut ngga?”

“Hah? Ayo kemana..?”

“Mama ngajak jajan di luar tuh.”

Kenapa tidak sejak tadi mengatakan padaku, sekarang sudah mau berangkat baru bilang. Apa mereka lupa kalau aku sudah di rumah sejak tadi sore?! Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar dengan tampilan yang sudah lebih rapi dari sebelumnya. Aku celingak celinguk kanan kiri, hmm.. tuan dan nyonya itu sudah ada di dalam mobil. Aku mengunci pintu depan dan memperhatikan papaku memundurkan “si Dul”, seraya aku ikut melangkah maju keluar pagar lalu kembali menutupnya rapat-rapat. Dan segera masuk ke mobil.

Si Dul adalah nama mobil Toyota dx warna biru dongker milik papa. Menurutnya itu mobil jadul, makanya diberi nama si Dul. Mamaku sedang ingin makan bubur ayam langganannya dulu, di daerah Cijantung. Kala dulu Mama masih bekerja, Mama sering makan bubur ayam disana bersama teman-temannya. Menurut Mama, bubur ayam itu rasanya yang paling enak di dunia.

Papa pun langsung tancap gas menuruti keinginan Mama. Aku duduk sendirian di jok belakang. Seperti biasa.. Ya, karena aku anak satu-satunya. Aku selalu duduk sendiri di jok belakang saat kami bepergian bersama. Dan tidak ku sangka, ternyata sejak tadi Mama masih memendam pertanyaan untukku.

“Itu temen mu yang ulang tahun siapa sih? Yang lain pada dikasih juga? Kue kayak tadi. Itu kan masih utuh, bukan potongan.”

“Hah? Kue yang tadi? Iya.. Itu temen aku yang kerja di belakang kedai. Ya, dia sih ngakunya ulang tahun.”

“Kata mu cowok Mel? Jangan-jangan dia naksir kamu lho.” papa malah menimpali jawabanku dengan menggodaiku, dilanjutkan dengan tawa-tawa kecilnya yang menakutkan itu.

“Iya kali pa, biarin deh kalau dia naksir aku. Aku bersyukur aja ditaksir orang.”

“Haha haha, jangan cuma bersyukur dong Mel, kan kamu sudah dua puluh tahun. Masa masih jomblo.. Iya ngga Ma?”

“Iya Mel.. Berteman dekat dulu ngga apa-apa, kan semua pake proses.”

Haduh.. Kalau tahu jadi begini, mestinya tadi aku tidak usah ikut mereka. Aku kira Mama dan papa sudah melupakan soal kue lapis talas keju yang tadi mereka lahap. Aku jadi teringat lagi pada sosok lelaki itu. Henry. Sebetulnya aku juga ingin berteman baik dengannya, tapi kenapa rasanya canggung sekali ketika harus berinteraksi dengannya. Terlebih lagi ketika kami bertemu.

“Nanti kalau Amel sudah nikah, punya keluarga sendiri, kita cuma berduaan ya Ma?”

“Ya.. Mau gimana lagi pa. Ya sudah nasib kita cuma punya satu anak.”

Haduh.. Tuan dan nyonya ini sedang membahas apa sih?! Biasanya kalau pembicaraan mereka sudah mulai ngaco, aku lebih memilih bungkam. Pura-pura sibuk saja dengan kegiatanku. Aku pun lantas mengambil ponsel dari dalam tas. Aku kembali membaca beberapa pesan dari Henry di kotak masuk. Entah kenapa aku jadi ingin bertanya, sedang apa dirinya sekarang. Aku buru-buru menepis perasaan itu. Lebih baik ku simpan ponsel ku sekarang juga.

Aku kembali menatap ke luar jalan raya. Sungguh indah lampu-lampu kendaraan di sekitar kami. Tapi, kenapa hatiku mendadak galau? Seperti merindukan sesuatu. Namun aku juga tidak tahu apa yang sedang ku rindukan, atau siapa yang sedang ku rindukan. Terkadang, saat melihat sepasang kekasih mampir ke kedai kami, aku merasa sedikit iri. Mungkin aku juga ingin memiliki kekasih. Tapi, aku tidak tahu caranya.

Eka mengatakan padaku, bahwa sikap Henry yang seperti itu adalah sebuah pertanda baik untukku. Hmm.. apa maksudnya ya.. Apa pertanda baik itu artinya sama saja dengan Henry menyukaiku? Aku belum mengenalnya lebih dekat, aku belum tahu dengan pasti jati dirinya. Sebenarnya, aku juga ingin tahu lebih banyak tentangnya. Baiklah, untuk ke depannya aku akan menanggapi dirinya dengan respon yang lebih baik lagi.

Akhirnya kami sampai juga di kedai bubur ayam langganan lama Mama. Kata Mama, temannya yang tinggal di sekitar sana lah yang memberitahu pada Mama kalau kedai bubur ayam ini masih beroperasi sampai hari ini. Tempatnya luas dengan sinar lampu neon putih yang sangat terang. Jadi, kebersihan tempat ini dapat terlihat sangat jelas.

Mama tidak bohong, bubur ayamnya benar-benar enak. Menurutku, enak atau tidak itu memang bisa dikatakan relatif. Tapi, kali ini selera Mama persis denganku. Papa juga sependapat denganku. Kami bertiga sangat menikmati kebersamaan malam minggu kami.

