“Aku di tempat sate Padang ya. Tahu kan? Dekat mie ayam yang di belakang.”
“Iya tahu. Oke deh Mel.. Tunggu ya..”
Henry selalu cekatan dalam membalas setiap pesan dariku. Jarang sekali dia merespon pesanku dengan lambat. Jujur saja, aku sudah mulai ingin bicara banyak dengannya. Oh.., bukan, bukan itu. Lebih tepatnya bisa mengobrol dengannya secara normal tanpa rasa canggung sama sekali.
Setelah menunggu sepuluh menit, pesananku akhirnya tiba juga. Seporsi sate Padang lontong dan minumannya telah mendarat di hadapanku, di atas meja kayu berlapis warna putih. Tanpa menunggu apapun lagi, aku langsung melahapnya perlahan-lahan. Aku sangat menyukai sate Padang, jadi untuk menikmatinya harus diiringi dengan penuh penghayatan.
Benar-benar nikmat, aku sudah selesai melahap sate Padang ku. Ketika aku meletakkan sendok garpu di atas piring kosong, Henry terlihat sedang memesan sate untuknya. Dia pun langsung menghampiriku dan duduk di hadapanku, jarak kami dibatasi oleh meja makan.
“Wah.. Sate kamu sudah habis Mel.. Telat banget aku. Kamu mau pesan lagi?”
“Hah? Ngga.. ngga.. Aku kenyang.”
“Lidya dateng?”
Wah.. Tidak ku kira sebelumnya, secepat ini dia membahas tentang Mba Lidya. Aku menjawabnya sambil menggeleng, “Ngga.. Belum dateng. Suka-suka dia kalau dateng. Ngga pernah pasti kapannya, jamnya. Terserah dia..”
“Oh.. Gitu ya kalau yang punya kafe. Suka-suka dia.”
“Tadi pagi dateng siangan apa gimana? Tumben ngga mampir.” haduh.. bodohnya aku.. Kenapa sampai kebablasan mengatakan hal seperti ini pada Henry.