“Hah? Oh.. Iya, iya ngga apa-apa.. Ini aku kirim sekarang aja sebelum lupa.” astaga.. haduh Amel.. Amel.. kenapa jadi aku yang getol buru-buru memberi alamat rumahku padanya. Ah.. Sudahlah.. Dia kan juga temanku. Iya, teman baruku.
Aku sudah cukup sering bercakap-cakap dengannya. Tapi aku masih belum tahu, dia bekerja di bidang apa. Di pojok sana itu kantor apa. Aku belum pernah main sampai ke pojok ruko sana. Apa sebaiknya aku tanyakan saja ya. Biarlah kalau dia menganggapku kurang sopan. Tapi sekarang sudah pukul setengah satu, aku harus bergegas kembali ke kedai. Nanti saja lah aku tanyakan soal pekerjaannya.
“Maaf Mas, aku duluan ya. Sudah setengah satu.”
“Wah? Ngga terasa ya waktunya cepat banget. Oke Mel.. Sampe ketemu lagi ya.”
Aku tersenyum mengangguk padanya. Setelah membayar makan siangku, aku mempercepat langkah menuju kedai kopi kembali. Melintasi beberapa blok ruko, tidak terlalu jauh. Begitu aku sampai di pintu samping kedai, terlihat Mba Lidya yang nampak baru saja datang, di tangan kirinya masih tercangklok sebuah tas tangan berwarna putih.
“Lho Mba, tumben dari pintu samping?”
“Hai Mel.. Habis makan siang?"
“Iya Mba..”
“Saya parkir di blok samping. Di depan penuh tuh, tumben. Ayo Mel.. Saya duluan.”
“Mari Mba..”
Mba Lidya melangkah dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan langkahku. Sepertinya dia memang terburu-buru. Mungkin dia hanya punya waktu sebentar untuk mengecek kondisi kedai hari ini. Aku kembali mempersiapkan diri melanjutkan tugas di meja barista. Dari arah belakang sangat terdengar suara keriuhan di seantero ruangan kedai.