Setelah makan bubur ayam dan tiba di rumah hampir pukul dua belas malam, pagi ini suasana hatiku terasa lebih baik. Hari ini aku kebagian shift siang, jadi aku masih bisa sedikit bersantai hingga pukul dua belas siang nanti. Aku mengambil ponsel yang ku letakkan semalam di atas meja lampu, samping tempat tidurku. Ada dua buah pesan masuk. Satu pesan dari Henry dan satu pesan lagi dari Pak Iwan, ojek langgananku.

Aku memilih untuk membuka pesan dari Pak Iwan terlebih dulu. Mungkin ada hal yang sangat penting kalau pagi-pagi begini sudah mengirimiku pesan.

“Pagi non Amel, maaf nanti malem Saya ngga bisa jemput, saya mau pulang kampung dulu tiga hari ada keperluan disana. Mohon maaf ya non. Makasih.”

Haduh.. Minta jemput papa deh nanti malam, kasihan juga kalau papa lagi capek. Tapi mau bagaimana lagi. Bersyukur ada papa yang bisa selalu ku andalkan. Setelah membalas pesan dari Pak Iwan, aku lanjutkan dengan membuka pesan dari Henry.

“Pagi Mel, kamu masuk siang ya? Aku baru aja sampe depan kedai kamu, tapi kamu ngga kelihatan. Jadi, aku tunda deh masuk ke dalem. Nanti siang aja aku balik lagi.”

“Iya hari ini aku masuk siang. Okelah kalau gitu.”

Kalau cuma mau ngopi atau sarapan, mestinya tidak ada aku pun tidak jadi masalah. Yang aku tahu, kemarin-kemarin dia tetap datang ke kedai kami walaupun aku tidak ada disana. Tapi kenapa sekarang malah terasa semakin aneh, seperti ada apa-apanya. Kesannya, dia mulai mengkhususkan datang ke kedai hanya untuk menemuiku. Ah.. Sudahlah.. Aku tidak boleh terlalu percaya diri.

Setelah megumpulkan semua nyawaku untuk bangkit dari atas tempat tidur, aku melangkah keluar kamar dan mendapati Mama sedang menyirami tanaman. Motor matic papa tidak terlihat di pekarangan rumah. Kira-kira papa sedang pergi kemana ya..

“Ma.. Mamaaaaa….!!!”

“Eh.. Ngagetin kamu.. Apa??”

“Papa kemana?”

“Ke rumah Om Haris. Mau bahas kerjaan katanya.”

“Oh. Eh iya.. Ma…..”

“Apa?”

Aku menggeleng dengan tatapan kosong, “Ngga, cuma pingin manggil Mama aja.”

Mama kesal dijahili, beliau mengarahkan selang yang sedang dipegangnya itu ke arahku. Dengan cekatan aku berbalik badan dan berlari ke dalam rumah.

Sekarang pukul delapan lewat lima belas, aku duduk di depan televisi yang sedari tadi dibiarkan hidup oleh Mama. Chanel itu sedang menyiarkan berita mancanegara. Aku sedikit membesarkan volume suaranya agar telingaku dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang dibicarakan disana. Samar-samar ku dengar suara mesin cuci sedang berputar di ruang cuci samping dapur. Tapi kemudian tidak lama suara itu berhenti sendirinya. 

Aku segera menghampiri dan mengeceknya. Hmm.. Masih air sabun ternyata. Lantas ku lanjutkan pekerjaan Mamaku, ku buang air sabunnya melalui selang pembuangan lalu ku isikan air lagi seraya memutarnya kembali. Aku sedang membilasnya sekarang. Aku senang mengamati mesin cuci yang sedang berputar. Karena, menurutku setiap mesin cuci punya semangat hidup yang tinggi. Meskipun tubuhnya dibebani oleh pakaian kotor kami yang banyak dan terasa berat, dia tetap mau berputar mengikuti perintah tuannya.

Kalau suatu saat dia tidak mau berputar ketika tuannya memerintah, ya.. itu tandanya dia sudah lelah dan memilih diam. Haha haha.. Apa pula aku ini. Mesin cuci berputar saja ku pikirkan segala. Astaga.. Mama mengagetkanku, tanpa terdengar suara langkahnya mendekatiku, tiba-tiba dirinya sudah berdiri tegap di sampingku. Tanpa bersuara sedikit pun, sepertinya sudah sejak tadi Mama berdiri disini dengan sikap yang sama persis denganku, kami sama-sama mengamati mesin cuci yang sedang berputar.

“Kenapa sih Mel? Kok kamu serius banget dari tadi ngelihatin ke situ?”

“Ngga apa-apa, pingin aja lihat ke situ. Makanya Ma, kalau beli mesin cuci jangan yang tutupnya transparan gitu. Kalau tembus pandang gitu kan, aku jadi pingin lihat.”

Aku mengambil alih hingga selesai urusan mencuci pakaian pagi ini. Seusai pakaian tadi dibilas, aku mengeringkannya dalam tabung pengering lalu ku lanjutkan menjemur di pekarangan samping. Kami bertiga adalah anggota keluarga yang fleksibel dalam melakukan tugas pekerjaan rumah. Tidak ada pembagian tugas yang pasti untuk masing-masing orang, tapi kami bertiga punya rasa tanggap yang sama terhadap sesuatu, yang kami rasa harus segera kami bereskan jika terlihat tidak rapi atau sangat berantakan.

Maka itu, rumah kami selalu tampak rapi dan bersih walaupun wujudnya bisa dikatakan bangunan yang sudah cukup lama. Aku sangat bersyukur menjadi bagian dari hidup Mama Papaku. Aku berharap dapat selalu memberikan hal yang terbaik bagi mereka berdua.

