“Sudah lama ya Mel kerja di sini?”
Hmm.. dia malah mengajakku mengobrol sambil memperhatikan gerak gerikku menyiapkan kopi moka pesanannya. “Ya.. Lumayan, sudah satu tahun.”
“Kopi buatan kamu oke banget Mel, pas sama selera Saya.”
“Oh ya? Makasih..” akhirnya aku telah selesai menyiapkan secangkir kopi moka hangat untuknya, sehingga dia tidak mengajakku mengobrol lebih banyak. Aku langsung menyerahkan cangkir kopi itu ke tangan kanannya. Sedang tangan kirinya tampak sedang memegang bungkusan kertas warna cokelat berisi dua buah donat selai kacang yang tadi dipesannya dan disiapkan oleh Rena.
Henry melangkah menuju meja tamu di pojok ruang kedai. Sambil memakan donat, pandangannya sesekali menatap keluar kaca, memandang lalu lalang jalan raya. Sekali-sekali aku meliriknya. “Benar juga kata Faris, dia lumayan. Kemarin saat sedang tertawa dengan teman-temannya, dia terlihat lebih menarik.” kataku dalam hati.
Hari ini Henry mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hijau, penampilannya sungguh rapi. Sedap dipandang mata. Rambut hitamnya disisir belah pinggir. Sangat menawan. Aku mulai menyelidik sendiri, apa lelaki seperti dia belum memiliki kekasih. Atau jangan-jangan malah sudah beristri. Aku tidak bisa memastikan usia yang tepat untuknya. Waktu itu aku mengira-ngira usianya sekitar tiga puluh tahun, tapi aku tidak yakin. Sepertinya dia lebih muda, hanya penampilannya saja yang membuatnya terlihat lebih dewasa.
Aku rasa secangkir kopi moka itu sudah tandas, bungkusan berisi donat sudah selesai dimasukkannya ke dalam tas selempang hitam yang dibawanya. Pasti sebentar lagi dia berdiri dari kursinya. Nah kan.. Benar saja tebakanku. Aku segera ambil posisi berpura-pura sibuk dengan memegang sebuah pulpen dan notes. Layaknya sedang memikirkan sesuatu yang ingin ditulis, aku mengetuk-ngetukkan pulpen itu ke pelipisku.
Aku menghindari pandanganku dari dirinya yang hendak menuju pintu kedai. Hmm.. dia tetap menyapaku bahkan menghentikan langkahnya di hadapanku. Sembari membenarkan posisi tali tasnya yang hampir merosot, dia bicara padaku. “Mel, boleh Saya minta nomor hp kamu?”
Tentu saja aku mendongak dan memasang wajah melongo, “Hah? Nomor hp? Ya, boleh..” aku tersenyum simpul dan menyebutkan nomorku ketika dia sudah siap mencatat nomorku di ponselnya. Dia juga mengatakan baru saja mengirim pesan singkat ke nomorku untuk memberikan nomor ponselnya padaku. Dia belum beranjak juga dari hadapanku, padahal ku rasa urusan kami telah selesai.
“Oke! Makasih ya Mel..” akhirnya dia pergi juga dari kedai ini.
Sekitar lima belas menit kepergian Henry dari kedai kami, Mba Lidya datang dan menyapaku.