Henry benar-benar membuatku bingung dan tampak bodoh. Aku harus berkonsultasi pada siapa soal ini? Apa Eka masih bisa dipercaya jika aku bercerita soal Henry padanya. Aku menoleh ke arah jam dinding di kamarku. Sekarang hampir setengah tujuh malam. Harusnya jam kerja Eka juga sudah berakhir. Apa aku menceritakannya lewat telpon saja? Hmm.. baiklah akan ku coba dulu menanyakan keberadaannya lewat pesan.
“Eka, udah balik? Aku mau telpon nih, ganggu ngga?”
Tidak lama Eka langsung menjawab pesanku. “Iya Mel, aku baru sampe rumah. Kalau mau telpon sekarang boleh aja kok..”
Baiklah, aku akan memulai sesi curhatku pada Eka. Aku langsung menelponnya. Aku ceritakan padanya secara jelas dan sesuai urutan kronologis sejak awal pertama kali aku memperhatikan Henry sering datang ke kedai kami. Hingga saat dia mengajakku berkenalan di kedai pecel ayam. Dan hingga hari ini dia memberikanku sebuah kue serta dirinya yang terus mengirimiku pesan.
Menurut pendapat Eka, itu sebuah pertanda baik untukku. Menurutnya, mungkin Henry sudah cukup lama memperhatikan diriku dan baru belakangan ini dia berani mendekati aku. Tapi, aku tidak mau gegabah dengan percaya begitu saja pada pendapat Eka. Eka juga menyarankan agar aku membalas setiap kali Henry mengirimiku pesan. Jika ingin tahu tujuan Henry yang sebenarnya, sebaiknya aku menjawab setiap pertanyaan dari Henry.
Ya.. Boleh juga sarannya. Betul juga yang dikatakan Eka. Aku juga penasaran ingin tahu kelanjutan tentang sikap Henry padaku. Akhirnya setelah dua jam kemudian, aku baru membalas pesan Henry.
“Maaf baru sempat balas. Saya tinggal di sekitar Pasar Minggu. Kalau kamu di mana?” aku mencoba balik bertanya padanya agar dia merasa senang. Dia bahkan sangat cekatan membalas pesanku.
“Aku di Mampang Prapatan. Kapan-kapan aku boleh main ke rumah kamu, Mel?”
Apa? Kami belum lama berkenalan, kenapa dia ingin main ke rumahku? Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia berniat datang ke rumahku. Aku jadi bertambah bingung sekarang. Aku ini sudah terlalu percaya diri atau aku memang mudah dibodohi oleh situasi?!
Aku juga berulang kali membaca pesan terakhir dari Henry. Sekarang dia mulai menyebut dirinya dengan kata “Aku”, padahal sebelumnya kami sama-sama menggunakan kata “Saya” saat berkirim pesan atau ketika bertatap muka. Mungkin dia salah ketik. Ah.. tapi bisa juga sengaja. Sebaiknya sekarang aku membalasnya dengan kata “Aku” atau “Saya”?! Oke, aku putuskan untuk mengikuti alurnya saja. Aku harus menghargai kebaikannya padaku.
“Oh.. Boleh.. Silahkan saja kalau kamu mau main. Tapi bilang dulu ya sebelum ke rumahku, kan kamu belum tahu alamat lengkapnya. Hahaha..”