Bagian 3

Hampir saja aku lupa mengatakan pada papa bahwa malam ini aku minta tolong dijemput di kedai kami. Untung sebelum berangkat, Mama bertanya padaku, “Nanti malem balik sama Pak Iwan dong?” nah.. aku baru ingat kalau Pak Iwan sedang pulang kampung. Lantas Mama mengingatkanku untuk secepatnya menghubungi papa.

Seperti biasa, dari rumah aku harus berjalan kaki sedikit untuk bisa mencapai jalan raya. Jalan utama di mana aku bisa menyetop bus kota. Siang ini bus kota cukup lengang, aku duduk di barisan belakang sopir, baris kedua dari depan. Di sebelah ku ada seorang wanita yang terlihat sedang asyik tidur. Kepalanya sampai tertunduk-tunduk. Sepertinya, dia tidak tidur selama puluhan tahun. Hahaha..

Aku mengambil ponsel dan mengirimi papa pesan, aku meminta tolong pada papa agar nanti malam dapat meluangkan waktu untuk menjemputku. Kalau sudah pergi ke tempat Om Haris, biasanya papa suka lupa waktu. Entah hal apa saja yang dibahas kedua bapak-bapak itu. Sampai papa tega meninggalkan Mama seharian di waktu liburnya.

Ngomong-ngomong papa libur, aku juga baru sadar ini hari Minggu. Lalu buat apa Henry pagi-pagi sudah ke kedai mencariku? Harusnya, dia juga libur hari ini. Kalau libur dan niatnya hanya datang ke kedai, nanti siang atau sore kan juga bisa. Ah.. Sudahlah.. Aku bisa tanyakan nanti kalau dia ke kedai.

Tampaknya si papa telah membalas pesanku. Syukurlah, papa akan siap menjemputku malam ini. Aku jadi tenang kalau sudah dapat kabar yang jelas. Perjalananku menuju kedai saat ini tersendat-sendat, meskipun hari Minggu tapi tampaknya jam segini jalanan sudah mulai ramai. Aku jadi ikutan ngantuk seperti wanita yang di sebelahku sekarang. Melirik kepadanya, aku jadi menguap. Ah.. Aku memperhatikan jalanan saja untuk melawan rasa kantuk.

Akhirnya lulus juga perjuanganku melawan rasa kantuk, aku baru saja turun dari bus kota. Wah, kapan aku bisa menyeberang kalau sejak tadi mobil dan motor kencang-kencang semua jalannya. Beruntung Pak Otong, satpam depan ruko melihatku dari arah seberang. Beliau pun menolongku dengan memberi kode pada pengendara untuk melintas pelan-pelan. Beliau mengayunkan tongkat pentungannya tinggi-tinggi.

Syukurlah sekarang aku sudah berhasil sampai di seberang. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih pada Pak Otong. Aku bergegas menuju pintu samping kedai. Sudah pukul satu siang kurang sedikit, aku segera mengambil celemek hijauku dari dalam loker serta langsung mengenakannya sambil berjalan ke depan, area barista. Terlihat Faris masih melayani satu gelas pesanan pelanggan. Sementara Dion belum kelihatan. Mungkin masih makan siang di luar.

Setelah Faris menyelesaikan tugasnya, dia berbenah diri bersiap meninggalkan area barista. Namun aku mencegat langkahnya.

“Eh, tunggu dulu Ris!”

“Apa? Lo kangen sama gue, Mel ?”

“Hah? Ngga salah? Gue mau tanya, tadi pagi Henry kesini?”

“Henry?”

“Iya Henry. Cowok yang….” aku belum selesai bicara, Faris sudah menebaknya duluan.

“Ah... Dia.. Ngga, dia ngga kesini. Kan dia libur Mel hari Minggu.”

Aku membiarkan Faris berlalu pergi meninggalkanku. Kini ada rasa bingung yang tertinggal di kepalaku. Tadi pagi Henry mengatakan padaku lewat pesan, bahwa dia tidak melihatku di dalam kedai. Ah.. Iya, pasti Henry hanya mengamati dari luar dan dia tidak menemukanku.

Apa aku perlu bertanya padanya, jadi datang ke kedai atau tidak? Tapi, nanti terkesan aku lah yang mengharapkan kedatangannya kesini. Biarlah, aku fokus saja pada pekerjaanku, aku tidak perlu menghubunginya lebih dulu.

Siang ini hawanya sangat gerah, padahal ruangan kedai ber-AC , tapi rasanya sumpek. Kurang terasa dinginnya, pasti karena matahari di luar sedang terik-teriknya.

Sesekali aku menyeka keringat yang mengalir tipis-tipis di leherku dengan sapu tangan lembut yang ku simpan di kantung celana jeans. Aku mulai tidak betah memiliki rambut panjang. Karena begitu tebal, terkadang rasanya berat, aku ingin segera memotongnya. Tapi, belum sempat semenjak salon langgananku yang dekat rumah itu pindah ke kompleks seberang. Aku tidak yakin hasilnya akan sebagus potongan salon langgananku jika aku memotong rambutku di salon lain.

Pelanggan sudah cukup ramai, sejak Faris meninggalkanku pulang, aku sudah membuat tiga gelas kopi dingin. Saat ini Dion yang sudah selesai dari makan siangnya, sedang membuat dua cangkir pesanan pelanggan. Di balik etalase snack, Mutia juga terlihat sedang sibuk melayani pelanggan yang asyik memilih-milih roti dan kue sejak tadi.

