Sesekali aku menyeka keringat yang mengalir tipis-tipis di leherku dengan sapu tangan lembut yang ku simpan di kantung celana jeans. Aku mulai tidak betah memiliki rambut panjang. Karena begitu tebal, terkadang rasanya berat, aku ingin segera memotongnya. Tapi, belum sempat semenjak salon langgananku yang dekat rumah itu pindah ke kompleks seberang. Aku tidak yakin hasilnya akan sebagus potongan salon langgananku jika aku memotong rambutku di salon lain.
Pelanggan sudah cukup ramai, sejak Faris meninggalkanku pulang, aku sudah membuat tiga gelas kopi dingin. Saat ini Dion yang sudah selesai dari makan siangnya, sedang membuat dua cangkir pesanan pelanggan. Di balik etalase snack, Mutia juga terlihat sedang sibuk melayani pelanggan yang asyik memilih-milih roti dan kue sejak tadi.
Aku melirik arloji hitam yang melingkar di tangan kiriku. Aku berkali-kali melirik bahkan menatapnya dengan sangat jelas. Mengapa jadi terkesan aku yang sangat menantikan kehadiran Henry di kedai kami? Aku tidak menyuruhnya datang kesini di hari liburnya. Aku juga tidak mengira dia akan mengirimiku pesan seperti tadi pagi.
Pukul empat sore tepat! Henry mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam kedai. Tadi aku tidak melihatnya berjalan di luar. Mungkin karena aku terlalu fokus menunduk menatapi arlojiku.
“Hai Mel, biasa dong.. Moka.. Tapi pake es ya, gerah soalnya.” Henry memesan kopi favoritnya sambil tersenyum ramah padaku.
Hari ini Henry terlihat lebih santai dan lebih tampan dengan kaus oblong warna hitam serta celana jeans. Dia juga mengenakan sepatu keds berwarna biru dongker dengan strip putih. Tas selempang yang dipakainya hari ini berukuran jauh lebih kecil dibandingkan tas kerjanya sehari-hari.
Aku membalas senyuman yang diberikannya padaku, seraya menyiapkan pesanannya. Sambil memperhatikan gerakanku menyiapkan segelas kopi moka untuknya, dia bertanya padaku kapan kira-kira kami punya waktu untuk berbincang-bincang lebih banyak. Aku mengatakan padanya bahwa itu gampang diatur. Dia merasa tidak enak kalau kami mengobrol terlalu banyak di kedai, dia tidak ingin mengganggu pekerjaanku.
“Tapi ngga apa-apa kan Mel, kalau nanti aku sering sms kamu?”
“Haha.. Ya ngga apa-apa lah Mas. Santai aja..”
“Ya kan aku juga ngga enak kalau sampe kamu ngerasa terganggu sama sms aku.”
Aku menggeleng dan tersenyum lagi padanya. Padahal es kopi moka yang ku buatkan untuknya sudah ready di depan matanya sejak tadi. Tapi, Henry belum juga mengambilnya dan belum beranjak pergi dari hadapanku. Hingga akhirnya tatapan mata kami yang sedang beradu, sontak terhenti oleh kemunculan Mba Lidya dari pintu depan kedai. Posisinya ada membelakangi tubuh Henry yang sedang berdiri.