Aku melirik arloji hitam yang melingkar di tangan kiriku. Aku berkali-kali melirik bahkan menatapnya dengan sangat jelas. Mengapa jadi terkesan aku yang sangat menantikan kehadiran Henry di kedai kami? Aku tidak menyuruhnya datang kesini di hari liburnya. Aku juga tidak mengira dia akan mengirimiku pesan seperti tadi pagi.

Pukul empat sore tepat! Henry mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam kedai. Tadi aku tidak melihatnya berjalan di luar. Mungkin karena aku terlalu fokus menunduk menatapi arlojiku.

“Hai Mel, biasa dong.. Moka.. Tapi pake es ya, gerah soalnya.” Henry memesan kopi favoritnya sambil tersenyum ramah padaku.

Hari ini Henry terlihat lebih santai dan lebih tampan dengan kaus oblong warna hitam serta celana jeans. Dia juga mengenakan sepatu keds berwarna biru dongker dengan strip putih. Tas selempang yang dipakainya hari ini berukuran jauh lebih kecil dibandingkan tas kerjanya sehari-hari.

Aku membalas senyuman yang diberikannya padaku, seraya menyiapkan pesanannya. Sambil memperhatikan gerakanku menyiapkan segelas kopi moka untuknya, dia bertanya padaku kapan kira-kira kami punya waktu untuk berbincang-bincang lebih banyak. Aku mengatakan padanya bahwa itu gampang diatur. Dia merasa tidak enak kalau kami mengobrol terlalu banyak di kedai, dia tidak ingin mengganggu pekerjaanku.

“Tapi ngga apa-apa kan Mel, kalau nanti aku sering sms kamu?”

“Haha.. Ya ngga apa-apa lah Mas. Santai aja..”

“Ya kan aku juga ngga enak kalau sampe kamu ngerasa terganggu sama sms aku.”

Aku menggeleng dan tersenyum lagi padanya. Padahal es kopi moka yang ku buatkan untuknya sudah ready di depan matanya sejak tadi. Tapi, Henry belum juga mengambilnya dan belum beranjak pergi dari hadapanku. Hingga akhirnya tatapan mata kami yang sedang beradu, sontak terhenti oleh kemunculan Mba Lidya dari pintu depan kedai. Posisinya ada membelakangi tubuh Henry yang sedang berdiri.

Mendengar suara pintu yang didorong, pandangan mataku beralih kepada pintu, begitu pun Henry yang ikut membalikkan tubuhnya, menoleh ke arah tujuan yang sama.

“Henry..!” Mba Lidya melangkah masuk ke kedai dengan ekspresi wajah yang terkejut seraya menyebut nama Henry. Astaga.. Kenapa Mba Lidya mengenal lelaki ini? Aku semakin tidak paham akan situasi yang terjadi sekarang ini. Henry tidak menanggapi sapaan dari Mba Lidya, mereka hanya saling menatap hingga Mba Lidya melangkah menghampirinya.

“Apa kabar Hen? Kamu sering kesini?”

Aku menangkap perubahan mimik wajah yang sangat jelas tampak di wajah Henry. Wajah yang sedari tadi penuh senyuman ketika dirinya berbincang denganku, sirna entah ke mana hilangnya. Henry terlihat tidak menyukai kehadiran Mba Lidya yang secara tiba-tiba menyapa dirinya dengan nada terkejut.

“Sering. Gue sering kesini. Kenapa?”

“Ini kedai gue. Kenapa baru sekarang ya kita ketemu?”

Henry tidak menanggapi ucapan Mba Lidya, dia justru mengambil segelas es kopi moka miliknya seraya mengucapkan terima kasih padaku dan berlalu menuju salah satu meja tamu. Mba Lidya menyadari Henry yang tidak menyukai kehadirannya, lantas Mba Lidya hanya termangu berdiri di tempatnya, melongo memandangi gerak gerik Henry. Mba Lidya tidak berusaha menghampirinya ke meja tamu.

Tanpa mengatakan sepatah kata apapun padaku, dia meninggalkanku berjalan menuju anak tangga dan naik ke lantai dua. Ada apa dengan sikap mereka? Aku makin penasaran saja dibuatnya. Dari meja barista, aku memandang raut wajah Henry yang masih tampak tidak nyaman. Seperti ada luka dan tersirat rasa kebencian di dalamnya. Ah.. Sok tahu sekali aku ini. Dia sempat menoleh ke arahku dan memergoki diriku yang masih menatapnya dari kejauhan. Dia kembali melempar senyumnya untukku. Namun hanya sebentar dia tersenyum, lalu menunduk kembali.

Ingin rasanya aku menghampiri dirinya saat ini. Dan bertanya mengapa sikapnya jadi berubah sejak kedatangan Mba Lidya tadi. Namun aku tidak mungkin meninggalkan area kerjaku selama jam bertugasku belum usai. Walaupun ada Dion yang stand by di dekatku, tapi tidak etis rasanya jika aku beranjak dari sini. Tidak lama, kedai kami mulai kedatangan pelanggan lagi, aku pun mulai sibuk kembali melayani pesanan mereka. Aku bersama Dion dengan cekatan berbagi tugas agar pelanggan yang sudah mengantri tidak mengular semakin panjang.

Kami kompak menghandle pesanan mereka dengan waktu yang relatif singkat. Kini antrian pelanggan sudah tidak tampak lagi di depan mata. Aku baru ingat keberadaan Henry, aku menoleh ke arah tempat duduknya. Astaga.. Dia sudah tidak ada. Tempat duduknya tadi, kini mulai diisi oleh pelanggan lain. Dia pergi begitu saja. Aku jadi merasa tidak tenang, karena Henry pergi dalam keadaan sedang kesal. Bahkan aku tidak melihatnya pergi, dia tidak berpamitan padaku.

Aku tahu, dia tidak sedang marah padaku. Tapi tetap saja, rasanya sangat menyesal membiarkan dia pergi begitu saja tanpa sepatah kata diantara kami. Aku merasa diriku sudah mulai bisa menguasai situasi, perlahan rasa canggungku memudar manakala kami sedang berhadapan. Aku sudah bisa menganggapnya sama seperti teman lelaki ku yang lain. Tapi, untuk memulai lebih dulu mengiriminya pesan, aku rasa aku belum berani. Aku harap dia akan menghubungiku nanti saat suasana hatinya sudah membaik.

Hari ini kedai memang sangat ramai, namun aku tetap bersemangat melayani pelanggan. Sejak awal aku sudah tahu suatu saat akan dihadapkan pada situasi ketika kami harus melayani banyak pelanggan dengan waktu yang singkat, namun dengan tetap menjaga kualitas dari minuman yang kami sajikan.

Pukul delapan malam, Mba Lidya turun dari lantai dua. Lagi-lagi tanpa mengatakan apapun pada kami. Dia berlalu begitu saja, terlihat sesekali dia berjalan menunduk, sekilas tampak matanya sedikit sembab.

Wah.. Aku mulai bertanya-tanya sendiri lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Mba Lidya. Apa sesuatu itu ada hubungannya dengan Henry. Tapi.. Sejak kapan aku mau ikut campur urusan orang lain? Apa yang terjadi pada Mba Lidya, itu bukan urusanku. Begitu pun yang dialami oleh Henry. Semua bukan urusanku. Aku baru sadar kalau sejak tadi aku sudah membuang-buang energiku untuk memikirkan urusan orang lain. Kenapa aku jadi sering berlaku bodoh belakangan ini?! Hmm.. Ini sama sekali bukan Amel yang ku kenal.

Ponselku bergetar, tanda pesan masuk. Aku menarik ponselku dari saku celemek yang ku kenakan. Ternyata dari Henry.

“Amel, maaf ya tadi aku langsung pulang. Aku lihat kamu sibuk banget. Sampe ketemu lagi ya.”

Tanpa sadar, aku tersenyum. Membaca pesan darinya telah membuatku tersenyum. Artinya dia masih mau datang ke kedai kami atau... karena besok sudah hari Senin, kami bisa saja tidak sengaja bertemu lagi ketika waktunya makan siang. Memang agak aneh sebetulnya mendengar kalimat “Sampe ketemu lagi” yang sering terlontarkan dari Henry. Seolah kami pasti akan bertemu lagi. Entah itu besok atau lusa atau kapanpun itu.

Aku urungkan niatku untuk bertanya tentang sesuatu yang sempat mengganggunya tadi. Aku rasa tanpa bertanya, suatu saat dia akan menceritakannya sendiri kalau kami sudah berteman lebih lama. Aku pun membalas pesan Henry tanpa banyak bertanya.

“Iya ngga apa-apa Mas. Santai aja. Biasa kalau Minggu gini kedai pasti lebih rame.”

“Kamu slalu bilang santai Mel.. Aku jadi ngga enak lho, ganggu kerja kamu.”

“Hehe, oke lah. Sudah dulu ya Mas, maaf. Aku mau closing, sebentar lagi kan jam 10 harus tutup.”

Aku terpaksa harus mengakhiri kegiatan berbalas pesan dengan Henry. Karena aku harus bersiap-siap untuk tutup kedai. Banyak pekerjaan yang harus ku rapikan sebelum pulang. Oh iya, aku hampir lupa. Papa dimana ya.. Aku memanjang-manjangkan leher memandang ke arah luar kedai. Wah, pas sekali.. Sebelum aku menelponnya, aku telah melihat si Dul baru saja memasuki area parkir ruko. Papa selalu mengendarai Toyota dx-nya jika harus menjemputku malam-malam begini.

Aku sudah lega mengetahui papa telah menungguku di luar. Aku melanjutkan kegiatan merekap laporan harian kedai. Sambil menunggu sistemnya loading, sesekali ku gerakkan leherku patah-patah ke kanan dan ke kiri untuk meringankan otot leher yang terasa kaku. Akhirnya semua tugasku hari ini telah beres. Mutia bertugas mengunci kedai malam ini, karena besok dia kebagian masuk pagi. Sebetulnya besok aku juga dapat shift pagi, tapi urusan kunci mengunci sudah menjadi bagian dari tugas Mutia.

Aku pun berpamitan pada Mutia, Dion dan Rena yang sedang bersiap mengunci pintu depan. Aku melangkah cepat menghampiri papa, yang dari kejauhan ku lihat beliau sedang mengobrol dengan satpam ruko, Pak Jarwo. Hmm.. Pak Otong tidak kelihatan, mungkin Pak Jarwo yang bertugas piket menjaga ruko malam ini. Papa berpamitan pada Pak Jarwo ketika beliau menoleh ke arah kedai dan mendapati diriku sedang berjalan menghampirinya.

“Mau jajan dulu ngga Mel? Laper ngga kamu?”

“Hmm.. ngga usah deh pa. Aku ngantuk..”

“Siap bos !”

Sampai di mobil, papa segera tancap gas menuju rumah. Papa mengajakku bicara, aku juga tidak tahu pasti apa yang dibicarakannya, karena aku sangat lelah. Aku hanya menanggapinya iya iya saja sampai akhirnya aku tertidur. Maafkan aku pa.. Aku memang anak kurang ajar. Hahaha. Sudah dijemput malah ninggalin tidur. Semoga papa bisa memahami hari Minggu yang sangat melelahkan bagiku.

Mungkin aku tertidur cukup lama di perjalanan, hingga papa membangunkanku. Rupanya sudah sampai rumah. Nyawaku tak sanggup lagi dikumpulkan seluruhnya. Setengah hidup, aku keluar dari mobil. Membuka pintu rumah tanpa salam dan tampak lah Mama yang masih menonton televisi di pojok sana.

“Hai Ma..! Aku tidur ya…”

Aku tidak mempedulikan lagi Mama menjawab atau tidak, yang jelas aku sudah menyapanya. Untuk menghindari keesokan harinya bangun kesiangan, biasanya kejadian-kejadian seperti malam ini sudah ku antisipasi lebih dulu.

Seusai melayani pelanggan terakhir tadi, aku sempat membuka ponselku dan teringat untuk langsung menyetel alarm untuk membangunkanku pukul lima besok pagi.

Jenius bukan? Jadi, saat nyawaku tidak mampu terkumpul semua seperti malam ini, alarm ponselku sudah diaktifkan. Dan aku tidak akan bangun kesiangan besok pagi. Karena aku harus berangkat pagi-pagi.

Aku sangat menghindari alarm yang diaktifkan setiap hari di jam yang sama. Karena aku pernah sangat terganggu di saat harusnya aku bisa bangun lebih siang, tapi malah terbangun lebih pagi gara-gara alarm harian yang bodoh itu. Jadi lebih baik kalau aku tidak menyetelnya otomatis.

Tidurku semalam sangat nyenyak, sekarang sudah waktunya memulai hari lagi. Aku menyiapkan minuman hangat dan sarapan sendiri. Setidaknya aku tidak keluar rumah dengan perut yang masih sangat kosong. Ku tuangkan air panas dari dalam termos ke gelas mug yang telah ku siapkan dengan sekantung teh celup di dalamnya. Ku naik turunkan kantung teh celup itu dengan seutas talinya, hingga warna airnya kecoklatan. Lalu ku angkat keluar kantung teh celup itu sebelum airnya jadi terlalu pahit.

Tidak lupa satu sendok makan gula ku masukkan. Ya, hanya satu sendok. Aku tidak suka yang manis-manis. Dari dapur aku membopong gelas mug berisi teh manis itu ke atas meja makan. Aku menjatuhkan diriku di kursi, ku ambil dua lembar roti tawar dan ku oleskan selai kacang di salah satu sisinya, dan ku tutup olesan selai itu dengan roti yang satunya. Aku segera melahapnya penuh semangat.

Pada lahapan roti ku yang kedua, terlihat Mama keluar dari kamar dengan mengenakan daster abu-abu kesayangannya serta rambut ngebobnya yang telah rapi disisirnya. Beliau menghampiriku. Tiba-tiba tangan kanannya mengusap-usap lembut kepalaku seraya sorotan matanya menatapku dengan fokus.

“Bayi Mama sudah gede, sudah bisa urus sarapan sendiri.”

“Ini kan cuma teh sama roti Ma. Anak SD juga bisa bikin.”

Mama malah tertawa geleng-geleng kepala, bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke dapur. Aku juga meninggalkan meja makan menuju kamar dan mempersiapkan pakaian yang akan ku kenakan sehabis mandi.

Sudah pukul enam kurang sepuluh menit, waktunya berangkat. Mama melepas kepergianku di teras. Dan papa, sedang membanjiri pekarangan rumah kami dengan mencuci motor maticnya pagi-pagi begini. Aku berjalan dengan langkah sedikit cepat. Baru saja aku menyadari bahwa ini adalah hari Senin. Sebetulnya aku kurang suka kebagian shift pagi di hari Senin begini, jalanan biasanya relatif lebih padat sejak pagi.

Hmm.. aku tidak kebagian tempat duduk di dalam bus. Aku harus berdiri sepanjang perjalanan. Mestinya aku hanya membayar setengah tarif. Tapi apa daya, dari pada dicium kernetnya, lebih baik aku bayar sewajarnya sesuai tarif. Akhirnya sampai juga, aku tidak perlu repot menyeberang pagi ini. Karena jalan raya di depan ruko kedai kami, sedang padat oleh antrian kendaraan yang berjalan tersendat-sendat. Aku bisa dengan mudah menyeberang dengan melangkah di antara sela-sela mobil satu dengan lainnya. Dan berhati-hati kalau tiba-tiba ada motor yang muncul dari arah kanan.

Sebaliknya di jalur yang satu, arah balik terasa cukup lengang. Aku langsung ngibrit ketika beberapa motor dan mobil tampak melaju masih cukup jauh dari tempat ku menyeberang. Ketika sampai di pintu samping kedai, tampak Mutia dan Eka yang sedang berdiri di depan pintu. Mutia sedang berusaha membuka kuncinya, sedangkan Eka malah tersenyum cengar-cengir begitu padaku. Ah.. Pasti maksudnya dia sedang meledekku dengan Henry.

Mutia telah berhasil membuka pintu samping dan membukanya cukup lebar untuk kami. Setelah kami bertiga masuk, pintu itu ditutup kembali. Eka melangkah menuju pintu masuk kedai dari arah dalam. Dia membuka kuncinya dan membukanya lebar-lebar agar udara pagi bebas keluar masuk kedai. Kami juga tidak langsung menyalakan AC. Papan stainless bertuliskan open closed juga masih berada di posisi closed.

Orang waras pasti tahu kalau kedai kami belum buka. Hanya pintunya saja yang terbuka. Kegiatan kami yang sedang berbenah-benah juga terlihat dari luar. Tepat pukul tujuh pagi, pintu kedai kami tutup dan AC pun dinyalakan. Tidak lupa papan open closed dibalik ke posisi open. Aku, Mutia dan Eka sudah berada di posisi kami masing- masing. Hari ini Faris yang bertugas mendampingiku. Biasanya, dia baru tiba pukul sembilan.

Sudah satu jam lebih sejak kedatangan pelanggan pertama di kedai kami. Tumben sekali Henry belum muncul. Jam segini, berarti dia sudah ada di kantornya dan mulai bekerja. Itu artinya pagi ini dia memang tidak akan mampir kemari. Dia juga belum mengirimiku pesan hari ini. Kenapa aku jadi kecarian begini? Apa lebih baik jika aku membuang rasa engganku untuk menghubunginya lebih dulu?

Ya.. tidak apalah.. Toh aku sudah menganggap dia sebagai temanku.

“Pagi Mas Henry, lagi sibuk ya?”

Aku tidak tahu apa isi pesanku tadi merupakan kalimat yang tepat untuk menyapanya lebih dulu.

“Lumayan Mel. Nanti kita bisa makan siang bareng ngga?”

“Bisa, tapi aku keluar duluan lho, setengah dua belas. Kalau kamu jam dua belas kan?”

“Oh gitu ya Mel. Ya sudah ngga apa-apa, nanti kamu mau makan dimana? Aku susul.”

“Aku belum tahu. Nanti ku kabarin lagi ya aku makan dimana.”

Aku mulai curiga lagi, sepertinya Henry bukan sedang sibuk sekarang. Apa mungkin dia tidak mau lagi menyambangi kedai kami karena takut bertemu dengan Mba Lidya? Haduh.. Untuk apa kecurigaanku ini. Kenapa aku jadi penuh curiga kepada orang lain. Tapi tetap saja sejujurnya aku tetap merasa penasaran, ada apa sebenarnya diantara Mba Lidya dan Henry? Aku tidak sabar menunggu kenyataan terungkap.

Sambil menunggu kehadiran pelanggan, aku berdiri termenung menyandarkan tubuhku pada dinding area barista, Eka menghampiriku dari arah meja kasir. Dia berbisik lirih padaku.

“Amel, gimana si Henry? Kok dia ngga kesini ya tadi pagi?”

“Kata kamu, balas aja tiap dia kirim pesan buat aku. Ya aku balas.”

“Maksud aku, dari isi pesannya kira-kira dia ada rasa ngga sama kamu?”

“Isinya sih biasa aja. Ya aku belum tahu niat dia yang sebenarnya, tapi aku sudah berhasil untuk ngga canggung lagi sama dia.”

Obrolan kami terhenti manakala empat orang Bapak Ibu memasuki pintu kedai kami. Mereka memesan dua cangkir kopi latte hangat dan dua gelas matcha latte dingin. Saat aku sedang menyiapkan kopinya, Faris datang di waktu yang sangat tepat. Dia sigap mengambil alih tugas menyiapkan dua gelas matcha latte. Bapak Ibu itu juga terlihat memilih-milih kue di etalase. Dari penampilan mereka, tampaknya mereka datang ke sini untuk suatu kerja sama membahas pekerjaan.

Huh, tiba juga saatnya aku bisa beristirahat sejenak. Sejak kedatangan Bapak Ibu tadi, aku dan Faris kedatangan pelanggan silih berganti dalam jeda waktu yang cukup singkat.

“Ris, gue makan dulu ya..”

“Lo sendiri? Sama Eka atau Mutia?”

“Harusnya sih jadwalnya bareng Mutia.”

“Mut, lo ngga istirahat?” tanya Faris kepada Mutia. Sedangkan aku sudah kabur duluan ke belakang lalu ngacir dari pintu samping. Aku ingat akan temu janji yang Henry rencanakan tadi. Sekarang aku menuju kedai sate padang yang letaknya masih sejajar dengan kedai mie ayam tempatku dan Henry bertegur sapa kala itu.

Dari jarak dua meter, aroma bumbu bakar khas sate Padang telah terhendus oleh hidungku. Aku langsung memesan satu porsi sate Padang lontong sekaligus segelas es teh manis. Aku duduk agak menjorok ke dalam kedai, menghadap ke arah luar jalanan ruko. Tidak lupa aku mengabari Henry.

“Aku di tempat sate Padang ya. Tahu kan? Dekat mie ayam yang di belakang.”

“Iya tahu. Oke deh Mel.. Tunggu ya..”

Henry selalu cekatan dalam membalas setiap pesan dariku. Jarang sekali dia merespon pesanku dengan lambat. Jujur saja, aku sudah mulai ingin bicara banyak dengannya. Oh.., bukan, bukan itu. Lebih tepatnya bisa mengobrol dengannya secara normal tanpa rasa canggung sama sekali.

Setelah menunggu sepuluh menit, pesananku akhirnya tiba juga. Seporsi sate Padang lontong dan minumannya telah mendarat di hadapanku, di atas meja kayu berlapis warna putih. Tanpa menunggu apapun lagi, aku langsung melahapnya perlahan-lahan. Aku sangat menyukai sate Padang, jadi untuk menikmatinya harus diiringi dengan penuh penghayatan.

Benar-benar nikmat, aku sudah selesai melahap sate Padang ku. Ketika aku meletakkan sendok garpu di atas piring kosong, Henry terlihat sedang memesan sate untuknya. Dia pun langsung menghampiriku dan duduk di hadapanku, jarak kami dibatasi oleh meja makan.

“Wah.. Sate kamu sudah habis Mel.. Telat banget aku. Kamu mau pesan lagi?”

“Hah? Ngga.. ngga.. Aku kenyang.”

“Lidya dateng?”

Wah.. Tidak ku kira sebelumnya, secepat ini dia membahas tentang Mba Lidya. Aku menjawabnya sambil menggeleng, “Ngga.. Belum dateng. Suka-suka dia kalau dateng. Ngga pernah pasti kapannya, jamnya. Terserah dia..”

“Oh.. Gitu ya kalau yang punya kafe. Suka-suka dia.”

“Tadi pagi dateng siangan apa gimana? Tumben ngga mampir.” haduh.. bodohnya aku.. Kenapa sampai kebablasan mengatakan hal seperti ini pada Henry.

“Hehe, kenapa? Kamu nyariin aku ya?” Henry balik bertanya sambil cengengesan.

“Ngga juga sih, tumben aja..”

“Males kalau ketemu Lidya.”

Aku hanya menjawab singkat dengan anggukan sambil sesekali menyedot es teh manisku dengan sedotan. Dia tidak melanjutkan ucapannya dan aku juga tidak mau bertanya panjang lebar. Aku rasa akan jadi lebih seru kalau kenyataannya tidak buru-buru terungkap. Aku seperti sedang menikmati film drama misteri. Di mana aku harus menonton sampai habis untuk mengetahui sebab si hantu sampai mati terbunuh.

Ada bagusnya juga Henry tidak bercerita sekarang padaku. Aku jadi terlatih untuk lebih bersabar dengan rasa penasaranku. Kini di hadapanku, Henry sedang asyik menyantap sate Padangnya. Baru kali ini aku secara lebih tegas memperhatikan wajahnya saat menunduk. Hmm.. ternyata dia punya bentuk hidung yang nyaris sempurna. Wajahnya tetap enak dilihat ketika dia sedang menunduk.

Astaga.. Untuk apa aku memperhatikan wajahnya sedari tadi. Aku langsung menepis pandanganku, berganti arah menatap gerobak sate Padang. Aku memandang lurus ke depan seolah sedang memperhatikan Bapak penjual sate Padang yang sedang mengipasi sate-satenya di samping gerobak.

“Mel, kalau besok-besok aku jarang ke kedai, kamu jangan nyariin ya.”

“Hahaha.. Silahkan aja Mas, mau sering atau jarang, terserah kamu..”

“Kita kan masih bisa makan bareng di luar. Oh iya tolong kirimin dong alamat lengkap rumah kamu.”

Aku melongo mendengar Henry meminta aku mengirimi alamat lengkap rumahku. Jangan-jangan dia mau datang tiba-tiba tanpa pemberi tahuan sebelumnya. Alias surprise. Cukup lama juga aku tidak menanggapi ucapannya dan malah memperlihatkan tatapan mataku yang kosong.

“Amel.. Ngga apa-apa kan aku minta alamat kamu?”

“Hah? Oh.. Iya, iya ngga apa-apa.. Ini aku kirim sekarang aja sebelum lupa.” astaga.. haduh Amel.. Amel.. kenapa jadi aku yang getol buru-buru memberi alamat rumahku padanya. Ah.. Sudahlah.. Dia kan juga temanku. Iya, teman baruku.

Aku sudah cukup sering bercakap-cakap dengannya. Tapi aku masih belum tahu, dia bekerja di bidang apa. Di pojok sana itu kantor apa. Aku belum pernah main sampai ke pojok ruko sana. Apa sebaiknya aku tanyakan saja ya. Biarlah kalau dia menganggapku kurang sopan. Tapi sekarang sudah pukul setengah satu, aku harus bergegas kembali ke kedai. Nanti saja lah aku tanyakan soal pekerjaannya.

“Maaf Mas, aku duluan ya. Sudah setengah satu.”

“Wah? Ngga terasa ya waktunya cepat banget. Oke Mel.. Sampe ketemu lagi ya.”

Aku tersenyum mengangguk padanya. Setelah membayar makan siangku, aku mempercepat langkah menuju kedai kopi kembali. Melintasi beberapa blok ruko, tidak terlalu jauh. Begitu aku sampai di pintu samping kedai, terlihat Mba Lidya yang nampak baru saja datang, di tangan kirinya masih tercangklok sebuah tas tangan berwarna putih.

“Lho Mba, tumben dari pintu samping?”

“Hai Mel.. Habis makan siang?"

“Iya Mba..”

“Saya parkir di blok samping. Di depan penuh tuh, tumben. Ayo Mel.. Saya duluan.”

“Mari Mba..”

Mba Lidya melangkah dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan langkahku. Sepertinya dia memang terburu-buru. Mungkin dia hanya punya waktu sebentar untuk mengecek kondisi kedai hari ini. Aku kembali mempersiapkan diri melanjutkan tugas di meja barista. Dari arah belakang sangat terdengar suara keriuhan di seantero ruangan kedai.

Benar saja, kedai sudah ramai oleh pengunjung. Aku mempersilahkan Faris untuk pergi makan siang. Aku tidak sanggup membayangkan kerepotan yang dialaminya tadi saat ku tinggal pergi makan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun