episode ke-1: mimpi
Musik menggelegar, membangunkan pagi. Derina menjentik remah roti ke arah Yoram. Lelaki itu membalasnya dengan bungkus rokok yang sudah kosong. Dari balik kaca, Anwar mengacungkan lima jari. Lalu, empat, dan tiga, kemudian dua, satu, berakhir di kepalan tinju.
“Selamat pagi tolan radio Kanal-7, selamat pagi Indonesia, selamat memulai hari. Dari kebisingan roda dan suara starter mobil di garasi rumah-rumah, Derina Zasa hadir menemani Anda untuk menemukan perspektif baru di hari yang baru. Ini hari Jumat, hari yang sama dengan pekan lalu, bulan lalu, tahun lalu, dan seabad lalu. Tapi ini hari baru. Ini Jumat yang baru sebab kita percaya: Sang Hidup menjadikan segala sesuatunya baru.”
“Dan di sebelah perempuan tak bermutu ini, saya, Yoram Mangundap, bertugas untuk sekuat tenaga menjaga Anda tetap waras dari romantisisme jaman Barok yang ditawarkan Derina -romantisisme yang sebetulnya sudah tak laku lagi dalam hidup kita di abad ini semenjak The Beatles bersabda: words are flowing out like endless rain into a paper cup; they slither while they pass, they slip away across the universe. Dominasi tertentu selesai karena akan tiba giliran bagi sabda orang Baduy dan firman orang Tomohon menyelinap pergi, menembus batas-batas, berhamburan ke seantero jagad raya.”
“Di pagi yang baru ini, tolan Kanal-7, kita akan berbincang tentang The right to be forgotten,” Derina melempar-balik bungkus rokok dan mengenai hidung Yoram. “Petisi tentang The Right To Be Forgotten diajukan oleh seorang spanish-judean yang jengkel karena permohonan kreditnya untuk membiayai pembelian rumah ditolak oleh banyak bank di Madrid, Spanyol. Para bankir, ternyata, melakukan due diligence terhadap calon debitur ini dengan, salah satunya, menggunakan mesin pencari google.”
“Celaka bagi calon debitur, google menyajikan belasan hasil pencarian yang mengabarkan bahwa si calon debitur pernah mengalami default dalam pelunasan kredit di masa lalu. Informasi itu menjadi dasar bagi para bankir untuk menolak permohonan kredit baru si calon nasabah.”
“Calon debitur marah. Dia pergi ke pengadilan untuk menuntut google menghapus informasi tersebut dari daftar pencariannya. Tuntutan itu kemudian dikenal dengan judul The Right To Be Forgotten.”
“Dalam persidangan, The European Commission mendukung tuntutan si calon debitur dan selanjutnya memberlakukan The Right To Be Forgotten mulai tahun 2012.”
“Persoalan lalu melebar. Tuntutan The Right To Be Forgotten berkumandang di Amerika Serikat oleh sejumlah orang yang mengaku telah melakukan kebodohan di masa lalu dengan memosting beberapa gambar tak patut tentang dirinya ke internet.”
“Padahal, negara adidaya ini menganut azas kebebasan berbicara secara mutlak dan mengharamkan sensor. Jika The Right To Be Forgotten diundangkan di Amerika Serikat, implikasinya akan meluas hingga ke keterkekangan para pekerja pers dalam menyajikan informasi secara jujur. Nah, tolan Kanal-7, kita akan mendiskusikan topik ini selama tiga jam berseling lagu-lagu dari manca negara.”
“Kita juga sekaligus akan mengujinya sejauh mungkin hingga mencakup pertanyaan: apakah The Right To Be Forgotten yang menjadi dasar bagi Komisi Pemilihan Umum untuk meloloskan seorang warga negeri ini dari masa lalunya yang memalukan dan keji sehingga hari ini dia berkesempatan menjadi salah satu calon presiden Indonesia?”
“Jangan kemana-mana, pastikan headset dari gadget Anda tetap menempel di telinga. Setelah klenengan beberapa pedagang berikut ini, kami akan kembali menemui tolan sekalian. Tetaplah di Kanal-7, radio internet.”
***
Chapin memarkir mobil. Jam 06:15. Tidak terlalu pagi. Perjalanan dari rumah ini hanya butuh waktu 40 menit untuk sampai kantor Kanal-7. Mudah-mudahan lelaki tua itu sudah bangun. Semalam dia menelpon, melaporkan hidungnya yang tersumbat. Badan saya meriang, katanya. Chapin menawarkan diri datang untuk membawa semangkuk sup panas, tapi lelaki itu menolak. Saya sudah minum air panas bercampur tetesan minyak angin, lanjut lelaki itu lagi.
Sudah sebulan lalu terbit pikiran untuk pindah ke rumah lelaki itu. Tapi Chapin kuatir, dunia bakal merutuk. Aku bukan istrinya, bukan pula tunangannya. Usia kami berbeda 42 tahun: aku 31, dia 73. Ini hubungan ganjil. Lebih ganjil lagi: aku perempuan Shona dari kelompok Zezuru di Zimbabwe; dia lelaki Batak.
Chapin tak tahu apa yang dia butuhkan dari hubungan semacam itu. Setiap malam dia hanya ingin menengok lelaki itu di kamarnya, bertanya apa ada yang akan mengganggu tidurnya, sebelum kemudian menyodorkan sesloki anggur, menarik selimut untuk menutupi tubuh lelaki itu dan menutupnya dengan kecupan tipis di pipi. Lalu: selamat malam.
Begitulah. Tadi malam, ketika Benjamin mengaku kepalanya pusing dan tenggorokannya kering, Chapin kepingin terbang untuk rebah di sebelah tubuh lelaki itu. Dia perlu memperhatikan kembang-kempis dada Benjamin untuk memastikan segala sesuatu akan baik-baik saja. Setelah itu, barulah dia bisa lega membiarkan dirinya dibawa rasa kantuk ke dalam buaian malam.
Chapin mengambil kunci dari dalam tas, membuka gembok pagar, berjalan 10 langkah untuk tiba di pintu rumah, mengambil kunci yang lain dan membuka pintu itu. Sepi. Tak ada suara. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Dia melangkah cepat menuju ruang tidur yang berada di sisi kiri bagian tengah rumah. Dengan perlahan, dia buka pintu kamar. Ya Allah. Lelaki itu terbujur kaku. Handuk kecil yang tergulung berletak di keningnya. Dia sontak berlari dan duduk di ranjang, mengambil handuk kecil , meraba keningnya, dan…, lelaki itu membuka mata.
“Anda tidak apa-apa?”
“Pagi ini saya jauh lebih sehat.”
Chapin bangkit, melangkah ke kamar mandi untuk mengambil termometer di kabinet obat. Dia memasukkannya ke mulut Benjamin. Tiga menit kemudian: 37,2. Dia menarik napas lega.
“Anda menangis?”
“Kata siapa?” Chapin meraba ujung mata kirinya dan mendapati buliran air di sana. “Sedikit,” akunya sambil meraih handuk kecil tadi dan menyeka dua matanya. “Kenapa Anda tidak menelpon Jerome, atau Maria, atau Nora, atau Jehezkiel?”
“Saya hanya dilanda flu biasa.”
“Tapi Anda menelpon saya.”
“Ya, karena hanya flu biasa.”
“Dan jika itu serangan jantung, Anda tak akan menelpon saya?”
“Pertama, jantung saya sehat. Kalau saya mati, itu pasti karena penyakit lain. Kedua, ya, jika saya terkena serangan jantung, saya akan menelpon Jerome, Maria, Jehezkiel, Nora, dan juga Anda.”
Chapin tersenyum.
“Anda mau sarapan?”
“Setengah jam lagi. Saya masih ingin diam terbaring sambil bersyukur atas satu hari lagi yang dikaruniakan kepada saya.”
“Maksud Anda, Anda mau berdoa?”
“Ya.”
“Kalau begitu saya perlu beranjak ke luar dari kamar ini sekaligus menyiapkan sarapan buat kita.”
“Jangan, di sini saja. Temani saya setengah jam.”
“Anda mau saya tidur di sebelah Anda?”
Lelaki itu membuka mata. Dia terlihat kaget. “Apa itu mungkin,” tanyanya.
Chapin tersenyum dan lalu merebahkan tubuhnya di sebelah Benjamin. Dia meletakkan tangan kiri di dada. Tangan kanannya terulur ke bawah, meraih tangan kiri lelaki itu, memasukkan lima jarinya di sela-sela jemari Benjamin. Chapin memejamkan mata. Lelaki itu juga.
Lalu dia terbang. Dia merasa rambut ikal panjangnya tertiup angin deras. Cahaya mulai datang, entah dari mana. Sekelilingnya mendadak benderang. Dia mencari sumber cahaya, tak ada. Dia lalu sadar, dia berada di dalam cahaya. Jana ni leo; na leo ni kesho. Lalu sunyi. Dia bahkan tak mendengar detak jantungnya sendiri.
***
“Ini kopinya, Yai.”
“Gulane cuma sa’ sendok, ora?”
“Nggih. Cuma sa’ sendok.”
“Trus pangananku opo?”
“Roti tawar pakek mentega sama madu.”
“Yo wis. Cukup itu. Sarapan ndak perlu banyak-banyak.”
“Kata orang Amerika, itu keleru. Buat mereka, eating breakfast like a king, lunch like a prince, and dinner like a pauper.”
“Sing artine…?”
“Kalau sarapan harus makan banyak kayak raja; makan siang kayak pangeran, makan malam kayak pengemis.”
“Sopo sing ngomong?”
“Timothy, koncoku di internet.”
“Iku sing justru keleru, Paimo. Yen sarapanmu akeh, sampeyan bakal ngantuk, males nyambut gawe, males belajar, males ngaji. Seharian kerjamu bakal cuma turu tok. Ono-ono wae. Suruh Timoti nyantri di pondokku, biar dia belajar kearifan Nusantara dari Kyai Haji Muslih.”
“Ndak belajar tentang Islam?”
“Timoti itu beragama to. Mosok kudu diislamkan?”
Paimo tergugu.
“Aku pamit dulu, Yai.”
“Mau ke mana?”
“Ada pertemuan dengan para relawan.”
“Hatimu wis mantep melu Jokowi?”
“Gurung. Apalagi arek-arek ngomonge pedes. Ono sing ngomong Jokowi ku Cino, Jokowi Kristen, Jokowi antek Yahudi. Iku tenan, ora, Yai?”
“Menurut hatimu?”
“Yo ndak. Wong dhek e haji, Haji Joko Widodo. Piye carane haji kok Kristen?”
“Lha kenapa kamu masih bingung?”
“Yai sendiri melu sopo?”
“Kamu mau ikut pilihanku?”
“Nggih.”
“Nek aku melu Prabowo?”
“Lha piye to Yai ki? Itu malah lebih ndak jelas dibanding Jokowi. Pesantren kita cuma berjarak dua puluh kilo dari Porong. Dhek e, sing ngelumpuri Porong, ono di barisane Prabowo. Aku yo gelo nek kudu melu Yai nderek Prabowo.”
“Trus maksudmu opo?”
***
Bangku itu telah berusia lebih dari 30 tahun, telah diduduki lebih dari sepuluh ribu siswa. Ia tetap kokoh. Sebagian berkata: ini bukti dari ketangguhan masa lalu. Hari ini orang-orang memproduksi barang dengan masa pakai terukur agar konsumer datang lagi untuk melakukan pembelian ulang. Jaman dulu, para tukang kayu digenjot gairah untuk menggergaji, menyerut, memaku dengan tekun agar kursi atau meja yang dihasilkan bisa bertahan selama mungkin, kalau perlu: abadi.
Maryati duduk di kursi itu, merasakan sejenak lagi kehangatan dan kekokohannya sebelum pekan depan ia mungkin tak akan kembali ke sekolah ini bertahun-tahun. Urusan hari ini sudah selesai. Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional ada di tangan. Tapi dia masih berat untuk melangkah pergi. Untuk segala yang baik, kita tak boleh meninggalkannya dengan pintu terhempas, pikirnya.
Suara langkah dari lapangan basket terdengar menderap tergesa.
“Sudah selesai,” tanya pemilik langkah itu.
Maryati mengangguk. Dia menekan dua telapak tangannya ke bangku untuk menumpukan berat tubuh di bagian pinggang hingga kepala. Dua kakinya bergesekan dengan lantai, maju-mundur bergantian.
“Kenapa belum pulang?”
“Nunggu kamu.”
“Harus sekarang atau masih bisa nunggu aku selesai ngambil SKHUN?”
“Aku masih di sini.”
“10 menit,” teruna itu melempar senyum.
“Terserah. Aku nggak kemana-mana.”
“Mbok Narti jualan?”
Maryati mengangguk lagi.
“Aku lapar, belum sempat sarapan.”
“Mungkin sudah habis. Mbokku gak bawa banyak, takut ndak laku karena cuma sedikit murid yang datang. Pecel sisa ndak mungkin bertahan sampai sore.”
“Trus aku makan apa?”
“Lho kok nanya aku?”
“Jadi nanya siapa?”
“Brigitta…, mungkin. Atau Lita?”
Teruna itu tersenyum lalu melanjutkan langkah dengan setengah berlari.
“Gor.”
“Apa?”
“Jangan lama-lama.”
“Lho kamu bilang, kamu nggak kemana-mana?”
“Tapi aku sendirian.”
“Lima belas menit.”
“Katanya sepuluh?”
“Katanya terserah?”
“Yo wis, karepmu.”
Maryati melanjutkan seretan sepatu kiri dan kanannya ke lantai. Bukan cuma bangku panjang ini yang bakal bikin kangen, keluhnya.
Suara langkah kaki terdengar lagi. Kali ini berhamburan.
“Sudah selesai, Mar,” tegur salah seorang dari mereka.
“Dah.”
“Belum pulang?”
“Nunggu mbokku mberesi jualannya.”
“Aku ke dalam dulu, ya.”
“Aku?” selak suara perempuan setengah menjerit.
“Suka-suka gue.”
Mereka berlarian ke arah gedung. Salah seorang dari mereka berbalik badan.
“Tadi liat Igor?”
“Dia ada di dalam, tiga menit lalu.”
“Kamu nunggu dia?”
“Itu bukan pertanyaan normal.”
“Yang normal gimana?”
“Aku memang nunggu Igor. Tapi, nggak normal kalau kamu nanya apa aku nunggu Igor.”
“Siapa yang kamu anggap normal untuk nunggu Igor?”
“Kamu, Lita, Dido, Stephan, Nico, sama Raymond.”
“Itu sinisisme?”
“Mbuh. Tapi kalian memang eksklusif.”
Gadis di hadapan Maryati terhenyak. “Beneran?”
“Kamu nggak sadar?”
Sebuah gelengan hadir sebagai jawaban.
“Dunia kamu di sekolah ini cuma tujuh orang; yang lainnya embel-embel.”
“Kamu ada perlu apa sama Igor?”
“Tuh kan, ketika orang di luar kalian punya keperluan sama Igor, kamu merasa terancam.”
“Nggak. Aku nggak terancam, hanya penasaran. Nggak pernah-pernahnya kamu ada urusan sama dia.”
“Kamu nggak pernah tahu kalau Igor nyisihkan separuh dari uang saku bulanannya buat mbantu keperluan sekolahku?”
Gadis itu terhenyak lagi.
“Ini sekolah mahal, Git. Aku memang dibebaskan dari iuran bulanan. Tapi biaya lainnya ndak sanggup ditanggung penjual pecal kayak mBokku.”
“Igor nggak pernah cerita.”
“Dia bukan orang Farisi.”
“Kenapa aku tiba-tiba seperti merasa tersingkir?”
“Akhirnya kamu akui.”
Brigitta duduk di sebelah Maryati.
“Kalau sekarang aku yang nawarin bantuan, kamu terima?”
“Ndak usah kuatir. Aku dibebaskan UGM dari pembayaran Dana Pendidikan, cuma perlu bayar biaya semester. Itu juga dapat korting lima puluh persen. Mbokku sudah nabung. Uangnya cukup. Di Yogya aku bakal tinggal di rumah Bude.”
“Jadi kamu ada perlu apa sama Igor?”
“Kenapa kamu mesti tahu?”
“Penasaran.”
Maryati menghela napas. Dia melipat tangannya di dada.
“Gak ada yang bisa sangkal, Igor itu pemimpin. Tulen. Kharismatik. Itu yang sekarang aku butuhkan.”
“Mimpin hidup kamu?”
Maryati cekikikan. “Kalau terjadi, itu masih sepuluh tahun lagi.”
Brigitta tersengat. Dia menutup mulut dengan dua telapak tangannya. “Kamu sudah pacaran sama dia atau lagi mabuk sambel pecel?”
“Pacaran? Belum. Tapi minggu lalu, waktu acara kelulusan, aku sudah bilang kalau aku suka sama dia.”
“Hah???”
“Ndak boleh? Kenapa? Apa karena aku perempuan? Atau karena aku perempuan Jawa? Karena aku puteri penjual pecal? Karena aku perempuan yang setiap bulan nerima bantuan keuangan dari lelaki yang aku suka? Atau karena aku muslimah dan dia orang Kristen? Yang mana menurut kamu yang gak normal?”
“Aku nggak tahu. Trus Igor jawab apa?”
“Dia bilang: aku rapopo,” Maryati terpingkal dan kemudian tersedak. “Dia sudah janji sama Ayah dan Ibunya, juga sama Kak Tirza dan Taruli: nggak mau pacaran sampai kuliah di semester tujuh.”
Brigitta mengembuskan napas panjang.
“Lego ta?”
“Nggak. Biasa aja.”
“Aku cuma nggak mau nyesel; nggak mau suatu saat nanti semua sudah terlambat. Lagian, apa salahnya kalau aku suka sama dia? Apa juga salahnya kalau itu aku utarakan?”
“Kamu nggak kecewa sama jawaban Igor?”
“Ya ndaklah. Aku lega. Apalagi pas dia bilang: nanti, kalau waktunya sudah tiba, Maryati ada di urutan paling atas dari semua kemungkinan.”
“Yang itu pasti kamu bohong…, lebay…, ngarang.”
“Aku mau buktikan: kemiskinan ndak boleh membatasi apa yang aku impikan. Aku harus berani melangkah ke mana saja. Batas-batas itu dusta.”
“Balik ke iPad. Ada perlu apa kamu sama Igor?”
“Aku mau ngajak dia mimpin sebuah gerakan. Tadi, dalam perjalanan menuju sekolah, aku lihat gambar seorang lelaki ceking nempel di tiang-tiang kayu. Aku tercenung. Dia berasal dari keluarga susah, masa kecilnya susah, mukim di bantaran kali, anak tukang kayu, buka usaha dari dasar banget, lalu membesar, membesar lagi, trus jadi wali, dipilih jadi gubernur, dan sekarang dicalonkan jadi presiden. Kok kayak ngimpi?
Maksudku, cerita-cerita seperti itu kan cuma ada dalam dongeng. Tapi ini kenyataan lho, diajeng. Aku betul-betul ngarep dia yang menang dadi presiden. Alasan pertama, itu kenyataan yang sehat. Kemarin-kemarin kan kita percaya: cuma orang yang punya koneksi yang bisa naik pangkat, yang lolos dari saringan, yang diangkat jadi pejabat. Di luar itu, jangan ngarep, ngimpi boleh. Kalau ketemu anak kecil yang ngomong banter tentang cita-citanya mau jadi menteri, jadi jendral, jadi presiden, kita ketawa kecil sambil ngebathin: nanti kalau kamu sudah besar, nduk, kamu bakal sadar kalo itu cuma khayalan masa kanak-kanak. Mimpi jadi ndak laku di negeri ini.
Hatiku berontak. Mimpi adalah kekayaan bagi orang miskin. Kalau itu sudah ndak dianggap layak, apalagi yang masih tersisa buat kami? Tapi kalau lelaki ceking itu menang dan jadi presiden, dia mengembalikan kepada orang miskin satu-satunya harta berharga yang selama ini dijarah oleh para penggede. Keadilan kembali hadir. Mudah-mudahan ndak ada lagi orang berani menganggap remeh orang miskin karena sadar: masih ada mimpi yang memungkinkan kami pada suatu saat duduk di singgasana. Dari sudut sastra, dari teropong agama, itu bagus banget.”
“Alasan kedua?”
“Dia orang yang tepat. Sebagai mantan orang miskin, dia gak bakal mengkhianati kami. Sebagai mantan orang terpinggir, dia juga gak mungkin mengelabui kamu. Dia kan ndak nyogok orang-orang besar untuk dikenalkan ke Bu Mega supaya dicalonkan jadi Gubernur Jakarta. Dia dibawa ke sini karena kita semua memilihnya, karena kita tahu: dia orang yang pas untuk mewakili sekaligus memimpin kita.
Hampir dua tahun mimpin Jakarta, dia membuktiin sekali lagi: dia ndak mengkhianati orang susah. Aku nangis ndenger kabar: Parti, sepupuku, tinggal di rumah susun deket Pluit. Dulu, saat berkunjung ke rumah mereka, aku ndak tahan oleh bau busuk, oleh udara sumuk. Sekarang Parti hidup nyaman di rumah yang sehat.
Rumah-rumah susun sudah dari dulu ada untuk rakyat. Masalahnya, orang-orang jahat ngerampas itu untuk disewakan ke orang-orang yang hidupnya gak susah. Kebangeten. Pemerintah ndak berbuat apa-apa. Mungkin mereka dapet bagian, mungkin mereka ngeri sama preman, mungkin mereka memang ndak punya waktu buat rakyat, aku ndak ngerti.
Lalu lelaki itu datang. Badannya ceking, nyalinya nguing. Orang-orang jahat meriang. Orang-orang miskin girang. Dia pasti kalah kalau digebuk preman. Tapi dia berani, dia bernyali. Itu karena dia punya hati.
Bukan otot, diajeng, bukan okol yang bikin kamu bisa mimpin wong, tapi hati. Laki-laki itu punya hati.”
“Prabowo?”
“Otot. Aku ndak suka.”
“Kamu punya mimpi?”
“Pasti. Aku mau jadi wakil presiden Indonesia di tahun 2039.”
“Kok cuma wapres? Kenapa gak jadi presiden? Nanggung.”
Maryati tersenyum sambil menoleh kepada Brigitta. “Yang jadi presiden: Igor; aku wakilnya.” Sekarang dia memandang ke kejauhan. “Kalau nanti aku ndak kawin sama dia, paling nggak aku jadi wapresnya.”
“Aku?”
“Lha kamu belum ngutarain isi hati kamu ke dia, kamu pasti gak bakal ada dalam daftar kemungkinan.”
“Aku gak mau seperti itu. Aku yang punya daftar; Igor ada di peringkat satu dalam daftarku.”
“Berarti peluang kamu untuk jadi pacar Igor kecil banget. Peluangku jauh lebih gede.”
Brigitta tercekat. “Aku gak berani.”
“Aku yang orang miskin saja berani, apalagi kamu. Kamu ternyata lebih membutuhkan Jokowi daripada aku.”
***
Yoram menghardik. Suaranya menggelegar. Anwar, di balik kaca, sempat berdiri, kuatir pertengkaran dua mahluk di dalam kotak kaca meluber jadi beneran. “”The Right To Be Forgotten adalah cikal-bakal penghapusan sejarah.” Yoram mengambil jeda, membiarkan pendengar Kanal-7 menantikan apa yang segera dia ucap. “Jika kamu berselingkuh dari suami kamu, misalnya, dan kemudian kamu bercerai, lalu kabar tentang itu dimuat di jagad maya, atas dasar apa pada lima tahun kemudian kamu tuntut google untuk menghilangkan itu dari temuan mesin pencari? Jelas, Derina berselingkuh. Jelas, Derina diceraikan suaminya. Itu informasi sahih. Derina keberatan? Dia bisa tuntut media yang mewartakannya dalam satu atau dua minggu setelah berita itu terbit. Kalau tidak, kita boleh menyimpulkan bahwa Derina dengan rela telah menerima itu sebagai kebenaran. Dan tidak keliru jika puluhan media daring kemudian menyimpan berita itu dalam arsip mereka dan google lalu menemukannya bagi siapapun yang berkepentingan.”
“Sebuah hukuman tidak harus berlangsung seumur hidup, Tuan Yoram. Derina telah menjalani akibatnya: dia sudah diceraikan suaminya dan kabar tentang itu juga sudah didengar orang. Setelah itu, Derina mengalami apa yang kita sebut pengampunan, pendamaian. Derina kemudian berubah. Pendamaian itu telah menjadikan dia sebagai manusia baru.”
“Sekarang kamu bertemu saya dan ternyata saya jatuh cinta sama kamu. Lalu kita berpikir untuk menikah. Apa berlebihan jika saya berupaya mencari tahu masa lalumu agar ada kepastian bagi masa depan yang akan kita bangun?”
“Apakah Tuan Yoram sedang bermaksud menikahi masa lalu Derina.”
“Tolan Kanal-7, di sinilah letak perbedaan ekstrim antara saya dengan perempuan pegila romantisisme ini. Pendamaian tidak membuat Anda terhindar dari perbuatan buruk di masa lalu. Pendamaian seharusnya justru melahirkan kekuatan bagi Anda untuk berhadapan dengan konsekuensi yang timbul dari masa silam.”
“Tanpa ragu saya mengaminkan perbedaan yang diumbar lelaki chauvinistic egomaniac ini. Tolan Kanal-7, Tuan Yoram tak paham apa yang disebut ‘move on’.”
“Itu romantisisme usang. Move on adalah hak yang melekat pada diri sang korban. Mau jalan di tempat atau mau melanjutkan perjalanan adalah hak sepenuh para korban. Sebagai pelaku, Anda tidak berhak menuntut sang korban untuk ‘move on’ -grrrh saya geli membayangkannya-hanya agar Anda dibebaskan dari beban masa lalu. Betul, dengan move on seseorang dimungkinkan memasuki hari baru. Tapi itu adalah hak, itu pilihan, bukan kewajiban. Dan jika saya masih bercuriga kepada seorang jendral dari kemungkinan dia mengulangi perbuatan keji di masa lalu, itu juga hak saya. Bisakah Anda membayangkan adegan berikut ini tanpa terkencing-kencing: sang jendral mendatangi keluarga korban penculikan dan dengan lembut berkata kepada mereka, ‘you need to move on’. Bisa? My God, if You are really there, itu kekejian yang bercampur kekenesan. Kivlan Zen, Fadli Zon, Mahfud MD, atau Aburizal Bakrie pun tidak pantas datang untuk meminta istri, adik, maupun orangtua Wiji Thukul, misalnya, move on -apalagi berkoak-koak kepada rakyat Indonesia untuk melupakan dan berdamai dengan peristiwa keji itu. Orang yang paling pantas, di luar kerabat Wiji Thukul dan korban-korban penculikan lainnya, untuk datang kepada kepada keluarga tersebut adalah Jokowi -sebagai pesaing sang Jendral dalam kontestasi calon presiden RI 2014. Jokowi datang mewakili rakyat Indonesia di luar sang jenderal dan kelompoknya untuk berkata: maafkan Jendral kita itu; mari kita masuki hari baru. Keluarga korban lalu punya hak untuk memenuhi atau menolak permintaan Jokowi –tak peduli seberapa terhormat dan tulusnya pun lelaki ceking kita ini. Kalau kerabat Wiji Thukul menggelengkan kepala, kita tak bisa menyalahkan mereka. Kita tak bisa menuding dan mencap mereka sebagai orang-orang tak bertuhan. Luka mereka belum kering, rasa perih belum sembuh, rasa sesak atas kehilangan belum pulih. Lho kok kita malah mencibir mereka sebagai orang-orang yang tak bersyukur? Ini soal kesanggupan, Derina, bukan kewajiban. Moralitas seseorang tak boleh diukur melalui kemampuannya untuk memaafkan kejahatan. Dan seorang penjahat tidak lantas berubah status menjadi korban ketika kejahatannya tak kunjung diampuni.”
***
Badru mendekati check-in counter lalu menyerahkan paspor kepada petugas perempuan yang menyambutnya dengan senyum yang lebih meriah daripada bunga matahari yang sedang mekar. Federico García Lorca Airport terhitung sepi. Apalagi untuk penerbangan subuh British Airways ke London.
Perempuan itu menatap sampul paspor. “Indonesia?”
“Ya.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Pulang ke Jakarta,” tanya petugas itu setelah memeriksa file reservasi di layar monitor.
“Ya. Ini yang kedua kali dalam delapan tahun.”
“Wow. Anda menetap di negeri ini?”
“Untuk sementara.”
“Bekerja di sini?”
“Kurang tepat. Saya seorang penata cahaya. Karya-karya saya tersebar di 11 negara di Eropa, dalam sebulan hanya dua minggu di Granada. Selebihnya berlompatan dari satu penerbangan ke penerbangan lain berkeliling benua ini.”
“Kenapa Granada? Karena Anda seorang muslim?”
“Bukan, bukan itu. Dulu saya punya banyak alasan untuk mukim di sini. Sekarang tinggal satu: keindahan Granada, warisan yang terjaga dengan disiplin ketat dan kesadaran tinggi. Kota ini adalah keindahan sejati yang tak memusuhi modernitas, namun juga tak membiarkan itu menindas semua yang menakjubkan. Granada tak butuh penata cahaya. Sinar matahari dan seluruh arsitektur bangunan yang menghormati cahaya adalah guru bagi orang-orang yang berprofesi seperti saya. Di sini saya tinggal untuk menyerap semua kearifan itu.”
“Anda membuat saya bangga sebagai salah seorang rakyat Andalusia.” Petugas itu mengalungkan baggage tag ke koper Badru dan menarik serta mendorongnya keconveyor belt.
“Sudah seharusnya.”
“Ini boarding pass anda untuk penerbangan ke London. Di sana Anda perlu check-in lagi untuk mendapatkan boarding pass bagi perjalanan ke Singapore dan Jakarta.”
“Terima kasih.”
“Senang bisa melayani Anda.”
“Senang sekali bisa menikmati keramahan Anda.”
Selpon Badru berdering. “Ups, saya harus mengangkat ini,” ucapnya sambil mengacungkan selpon, “sampai jumpa bulan depan.”
Sang Petugas mengangguk. Badru melangkah pergi sambil menggesek layar selpon dan menaruh itu ke telinga.
“Sudah check-in?”
“Baru selesai. Sembilan puluh menit menuju boarding.”
“Umi memaksaku untuk membawa dia menjemput kamu besok. Aku bilang nggak usah. Kalau Umi ikut, Abi pasti merengek supaya diajak.”
“Nggak rikuh…, sendirian menjemput aku…? Tunggu dulu, kamu nggak bermaksud ngejemput aku bareng James ‘kan?”
“James sedang berada di Taizé menemani Kenisha yang diundang Bruder Alois. Mereka berangkat dua hari lalu, balik dua minggu lagi.”
“Kita punya waktu cukup.”
“Untuk apa?”
“Membicarakan banyak hal sebelum semua telanjur.”
“Sudah terlambat. Tanggal pernikahanku sudah ditetapkan: 12 Juli, di Solo.”
“Terlambat?”
“Ya.”
“Berarti, kalau nggak terlambat, seharusnya masih ada kesempatan buatku.”
“Maksudku, sudah terlambat delapan tahun.”
“Dira…”
Diam. Tak ada suara.
“Apa yang membuatmu pulang ke Indonesia kali ini?”
“Indonesia.”
“Ada apa dengan Indonesia?”
“Jangan sampai dirampok maling. Mereka berpeci. Bikin malu.”
“Mau ngapain kamu?”
“Nggak tahu, belum jelas. Setidaknya, kita punya Igor di sana. Juga Anto dan teman-temannya.”
“Ya, tapi apa rencana kamu?”
“Aku sudah bilang: aku belum tahu. Berdiam saja di sebuah kota yang berjarak ribuan miles dari negeriku ketika sebuah perubahan sedang datang dengan diiringi fanfare yang menakjubkan…, bisa jadi aku bakal menyesal seumur hidup. Aku nggak tahu mau ngapain dan bakal segera tahu setelah ketemu Igor.”
“Igor sudah tahu rencana kedatangan kamu?”
“Kamu belum beritahu dia?”
“Lho, apa hubungannya? Aku pikir kamu hanya ingin menghabiskan liburan tengah tahun bersama Abi dan Umi.”
“Kalau begitu, kamu kasih tahu Igor sekarang.”
“Termasuk memberitahu rencanamu yang belum jelas itu?”
“Ya. Kalau perlu, minta dia menjemput aku di Soekarno-Hatta. Toh sudah gak ada gunanya lagi bagiku untuk berduaan dengan mantan istriku. Maksudku…, hampir mantan.”
“Sudah mantan. Aku sudah tandatangan di kantor Akbar.”
“Kelihatannya kamu gak mau buang waktu.”
“Tentu saja.”
“Atau takut berubah pikiran?”
***
Igor menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Urusan ide dan eksekusi, serahin ke gue. Tapi kita mesti punya angle unik tentang Jokowi. Kalau nggak, apa bedanya kita dengan ribuan tulisan di internet yang udah berbusa-busa bicara tentang Jokowi?”
“Soal itu, serahin ke aku,” Maryati menatap Igor, tajam.
“Kamu serius?”
“Sebagai orang miskin, aku lebih peka dalam menghayati Jokowi daripada kamu.”
“Kok cuma aku? Enam cecunguk ini?”
“Gue sensitip, Gor. Apalagi perut gue. Kalau elo perintahkan kita semua sekarang naik ke mobil, lalu ngacir secepat kancil ke rumah elo untuk menikmati Sop ikan Kalimantan bikinan Tante Mar, gue rela jadi tukang ketik dalam rapat kita nanti.” Dido memegangi perutnya.
Lita menginjak kaki Dido. “Baru jam 10, Do.”
“Gue belum sarapan.”
“Kok jadi gua yang nanggung akibat dari keteledoran elo?” Raymond menjitak Dido.
“Brisik!” bentak Igor. “Dengerin. Gue gak punya masalah dengan usulan Maryati. Juga Lita, Stephan, Nico, apalagi Brigitta. Tapi elu Did, sama elu Mon? SBMPTN tanggal 17, sebelas hari lagi. Gimana dengan persiapan elo berdua?”
Raymond terdiam. Dido celingukan.
“Aku yang ngajarin kamu berdua,” Maryati menawarkan diri.
Semua terperangah.
“Begini. Setiap hari kalian datang ke rumah gue jam 6 pagi. Sambil sarapan, kita berenam ganti-gantian ngajarin dua badut ini selama dua jam setiap hari. Ada enam mata ujian, masing-masing kita ngambil beban satu-satu. Setelah itu, kita jalankan pekerjaan kita membantu Jokowi. Sorenya, sebelum bubar, kita kasih soal sama mereka sebagai try-out harian. Kalau dalam tiga hari belum bisa melampaui passing grade dari fakultas yang dituju, mereka kita keluarkan dari kegiatan ini tapi tetap wajib datang setiap pagi untuk mengikuti tutoring. Kita berangkat, mereka tinggal di rumah gue untuk belajar, lalu sorenya ikut try-out lagi. Begitu seterusnya sampai hasil try-out mereka sepuluh persen di atas passing grade. Setuju?”
Dido tertunduk. Raymond menatap Igor. “Oke,” ucap teruna Dayak itu lirih.
“Elu, Do?”
“Oke,” sahut teruna Syria itu sambil tetap tertunduk.
“Trus siapa yang jemput Maryati setiap pagi?”
“Aku.” Brigitta mengacungkan tangan.
Selpon Igor berdering. Teruna itu melirik caller-id di layar gadgetnya dan lantas menekan tombol speaker phone.
“Halo, Tan.”
“Gor, Badru berada di pesawat yang membawa dia ke London as we speak. Dari sana dia terbang ke Singapore dan tiba di Jakarta besok pagi. Dia minta 7-Sekawan ikut aku menjemput dia di Soekarno-Hatta. Aku juga sudah menghubungi Anto agar kumpul besok. Di kantor Kanal-7 atau di rumah kamu?”
“Tunggu dulu. Tante Dir, ini rencana apa?”
“Jokowi.”
Delapan orang muda itu jingkrak-jingkrak. Mereka membayangkan kehebohan baru, kegirangan atas kerja, dan romantika perjuangan.
“Usulanku, cukup Tante Dir yang jemput Om Badru; Om Anto dan begundal geek-nya langsung datang ke rumahku. Ada yang kami berdelapan harus kerjakan besok pagi. Kami nunggu kalian saja di rumah. Lagipula, banyak hal yang perlu Tante Dir bicarakan dengan Om Badru.”
“Bicara apa lagi? Semua sudah klaar. Eh, aku sudah hubungi Tirza, Yono, Brenda, Arif, juga Bayu. Kecuali Tirza, yang lainnya bakal balik ke Indonesia akhir minggu depan.”
“Kenapa kak Tirza gak pulang?”
“Gak dibolehin sama Amanda. Mereka berdua mau berlibur di Los Cabos dulu lalu terbang ke beberapa pulau di Gerika sebelum mendarat di Jakarta. Kayaknya, Tirza baru tiba di sini setelah pilpres.”
“Ada penggantinya kok.”
“Siapa?”
“Maryati.”
“Maryati yang peringkat satu di sekolahmu itu?”
“Dalem, bulik” selak Maryati.
“Brenda, Brigitta, Lita, dan Maryati. Empat kaki meja,” suara Dira terdengar riang.
Wajah Igor memerah. “Maksud loe?” Dia menjauh dari gerombolan itu sambil menekan-balik tombol speaker phone dan melanjutkan percakapan.
“Gila! Trus kita ngapain?” gerutu Nico sambil menendang kerikil di dekat kakinya.
Lita menjepit dada Nico di bagian kanan atas dengan jari telunjuk dan jari tengah lalu memuntir dan kemudian menariknya ke atas. “Maksud loe?”
“Lit, itu puting gue,” jerit Nico.
“Trus?”
“Sakit, gila! Barbarik banget loe.”
episode ke-2: singlet
Mbok Narti menyiapkan sisir dan seutas karet gelang. Dia menunggu di ruang tamu –entah apakah itu sebutan yang pas seakan rumah itu memiliki beranda, ruang keluarga, atau ruang makan. Kenyataannya, itu rumah petak berukuran 4 x 12 yang terbagi atas 4 ruang: ruang depan, kamar tidur, dapur dan meja makan, serta kamar mandi. Oleh standar kelayakan rumah versi WHO, rumah itu pas untuk dihuni oleh 2 orang. Kematian Pak Teguh lima tahun lalu agaknya memang dimaksudkan untuk membuat Mbok Narti dan Maryati berkesempatan menjalani hidup layak. Tengoklah, bersama bergulirnya waktu, kematian pun terasa baik.
“Aku sudah lulus SMA.”
“Mbok ngerti.”
“Rambutku ndak perlu dikuncir lagi.”
“Rambutmu juga lulus SMA ta?”
“Dua bulan lagi kita hidup terpisah, mBok. Aku minta diberi kesempatan untuk mulai bikin keputusan sendiri. Memang ndak mudah. Dua bulan ini mBok masih bisa urun pendapat kalau aku bikin pilihan ngawur. Setelah aku tinggal di Yogya, mBok ndak bakal tahu misalnya aku pakek…, rok mini…..—itu misalnya lho, mBok.”
“Kalau ndak dikuncir, apa ndak sebaiknya dipotong? Dibiarkan tergerai seperti itu bakal merepotkan.”
“Rencanaku begitu. Nanti sore aku mau potong rambut. Uangku banyak. Hadiah satu setengah juta rupiah dari kepala sekolah belum aku pakek sama sekali.”
“Ndak jadi beli telepon genggam?”
“Jadi, tapi yang bekas saja. Mugo-mugo harganya di bawah lima ratus ribu.”
“Karet gelang seplastik di dapur itu aku apakan?”
“Ya buat mbungkus dagangan mBok, to.”
Mbok Narti menyerahkan sisir kepada Maryati. “Kamu juga nyisir sendiri, kan?”
Maryati mengangguk. Dia lantas melangkah ke depan cermin. Mbok Narti menguntil dan berdiri di belakang Maryati.
Di hadapannya terpampang wajah bulat telur dengan rambut keriting panjang berwarna hitam mengilat hingga dua puluh senti di atas pinggang. Sepasang mata yang sebentuk dengan kacang almond –sudut luar sedikit melengkung ke atas— tanpa lipatan epikantik bertengger dengan indah. Hidungnya bangir, sedikit mancung, tidak tinggi, pirus; para perupa dan penata kecantikan menyebutnya sebagai hidung celestial. Di bawahnya, sepasang bibir sedikit merekah dan dengan bibir bawah yang agak tebal memberi aksen kepada seluruh keindahan itu.
Maryati mengumpulkan dan menarik seluruh rambutnya melewati bahu kanan. Dia menelengkan kepala ke kiri lalu mulai menyisir.
“Kamu cantik.”
“Aku tahu.”
“Sombong betul.”
“Piye to? Aku cuma membenarkan pernyataan mBok.”
Terdengar bunyi pintu diketuk.
“Itu pasti Brigitta.”
“Kamu numpak opo?”
“Numpak mobilnya Brigitta.”
“Baru kali ini ada orang menjemput kamu. Sudah lama mBok membayangkan itu: pemuda gagah yang menjemput kamu dengan kegilangan.”
“Igor?”
Mbok Narti menarik napas panjang sambil melangkah ke arah pintu. “Jangan terlalu berharap, nduk. Mimpi jangan ketinggian. Kalau jatuh, kakimu masih kuat menjejak…, ajeg.”
Dia membuka pintu. Wajah yang tak kalah cantik tersua di hadapan.
“Pagi, mBok.”
“Pagi, Gita. Kamu cantik hari ini.”
“Cuma hari ini?”
“Maksud mBok, hari ini kamu lebih cantik.”
Brigitta tertawa renyah. “Aku mau jemput Maryati, mBok.”
“Ya, mBok tahu. Dia sedang sisiran. Ayo masuk. Enggh…, anu…, kamu sekalian bantu mBok di dapur untuk ngangkat bakul-bakul.” Mbok Narti berjalan tergesa. Brigitta mengikuti perempuan itu dengan gagap.
“Mbok mau jualan?”
“Ndak. Ini sumbangan mBok buat relawan Pak Jokowi…, buat sarapan kalian di rumah Igor.”
“Lho kok jadi gini? Tante Maria pasti nyiapin sarapan buat kita-kita. Mana pernah ibunya Igor mengizinkan orang pulang dari rumahnya sebelum kenyang? Nanti makanannya mubazir.”
“Ini juga bakal mubazir, Git…, mBok siapkan untuk 25 orang.”
“Walah, walah, kalau gitu aku telepon Tante Mar dulu supaya gak usah nyiapin sarapan. Mudah-mudahan dia belum masak.”
“Masih jam 5 pagi, dia pasti belum masak.”
“Tante Mar bangun jam 4. Om Jerome juga. Mereka rutin lari pagi.”
“Ayo bawa bakul-bakul ini ke mobil kamu.”
“Bentar mBok. Aku nelpon dulu.”
Brigitta menggesek layar selpon.
Call. Contact. Scroll Down. M. Maria Tobing. Click.
“Pagi Tante Mar.”
“Ada apa, Git?” Suara di seberang terdengar terengah-engah.
“Tante belum masak sarapan kan?”
“Rencanaku, seperempat jam lagi.”
“Nggak usah.”
“Kenapa? Kamu bawa makanan?”
“Mbok Narti nyumbang pecal buat jatah 25 orang.”
Tak ada sahutan.
“Tante Mar…”
Diam.
“Tan…”
“Aku mau bicara sama mBok Narti.”
Brigitta melangkah cepat ke arah dapur dan menyerahkan selponnya kepada mBok Narti.
“Pagi, Git.”
Brigitta terperangah. Dia menutup mulutnya dengan dua telapak tangan.
“Kenapa?”
“Peluangku memang tipis.”
“Ngawur. Yuk kita angkat bakul-bakul ini ke mobil kamu.”
***
Mereka berjalan dengan kecepatan 2 km per jam. Udara masih gelap. Di sekitar mereka, orang-orang berlari kecil.
“Sudah berapa jauh kita berjalan?”
“Tebakan saya, satu setengah kilometer.”
“Anda belum merasa capek?”
“Saya masih sanggup satu kilometer lagi.”
“Jangan memaksa diri.”
“Saya mau hidup sepuluh tahun lagi.”
“Kenapa…”
“Dulu saya berdoa agar diberi usia tujuh puluh lebih sedikit. Sekarang saya berubah pikiran…, minta diberi bonus.”
“Sepuluh tahun terlalu singkat buat saya.”
Lelaki itu menghentikan langkah. Perempuan di sebelahnya ikut berhenti. Mereka bertatapan.
Perempuan itu tersenyum. “Masih kuat?”
“Semoga degup-degup ini bukan pertanda serangan jantung.”
“Itu mobil kita,” seru perempuan itu sambil tergelak. “Sebaiknya Anda tunggu di sana. Saya mau berlari selama setengah jam.” Dia menurunkan celana trainingnya dan meloloskan itu satu persatu melalui kaki dengan tangan kiri bersandar pada pundak lelaki tua di depannya. “Anda tidak berkeberatan untuk membawa ini ke mobil?”
Lelaki itu tak menjawab. Tangannya menerima apa yang diserahkan perempuan itu.
Sekarang, perempuan itu tampak hidup. Dia mengenakan pakaian para pelari: celana pendek ketat yang hanya sepanjang pangkal paha dan kaus ketat tanpa lengan. Warna kulitnya yang coklat pekat nyaris ditenggelamkan warna subuh. Dia ikat rambutnya sebelum mulai berlari. Mula-mula dalam tempo sedang. Berjarak seratus meter, dia naikkan tempo dan akhirnya meluncur untuk bersaing dengan kecepatan gelombang tsunami. Sejurus kemudian, tubuhnya lenyap ditelan kelokan velodrome bagian luar.
Lelaki tua itu terpana. Dia melangkah lambat ke arah mobil dan lalu membuka pintu untuk memasukkan celana training perempuan itu; melemparnya dan menutup pintu kembali. Dia berjalan balik ke lintasan lari di lingkaran luar velodrome. Berdiri di sana. Tegak. Dia ingin bernyanyi tapi sejenak kemudian sadar: pagi akan terluka oleh suaranya. Dia rentangkan tangannya ke samping sambil menarik napas perlahan dan panjang; menahannya selama 10 detik dan lalu menghembuskannya dalam tempo lambat sambil mengayunkan tangan hingga keduanya bertemu di depan membentuk garis yang tegak lurus dengan tubuhnya. Dia tekuk kepalanya dalam-dalam, berhenti selama 10 hitungan dan lalu melemparnya ke belakang, berhenti lagi selama 10 hitungan. Setelah itu dia tegak, merentangkan tangan ke samping dan mengulangi seluruh tahapan.
Dari sisi kiri, terdengar suara perempuan itu kembali. Berteriak. Dan berlari.
“Sesudah sarapan, kita pergi ke rumah Jerome.”
“Ada apa di sana?”
“Igor minta saya datang untuk menghadiri rapat.”
“Rapat apa?”
Perempuan itu menghilang.
Lelaki tua menarik napas panjang sambil merentangkan tangan ke samping. Dia serius ketika berkata ingin hidup hingga berusia 83 tahun. Tiba-tiba dia merasa kuatir: sampai kapan dia masih bisa bertahan mandiri tanpa menyusahkan orang lain? Perempuan itu bilang, dia ingin menemaninya. Bukankah itu sejenis penjara? Sepuluh tahun adalah separuh dari masa hukuman penjara seumur hidup. Itu terdengar kejam. Dan ngilu. Dia tak punya nyali untuk berlaku sesadis itu. Kalau untuk dua atau tiga tahun, bolehlah. Lalu? Setelah itu?
Sampai dengan Desember kemarin, dia sanggup hidup sendiri selama delapan tahun pasca-kematian Debora. Tak seluruhnya sendiri. Setiap Jumat malam, Jerome dan Jehezkie, dua anak lelakinya, bergantian datang untuk menantangnya main catur. Setiap hari Minggu, dia girang bercengkerama dengan tujuh cucunya. Setiap hari Senin, Kenisha, cucu istimewanya, datang untuk menginap sehari penuh.
“Rapat perencanaan relawan Jokowi.”
“Siapa mereka?”
“Cucu Anda dan teman-temannya. Juga Badru yang hari ini mendarat dari Granada.”
“Dia datang untuk membawa Anda pergi?”
Perempuan itu menghilang lagi.
***
Paimo bersandar di dinding Masjid. Lima orang santri duduk di sekitar dia.
“Apa buktinya kalo Jokowi cino?”
“Tabloid ini,” Sukron menyorongkan Tabloid Obor.
“Itu bukan bukti. Aku sudah baca. Mereka nggak nyebut sumber berita, nggak nunjukin foto-foto atau dokumen resmi. Kalau ada salinan akte kelahiran Jokowi yang mbuktikan dia Cino, baru aku percaya.”
“Mosok kita ndak percaya sama pers?”
“Pers opo? Kalau kamu punya modal, kamu juga bisa bikin tabloid, atau buletin, atau majalah. Kamu bisa nulis seenak kamu.”
“Kan bisa dituntut?”
“Betul.”
“Kenapa Jokowi ndak nuntut?”
“Siapa yang mau dituntut? Tabloid ini ndak jelas kantor redaksinya, siapa pemrednya, siapa penanggungjawabnya. Lha kok sampeyan percaya sama sumber yang nggak jelas?”
“Gini, Mo,” Syaiful angkat bicara. Dia bertubuh tinggi besar. Rahangnya kokoh, sorot matanya tajam. Suaranya ringan tapi tegas, mirip Maruli Sitompul, aktor jadul yang sudah modar. “Tabloid ini memang ndak jelas. Tapi, bagaimana kalau ternyata itu benar? Kita gak boleh berpikiran spekulatip membiarkan kemungkinan itu terjadi. Lima tahun kita bakal diapusi Zionis, Cino, Kristen.”
“Kon iki seru banget. Yang bener yang mana: Jokowi Cino atau Yahudi atau Kristen?”
“Tiga-tiganya.”
“Kok bisa?”
“Kata tabloid ini begitu.”
“Kalau dia Cino, ndak mungkin dia jadi agen Zionis. Kalau dia agen Zionis, ndak mungkin dia Kristen. Kok ngawurmu kebangeten?”
“Kalau salah satunya bener?”
“Buktimu opo?”
“Ndak perlu bukti. Kita hanya berjaga-jaga?”
“Halah. Ruwet. Kalo ada tabloid lain yang omong bahwa Prabowo iku agen iluminati, piye?”
“Ndak mungkin.”
“Lho, kata sampeyan kita kudu jaga-jaga? Siapa tahu itu bener.”
“Yang pasti tabloid itu ndak ada; tabloid obor ini ada.”
“Tabloid itu memang ndak ada karena Mas Jokowi ngelarang relawannya untuk melakukan kampanye hitam. Padahal kubu lawannya tegel, Ibunya Mas Jokowi dibawa-bawa, difitnah, dirasani. Aku yo miris, Pul.”
Diam. Masing-masing terpekur. Kokok ayam terdengar dari kejauhan.
“Sampeyan yakin Jokowi ku Islam tulen?”
“Paling nggak, aku punya bukti.” Paimo mengambil gulungan kertas di balik tubuhnya: berlembar-lembar poster, lalu membagikan mereka satu per satu.
“Ayo diteliti. Di poster ini ada foto-foto Mas Jokowi waktu menunaikan ibadah haji sama keluarganya. Kalau sampeyan ndak percoyo, sampeyan boleh manggil Mas Roy Suryo ntuk mbuktikan apa foto-foto ini hasil rekayasa, apa gambar-gambar ini hasil montage.”
“Roy Suryo ndak punya waktu, Mo. Dia lagi sibuk ngurusi sepakbola Indonesia yang ndak genah-genah; juga bulutangkis yang terengah-engah.
“Ya cari orang lain. Aku bisa minta temenku di Jakarta untuk menyelidiki poster ini. Dia pasti punya temen yang bisa diminta tolong. Bapakku sama almarhum bapaknya konco apik.”
“Sopo?”
“Maksudmu?”
“Temenmu iku sopo? Maksudku, jenenge sopo?”
“Maryati.”
“Yang fotonya ada di dompetmu terus itu?”
Hari masih remang. Tapi muka Paimo jelas memerah.
***
Mereka bersarapan di cabana dekat kolam renang. Taruli, adik Igor yang berusia 11 tahun, menyuguhi semua orang dengan susu kedelai resep Amanda Wilde. Maryati menuang sambal pecel ke piring orang-orang yang berbaris antri. Di punggung kolam renang yang berbentuk badan gitar, Lita memainkan gitarnya: Mood For A Day. Dia menyita perhatian semua orang. Ketukan pada badan gitar yang menyelingi kocokan di bagian pembuka menghadirkan derap kegirangan hidup. Seluruh nada terdengar bersih. Jemarinya lincah berlarian dari kiri ke kanan. Jerome terusik. Permainan Lita sampai pada sebuah bagian: melodi bass menjelujur pepat terbunyikan jernih. Itu komposisi lawas ketika idealisme dan sukacita masih jadi modal utama dalam berkarya.
Jerome berdiri sepuluh langkah dari gadis itu, memandang ke kejauhan, berusaha menemukan 32 tahun yang hilang.
Igor mengunyah nasi pecel sambil memejamkan mata. Ini sarapan sempurna: jam 6 pagi berteman susu kedelai. Sejenak kemudian dia teringat sesuatu lalu meraih gadget koreanya, memilih aplikasi kamera, mengarahkan bidikan ke nasi pecel di piring, dan menjalankan aplikasi kirim-pesan. Ia cari sebuah nama dan melampirkan hasil bidikan ke pesan yang ingin dikirim. Lima detik kemudian, pesan itu sudah terbang menyeberang benua.
Di seberang meja, ayahnya memperhatikan apa yang dia lakukan.
Terdengar buzz dari selponnya.
What’s that?
Igor mengetik cepat: Pecel rice.
I don’t get it.
The one that you ate a year ago when you picked me up at school. You said: this is the most delicious Indonesian food beside rendang.
Tiga puluh detik kemudian selponnya berdering. Igor tersenyum, menggesek tombol hijau dan menekan tombol speaker phone.
“Nasi Pecel yang lezat itu?”
“Ya.”
“Kamu sedang berada di mana?”
“Di rumah.”
“Ini jam 6 pagi di Jakarta, bukan? Bagaimana kamu bisa mendapatkan nasi pecel dari sekolahmu?
“Dibawa oleh puteri dari penjualnya ke rumah ini.”
“Apa yang sedang terjadi?”
“Kami punya Obama: orang yang berangkat sebagai rakyat untuk maju ke depan memimpin Indonesia. Obama tinggal di Jakarta dan berjalan kaki ke sekolah, lelaki ini menghabiskan masa kecilnya di bantar sungai. Obama tekun belajar hingga meraih pendidikan tinggi, lelaki ini pun demikian namun memilih untuk jadi pengusaha kecil hingga kemudian jadi besar. Obama memasuki dunia politik dengan menjadi senator, lelaki ini memulai karir politiknya sebagai walikota di kota kecil sebelum kemudian menjadi gubernur Jakarta. Obama mencalonkan diri sebagai presiden dengan sokongan rakyat, lelaki ini didorong rakyat untuk bertarung dalam pemilihan presiden. Obama mengandalkan dana kampanyenya kepada sumbangan rakyat, demikian pula dengan lelaki ini. Obama cerdas dan berkekayaan sejuta elokuensi, lelaki kami ini berkekayaan hati. Dia bernama Joko Widodo. Kami memanggilnya Jokowi, mirip nama petenis Jokovich.
Lelaki ini bertarung dengan seorang mantan jendral yang punya modal ratusan juta dolar. Jokowi tak bisa dan tak mau mengandalkan siapapun kecuali rakyat Indonesia. Sekarang kami berkumpul, merencanakan banyak hal dalam mendukung dia. Om Anto dan teman-temannya sebentar lagi datang. 7-Sekawan sudah hadir lengkap. Pesawat yang membawa Om Badru dari Spanyol bakal mendarat dalam 1-2 jam lagi. Arief, Brenda, Yono dan Bayu mungkin sedang berkemas dan bersiap untuk terbang ke Indonesia. Ini pertarungan terbesar buat kami. Akan kami pastikan: Indonesia milik rakyat, bukan kepunyaan para cukong dan tukang tadah.
Dia orang baik, Mommy. Dia berpihak kepada orang-orang tersingkir, memeluk mereka yang kalah, menyantuni orang terbuang, dan tertawa riang bersama orang-orang miskin. Sejak negeri ini berdiri, kami belum pernah punya calon pemimpin seperti dia.”
“Kamu terdengar bersemangat.”
“Aku marah.”
“Itu bukan awal yang baik. Kemarahan akan mengisap tenagamu. Saat memasuki gelanggang, kamu sudah tak punya apa-apa karena seluruh tenaga telah dikonsumsi oleh kemarahan.”
“Dalam segala hal, sang jendral itu kalah dengan Jokowi. Aku ulangi: dalam segala hal. Jokowi punya prestasi gemilang; jendral itu punya kenaikan pangkat beruntun dalam satu setengah tahun karena mertuanya adalah presiden kedua Indonesia. Jokowi mengangkat orang kecil untuk hidup lebih baik, jendral itu menculik suara-suara kebebasan untuk dibungkam di liang keji. Jokowi melayani rakyat, masuk ke lorong dan gorong kemiskinan, jendral itu dilayani oleh para punggawa dan memamerkan kedigdayaan dengan berkuda seharga satu milyar sembari hilir-mudik naik helikopter. Jokowi punya semua yang dibutuhkan untuk jadi pemimpin, jendral itu tak punya apa-apa untuk ditawarkan kepada rakyat Indonesia. Jendral itu lalu bertarung secara licik: dia lucuti kegemilangan Jokowi melalui fitnah dan kabar dusta yang diwartakan ke seluruh negeri oleh mesin-mesin kebohongannya.”
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Yang mana?”
“Apa yang membuat puteri penjual nasi pecel membawa dagangannya ke rumah kamu.”
“Ini sumbangan Ibunya untuk perjuangan kami.”
“Wow! Apa yang bisa kulakukan untukmembantu kalian?”
“Jangan. Kamu orang Amerika. Nanti seisi negeri ini menduga Jokowi didukung mesin kapitalisme.”
“Aku tak boleh melakukan apapun untuk mendukung perjuangan orang baik?”
“Setidaknya kamu bisa berdoa.”
“Itu upaya yang sangat lemah…, malah murahan. Doa seringkali dijadikan alat untuk menyingkir dari pelibatan moral kepada sesuatu yang baik namun berisiko.”
“Kamu terdengar seperti Kenisha.”
“Dia puteriku. Bagaimana tidak?”
“Kapan kamu tiba di sini?”
“11 Juli.”
“Kamu bakal melewatkan pesta besar.”
“Aku tahu. Tapi aku dan Tirza sudah berjanji untuk untuk hadir di rumah pemilik Virgin Air di Los Cabos.”
“Itu cuma perayaan, yang ini perjuangan.”
“Ya, tapi katamu, aku tak boleh melakukan apa-apa di sana.”
“Setidaknya hadirlah sebagai pemberi semangat.”
“Kehadiranku berguna untuk menyemangati kamu?”
“Lebih dari yang kamu kira.”
Sela. Hening. Semua yang berada di Cabana berdebar-debar.
“Aku akan timbang-ulang rencana kepergianku ke Los Cabos. Besok aku kabari.”
“Ada yang menunggumu dengan cemas di sini,” selak Lita sambil mengerling pada Jerome.
Hening lagi.
“Kamu tak mau kehilangan Nasi Pecel mBok Narti, ‘kan?” Maria meningkahi.
“Juga ketupat ketan buatan Surti dan sop ikan Kalimantan buatanmu,” sahut Amanda dengan nada lemah. “Ya, aku tak mau kehilangan itu semua.”
“Jadi?” Stephan cenderung menjerit.
“Aku harus hubungi produserku untuk menggeser jadwal shooting tiga bulan ke belakang. Itu tak mudah. Kalian tahu, setiap kali berkunjung ke Indonesia, aku selalu cedera janji kepada pekerjaanku di sini. Negeri kalian adalah candu bagiku.”
“Indonesia… atau salah seorang dari Indonesia?” goda Raymond.
“Kalian semua dan Indonesia. Yang satu itu…, cuma masa lalu.”
“Kamu keliru,” selak Maria, “Kenisha bukan masa lalu.”
Lita memetik gitar. Birama tiga ketuk. Sebuah chord terdengar berulang, menunggu seseorang—entah siapa—memulai nyanyian. Jerome tersenyum. Mereka bertatapan. Selpon Igor tetap aktif. Lita menggerakkan kepala, meminta Jerome bernyanyi. Sebentar kemudian suara lelaki berusia 49 tahun itu terdengar. Lita membarengi. Brigitta menimpali. Dengan phrasering yang prima mereka bertrio: ( klik tautan lagu ini )
Born from the sky,
we are born to this land.
From a dream, so far away,
I was sent to your heart.
With the stars shining,
we are asked to live as one love.
Never forget, this is.
Trust me to be singlet,
we will sing on the days.
When each voice will be a witness,
each will sing every way.
There’ll be no more empty promises,
we are turning a special page of life.
I will be the one to hold you
in this everlasting dance of love……..
***
Sesosok tubuh muncul dari pintu kaca. Mengenakan kaca mata hitam, lelaki itu nampak sehat, cergas, cemerlang. Dira memeriksa dirinya, kuatir ada degup liar yang muncul tanpa pamit. Lelaki itu melambai dengan tawa segar tanpa beban. Berjarak tiga langkah, dia berhenti.
“Aku boleh memelukmu?”
“Pertanyaan itu menghadirkan kemungkinan bagi penolakan.”
“Kalau begitu, aku tarik pertanyaanku dan langsung memelukmu.”
Pelukan itu hangat. Dira tak percaya kalau dia masih merindukannya. Dengan rasa berat namun risih, dia dorong tubuh lelaki itu pelan. Sekarang sebuah kecupan lembut bersarang di kening. Bekas cukuran jenggot terasa mengusik.
“Kamu cantik.”
“Secantik apa?”
“Secantik perempuan yang tak bisa hilang dari ingatan.”
“Dusta. Kamu meninggalkan aku selama delapan tahun.”
“Itu keluhan?”
“Bukan, sekadar mengingatkan.”
“Kita naik taksi?”
“Nggak. Kita harus berjalan ke areal parkir. Mobil ada di sana.”
Dengan tas ransel di pundak kiri dan koper di tangan kanan, lelaki itu berjalan tegap. Dia betul-betul peduli dengan apa yang dinamakan pose.
Mereka bermaksud menyeberang jalan. Klakson terdengar. Lelaki itu menoleh. Sebuah wajah berhijab nongol dari kaca mobil yang diturunkan.
“Badru,” seru wajah itu.
“Alida.” Badru menghampir Ford Ecosport berwarna merah. Mereka bersalaman.
“Bukankah kamu di Somalia?”
“Aku liburan semester di Jakarta.”
“Sejak kapan kerja kemanusiaan mengenal istilah liburan semester?”
“Sejak perempuan Indonesia ada di sana.”
“Kamu terlihat sehat dan segar.”
“Bagaimana kabar Chapin?”
“Mana aku tahu. Aku baru tiba dari Granada.”
“Liburan semester juga?”
“Nggak. Cuma mau bikin heboh Jakarta.”
“Chapin baik,” selak Dira. “Kanal-7 yang dia pimpin maju pesat.”
“Aku mau ketemu dia.”
“Kenapa nggak sekarang saja?”
“Mana alamatnya?
“Kamu tahu kompleks pertokoan Belanova di Sentul?”
Perempuan itu menanyakannya kepada sopir. Lima detik kemudian, dia berucap tegas, “Yep.”
“Kita ketemu di sana lalu jalan bareng ke tempat dimana Chapin akan berada dalam 1 jam lagi.”
“Sure do.”
Klakson terdengar dari belakang.
“Sampai ketemu di sana.”
Mobil merah melaju. Badru dan Dira menyeberang.
“Kamu gila?”
“Yang mana?”
“Mengumpulkan Chapin, Aku, Alida dan Om Benjamin di satu tempat?”
“Aku percaya kalian akan baik-baik saja.”
***
“Loe jadi jemput gue, ‘kan?”
“Gue dalam perjalanan ke rumah elo.”
“Jangan telat, nanti Chapin ngamuk.”
“Biarin aja dia ngamuk. Makin beringas, dia makin sexy. Gue setuju sama Igor: Chapin dulunya mantan finalis Miss Universe, wakil dari Zimbabwe.”
“Loe ngomongin soal cewek dewasa sama Igor?”
“In a good way.”
“Define ‘good’!”
“We were talking about her personality.”
“Apa hubungannya dengan beringas dan sexy?”
“Gue juga nggak tahu.”
“Yoram.”
“Apa?”
“Igor remaja baik. Jangan loe racunin.”
“Sumpah! Gak sama sekali. Waktu itu gue lagi ngobrol sama Igor di kantor. Chapin lewat, terus secara gak sadar gue ngelihatin dia sampai dia menghilang ke dalam ruangan. Igor langsung komentar: Chapin pasti mantan finali Miss Universe sepuluh tahun lalu. Gue bilang, gue juga curiga seperti itu. Itu doang.”
“Berapa menit lagi loe nyampe?”
“Sepuluh.”
“Gue tunggu elo di depan pagar.”
“Be right there.”
***
Kamu baik-baik saja, Mar?
Kabarku apik, lulus dengan nilai UN peringkat ke-1 di sekolahku. Kabar Mas Paimo?
Ndak ada UN di sini, aku gak punya kabar mengagumkan seperti kamu.
Kabar lainnya?
Biasa-biasa saja. Aku lagi membentuk barisan relawan Jokowi. Anggotaku masih sedikit. Terlalu banyak fitnah. Aku ngarep Kyai Muslih bantu aku. Tapi kayaknya dhek e netral. Aku bingung. Netral itu kalau dua capresnya sama-sama bagus, sama-sama bermoral. Iki ndak, bedanya kayak langit dan bumi. Yang satu main jujur, satunya lagi main kayu. Kok orang baik bisa netral ngeliat keadaan seperti itu?
Aku juga lagi merencanakan sesuatu buat ndukung Pak Jokowi. Temen-temenku banyak. Mereka bersemangat, mau kerja habis-habisan.
Wah hebat kamu.
Bukan aku yang mimpin…, teman sekolahku.
Rencana kalian apa?
Belum tahu, ini baru mau rapat.
Aku dikabari ya.
Nggih.
Siapa tahu ada yang bisa kita kerjasamakan.
Mugo-mugo.
“Paimo…”
Aku dipanggil Kyai Muslih. Nanti kita sambung lagi.
“Dalem, Yai.”
“Kocomotoku ndi?”
“Kayaknya tertinggal di kamar mandi.”
“Kok ndak kamu ambil.”
“Aku ambil sekarang.”
Paimo menutup aplikasi kirim-pesan di selponnya.
***
Pertemuan diadakan di lantai atas. Anto dan rombongannya tiba lebih dulu. Disusul Chapin dan Benjamin. Lelaki tua itu sedikit rikuh. Semua orang bersikap normal. Maria memeluk Chapin dan sejenak tertegun melihat wajah mertuanya yang sumringah.
Badru dan Dira datang kemudian. Di belakangnya, mengikut Alida. Chapin menghambur ke pelukan Alida dan mendekapnya erat. Matanya berkaca-kaca. Sambil menikmati nasi pecal, mereka berbincang berdua, terpisah dari orang-orang.
Yoram dan Derina jadi peserta rapat yang datang paling belakangan. Tidak terlambat. Persis jam 10:30. Chapin mengacungkan jari jempol kepada mereka. Taruli bolak-balik bertanya kepada setiap orang jika ada hal lain yang perlu disediakan. Chapin memanggil Taruli untuk bergabung bersama mereka. Kita sama-sama pemilik rambut keriting, katanya sambil memegang rambut Taruli yang hitam bercahaya. Alida berlari ke luar rumah, mengambil sesuatu dari mobil. Dia kembali dengan kotak berukuran 20 x 20 bertinggi 5 senti dan memberikannya kepada Taruli. Kotak itu masih dingin. Ini kue Samosa dari Somalia, kata Alida, Aku selundupkan ke pesawat dan minta tolong pada awak kabin untuk memasukkannya ke dalam freezer. Ini kue terlarang di Somalia, katanya lagi, bentuknya yang segitiga dicurigai penguasa setempat sebagai lambang trinitas Kristen. Alida mengajak Taruli dan Chapin mencobanya. Itu mirip risoles namun lain bentuk, berisi sayuran dan daging cincang. Enak betul, seru Taruli langsung sesudah gigitan pertama.
Ketika masih berada di cabana, Badru menjelaskan topik pertemuan mereka secara singkat. Dia menawarkan kesempatan kepada Alida untuk bergabung. I’m in, sambut perempuan berhijab itu tegas. Semua orang bertepuk tangan. Taruli memaksa Badru berjanji untuk melibatkan gadis kecil itu dalam gerakan mereka. Pasti, sahut Badru, kamu bertanggungjawab terhadap keselamatan perut kami.
Hal pertama yang mereka bincang dalam pertemuan itu adalah memetakan keadaan terkini dari pertarungan Jokowi dan Prabowo. Derina menyodorkan kajian yang dibuat oleh tim riset Kanal-7. Jerome ikut berkomentar. Benjamin tak ketinggalan. Juga Maria. Amanda ikut hadir melalui layar skype. Dari sana, mereka telisik apa yang masih jadi kelemahan dari kampanye Jokowi. Semua orang setuju dengan pendapat Igor bahwa Prabowo tak punya keunggulan apapun. Mudah diduga, strateji perang kelompok jenderal ini adalah merusak citra Jokowi dengan isyu dan disinformasi untuk melucut semua keunggulan capres dengan nomor urut 2 itu.
Maria angkat bicara. Semua isyu dan fitnah kelas comberan yang dimainkan kelompok Prabowo tidak bisa ditangkal dengan data dan fakta –sekuat apapun itu. Fiksi hanya bisa dilawan dengan fiksi, kata perempuan berusia 47 tahun itu. Kita harus membangun narasi kuat yang menemalikan Jokowi dengan rakyat. Jika dia pemimpin yang lahir dari rakyat dan berbicara dengan suara rakyat, tidak sukar untuk merumuskan narasi semacam itu. Sesudahnya, barulah kita rancang agenda aksi dan kegiatan. Kita tidak boleh bergerak serabutan dengan hanya memasang poster, mengumpulkan orang untuk bicara yang itu-itu saja, apalagi merancang keramaian tak berguna.
Maryati berdiri. Wajahnya teduh. Untuk beberapa detik, dia tatap Igor. Maria tergetar. Ketara betul Maryati ingin agar Amanda Wilde bisa mengikuti gagasannya. Dia mengulangi apa yang kemarin pagi disampaikannya kepada Brigitta namun kali ini dalam bahasa Inggris yang bersih. Ada aksen Jawa di sana, membuat tuturannya terasa natural.
“Sejarah hidup Jokowi adalah teladan unggul bagi rakyat Indonesia untuk bersegera mengubah diri, untuk merebut kembali kejayaan Nusantara yang telah dirampas para koruptor, orang-orang tamak, dan pebisnis culas. Menyerahkan kekuasaan republik ini kepada seseorang yang seumur hidupnya dimanja dan memanja diri dengan limpahan fasilitas serta bantuan orang besar adalah penghinaan kepada rakyat Indonesia yang rela bekerja keras, jujur, tekun, dan rela berkorban. Sejarah hidup jenderal itu bukan jati diri Indonesia. Jokowilah identitas Indonesia.”
Maria berdiri dengan wajah tersima. Semua orang memandang dia. “Itu yang kumaksud..., rumusan itu yang kita cari.” Dia sekarang melangkah ke depan, berdiri di sebelah Badru. “Jokowi adalah identitas Indonesia,” suaranya dipenuhi getaran yang meluap. “Jokowi adalah identitas Indonesia,” ulangnya lagi. “Itu jauh melampaui kontestasi calon presiden. Jika dunia ingin memahami Indonesia, mereka bisa melihatnya melalui Jokowi. Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden Indonesia, seluruh rakyat akan menjadikan Jokowi sebagai rujukan bagi masa depannya masing-masing. Apa yang diperjuangkan Jokowi di sepanjang hidup dan kemudian dia abdikan kepada rakyat negeri ini adalah cara Indonesia dalam membangun kemuliaan: rajin, tekun, bersahaja, gigih, jujur, terbuka kepada seluruh manusia, adil, berbela-rasa, berani berkorban dan tak gentar menghadapi tantangan, bersikap hormat kepada tradisi, tak jeri berhadapan dengan perubahan, sigap, berani mengambil keputusan dan teguh dalam eksekusi. Tolong katakan padaku, yang mana dari semua itu yang bukan sifat Jokowi?”
Tak ada sahutan.
“Itulah Jokowi. Itulah Indonesia yang mau kita bangun kembali. Itulah identitas Indonesia.” Maria menatap Maryati. “Kamu luar biasa,” pujinya sambil menghampir gadis itu dan memeluknya.
“Seperti singlet,” sambut Rakesh, lelaki dari Mombay yang berada di kelompok Anto.
“Maksud anda kaus singlet?” Raymond terbelalak.
“Maknanya mirip seperti itu. Tapi singlet yang saya maksud adalah sebuah terma yang dikenal dalam fisika kuantum. Sepasang partikel dengan putaran ½ dapat dikombinasikan untuk menghasilkan 4 kemungkinan. Tiga dari 4 kemungkinan itu menghasilkan putaran 1 yang disebut triplet; kemungkinan ke-4, karena hanya 1 maka disebut singlet, menghasilkan putaran 0. Pada triplet, probabilitas untuk menemukan dua elektron pada titik yang sama dalam ruang adalah nol. Dengan kata lain, dalam triplet, dua elektron memiliki kecenderungan untuk menghindar satu sama lain. Di keadaan singlet, ada kemungkinan-lebih untuk menemukan dua elektron pada titik yang sama di dalam ruang. Dua elektron tertarik satu sama lain sehingga menghasilkan putaran 0. Dalam metafisika, putaran 0 disebut diam.”
“Menurut kak Kenisha,” selak Taruli, “dalam numerologi, 0 adalah lambang untuk tidak-yang-mutlak…..ups…,” gadis itu menutup wajahnya dengan dua tangan. “Aku kuatir telah mengucapkan sesuatu yang kacau dan tak ada hubungannya sama sekali.”
Rakesh menghampir Taruli dan mengusap kepala gadis itu. “Kamu telah menajamkan apa yang aku katakan. Dalam keadaan singlet, dua partikel itu tak terpengaruh oleh hal-hal di sekitarnya. Mereka saling hisap bukan untuk meniadakan satu sama lain melainkan, jika dihubungkan dengan spiritualitas, berada dalam kesadaran penuh bahwa mereka tidak dapat dipisahkan. Keadaan singlet secara mutlak meniadakan hal-hal lain.” Lelaki Mombay itu menoleh kepada Raymond. “Demikianlah kaus singlet yang baik. Kaus tersebut harus terbuat dari bahan dan berpotongan tertentu –sedemikian hingga ia seolah tak terpisahkan dari tubuh pemakainya. Tubuh yang mengenakan kaus singlet harusnya tak merasakan ada benda lain yang berada di antara sang tubuh dan pakaian.”
Satu menit tanpa suara.
Selanjutnya, mereka menyusun organisasi dan memilih orang-orang yang tepat. Hampir semua berusul agar Badru yang menjadi ketua. Lelaki itu menolak tegas. Tidak ada yang lebih cocok daripada Igor untuk memimpin kita, katanya dengan tatapan tajam ke semua orang. Mereka lalu mencari orang yang pantas menjadi wakil Igor. Brigitta angkat tangan dan mengusulkan nama Maryati. Dari layar Skype, Amanda Wilde mengacungkan ibu jari. Semua orang setuju. Maryati tersipu. Badru menawarkan diri untuk jadi sekretaris. Mungkin, tepatnya, sekjen, katanya. Tak ada yang menolak. Yoram duduk sebagai direktur program, Derina sebagai direktur riset. Anto dan rombongannya tentu saja kebagian jatah untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan telematika. Brigita dan Lita bergabung dengan Yoram di direktorat program. Dido, Raymond, dan Stephan mengurus semua perlengkapan. Alida didapuk sebagai direktur komunikasi.
Sisa hari itu dihabiskan untuk curah pikiran. Mereka pulang dengan tugas utama: masing-masing memikirkan program yang cocok untuk dikerjakan dalam mewujudkan apa yang telah disampaikan Maryati, Maria, dan Rakesh. Tentu saja tugas utama ada pada Yoram.
Mereka berjanji untuk berkumpul lagi pada hari Senin pagi jam 8:30 di kantor Kanal-7 setelah 7-Sekawan menyelasaikan programtutoringbuat Raymond dan Dido.
episode ke-3: Bawang Merah
Musik menggelegar, membangunkan pagi. Yoram memasuki kotak kaca dengan tergopoh sambil memasukkan t-shirt ke dalam celana jeans, merapikannya sejenak lalu menghempaskan napas dengan lega. “Aku telat bangun,” katanya pada Derina, “baru tidur jam dua ngetik rencana kerja kita.”
Derina bangkit dan menendang kursi Yoram.
“Sumba gila,” rutuk Yoram. “Aku bersumpah nggak bakal jatuh cinta sama kamu,” lanjutnya sambil memasang headphone di kepala.
“Aku?” Derina ngakak, “kamu?” lanjutnya lagi.
Yoram mengucap kata tanpa suara sembari menggerak-gerakkan tangan seakan tak mendengar apa yang Derina katakan. Dari balik kaca, Anwar mengacungkan lima jari. Lalu empat, dan tiga, kemudian dua, satu, berakhir di kepalan tinju.
“Selamat pagi tolan radio Kanal-7, selamat pagi Indonesia, selamat memulai hari. Dari kebisingan roda dan suara starter mobil di garasi rumah-rumah, Derina Zasa hadir menemani Anda untuk menemukan perspektif baru di hari yang baru. Ini hari Senin, hari yang sama dengan pekan lalu, bulan lalu, tahun lalu, dan seabad lalu. Tapi ini hari baru. Ini Senin yang baru sebab kita percaya: Sang Hidup menjadikan segala sesuatunya baru.”
“Dan di sebelah perempuan tak bermutu ini, saya, Yoram Mangundap, bertugas sekuat tenaga untuk menjaga Anda tetap waras dari romantisisme jaman Barok yang ditawarkan Derina –romantisisme yang sebetulnya sudah tak laku lagi dalam hidup kita semenjak The Beatles bersabda: words are flowing out like endless rain into a paper cup; they slither while they pass, they slip away across the universe. Dominasi tertentu selesai karena telah tiba giliran bagi sabda orang Baduy dan firman orang Tomohon menyelinap pergi, menembus batas-batas, berhamburan ke seantero jagad raya.”
“Gerakan non-blok didirikan pada tahun 1970 melalui deklarasi Havana. Ada 100 negara yang menjadi anggotanya untuk berkata tegas bahwa mereka tidak bersekutu dan tidak ambil bagian dalam kebijakan maupun kegiatan yang dikerjakan blok barat mapun blok timur. Gerakan ini bertujuan untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni serta sekaligus menentang segala bentuk blok politik. Gerakan non-blok merepresentasikan 55% penduduk dunia.”
“Pada masa itu, Indonesia dikenal luas karena kepemimpinannya yang kuat dalam gerakan ini. Presiden Soeharto dan Presiden Anwar Sadat acap tampil di panggung untuk menyuarakan sikap gerakan non-blok atas perkembangan dan situasi terbaru. Dari pentas aneka peristiwa yang mengitari gerakan non-blok, kita mengenal, mencatat dan seterusnya mengenang nama Adam Malik yang moncer karena kegesitannya dalam memainkan peranan gerakan non-blok. Tak sepenuhnya gerakan ini berhasil karena kuatnya hegemoni blok barat dan blok timur melalui pengaruh ekonomi dan militer mereka. Namun setidaknya, dunia memperhitungkan mereka.”
“Pagi ini kita akan mempercakapkannya berkait dengan sikap rakyat Indonesia dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung satu bulan dari sekarang.”
“Siapa yang harus berada di kelompok non-blok, siapa yang harus bersikap netral dan pada saat apa netralitas itu kita pegang teguh.”
“Kanal-7 akan membuka saluran telepon bagi para tolan yang ingin curah pendapat dalam acara ini. Jangan kemana-mana, pastikan headset dari gadget Anda tetap menempel di telinga. Setelah klenengan beberapa pedagang berikut ini, kami akan kembali menemui tolan sekalian. Tetaplah di Kanal-7, radio internet.”
***
Paimo berjalan dari satu rumah ke rumah lain. Dia membawa lebih dari seratus lembar poster. Beberapa anak kecil yang berpapasan dengannya minta jatah, Paimo tak latah. “Nanti, sesudah orang dewasa kebagian, kamu boleh ambil sisanya buat dilipat untuk kapal-kapalan,” katanya.
Orang-orang tua menyambutnya ramah. Mereka girang melihat gambar Jokowi bersama Iriana dan dua anak mereka berpose di depan Kabah. Satu foto lagi memperlihatkan beberapa jamaah haji laki-laki berpose bareng Jokowi dan anak lelakinya.
“Katanya, Jokowi Kristen?”
“Kristen kok naik haji, nyai?
“Trus tabloid itu?”
“Gombal.”
“Gombal opo? Tabloid kok gombal?”
“Nanti kalo saya punya duit, saya bikin tabloid; saya beritakan Nyai punya suami dua.”
“Hus, ngawur. Kamu nanti ditangkep.”
“Saya bakal ditangkep kalau nyai lapor. Banyak, nyai, banyak tablod gombal, koran-koran pontal, juga tivi-tivi gatal.”
“Ini bukan poster gombal?”
“Ndak. Makanya saya tulis nama, alamat, dan nomor ponsel saya di setiap lembar. Kalo ada yang keberatan dengan isi poster ini, atau kalau ada yang nyangka saya sedang menyebar kabar bohong, silakan hubungi saya. Kalau perlu, adukan saya ke kantor polisi atau kemana saja.”
“Sampeyan diupah berapa nyebar-nyebar poster ini,” seorang lelaki berambut cepak yang tak begitu dikenal, mojok di dekat kentongan bale warga.
“Sampeyan keleru, Mas. Saya ndak dibayar. Saya sendiri yang datang ngajukan diri untuk nyebar poster.”
“Naïf. Nanti kalo Pak Jokowi sudah dadi presiden, gak mungkin dia ingat sampeyan. Lebih baik ngerjakan yang jelas-jelas saja. Kalau disuruh, ya minta honor. Nek wis dadi presiden, Jokowi ingkar janji, sampeyan ndak rugi apa-apa.”
“Ojo dibalik to, Mas. Saya yang kepingin Jokowi jadi presiden.”
“Sampeyan kepingin opo buat diri sampeyan sendiri?”
Paimo tak tahu. Dia sungguh-sungguh tak tahu. Selintas wajah Maryati bekerjapan di dalam benak. Dadanya berdebar kencang.
***
“Kamu mau ambil jurusan apa?”
“Maunya sih bareng Igor: hukum.”
“Kenapa mesti bareng Igor?” Maryati menepis rambut panjangnya ke belakang.
“Seru aja.”
“Hasil try-out kamu kemarin 32%; masih jauh dari 48%. Waktu tinggal delapan hari lagi. Apa ndak kepikir untuk nurunin target.”
Dido tercenung.
“Jurusan apa yang sebenernya jadi minat kamu?”
“Politik.”
“Kenapa politik?”
“Aku pengen jadi konsultan politik. Seru liat Eep Saefulloh Fatah ngomong kalem di layar tapi kalimat-kalimatnya bikin orang gemetar.”
“Kamu tertarik pada dunia politik?”
“Jadi pelaku, nggak; jadi komentator, ya.”
“Kayaknya ngambil jurusan politik lebih realistik. Passing grade-nya gak terlalu jauh dari kemampuan kamu sekarang.”
“Nanti aku pertimbangkan. Aku perlu bicara sama orangtuaku.”
“Bukan mereka pemilik kamu.”
Dido menatap Maryati. “Kamu firm dengan diri kamu.”
“Tentu. Sejak kelas 11 aku sudah menetapkan pilihan: ngambil Ilmu Ekonomi, lalu S2-nya mau ngambil jurusan Ekonomi, Politik, dan Filsafat di Oxford.”
“Alternatifnya?”
“Gak ada. Aku gak biasa menyusun masa depan dengan membentangkan beberapa alternatif. Masa depanku adalah garis lurus, ndak mendua. Aku hitung yang harus aku persiapkan lalu berusaha sekuat tenaga memenuhi itu. Mbokku pasti gak punya duit, biaya kuliah di Oxford selangit. Aku mau ngejar bea siswa.”
“Bener kamu naksir Igor?”
“Kamu ndak perlu tahu. Itu urusanku sama Igor.”
“Jadi bener?”
“Kok usil? Kerjain soal latihan kamu!”
***
“Aku gak pernah bosen sama susu kedelai Amanda. Setiap hari, sudah hampir setahun, dan aku merasa bertambah sehat,” Faisal mengusap tetesan susu di bibirnya.
“Aku kangen.”
“Kangen apa?”
“Kangen.”
“Ya. Kangen apa?”
“Dipeluk kamu.”
“Aku gak berani nyoba, takut gagal. Sekali gagal, aku gak bakal percaya diri nyoba lagi.”
“Kamu gak mau?”
“Nanti kalau aku sudah yakin betul…, kalau fisioterapisku sudah kasih lampu ijo.”
“Memangnya dia nglarang kamu?”
“Gak! Aku tanya dia: kira-kira kalau malam ini saya coba menggauli istri saya, bakal berhasil, gak….? Dia jawab, gak ada salahnya untuk nyoba. Aku desak: pasti berhasil, gak?”
“Dia bilang apa?” Aminah berdebar.
“Peluangnya lebih besar kalau bapak sudah bisa bangkit dari posisi duduk tanpa bantuan orang.”
“Kemarin kamu bisa bangkit tanpa aku bantu.”
“Baru dua kali; tunggu sampai sepuluh kali.”
“Sebentar lagi Dira berangkat ke kantor, Badru ke Kanal-7. Rumah ini sepi, gak ada siapa-siapa. Kenapa kita gak nyoba?”
“Kalau aku gagal?”
“Aku tetap sayang kamu.”
“Satu kali gagal, kamu tetap sayang. Dua kali gagal, masih sayang. Sebelas kali, kamu puyeng. Dua puluh kali, kamu gampar aku.”
“Gek. Wanneer heb ik ooit onbeleefd met jou...?” Ik mis je ... al bijna vier jaar,” Aminah membelai kepala Feisal.
Bunyi langkah terdengar menuruni tangga. Feisal menepis tangan Aminah. Dia menegakkan tubuh.
“Mulai nanti malam aku menginap di rumah bossku,” Dira meraih susu kedelai.
“Berapa lama? Ada pekerjaan?”
“Sampai kita berangkat ke Solo.”
“Kok?”
“Mencegah terjadinya hal-hal yang mengguncang dunia.”
“Aku nggak mengguncang apa-apa,” suara dari tangga terdengar.
“Kamu ketuk pintuku tadi malam,” Dira menuang susu kedelai ke gelas berwarna biru dan memberikannya kepada lelaki yang sedang melangkah dari anak tangga terakhir.
“Aku mau ngajak kamu ngobrol.”
“Jam 1 pagi?”
“Memangnya kenapa?”
“Gak normal.”
“Halah, di Granada aku terbiasa menelpon Gisella, partner kerjaku, di tengah malam buta pas ada ide gila yang tiba-tiba melintas di kepala. Kalau nggak aku yang datang ke apartemennya, dia yang datang ke apartemenku, lalu kami ngobrol sampai pagi.”
“Aku bukan Gisella. Aku calon istri seorang lelaki.”
“Kamu gak perlu menegaskan itu berulang-ulang. Jangan sampai aku berpikir kamu sedang menantang aku untuk mengobrak-abrik rencana pernikahan kalian lalu melarikan kamu ke Granada. On the second thought, itu gagasan menarik.”
“Gagasan yang bakal menyengsarakan kamu. Aku jamin.”
“Tenga cuidado. La felicidad a menudo se pierde en la última curva,” ucap lelaki itu nyaris tak terdengar sambil menyeruput minumannya.
“Kon ngomong opo?” senggak Feisal kepada Badru
“Nggak ada yang tahu yang bakal terjadi di tikungan terakhir.”
“Tikungan terakhir sudah lewat. Garis finish sudah ditubruk.”
“Kita jalan sekarang? Aku yang setir.”
“Ada Pak Trisno.”
“Dia sudah aku telpon semalam. Aku kasih dia libur sehari penuh.”
“Apa hakmu mengatur hidupku?”
“Nggak ada. Sekali-sekali aku pingin bikin orang kecil hidup nyaman.”
“Kamu antar aku ke kantor?”
“Ya, lalu aku ke Kanal-7. Nanti sore jemput kamu.”
“Aku bisa pulang naik taksi.”
“Memang kenapa kalau aku jemput?”
“Aku gak pulang ke sini. Aku sudah bilang sama Abi dan Umi, aku bakal nginap di rumah Bossku sampai bulan depan aku berangkat ke Solo.
Lelaki itu tertunduk.
“Baik. Aku jemput kamu nanti sore dan aku antar kamu ke rumah Jerome.”
“Kamu tidak menghitung kesan yang mungkin timbul di pikiran Jerome dan Maria?”
“Kesan apa? Toh kamu bakal menginap sebulan penuh di sana.”
Dira menghentak sepatunya ke lantai dan bangkit berdiri. “Aku jalan, Abi…, Umi,” ucapnya sambil merangkul ayah mertuanya, memberi kecupan di kening dan pindah ke ibu mertuanya untuk melakukan hal yang sama.
Sampai di pintu, Dira berbalik badan. “Kurangi kecerewetan Abi…, jangan sampai Umi minggat ke Amsterdam. Dan yang paling penting, stroke-mu jangan kumat lagi. Tiga kali serangan sudah cukup. Aku gak punya kesanggupan untuk mendampingi Abi menjalani serangan keempat.”
Feisal tertunduk.
“Angkat dua koperku ke mobil,” sentak Dira pada lelaki di belakangnya.
***
“Aku pulang agak larut nanti.”
“Kau bilang, kau rindu makan daun ubi tumbuk sama ikan teri goreng disambal? Atau besok saja ‘ku masak itu?”
“Ya, Mak, besok saja. Besok Bapak pulang dari Kendal, bukan?”
“Dia sudah rindu sama kau.”
“Semoga sudah takada rencananya lagi untuk membawaku ke psikiater.”
Dahniar merapikan kerudungnya yang hampir melayang dari kepala. “Takada kau buat aneh-aneh di Somalia, bukan?”
“Kalau adapun tak bakal kubilang sama Mamak.”
“Adakah?”
Alida menggenggam jemari ibunya. “Tak ada. Aku diawasi dengan ketat oleh Letjend purnawirawan Soedjarwo. Dua bulan pertama, aku tidur bertiga dengan Kak Elsye dan Kak Pingkan. Setelah mereka pulang ke Indonesia, dimulailah pertarungan itu. Tenanglah, Mak. Sampai saat ini, rasa kasihku kepada orang-orang kelaparan di sana masih sanggup jadi penawar. Mungkin aku bakal terbiasa. Jadi, sudah saatnya Mak bersiap diri berhadapan dengan kenyataan akhir: aku tak menikah dan tak ada cucu bisa Mak harap dariku. Relakan diriku untuk menikah dengan kemiskinan dunia. Tak cuma Bunda Theresa yang sanggup melakukan itu. Muslimah macam Alida Lubis ini pun pantas. Tak begitu, Mak?"
Dahniar menggandeng Alida melangkah ke luar rumah. “Kemana kau pigi hari ini?”
“Bergabung bersama Chapin dan teman-teman Kak Elsye. Kami mau mengadakan rapat, merencanakan beberapa aksi mendukung Jokowi.”
“Chapin?”
“Tak usah Mak kuatir. Percayalah padaku.”
“Kau sudah sanggup?”
“Aku lebih rindu kepada Somalia daripada kepada Chapin. Di sana aku mengasuh duapuluhan anak-anak berusia di bawah 15 tahun.Mereka menangis ketika aku menaiki jeep yang membawaku ke bandara. “Ma waxaad ka timid dib, tanya mereka berulang-ulang. Pasti, jawabku. Mudoo intee le’eg, tanya mereka lagi. ‘Ku jawab, dua bulan. Satu per satu mereka memelukku dengan air mata. Berat kali langkahku ‘ku rasa.”
“Lalu dengan mendukung Jokowi kau berharap dapat menolong anak-anak Indonesia untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik?”
“Cuma dia harapan kita. Lima bulan di kampung suku Darod, aku terhubung dengan Indonesia melalui tenda relawan Perancis. Setiap malam, di tenda itu, kunikmati berselancar di internet dan mengakses berita-berita tentang negeriku. Dengan melihat kemiskinan yang paling telanjang di Somalia, aku berkata kepada diriku: sudah terlalu lama kita biarkan orang-orang papa di Indonesia menderita karena diperdaya orang-orang besar. Aku tak mau lagi sekadar berdoa untuk Jokowi. Aku harus bertindak. Dan, entah siapa yang mengaturnya, aku berjumpa dengan teman-teman Chapin saat mendarat di Soekarno-Hatta. Aku sepenuhnya merasa: aku dipanggil.”
***
“Non Blok adalah sebuah blok. Dia blok ketiga selain blok timur dan blok barat. Sia-sia para pelopornya menamakan barisan negara tersebut sebagai kelompok Non blok. Tanpa di sadari, mereka sebetulnya malah meneguhkan eksistensi dua blok yang mereka tentang. Non-blok adalah blok yang bukan barat dan bukan timur. Itu keberpihakan kepada sebuah blok baru.
Sikap netral bukanlah non-blok. Kenetralan tidak menghadirkan pilihan baru, tidak menghasilkan pemain baru, tidak menghasilkan kelompok baru. Sikap netral adalah tidak bersikap terhadap apapun. Tidak kepada Jokowi, tidak kepada Prabowo, dan tidak kepada pilihan lain karena pilihan tersebut tak ada.
Sikap netral, dengan demikian, hanya patut diambil dan dimiliki oleh mereka yang tidak terlibat di dalam sebuah kontestasi atau perlombaan. Posisi itu ada pada wasit dan panitia penyelenggara serta mereka yang mengamankan jalannya lomba.
Pertanyaan saya: apakah anda dan saya adalah wasit, atau penyelenggara pemilu, atau aparatus keamanan? Tidak sama sekali. Lalu mengapa kita bersikap netral?”
“Karena pemilu kita menganut asas langsung, umum, bebas, dan rahasia. Saya kira, Yoram, asas rahasia yang kita anut memagari para pemilih untuk merahasiakan pilihannya hingga tiba di bilik suara. Saya merahasiakan pilihan saya di ruang publik, dan menjatuhkan keberpihakan saya kepada salah satu capres di dalam bilik.”
“Dan membiarkan sekarung praktik busuk bertumpahan di kampung-kampung?”
“Kita punya KPU dan Bawaslu. Mereka yang berhak mengadili kecurangan.”
“Saya setuju. Tapi apakah atas nama asas rahasia anda tak bereaksi kepada inisiatif orang-orang yang berkumpul di kubu yang bukan pilihan anda? Saya kira, tidak! Saya mengajak kita semua untuk berpihak dan tidak malu-malu menunjukkan pilihan kita. Inilah pesta yang berlangsung selama 35 hari. Mari kita terlibat dengan tidak hanya pergi ke bilik suara pada tanggal 9 Juli. Berpihaklah kepada capres yang sesuai dengan aspirasi Anda. Dan mari kita bekerjasama untuk memastikan kecurangan tak terjadi, tabloid-tabloid rombengan tidak disebar. Kita cegah berseliwernya Isyu-isyu yang memecah-belah kerukunan sebagai bangsa. Kebenaran dan kebaikan kiranya menjadi pandu kita bersama.”
“Ini memang hari Senin yang baru. Saya tak percaya kalau ternyata saya bakal pernah bersepakat dengan Yoram Mangundap. Ya, tolan kanal-7, mari kita latih diri untuk terbiasa hidup dan bersikap dalam perbedaan. Dengan menunjukkan keberpihakan kita masing-masing dan menyuarakannya melalui cara-cara yang dapat diterima keadaban, masyarakat Indonesia akan semakin dewasa. Kita adalah bangsa yang majemuk. Pilpres ini adalah latihan. Kita mulai dengan keberbedaan dalam dua kubu sebelum kita terlatih untuk hidup dalam keberbedaan ratusan suku, ratusan bahasa, dan ratusan agama di nusantara.”
“Kita tidak perlu netral karena memang kita tidak berada dalam posisi yang diwajibkan untuk netral. Kita berbeda dan semakin bergairah oleh kesadaran akan perbedaan itu. Sebab, bermula dari perbedaanlah cinta mengalir deras. Saya masih ingat sahabat kita semua, Kenisha, pernah berkata: hanya sedikit cerita-cerita gemilang lahir dari keteraturan musim. Namun, lihatlah! Dari musim panen yang datang terlambat atau musim hujan yang tiba terlalu cepat, kita temukan kisah agung dari perbedaan ekstrim yang dihasilkannya: ada korban dan ada mereka yang selamat. Di sana, dalam peristiwa tersebut, kita melihat ribuan tangan terulur untuk menolong mereka yang jadi korban, mereka yang dalam hidup sehari-hari tak pernah kita gubris, tak sekalipun kita sapa. Rutinitas telah mengaburkan keberbedaan di antara kita. Kadang, itu terjumpai sebagai anugerah karena kesamaan membuat kita mudah hidup rukun. Namun, rutinitas juga yang membuat kita tak sadar bahwa ada keberbedaan lain yang lahir bersama waktu. Entah itu status sosial, status ekonomi, atau peristiwa yang mengguncang tiba-tiba. Kita tak lagi sadar bahwa untuk sementara waktu kita sebetulnya sudah berbeda. Lalu jagad raya menyembuhkan kita. Apa yang kita sebut sebagai bencana ternyata kemudian membuka mata kita untuk celik: ada perbedaan yang tak teperhatikan. Perbedaan yang kemudian melahirkan cinta berkobar-kobar untuk menolong mereka dan kadang memuncratkan kerelaan berkorban apa saja bagi orang-orang di sekeliling kita. Mari rayakan perbedaan karena di sana cinta mengalir deras.”
“Cinta, kata seorang yang tak dikenal, ternyata bisa dijelaskan dengan kisah berikut ini:
Anda berdiri di tepi ngarai yang curam, dalam, berangin deras, dan berterik matahari; kekasih Anda berdiri di tepi yang sama namun di seberang. Kalian saling melambai. Anda memiliki parasut, kekasih Anda juga. Namun tali untuk membuka parasut ada di belakang, di bagian punggung, sehingga hanya kekasih Anda yang dapat membukakannya untuk Anda, dan Anda untuk kekasih Anda. Anda terdiam sejenak, ragu, dan mulai putus asa. Apakah Anda siap untuk terjun? Apakah kekasih Anda siap untuk terjun? Jika Anda dan kekasih Anda terjun pada detik yang sama, saling gapai di udara terbuka dan membuat keputusan untuk –salah satu dari Anda yang—membuka parasut, Anda dan kekasih Anda akan meluncur mulus, mendarat dengan empuk lalu pergi ke sebuah meja di bawah sana yang sudah disiapkan bagi kalian berdua untuk menikmati makan malam diterangi cahaya remang dari tiga batang lilin. Jika tidak, kalian bakal binasa, hancur di bebatuan di bawah sana.”
***
“Kita lewat mana sih? Kenapa jadi ngelantur seperti ini. Pak Trisno cuma butuh waktu lima belas menit setiap hari untuk membawaku dari jalan Sumenep ke kawasan Kuningan. Ini sudah dua puluh menit dan kita masih separuh perjalanan.”
“Aku menghindari macet.”
“Banyak alasan. Ini bukan rute yang biasa kami tempuh tiap pagi. Dan rute itu gak pernah macet.”
Badru menggeprak setir dengan telapak tangannya.
“Ya aku memang sengaja berputar-putar agar punya kesempatan untuk ngobrol sama kamu.”
“Ngobrol apa lagi. Relakan aku kawin dengan James. Desember kemarin dari Granada kamu layangkan surat tuntutan cerai melalui kantor Akbar. Sepekan kemudian kita bertemu di perayaan Natal Kenisha. Kamu berubah pikiran. Padahal, aku sudah berjalan jauh meninggalkan sengsara yang kamu muntahkan dengan pergi tanpa pamit, tanpa kabar, ke seberang benua.
Abi uring-uringan ketika kamu minggat. Umi minggat ke Amsterdam karena tak tahan jadi sasaran umpatan Abi atas kepergianmu. Abi dihajar stroke, dua kali, kamu biarkan. Kamu memilih untuk menyembuhkan lukamu di Granada bersama Chapin dan membiarkan aku sendiri dipanggang ketidakjelasan, ketidakmengertian, seorang diri.
Aku minggat ke Solo, balik ke Jakarta lalu bertemu dengan Abi yang sedang terseok-seok menyusur jalan ke mobilnya di sebuah hypermart. Aku yang akhirnya merawat Abi, memandikannya, menceboknya jika dia berak di celana, dan memasak makanan untuknya. Dia lelaki Arab dan muslimin tulen akhirnya berdaya menyayangiku: perempuan katholik yang tak pernah alpa berdoa rosario setiap hari.
Aku bertemu James, jatuh cinta padanya, dan sekarang sedang berencana menikah bulan depan. Kamu pikir kamu siapa dengan tiba-tiba ngajak aku ngobrol untuk menimbang-ulang rencanaku? Ikuti dengan cermat kilas-balikku tadi. Kamu masih sanggup untuk melepas predikat ‘lelaki tak tahu malu, tak tahu diri’ dari jidatmu? Cuih!”
“Aku salah.”
“Bukan hanya salah; kamu bangsat!”
“Ya, aku bangsat dan aku tak mau jadi bangsat dua kali.”
“Apa maksud kamuuu?”
“Kamu ingat masa-masa kita bertarung dengan cibiran orang atas hubungan cinta lelaki arab-muslim dan perempuan katolik. Mereka bilang, tidak ada masa depan dalam hubungan seperti itu. Aku perkenalkan kamu kepada Abi dan dia kontan mengajukan satu syarat: kamu harus jadi mualaf. Kontan juga kamu tolak. Keluargamu pun tak setuju. Tapi kita nekad kawin di Sydney lalu balik ke Jakarta untuk tinggal di rumah Abi. Aku tetap sebagai muslimin, kamu bersetia sebagai perempuan Katolik. Di sana kamu hadapi dengan sabar bagaimana Abi setiap hari berusaha memengaruhimu. Kamu nggak marah, tersinggung pun nggak. Kamu maklumi semua kelakuan Abi.
Kamu hamil. Abi semakin gencar membujuk kamu, kamu semakin sopan dan lembut menolak dia. Lalu, 3 hari sebelum persalinanmu, Abi pergi ke tanah suci menunaikan ibadah umroh. Dia pergi tanpa pamit. Aku menelpon dia dan bertanya apa maksud kepergiannya. Dia jawab: aku mau berdoa khusyu agar Allah membatalkan laknatnya kepada kita.
Air ketubanmu pecah, kamu harus dibawa ke RS. Dalam perjalanan di Jakarta yang macet, air ketubanmu habis, tali pusat terkompresi, bayi kita tercekik dan mati. Aku menduga, doa Abi dikabulkan. Laknat itu dibatalkan hadir di tengah kita. Aku marah kepada Abi, marah kepada Allah, marah kepada dunia dan lalu minggat. Aku tak mau laknat itu menyerang kamu, membunuh kamu. Bertahun-tahun di Granada, aku hidup dalam keyakinan tolol dan jahat seperti itu. Sampai kemudian perayaan natal Kenisha mempertemukan kita kembali. Kamu ternyata setia merawat Abi, mengurus hidupnya dengan penuh cinta. Pada hari itu juga aku tahu, bahwa Abi berdoa kepada Allah agar persalinanmu berlangsung mulus dan kepada kamu serta bayi kita dikaruniakan damai dan sejahtera. Itulah doa yang dengan khusyu dia panjatkan di Ka’bah. Aku malu. Aku tolol, ceroboh dan sombong.
Apa yang kita yakini tentang persahabatan dua agama ternyata maujud di dalam relasimu dengan Abi. Relasi tulus yang mengguncang nalarku, menggetarkan imanku. Aku tidak dipersilakan Sang Hidup untuk ambil bagian di dalamnya karena aku terlalu angkuh, tak cukup rendah hati untuk bertanya jernih kepada Abi.
Aku menyesal. Semua kilas-balik itu membuat aku yakin, kamulah perempuan yang diperuntukkan Sang Hidup bagiku. Aku sadar, aku telah mencampakkannya. Namun, seperti perempuan Kanaan yang memohon kepada Yesus agar diberi jatah remah-remah roti bagi anjing yang jatuh dari piring makan tuannya, demikianlah aku bermohon kepadamu sekarang. Ampuni aku.”
“Aku sudah mengampuni kamu setelah menggamparmu dua kali di perayaan Natal kemarin.”
“Terimalah aku kembali.”
“Kamu ceraikan aku pada Januari kemarin. Aku sudah menandatangani tuntutan ceraimu.”
“Akbar belum mendaftarkannya ke pengadilan untuk minta pengesahan.”
“Apaaa?”
“Secara teknis, kita masih jadi pasangan suami-istri.”
“Kenapa kamu perangkap aku seperti ini?”
“Aku tidak mau melepasmu.”
(klik tautan lagu ini)
“Kamu bedebah, kamu sontoloyo, kamu anjing kurap.” Dira tersengal. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya meronta di udara. “Sebagian dari hatiku memang masih mencintaimu. Dan aku tahu, kamu tahu itu. Itu yang bikin kamu seenaknya menyekapku, melempar aku ke keranjang sampah dan memungutnya kembali.”
“Aku tidak bermaksud begitu.”
“Itu yang aku rasakan. Itu yang aku alami. Kamu selalu melihat peristiwa dari sudut pandangmu sendiri dan berharap orang menggunakan lensamu. Kamu bajingan. Aku mencintai James, Badru. Tapi dari 100 keping hatiku, ada 1 keping dimana namamu tersurat di situ. Aku biarkan saja. Aku tahu, jika 1 keping itu aku angkat ke luar, maka sisa 99 keping hatiku yang bertorehkan nama James bakal rontok berantakan. Meski 1 keping, kamu berada di posisi tertentu yang menjaga keseimbangan bangunan hatiku. Tak ada yang lebih menyiksaku daripada kesadaran semacam itu.
Harusnya, jika kamu arif, jika kamu pecinta sejati, kamu sangkal apa yang aku yakini. Kamu negasi apa yang aku percaya agar 1 keping itu tak perlu diangkat namun bersalin-nama ke James Wilde. Ini tidak. Dengan serakah dan tak tahu malu, kamu klaim 1 keping itu. Kamu sekarang seolah mengancam untuk menarik dan membawanya pergi agar hancur seluruh bangunan hatiku.
Aku memang masih mencintaimu namun tak lagi punya selera untuk berimajinasi tidur di sebelah kamu. Kadang tubuhku menggigil ketika teringat padamu. Ada pada beberapa masa aku teriakkan namamu di dalam gelap. Tapi itu sudah selesai. James Wilde adalah masa depanku, kamu hanya masa lalu. Dan sebagaimana masa lalu manusia, kamu akan kubawa pergi ke mana pun aku melangkah. Di sana, entah di mana, akan aku kenang kembali janin yang pernah mukim selama sembilan bulan, menemaniku siang dan malam, membubuhkan kehadiranmu di dalam tubuhku.
Kamu tak akan lenyap. Gimana mungkin? Kamu pernah jadi api yang membakar gairahku, menyalakan bagian-bagian dingin dari tubuhku untuk menyala bersama kamu, menghanguskan semua yang ada bahkan termasuk tentangan orangtua kita. Kamu pernah membuatku percaya bahwa tak ada yang lebih sempurna daripada cinta kita. Setiap kali memandikan Abi, setiap kali menyabuni bagian penting dari tubuhnya, aku berkata kepada diriku: dari sinilah lelaki yang kucinta bermula.
Tapi ini fase baru dalam hidupku. Dan di fase ini, kamu bernama ‘masa lalu’.
“Aku ada di hari ini dalam hidupmu.”
“Kamu bukan Badru yang itu, bukan Badru yang berdiam dalam 1 keping dari hatiku.”
Dan Dira meraung sambil memukuli dadanya.
“Antar aku ke Kanal-7,” isaknya, “aku perlu bertemu Maria.”
***
Pertemuan dimulai pada jam 08:30. Yoram dan Derina hadir belakangan setelah jam siaran selesai. Semua orang datang dengan gagasan masing-masing. Sebagian dibilang Igor ‘basi’, sebagian membuatnya tercengang.
Igor menentang keras tiap gagasan yang melulu berkibar di dunia maya. Orang-orang perlu didatangi. Mereka tak terkoneksi dengan internet. Aku muak dengan celoteh dan dukungan di internet seakan dengan itu semua orang merasa telah berbuat sesuatu. Bohong, tandasnya. Keras.
Badru tetap menganggap kegiatan di ruang maya sebagai sesuatu yang penting. “Untuk menggelorakan komunitas agar pergi berkunjung ke rumah-rumah,” katanya. Pendapat Badru didukung teman-teman Igor.
Mereka lalu membagi sisa waktu hingga tanggal 9 juli ke dalam 3 tahap.
Tahap-1: penaburan.
Tahap ini dipimpin Yoram dan Alida dan seluruhnya berlangsung di jagad maya. Alida bertugas untuk merumuskan pesan-pesan yang menguraikan tema besar: Jokowi adalah identitas Indonesia. Pesan tersebut dikembangkan ke dalam beberapa tulisan pendek yang diposting di facebook dan dimampatkan ke dalam format 140 karakter yang dicuit di twitter. Brigitta, Lita, Dido, Nico, juga Arief, Brenda, Yono dan Bayu di berbagai benua mengeksekusinya dengan menggunakan akun masing-masing. Alida menghubungi beberapa kenalan yang memiliki jumlah followers besar untuk membantu penyebaran pesan-pesan tersebut.
Yoram akan membangun website bersama Stephan dan Raymond. Mereka hanya punya waktu 3 hari. Satu hal yang bikin gelagapan adalah nama. Selama setengah jam mereka tak kunjung mendapat kesepakatan dan lalu menaruh itu sebagai pekerjaan rumah yang harus selesai dalam dua hari. Website ini menjadi jangkar bagi seluruh pesan yang dikemukakan, juga kegiatan yang akan dilaksanakan.
Maria kebagian tugas menulis artikel yang mengulas debat capres pada tanggal 15 juni dan 22 juni melalui tinjauan psikolinguistik. Artikel tersebut akan disebar di ruang maya. Kegiatan ini dipandang penting karena dengan mudah menampilkan kelebihan Jokowi. Semua peserta rapat berpikiran sama: Jokowi lebih berintegritas dibanding Prabowo. Dan itu terhitung telak.
Badru bertugas untuk membentuk kantung-kantung pendukung di berbagai daerah. Tentu saja inisiasinya berlangsung di ruang virtual dan lalu diwujudkan di ruang fisikal. Anto beserta rombongannya akan membantu Badru berkunjung ke kantung-kantung tersebut.
Igor dan Maryati ditugaskan untuk membuat dua sampai tiga potongan video berpanjang 90 detik berisi fragmen-fragmen kecil dari sudut-sudut sumuk dan busuk untuk mengartikulasi pesan 'Jokowi adalah Identitas Indonesia'. Igor jadi produser, Maryati menulis skrip. Jika dipandang perlu, Dira akan menghubungi beberapa sutradara video kenalannya untuk bergabung secara pro-bono.
Jerome dan teman-temannya yang dikenal sebagai 7-Sekawan senior bertugas mengumpulkan dana kegiatan. Mereka sudah punya pendukung tetap. Itu tugas yang terhitung mudah.
Tahap-2: deklarasi.
Tahap ini akan dieksekusi tepat pada malam berakhirnya masa kampanye dalam bentuk pergelaran kesenian. Dira didapuk sebagai produser. Mereka perlu menghubungi pekerja seni yang bersedia mendukung tanpa imbalan honor. Kembali mereka dibingungkan soal nama sebelum Maryati kemudian mengacungkan tangan: Malam Kesenian Bawang Merah, katanya dengan suara mantap.
“Bawang merah?” Dido terbahak. Lita kontan menyepak lelaki Syria itu.
“Di dalam dirinya,” kata Maryati dengan tenang,” bawang merah menyimpan dua warna: ungu –orang jawa menyebutnya merah, dan putih. Itu lambang kaum abangan dan relijius sebagaimana partai-partai pendukung Jokowi. Dua warna itu sesuai dengan nomor urut capres Jokowi. Itu dualitas yang mengkonstruksi seluruh realitas dan menjadi lambang bagi kemanunggalan pemimpin dengan rakyatnya. Bawang merah adalah bumbu dapur yang terdapat di rumah rakyat Indonesia, baik miskin maupun kaya. Bawang merah jadi idiom yang mempersatukan kita semua. Di dalam bawang merah, masa lalu berjumpa dengan hari ini dan menyapa hari esok.”
“Saya putuskan, website kita bernama Bawang dash Merah dot co,” sambut Yoram.
Tahap-3: pemenangan.
Masing-masing orang yang terkoneksi akan didorong untuk melakukan kunjungan ke 20 orang selama 4 hari.
***
episode ke-4: identitas
Dengan kerja keras, Dido dan Raymond berhasil melampaui passing grade jurusan yang mereka tuju di Universitas Indonesia –Igor, Stephan, Brigitta, Lita, dan Stephan sudah lebih dulu diterima di sana melalui jalur undangan SMPTN. Meski demikian, Igor belum puas. Dia putuskan program tutoring tetap dilaksanakan setiap pagi, try-out dilakukan sekali dalam dua hari.
Sehabis sarapan di rumah Igor, mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing. Beberapa pesohor di jagad maya telah dihubungi Dira dan Derina untuk menyebarluaskan pesan-pesan kampanye mereka.
Batas panjang pesan twitter tak boleh lebih dari 140 karakter. Tapi Alida membatasinya lebih singkat lagi: tak boleh lebih dari 110 karakter agar tersedia ruang sebanyak 30 karakter bagi mereka yang meng-RT untuk membubuhkan pesan atau kesan yang bersifat dukungan.
Ini lima tweet pertama yang mereka unggah di hari Selasa:
Kita rengkuh matahari karena pagi adalah sukacita. #Jokowi:identitas-indonesia
Kita rancang masa depan dengan jelas dan berani. #Jokowi:identitas-indonesia
Kita kerjakan rencana kita dengan teguh dan tekun. #Jokowi:identitas-indonesia
Kita serap semua ilmu, berusaha dengan jujur. #Jokowi:identitas-indonesia
Membaca hidup Jokowi, kita bisa berkata tegas: Impossible is Nothing. #Jokowi:identitas-indonesia
***
Jerome menggesek layar selpon, menggesek lagi dua kali dan mengklik aplikasi layanan pesan. Dia klik grup percakapan The Famous Seven dan mulai mengetik.
Jerome: Gue blm tahu jmlh dana yg dibutuhkan Identitas Indonesia. Utk minggu ini, target gue Rp 200jt. Mungkin kita mulai dari kantong masing-masing. Komen?
Atjong: se7. gua 20jt
Dehen: ngikut, 15jt
Sastro: lanjut, 20jt
Elsye: dukung 20jt
Pingkan: okeh, 15jt
Hadid: gw 20jt
Jerome: Amanda $10rb dollar, gue 20jt, total in rp = 250jt. Tlng trf ke Elsye hr ini. Utk kebutuhan pekan depan, gue kabarkan 3 hr lagi. Siap2 hub kenalan kita msng2. Gue jg akan hub Pak Djarwo.
***
“Website kita pakek Flash gak?” Raymond mengambil kertas kosong dan mulai menulis.
“Menurut elo-elo pade,” Yoram membuka laptop-nya.
“Sebisa mungkin kita main gambar,” usul Stephan. “Teks seperlunya aja.”
“Tapi itu bakal berat buat selpon jadul,” protes Nico, “juga buat mereka yang koneksinya lelet.”
“Gak juga. Soal kompresi, kita serahkan ke Rakesh. Paling-paling satu gambar gak lebih dari 20 kilo.”
“Template-nya beli aja, gak usah bangun sendiri. Waktunya gak cukup. Enerji lebih baik kita habiskan buat konten.”
“Setuju,” dukung Lita. “Kita belum nentuin siapa yang jadi fotografer.”
“Itu bagian awak tv Kanal-7. Jangan kita disibukkan hal-hal seperti itu,” saran Yoram.
“Sekarang kita susun site map-nya.”
“Konsumsi dah siap belom,” Dido memandang ke meja di tengah mereka.
“Taruli,” teriak Yoram.
Si gadis keriting muncul setengah badan di balik pintu.
“Konsumsi?” tagih Yoram.
“It’s ready when you’re ready.”
“We are ready.”
“You just started your meeting.”
“No opening then?”
“We are not having dinner, are we?”
“Not at all.”
“So thirty minutes from now.” Taruli menutup pintu.
Itu halaman terakhir dari 3 halaman skrip video Identitas Indonesia. Igor mengangkat wajah dan tersenyum kepada gadis di depannya. Mereka duduk di halaman samping. Gemerisik air dari berbagai sudut mengirim keteduhan.
“Kita cuma butuh dua talent.”
“Ya: ibu yang berusia di pertengahan tigapuluhan, sama anak lelaki dua belas tahun.”
“Aku yang cari tokoh Ibu, kamu cari talent buat karakter anak.
“Lokasinya?”
“Bantar rel kereta api jalan KS Tubun.”
“Waktu?”
“Subuh menjelang fajar.”
“Butuh penataan cahaya yang bagus.”
“Pasti. Aku mau nyari wajah ibu yang rada kartunal supaya dialognya berkesan optimistik.”
“Apa nggak wajah anak lelakinya saja yang kartunal? Dalam budaya apapun Ibu selalu dipersepsikan sebagai sesuatu yang suci: entah malaikat, entah peri. Jangan kita lawan. Wajahnya kita cari yang betul-betul khas Indonesia.”
“Anaknya ingusan? Giginya ompong? Bibirnya tebal?”
“Setuju.”
“Di mana kita cari anak seperti itu?”
“Ada sanggar anak-anak di pinggir Kali Malang. Kayaknya bisa kita temukan di sana.”
“Untuk karakter Ibu seperti yang kamu bayangkan, aku punya calon kuat.”
“Siapa?”
“Inangudaku..., maksudku, tanteku. Dia perempuan Jawa. Dia juga tinggal di bantar rel kereta api.”
“Kenapa pengambilan gambar nggak kita lakukan di rumahnya saja.”
“Kurang dramatik. Rumah inangudaku berjarak tiga-empat meter dari rel kereta. Kalo yang di KS Tubun, maut cuma berjarak satu setengah meter.”
“Pakek ilustrasi musik?”
“Gak usah. Dialogmu kuat. Musik malah bakal jadi gangguan. Kalaupun ada, mungkin a capella sebagai latar.”
“Kamu yang jadi sutradara?”
“Kamu yakin sama kemampuanku?”
“Kata Dido, kamu calon pengganti Steven Spielberg. Kalo Kata Gita, kamu punya kemampuan untuk nendang Michael Bay ke keranjang sampah.”
“Mereka sok tahu.”
“Kalo menurutmu?”
“Oke, akan kukerjakan. Tolong kamu terjemahkan skrip ini ke bahasa Inggris lalu kita kirim ke Amanda. Mungkin dia punya beberapa insight yang berguna.”
“Siapa penata cahayanya?”
“Siapa lagi.”
“Om Badru?”
Igor mengangguk pasti. “Kamu bikin list of property-nya.”
“Gak perlu. Kita pakek saja apa yang ada di dalam rumah tersebut.”
“Gak kepikiran untuk menghadirkan beberapa simbol?”
“Kan sudah ada: si mbok ngupas bawang merah sambil ngomong sama anaknya.”
***
Entah sudah berapa kali potongan tahu di piring itu dicucuk-cucuk dengan garpu. Ruang rapat lengang, tak ada suara manusia meski dua perempuan duduk berhadap-hadapan.
“Gak enak?”
“Sangat.”
“Tiba-tiba.”
Dira mengangkat wajah. “Aku tak sedang gelisah, kak!”
“Potongan tahu itu berkata lain. Ini gado-gado paling enak di Bogor, kubawa khusus karena tahu kamu selalu gragas menghabiskannya.”
“Hari ini gak enak.”
“Mudah-mudahan karena lidah Bu Prayitno sedang mati rasa sewaktu menyiapkan bumbunya.”
“Mungkin dia lagi ngidam.”
“Umurnya empat puluh lima tahun.”
“Gak berarti gak bisa ngidam.”
“Atau kamu yang ngidam?”
Dira mendelik. “Pacarku pendeta. Sudah sembilan hari dia tidak bersamaku.”
“Kamu ngidam dibelai oleh yang satunya lagi.”
“Kak Maria...,” wajah Dira memelas.
“Kenapa? Dugaanku tak berlebih?”
“Bukan, bukan itu. Kenapa kamu tega menuduhku seperti itu?”
“Tega tak selalu berseberangan dengan kebenaran. Betul, mungkin itu dugaan yang tergolong tega. Tapi juga, betul, itu dugaan yang tak keliru.”
“Jangan sudutkan aku.”
“Tidak. Aku mau bongkar perasaanmu.”
“Gak ada yang gak kusadari, kak. Semua jelas. Aku kenal aneka getaran yang merambati nadiku. Frekuensi mereka berbeda satu sama lain.”
“Apalagi yang kamu tunggu?”
“Gak ada.”
“Sudah kamu putuskan?”
“Sudah.”
“Sepak dia keluar!”
“Yang mana?”
“Siapapun dia yang tak kamu kehendaki mukim lagi di hidupmu.”
“Tak perlu sesadistik itu. Cukup bagiku kalau Badru berhenti berharap.”
“Tak ada yang salah jika dia terus berharap. Keputusan ada padamu.”
“Aku berharap bukan aku yang membuat keputusan.”
“Ini tentang hidupmu.”
“Ini juga tentang hidup lelaki keparat itu. Biar dia saja yang memutuskan.”
“Dan kalau dia tak mau berhenti?”
“Ya... dia keparat.”
“Itu cukup?”
“Maksud kakak?”
“Menyematkan label ‘keparat’ sepanjang 30 senti di punggung Badru cukup untuk membuatmu merasa aman melanjutkan langkah bersama James?”
***
Lampu bercahaya biru dari sisi kiri dan kanan kolam renang yang ditembak menyilang ke atas membentuk dua sisi segitiga. Dari bagian tengah, menyorot tegak cahaya berwarna emas yang ditembak dari dasar kolam. Ujung dari tiga garis cahaya itu bertemu –seakan mereka memiliki ujung—untuk mencipta bidang.
Dua tangan Amanda bersandar pada garis tepi kolam renang. Sudah tigapuluh putaran tanpa jeda di kolam yang berpanjang 25 meter. Melintas di depannya, seorang gadis sedang merenangi putaran ke-28.
“Dua putaran lagi,” serunya pada gadis itu.
Tak ada jawaban. Hanya kecipak air yang terdengar teratur.
“Sebetulnya kamu masih sanggup 12 putaran lagi.”
Amanda mendongak, menikmati segitiga biru emas. Dia selalu membayangkan itu sebagai gerbang menuju semesta paralel. Tiba-tiba jantungnya serasa dicubit. Seperti apa mereka sekarang di sana? Masih serumah seperti apa yang tersua setahun lalu? Dengan siapa anak perempuan itu menikah? Duh, belasan pertanyaan.
Pertanyaan yang paling mengusik: berada di keluarga mana gadis yang sedang berenang ini di seberang sana? Atau, ini yang paling menggetarkan: eksiskah gadis ini di sana? Di mana Maria? Di mana Igor, Taruli, dan di mana Benjamin?
Cuma Kenisha? Tak adakah anak kedua lahir?
“32 putaran. Itu cukup. Kamu cuma 30.”
“Masih kuat 8 putaran lagi?”
“Rasanya begitu. Tapi aku lihat kamu menikmati langit, aku iri.”
“Aku menikmati gerbang itu.”
“Semesta paralel?”
“Ya.”
“Sebentar kamu berharap bisa bersatu dengan ayahku di kehidupan setelah ini. Sebentar kemudian, kamu bayangkan hidup dengan dia di semesta paralel.”
“Sains tak mengakui reinkarnasi. Itu cuma ada di ranah percaya.”
“Kamu sudah tak percaya lagi?”
“Bukan begitu. Karena semesta paralel lebih rasional, lebih asyik membayangkan Amanda-2 ada di sana bersama Jerome-2 dan Kenisha-2.”
“Dan tak ada Tirza-2.”
“Di titik itu aku merasa terganggu.”
“Mereka bertiga ada di sana.”
“Ya. Aku malah membayangkan ada anak kedua.”
“Lelaki atau perempuan?”
“Lelaki.”
“Seperti apa?”
“Seperti Igor.”
“Hah?”
“Kamu tahu, sewaktu merencanakan kelahiran Kenisha lewat teknologi IVF dulu, kami sepakat memberi nama bayi itu Tigor jika dia lelaki, dan Kenisha jika dia perempuan. Itu sebab aku terkejut ketika tahu adikmu bernama Igor. Separuh dari fantasi ayahmu mewujud bersamaku, separuh lagi hadir dalam hidupnya bersama Maria.”
“Keliru. Seperempat dari fantasi Jerome Siagian hadir melalui kamu, tigaperempatnya lagi melalui Maria Tobing.”
“Ya. Kamu benar.”
“Kamu masih menutup hatimu bagi lelaki lain?”
“Siapapun lelaki itu, dia akan berdiri di antara aku dan ayahmu. Itu menggangguku, mengganggu Kenisha, dan juga mengganggumu, kukira.”
“Aku akui, aku bakal terganggu. Tapi semua orang rela berkorban sedikit buat kebahagiaanmu.”
“Kamu berbahagia dengan keadaan ini?”
“Kita sedang bicara tentang hidupmu.”
“Di dalam hidupku ada kamu.”
Tak ada balasan. Sekarang sepi. Air tak berkecipak. Jam 10 malam waktu California.
“Langit adalah bentangan sunyi. Di sana tak ada bunyi. Aku tak suka kepada bayangan orang-orang yang menempatkan bala tentara malaikat memainkan symphony dan bernyanyi di sana. Riuh, gaduh, merampas satu-satunya tempat bagiku untuk menemukan sepi sempurna. Seluruh kebisingan itu biarlah cuma milik bumi, tak perlu mengotori langit.”
“Tenanglah. Tak ada suara bisa terdengar di ruang hampa udara. Gelombangnya memang melintas tapi tidak membunyikan apa-apa.”
“Lalu kitab-kitab itu omong apa?”
“Mereka adalah berbaris-baris puisi. Nikmati saja keindahannya. Tak perlu ngotot membuktikan apakah itu pernah terjadi atau tidak sebab bukan itu yang ingin disampaikan si penutur.”
“Kamu terdengar seperti Kenisha.”
“Dia kakakku, mewarisi gen ayahku. Ya Tuhan, aku rindu padanya.”
“Tak lama lagi. Kita akan berkumpul dengan dia.”
“Apa maksudmu? Kita tak jadi ke Los Cabos?”
Amanda menggeleng kepala. “Igor memanggil kita pulang.”
“Pulang? Itu untukku. Untukmu?”
“Dia memanggilku pulang.”
“Jarakmu cuma satu senti dari kegilaan.”
“Dia anak lelaki yang pindah dari rahimku ke rahim Maria.”
“Demi orang-orang kudus dan segala yang baik, hentikan racauanmu.”
“Tahukah kamu, semua yang kita bayangkan, kita harapkan, kita mampu imajinasikan --sebagai satu dari sekian pilihan, mewujud telak?”
Tirza tercengang.
“Sebagian dari mereka mewujud di semesta yang kita diami, sebagian lain di semesta paralel. Ada milyaran semesta di sekeliling kita: bertumpuk dan mengalirkan peristiwa.”
“Kamu tidak hidup di sana.”
“Bagaimana kalau aku bisa menyeberang ke sana?”
Tirza menjempa tepi kolam dan mengangkat tubuhnya. “Sebentar lagi jam Chapin siaran. Aku mau mengalirkan suara dari selponku ke pelantam di kolam renang ini. Aku juga mau bikin minuman. Air beras kencur hangat untukmu?”
“Persediaan kita masih ada?”
“Persediaanmu sudah habis. Persediaan di apartemenku di Palo Alto yang kubawa ke sini.”
“Untunglah. Setidaknya, malam ini kita bisa nikmati introduksi dari perjalanan pulang ke Indonesia.”
“Berjanjilah padaku.”
“Apa?”
“Jangan menangis. Aku mencintai Ibuku..., dan juga kamu.”
“Aku cuma sedang mengalami Amanda-2 di semesta paralel.”
“Itu belum tentu ada.”
“Kenapa kita tidak mengharapkannya ada?”
“Karena kitab-kitab bakal tak bermakna. Mereka hanya membincang semesta tunggal. Orang-orang beragama berharap semesta paralel tak perlu ada agar Allah tak terasa jenaka.”
“Dan kalau ada?”
“Tak tahulah. Aku mau ke dalam dulu. 10 menit dan aku akan tenggelam lagi bersamamu.”
***
Alida menuruni anak tangga. Sesosok tubuh muncul di kelokan bawah.
“Salut, cher. Où allez-vous?”
“Je vais pour le déjeuner. Entretien rejoindre??”
“ Lima menit lagi aku siaran.”
“Kamu CEO Kanal-7. Masih kebagian tugas untuk siaran?”
“Aku belum sanggup menepis kenikmatan yang dihasilkannya.”
“Dalam bahasa Indonesia?”
“Inggris. Ini untuk para pendengar Kenisha di belahan Australia, Singapore, Hongkong, menyapa pagi di Eropa dan menembus kegelapan malam di California.”
“Wow. Berapa banyak pendengarmu?”
“Lumayan.”
“Telinga mereka pasti dimanja oleh aksen Shona-mu yang seksi itu.”
Chapin menatap Alida lekat. Sekarang, boru Lubis itu merasa tubuhnya meriang.
***
Dari pelantam di dalam mobil, dering panggilan telephone terdengar. Badru menekan tombol hijau.
“Bos Badru, kita sudah terhubung dengan sebelas barisan relawan Jokowi yang ranting-rantingnya tersebar di 31 propinsi.”
“Bagus. Kita juga butuh relawan di kota-kota kecil, bahkan di kampung.”
“Mereka bisa bantu kita.”
“Berapa lama lagi.”
“Butuh seminggu.”
“Kalian punya lima hari.”
“Itu gokil.”
“Kita memang barisan gokil. Baca tweet Alida?”
“Yang mana?”
“Impossible is nothing.”
“Oke, lima hari.”
“Anto...,”
“Ya...,”
“Gue serius. Gak boleh maling-maling itu punya kesempatan lagi. Beberapa polster sudah kasih perkembangan terkini: margin kita menipis.”
“Gue tahu... Sampai besok pagi.”
“Oke.”
Klik.
Badru mengklik aplikasi radio Kanal-7 di selpon. Suara Chapin segera terdengar di pelantam di mobil:
“Tak ada cinta yang berusia sejenak, atau dua jenak, atau seabad. Cinta selalu abadi –seberapa keraspun upaya kita melenyapkannya atau menganggapnya tak lagi berlaku. Sebagian dari kita mengira, apa yang berakhir di tiga, lima, tujuh atau delapan tahun lalu sebagai masa lalu. Betulkah? Adakah yang bisa kita sebut dengan kini atau saat ini?
Apa yang sedang saya ucap ini segera menjadi masa lalu buat saya ketika sampai di telinga Anda –entah berapa nano sekon waktu yang ditempuh gelombang suara untuk tiba di pendengaran Anda. Dan apa yang anda dengar saat ini dari mulut saya, segera menjadi masa lalu buat Anda ketika tiba di benak Anda. Itu sebab kita menyebut kotak penyimpan dan pengolah informasi sebagai memory..., memento mori.
Otak kita tak menyimpan kekinian, hanya merekam masa lalu. Bahkan ketika kita membayangkan sesuatu di masa depan dan bayangan itu terekam dalam benak, ia jadi bagian dari masa lalu. Semua yang kita pikir tentang masa depan menetap di dalam masa lalu.
Tak ada yang bisa kita namakan ‘kini’ atau ‘sekarang’. Romansa yang sedang Anda alami dengan tunangan Anda, atau suami maupun istri Anda, juga dengan kekasih Anda, adalah bagian dari masa lalu meski semua itu belum berakhir. Kisahnya menempati ruang yang sama dengan asmara Anda bersama seseorang lain di setahun lalu.....
Alida memutuskan untuk makan di Sate Kiloan Cibubur, lima belas menit berkendara dari kantor Kanal-7. Ia memasang headset di telinga, mengklik aplikasi radio Kanal-7 dan lalu menyalakan mesin. Mobil melaju. Suara Chapin terdengar:
“...Ia tak bisa diusir, tak kunjung pamit. Ada masa ketika kisah-kisah itu tenggelam oleh tumpukan ingatan yang baru. Namun akan tiba saat bagi beberapa konstanta hadir untuk membangunkan mereka lagi. Dan anda gemetar, tubuh anda meriang. Segala yang terjadi di beberapa hari lalu bersama orang-orang yang anda anggap bagian dari masa kini mendadak berganti rasa, kesan, dan dengan cepat memengaruhi denyut jantung. Anda lalu tak percaya: betapa mudahnya Anda berkhianat dari kekinian....”
Siaran Kanal-7 dari cable-tv di rumah Benjamin mengudara. Ini jam Chapin berceloteh. Selalu ada kegirangan yang menyembul cepat di lambung bagian atas oleh suara perempuan itu:
“...Anda boleh saja menghapus nomor telepon orang tertentu dari selpon Anda, menghapus nama dan alamatnya dari catatan serta membuang semua pernak-pernik peninggalan, tapi orang tersebut tak lenyap. Terlalu banyak konstanta lain yang tak bakal mampu Anda raih, melejit ketika anda genggam, dan lolos ketika berusaha Anda campakkan. Mereka hadir dalam cara, bentuk dan waktu yang sekonyong-konyong.
Amanda mencecap air beras kencur dengan mata terpejam. Suara Chapin terdengar jernih dari 8 pelantam yang mengelilingi 4 dinding di sekitar kolam renang.
“Masa lalu dan semua yang Anda anggap masa kini bukan siapa-siapa, bukan pula apa-apa. Mereka hanya proyeksi dari pikiran Anda, berpendar, bekerjapan, di sini, dan di sana, dan di sebelah sana, juga di sebelah sini. Andalah pemilik realitas. Andalah pusat dari semua yang ada.”
Lagu Can’t Shake You mengudara. (klik tautannya di sini untuk mendengar lagu tersebut )
I still change the station
every time they play that song
Cant’ drive past your house
so I take the long way home
Your black leather jacket
stil hanging’ in my closet
I wish that I gould give it away
Oh even though you’re gone, somehow you stay
Buzz terdengar dari selpon Dira. Sebuah sandek: 'dengarkan lagu dari Chapin di radio Kanal-7'. Dira meraih saklar di dinding ruang rapat dan memencet sisi kanannya. Maria menggeleng kepala.
And every other time a love said goodbye
I just shake it off, shake it off
Pour another drink so I don’t feel a thing
I just shake it off, break it off
Erased all your numbers, blocked all your calls,
tried another lover, built up my walls,
told myself it’s over, don’t know what else I can do
I can’t shake you.
Tirza menyodor beberapa lembar tissue kepada Amanda. Perempuan itu menolak. “Air kolam renang ini cukup untuk membasuh mataku.”
“Kamu tak menepati janjimu.”
“Kamu pun tahu aku tak sanggup menepatinya.”
Laman Badru sudah terpampang di selpon. Dira hanya perlu menulis sebaris kalimat dan mengklik tombol send lalu semua selesai.
“Kamu tidak sedang mencampakkannya,” Maria mengirimkan tatapan hangat.
Dira mulai mengetik.
Sate Kiloan masih seperti dulu: empuk dan dilabur dengan rempah-rempah entah apa yang membuatnya terasa sebagai delivery dari Yaman yang tiba dengan menggunakan teleport. Alida duduk sendiri. Headset terpasang di telinga dan..., tentu saja mengalirkan suara yang sudah lama terbenam di balik lapisan kulit. Ada yang menggelitik pinggang, lalu turun ke bawah. Entah siapa. Get inside me to find you. Sate Kambing? Anjrit. Ini pilihan menu yang menyesatkan. Tiba-tiba dia merindu Paris.
I didn’t wanna be here
but my friends all love this bar
I don’t wanna see you
but I’m wondering where you are
And why I still keepin
the shirt you used to sleep in
It’s been sittin there for over a year
Oh even though you left me you’re still here
***
episode ke-5: Phobia
Indonesia nyaris terbelah dua. Layar twitter, jendela facebook, laman path, monitor youtube diisi oleh keberpihakan rakyat kepada 2 capres. Peberdaannya terlihat jelas: pesan-pesan kampanye dari dan untuk Prabowo Subianto lahir dari komando yang berpusat di Rumah Pemenangan Prabowo. Semburat harapan dari dan untuk kubu Joko Widodo berserak tanpa instruksi, tanpa penyeragaman dan lahir dari keberwarnaan.
Para pekerja seni pun membelah diri, masuk ke dua kubu. Terlihat Ahmad Dhani, Husein ‘Idol, Nowela ‘Idol’ menyanyikan lagu Queen’We Will Rock You’ yang syairnya diubah untuk pemenangan Prabowo. Daniel Ziv, pekerja media dan sutradara film, berlomentar: neo nazi mewarnai tampilan Dhani Ahmad. Itu terlihat telak. Dan, agaknya, Dhani memaksudkannya demikian. Prabowo dikesankan sedemikian rupa sebagai pemimpin tegas yang yang komandonya membahana dan menggerakkan Indonesia memasuki era kebangkitan.
Slank memelopori kehadiran pekerja seni di kubu Jokowi. Tak ada lagu rock. Tak ada pernak-pernik militerisme. Mereka hadirkan cengkok Indonesia dalam lagu Salam Dua Jari. Syairnya bermodel pantun, susunan kwatrin, dengan alur melodi yang mudah diikuti umat, sungguh cocok dijadikan nyanyian komunal. Semua orang bernyanyi. Semua orang bersukacita. Mereka bergegap, memekik, bergelak, dengan wajah-wajah gemebyar menantikan jaman baru datang melanda Indonesia pasca-9 Juli 2014.
Tulisan pertama Maria Tobing yang dicemplungkan di situs Kompasiana dibaca ribuan orang. Bertajuk ‘Otentik!’, tulisan itu membedah personalitas capres melalui kesalahan mereka dalam berbahasa. Maria tidak mengadili kesalahan tersebut melainkan menggunakannya sebagai pintu untuk masuk ke dalam kepribadian dua capres. Kesimpulan Maria: tampilan Jokowi dalam debat capres ke-2 pada tanggal 15 Juli otentik. Hal serupa tidak terlihat pada Prabowo. Maria malah mengetengahkan diagnosis: ada keterpecahan dalam pribadi Prabowo. Lalu Maria berprognosis: keterpecahan yang membuat Prabowo rapuh dan mudah ambruk ketika berhadapan dengan hal-hal yang menghimpit dirinya.
Sejumlah komentar datang sebagai tanggapan. Sebagian pembaca terpesona oleh diksi sederhana yang kuat dan getas dalam tulisan Maria; sebagian lagi terpukau oleh model kajian yang terhitung unik yang disodor dan digelar dengan menggunakan bahasa popular; sebagian lain menuding, ada presuposisi yang belum ditanggalkan Maria ketika memulai kajiannya sehingga berpengaruh pada kesimpulan akhir. Apapun itu, ‘Otentik!’ telah menghias ruang percakapan para calon pemilih dalam pilpres 2014.
Pekan ke-3 masa kampanye berlalu dalam suasana yang mulai mencekam. Wiranto, mantan Menteri Pertahanan sekaligus Panglima TNI di era kejatuhan Soeharto naik ke panggung. Dia bersaksi tentang keadaan di sekitar terbitnya surat pemberhentian Prabowo Subianto dari dinas TNI, enam belas tahun lalu. Para pendukung capres nomor urut 1 menanggapi Wiranto dengan suara-suara yang terhitung sentimental.
Goenawan Mohamad sekarang kuatir. Dia mencuit, menyuarakan kecemasan tentang bangsa yang berkemungkinan terbelah. Apalagi setelah sejumlah purnawirawan kopassus berdiri di depan mikropon: mengancam Wiranto dan menyuruh mantan Menteri Pertahanan sekaligus Panglima TNI di era kejatuhan Soeharto itu untuk diam. Jika masih berkoar, akan kami cari dimanapun Wiranto berada.
Tapi itu hanya segelintir. Sebagian besar rakyat memilih untuk tak terganggu. Mereka berpesta, mereka bernyanyi, mereka berjoged, mereka mendamba jaman keemasan Indonesia. Anak-anak muda tampil ke depan. Ya, satu hal yang mencolok mata: pilpres kali ini adalah tentang orang-orang muda. Mereka hias Indonesia dengah aneka kreativitas dalam mendukung para capres. Inilah sebuah pesta. Inilah latihan agung: keberbedaan dalam dua kubu sebelum memasuki keberbedaan sesungguh: ratusan suku, ratusan bahasa, dan ratusan agama nusantara.
Kubu Prabowo menutup kampanye pekan ke-3 dengan pengumpulan seratusribuan orang di Gelora Bung Karno. Kubu Jokowi memilih cara sederhana: gerak jalan pagi yang bermula di lapangan yang mengelilingi Monumen Nasional. Hari Minggu itu akan ditutup dengan debat capres ke-3 yang berlangsung di hotel Holiday Inn di bilangan Kemayoran. Maria sudah mempersiapkan diri mengaji tampilan mereka.
Subuh beranjak pergi. Keremangan masih terasa. Iring-iringan mobil berhenti di depan gang. Brigitta turun dari mobil kedua.
“Jangan lama-lama,” seru Dido.
“Gak. Paling tiga menit.”
“Kelamaan. Cukup dua menit.”
“Setengah menit untuk satu soal SIMAK,” balas Brigitta jengkel lalu ngeloyor.
“Tante Chapin nggak kita jemput,” Lita menempuk pundak Badru yang berposisi di belakang kemudi.
“Dia langsung ke lokasi bersama Ompung Benjamin.”
“Setia banget,” tukas Raymond.
“Status mereka gimana sih?” Lita menjawir Igor yang duduk di sisinya.
“Status apa?”
“Hubungan mereka?”
“Ya, hubungan dua manusia. Sama seperti aku sama kamu, kamu sama Dido, kamu sama Om Badru, aku sama Tante Dira, dan lain-lain.”
“Apa nggak ada yang khusus?”
“Kenapa mesti khusus?”
“Jemput-jemputan kayak gitu.”
“Kamu mesti punya hubungan khusus untuk jemput aku..., untuk bezoek aku di rumah sakit, untuk bantu nyalin catatan, untuk nraktir aku minum bajigur, untuk meluk aku kalau aku lagi jengkel atau sedih?”
“Ya nggak.”
“Lalu?”
“Susah menemukan hubungan seperti itu di jaman sekarang.”
“Susah buat kamu melakukan semua itu ke aku?”
“Nggak. Nggak ada halangan sama sekali.”
“Lalu?”
Lita terbungkam.
“Kalau itu semua gak susah untuk kamu lakukan ke aku, kenapa kamu pikir susah untuk dilakukan Tante Chapin ke Ompung?”
“Karena mereka dua orang dewasa.”
“Kamu ngawur, Lit. Kasih gak kenal umur, gak kenal status sosial, gak kenal ras, gak kenal gender, gak kenal batasan.”
“Aku mungkin menderita phobia.”
“Phobia terhadap apa?”
“Terhadap hubungan ganjil.”
“Itu bukan phobia. Kamu hanya curiga sama hubungan-hubungan yang tidak lazim. Barangkali karena kebanyakan dari hubungan tersebut bersifat transaksional di kepala kamu. Kebanyakan nonton sinetron sih.”
“Trus kalau mereka ternyata berpacaran?”
“So what? Mereka tahu apa yang terbaik bagi hubungan mereka.”
“Kamu gak merasa dikhianati?”
“Dikhianati apa? Gak ada yang tahu berapa lama lagi Ompung hidup. Dia punya hak ngisi hidupnya dengan kebahagiaan. Aku gak bakal ngerampas itu. Kalau dia berbahagia, aku lebih berbahagia lagi. Mungkin mereka kelihatan ganjil buat sebagian orang; tapi tidak untukku.”
“Trus kamu bakal manggil Ompung ke Tante Chapin?”
“Apa itu sebuah konsekuensi?”
“Ya dong.”
“Nggaklah. Itu hanya bisa disebut konsekuensi kalau ada beban—yang lahir dari keputusan tersebut—yang harus kamu tanggung. Buatku, manggil ‘Ompung Boru’ ke Tante Chapin bukan beban. Aku gak merasa terbebani. Ingat, Lit..., aku malah berbahagia.”
Tanpa berbalik badan, Badru mengacungkan jari jempolnya ke belakang.
Pintu mobil dibuka. Wajah bulat telur nongol menghias pagi.
“Selamat Pagi.”
“Yang ini yang namanya kosekuensi, Lit,’ selak Dido.
Tiba-tiba Lita merasa semut merah sedang menyengat jari kelingking kakinya.
Iring-Iringan mobil meneruskan perjalanan. Mereka tiba di Monas dalam waktu 40 menit. Anggota rombongan berhamburan dari mobil dengan peralatannya masing-masing: broadcaster, selongsong kabel, kamera, mikrofon, modem yang mengalirkan data dalam kecepatan transfer 72 mbps, headset, laptop, komputer tablet dan beberapa yang lain.
Pemandangan unik terlihat di bagian utara. Seorang lelaki dengan kaki kanan yang buntung, bertopi dan berkaus warna kuning sedang bersiap diri memanjat tebing.
“Siapa dia?” Chapin menunjuk lelaki tersebut.
“Sabr Gorky,” sahut Dira. “Hari ini ulang tahun Jakarta. Dia hendak memanjat Monas untuk berkabar kepada orang-orang tuna daksa bahwa harapan mereka tidak lebih kecil daripada harapan umat manusia lain dalam mendaki cita-cita setinggi apapun.”
Chapin tercengang.
“Impossible is nothing,” seru Brigitta.
Dalam waktu 20 menit seluruh peralatan sudah terpasang dan siap mengabarkan jalannya gerak jalan pagi bersama Jokowi. Orang-orang mulai berdatangan. Sebagian menggunakan kaos putih, ada yang berkaos merah, ada yang melapisi kaosnya dengan baju kotak-kotak. Wajah mereka girang, bersemangat, memancarkan sukacita yang sebentar lagi meledak.
Mereka tak saling kenal tapi bertaut oleh salam dua jari yang terus diacungkan ketika berpapasan satu sama lain. Kamerawan kanal-7 merekam rindu di wajah mereka. Chapin melaporkannya ke seluruh dunia. Suaranya dipenuhi ketakjuban.
“Inilah suara bumi,” kata Chapin. “Inilah wajah-wajah yang meneriakkan gairah tentang kebebasan. Mereka tak rela Indonesia kembali masuk kerangkeng. Dari berbagai sudut Jakarta mereka bangun, berwudhu, bershalat, dan pergi ke luar rumah untuk mengumandangkan pernyataan tegas: jangan rampok kegembiraan kami. Sebagian gereja mungkin kesepian pada pagi ini. Para jemaatnya memilih untuk beribadah di Monas bersama umat beragama lain. Di sini Tuhan hadir. Di sini Tuhan bertindak melalui tangan-tangan yang teracung tinggi: inilah kemenangan manusia, inilah damai dan sejahtera yang melingkupi Indonesia.
Seberapa menggetarkanpun gambar yang tersaji di pesawat komputer Anda, mereka masih tak mampu mewakili luapan gairah yang hanya bisa Anda alami jika Anda hadir di sini. Perubahan sedang terjadi. Tak ada penyandang dana yang perlu membiayai ratusan bus untuk mengangkut mereka ke tempat ini. Tak ada roti dibagikan. Tak ada minuman dihamburkan. Merekalah roti dan minuman itu sendiri. Merekalah roti kehidupan yang maujud dari Roti Perdana; air yang bermula dari sumur Maha Agung. Merekalah roti-roti yang siap dipecahkan bagi orang-orang miskin; air kehidupan yang bersedia mengaliri jiwa-jiwa yang kering.
Entahlah. Lelaki yang sebentar lagi hadir di tengah kita memang bukan Obama. Dia juga bukan Nelson Mandela. Dia bernama Jokowi yang merentangkan tangan kepada semua nyali untuk bergenggaman. Dari sinilah solidaritas dunia sedang dimulai; dari sebuah negeri yang bernama Indonesia; negeri yang kemarin asing bagi dunia; negeri yang sedang mengabarkan kepada kita: sukacita tak bisa dibungkam, nurani tak bisa dibunuh, kebebasan tak bisa ditindas.”
Igor menghampir Stephan. “Tolong liput kerumunan masa dan juga kedatangan Pak Jokowi nanti. Gue butuh itu buat stock shoot video klip Maryati.”
“Aye-aye, skipper.”
“Mond, take some pictures. Grab their smiles, their laughters, their joy.”
“You got it, skipper.”
“Gita, kamu bantu Chapin. Selingi kalimat-kalimat dia dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.”
“Will do”
“Om Badru, I need a scream, I need a Liverpool shout, a blastical one.”
“Blastical? Is that a word?”
“You got me.”
“I did.”
“Go get one for me.”
“Not a problem, Commander.”
Selpon Igor berdering. Amanda.
“Kamu di mana?”
“Di Tom Bradley, 40 menit menuju boarding.”
“Kalian bakal tiba besok?”
“Ya.”
“Secepat itu?”
“Kami tak mampu lebih cepat dari ini.”
“Aku tahu.”
“Kamu terdengar sedang menangis.”
“Kalau kamu ada di sini, kamu bakal meraung. Orang-orang berkumpul di Memorial Park Jakarta. Sekarang sudah ribuan..., sebentar lagi belasan ribu..., aku yakin bakal puluhan ribu.”
“Bersiap untuk demonstrasi?”
“Bukan. Jalan pagi bersama Jokowi.”
“Tanpa pidato?”
“Tak ada pidato. Tak ada umbul-umbul partai. Orang-orang datang seperti sedang berpesta, seperti sedang menyambut Liverpool menjuarai liga Inggris.”
“Tapi Liverpool belum juara.”
“Sebentar lagi..., tak lama lagi. Begitu juga Jokowi..., dan Indonesia.”
“Aku sudah tidak sabar menjejakkan kaki di Jakarta.”
“Tirza ada di dekatmu?”
“Tidak. Dia sedang menikmati mie bakso LA di VIP lounge ini.”
“Sejak kapan negerimu mengenal mie bakso?”
“Sejak Obama jadi presiden.”
Sekarang, puluhan ribu yang dibayangkan Igor sudah mewujud, Sisi utara, barat, timur nyaris sesak oleh masa yang datang bergulung-gulung. Dan pekik terdengar. Bagai guntur, teriakan membahana. Dari kejauhan sana, seorang lelaki ceking dengan mengenakan kaus berwarna putih dan celana berwarna hitam berjalan dengan langkah gegas. Tangannya melambai-lambai. 2 jari teracung serentak ke udara.
Lelaki itu mengucapkan salam singkat. Dia menegaskan tentang betapa pentingnya kemenangan capres nomor 2 di Jakarta. Selanjutnya, tak berpanjang kata, dia nyatakan gerak jalan pagi itu dimulai. Hitung mundurnya terasa jenaka: 5..., 4...., 3..., 2..., mulai.
Tawa meledak, pecah berhamburan. Lelaki itu membelakangi massa dan mengacungkan dua jari. Kamera melingkupnya dari kejauhan. Gambarnya terasa epik, mewakili gelegak di dada puluhan ribu orang yang berkumpul.
Bersama puluhan ribu orang, lelaki itu bergerak, melangkah meninggalkan Monas.
***
“Kamu belum tidur?”
“Malah baru mau nulis?”
“Tak tertarik untuk mengembarai malam bersamaku?”
“Kalau kamu bersedia nunggu sampai tulisanku selesai, aku lebih dari bersedia.”
“Kenapa bukan sekarang? Siapa tahu gairah yang tersisa dari kembara kita bakal melecut kreativitasmu untuk menemukan sudut lain dari debat capres barusan.”
“Sudut itu sudah kutemukan.”
“Apa?”
“Tunggulah sampai tulisan ini selesai.”
“Kalau aku sudah tertidur ketika kamu selesai?”
“Aku bangunkan kamu dengan sentuhanku. Aku bakar tubuhmu dengan cumbuanku.”
“Itu terkategorikan sebagai gangguan, bukan kenikmatan.”
“Pada 30 detik pertama, ya. Di detik-detik berikutnya, kamu bakal marah kalau aku berhenti.”
“Kamu terlalu percaya diri.”
“Bukankah itu yang membuatmu tidak bisa melupakan aku? Kamu selalu merasa nyaman saban kali aku mengendarai tubuhmu, mengendalikan permainanmu, dan menyeretmu ke puncak tertinggi dan lalu terkapar di ujung pekik. Ingat: kamu selalu memekik. Itu membuatku bangga dengan kegilaanku.”
“Itu istillah yang pas?”
“Yang mana?”
“Kegilaan?”
“Aku belum punya istilah lain. Kamu selalu berkata: apa yang kulakukan terhadap tubuhmu lebih dari sekadar kebinalan.”
“Bagaimana dengan kebinatangan?”
“Tak ada kebinatangan dan kemanusiaan dalam seksualitas. Bodoh kamu.”
Lelaki itu bangkit dari tidurnya.
“Mau kemana?”
“Menyeduh seteko teh caramel. Kamu mau?”
“Aku butuh caramel yang lain.”
Mata lelaki itu terpejam sejenak. Dia melangkah ke luar kamar.
Maria mulai menulis.
Phobia
Terima kasih untuk sambutan hangat dari para pembaca. Saat menulis artikel ini, ‘Otentik!’ telah dibaca oleh lebih dari 5.000 orang. Beberapa orang menghubungi saya via japri, minta agar dalam kajian selanjutnya saya bahas juga konten yang disajikan dua capres kita.
Itu permintaan yang tidak bisa saya penuhi. Selain karena saya bukan ahli dalam kebijakan internasional dan pertahanan –sebagaimana topik debat pada minggu malam kemarin, konten juga tak bisa diadili karena merupakan pilihan kebijakan yang diambil masing-masing capres. Apa yang dilihat Prabowo tentang Indonesia barangkali berbeda sangat dengan bagaimana Jokowi memandangnya. Keberbagaian itu merupakan kekayaan. Kadang sebagian darinya beririsan, kadang berseberangan, namun, apapun itu, adalah bagian dari kemajemukan kita.
Kali ini, saya akan mengaji tampilan Prabowo melalui sistematika paparan –selain juga tinjauan lingustika yang merupakan ranah utama penelitian saya.
Baiklah. Kita mulai saja.
Sesi ke-1 dibuka Prabowo dengan kemampuan orasi yang jauh lebih baik daripada debat capres ke-1. Sekarang dia memainkan tempo, memainkan intonasi, memastikan setiap kata terucap dengan bersih, juga menjaga ketat agar ‘kan’ terlafalkan ‘ken’ –tak sepenuhnya berhasil karena di sesi-sesi berikutnya terhitung tiga kali ‘kan’ terbunyi ‘ken’. Sekali lagi, pembunyian vokal di seluruh kalimat tak bersesuai dengan bunyi ‘ken’. Entah apa yang membuat Prabowo mempertahankan itu. Dan saya tersentak ketika acara debat memasuki segmen ke-5.
Dalam pertanyaan ke-2 di segmen itu, Jokowi bertanya: apa ayang salah di dalam hubungan Indonesia dengan Australi sehingga seringkali naik dan turun, sering sekali panas dan dingin?
Saya kira, kata Prabowo, secara jujur saya merasa bahwa masalahnya tidak terletak di fihak Indonesia, Pak Joko. Saya kira masalahnya adalah..., mungkin Australi engh... ada semacam kecurigaan atau phobia terhadap kita.
Kata ‘phobia’ terekam pada sisa waktu 01:36 dari 2 menit waktu yang disediakan bagi Prabowo untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Meskipun Prabowo belum menjadi pemimpin Indonesia dalam acara debat ini, namun dia dituntut untuk menggunakan diksi seorang Presiden. Kata ‘phobia’ tidak dikenal dalam kamus percakapan Presiden yang menyelenggarakan kebijakan luar negeri yang bebas aktif dan berusaha sedapat mungkin mengerjakan good neighbour policy –apalagi dengan beranggapan bahwa ‘1000 teman terlalu sedikit, 1 musuh terlalu banyak.’
Phobia adalah penyakit kejiwaan. Ia mengandung rasa takut berlebih terhadap sesuatu –entah kepada ketinggian, kesesakan, kesepian, ras tertentu dan berbagai hal lain. Betul, tidak ada yang salah atau jahat pada sesuatu yang ditakutkan. Ketinggian bukanlah hal buruk –demikian juga dengan kesepian, orang berkulit hitam, kucing, atau ruang sempit. Kesalahan atau, lebih tepatnya, gangguan ada pada orang yang mengalami ketakutan. Dalam pengertian itu, Prabowo benar. Bukan Indonesia yang salah, tapi Austalia.
Yang jadi soal, kesalahan tersebut tak lantas bisa kita kategorikan sebagai gangguan kejiwaan. Seseorang yang dijambret tasnya ketika berjalan di malam gelap bakal takut ketika harus melewati tempat yang sama di malam hari. Tapi itu bukan phobia. Bersama waktu, tanpa obat atau terapi tertentu, ketakutan itu akan hilang.
Tak demikian halnya dengan phobia. Diperlukan konseling, terapi, bahkan –pada tingkat tertentu—obat penenang untuk menyembuhkan phobia si pasien. Orang yang mengalami phobia terhadap kucing, misalnya, tak mungkin disembuhkan oleh kucing. Orang yang dijangkiti phobia dalam berhadapan dengan orang Afrika tidak mungkin –atau kecil kemungkinannya—disembuhkan oleh terapist dari ras Afrika.
Jika apa yang dialami Australia dalam hubungannya dengan Indonesia adalah semacam phobia, pihak yang berkemungkinan untuk menyembuhkannya pastilah bukan Indonesia. Tapi Prabowo berpendapat sebaliknya: kitalah yang harus aktif meyakinkan Australia bahwa kita adalah tetangga yang baik.
Hanya ada 2 kemungkinan: diagnosis Prabowo yang keliru atau terapinya yang ngaco. Apapun itu, penyakit yang terdapati dalam hubungan antara Indonesia dengan Australia tak mungkin sembuh.
Mungkin saja Prabowo salah ucap. Benarkah? Kita periksa sekali lagi.
“...mungkin Australi engh... ada semacam kecurigaan atau phobia terhadap kita.”
Perhatikan penggal ‘kecurigaan atau phobia terhadap kita’.
Prabowo menggunakan paparan mendaki: kecurigaan atau Phobia.
Kecurigaan bersifat normal. Ia merupakan tanggapan atas kekecewaan. Si penderita tak memiliki ketakutan untuk berhadapan dengan pihak atau situasi yang pernah melahirkan kekecewaan di dalam dirinya. Ketika pertemuan ke-2 atau peristiwa yang sama terjadi lagi dan kali ini dia tidak mengalami kekecewaan, kecurigaan itu lenyap.
Phobia adalah ketakutan yang lahir dari peristiwa tertentu di masa lalu yang mengendap di alam bawah sadar. Jangankan berpikir untuk bersua dengan situasi yang sama, si pasien langsung kabur ketika kepadanya tersaji kemungkinan untuk masuk ke situasi tersebut.
Dengan demikian, dalam tinjauan klinikal kejiwaan, phobia berada di tataran yang lebih berat daripada kecurigaan. Itu sebab Prabowo menaruh phobia sesudah kecurigaan. Ia menggunakan gaya bahasa klimaks: dari kecil ke besar. Lalu, ‘atau’ yang terletak di antara ‘kecurigaan’ dengan ‘phobia’ menegaskan kepada kita bahwa ‘phobia’ bukanlah diksi yang tak disengaja.
Buat Prabowo, bangsa Australia secara kolektif mengidap penyakit kejiwaan tersebut. Sebab, pertanyaan Jokowi melingkup sebuah masa yang panjang dalam relasi Indonesia dan Australia: kadang naik, kadang turun; kadang panas, kadang dingin. Dan jika untuk keadaan seperti itu Prabowo menggunakan istilah phobia, tak pelak lagi, Prabowo beranggapan bahwa seluruh pemerintahan Australia yang menimbulkan turun-naik dan panas-dingin itu menderita gangguan kejiwaan. Lebih serius lagi, kalau sekian pemerintahan mengalami phobia, bisa jadi seisi negeri mengidap penyakit yang sama.
Phobia yang dipilih Prabowo memang menggambarkan seluruh paparannya pada malam itu dalam melihat Indonesia. Tengoklah. Dia menggunakan kata ‘bocor,’ ‘bocor,’ dan ‘bocor.’
Mari kita kaji.
Bocor adalah sebuah keadaan yang tak dirancang, tak dimaksudkan demikian, dan merupakan sesuatu yang diakibatkan faktor eksternal maupun internal. Kebocoran pada saluran air, boleh jadi, diakibatkan kualitas pipa yang buruk, usia pipa yang sudah tua, serta faktor eksternal seperti, misalnya, tergencet oleh benda berat yang membuat pipa tersebut rusak dan akhirnya bocor. Singkat kata, tak ada perancang irigasi atau pemipaan yang dengan sengaja menciptakan kebocoran dalam rancangannya.
Bocor bukanlah aliran yang berbelok.
Prabowo agaknya bereaksi terhadap tanggapan ekonomiman yang menyoal penggunaan istilah bocor bagi angka 1000 trilyun atau 7200 trilyun. Itu bukan bocor, kata Faisal Basri, itu air bah atau tsunami.
Lalu, kemarin malam, Prabowo menjelaskan apa yang dia maksud dengan ‘bocor.’
Bocor, kata Prabowo, adalah ketika kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri.
Itu kacau balau.
Ketika kekayaan dialirkan dari Jakarta ke Papua, tetesan dari kebocorannya—jika ada—hanya mungkin tertemukan pada ruang di antara Jakarta dan Papua; bukan di Singapura, bukan di Australia, atau Malaysia, atau Cina, apalagi Amerika.
Nah, apa yang dimaksud ‘bocor’ oleh Prabowo, di antaranya, adalah aliran bahan baku minyak untuk dikilang di luar negeri dan lalu masuk ke Indonesia sebagai BBM impor. Nilai tambah yang dihasilkannya dinikmati oleh para pengilang di luar negeri.
Itu bukan kebocoran. Itu kebijakan yang keliru.
Tentu penangggulangan atas kebocoran akan jauh berbeda dengan koreksi kebijakan. Treatment-nya berbeda; terapinya bertolak-belakang.
Pertanyaan kita: mengapa Prabowo berkukuh dengan istilah ‘bocor’?
Tabula Rasa, menurut John Locke, adalah teori yang menyatakan bahwa pikiran manusia ketika lahir adalah kertas kosong tanpa aturan dalam memroses informasi. Epistemologi Lockean selanjutnya mengatakan bahwa sumber pengetahuan diperoleh dari pengalaman dan persepsi alat inderanya ketika berinteraksi dengan dunia luar.
Sedikit jahil, karenanya, saya tertarik untuk menemukan kausalitas antara ‘bocor’ dengan ‘phobia’ dalam paparan Prabowo.
Bocor adalah sebuah keadaan yang tidak dimaksud dan karenanya tidak diinginkan oleh si pemilik aliran.
Phobia adalah sebuah gangguan kejiwaan yang tidak bersumber dari faktor-faktor yang bersifat nurtural dalam diri seseorang.
Di sini terlihat sisi positif Prabowo. Dia tidak melihat dua kerusakan atau gangguan tersebut sebagai sesuatu yang bersifat intensional, tidak disengaja, dan tidak merupakan tujuan. Pada Phobia, mau-tidak-mau, Prabowo harus mengakui bahwa dia mendiagnosis adanya faktor internal yang tersimpan di lapisan paling dalam dari memori kolektif orang Australia tentang Indonesia. Pada ‘bocor’, dia menduga Pemerintah Indonesia lalai dan lemah dalam pengawasan.
Tapi, celakanya, itu persepsi Prabowo. Sebab rumusannya tentang bocor ternyata tidak bersesuai dengan kebocoran. Dan rasa takut orang Australia terhadap Indonesia bukanlah ‘cacat’ bawaan lahir.
Lamat-lamat saya menduga, bocor dan phobia adalah waham yang menjelaskan tentang kecurigaan berlebih dalam diri seseorang.
Bagaimana dengan Jokowi?
Saya tidak ingin mengulasnya dalam artikel ini. Beberapa pembaca menuduh saya telah melakukan semacam penggiringan yang membentuk opini keunggulan Jokowi atas Prabowo. Padahal, bukan itu yang saya simpulkan dalam tulisan sebelumnya.
Saya tidak mengatakan Jokowi lebih unggul daripada Prabowo dalam debat pada tanggal 15 Juni 2014. Saya hanya berkata: Jokowi lebih otentik.
Apakah Jokowi lebih baik? Belum tentu. Otentisitas tidak menyimpulkan keunggulan melainkan sekadar tentang seberapa jujur seseorang dengan apa yang dia katakan.
Pada akhirnya, ada satu yang tersimpulkan telak. Kemampuan oratorik Prabowo memang unggul jauh dibanding Jokowi –meski di beberapa bagian saya akhirnya bosan dengan pemuaian kalimat yang sama sekali tidak mengandung muatan emosi apapun.
Untuk kesimpulan itu, beberapa pendukung Jokowi memrotes saya. Orator ulung bukanlah seorang yang hanya mampu berpidato tapi juga tahu apa yang dia katakan dan selanjutnya tahu bagaimana mengerjakannya.
Keliru!
Orasi dan orator berakar pada kata ‘orare’ yang berpadan dengan ‘bicara.’
Cukup. Itu saja. Tidak lebih dari itu.
Hari Rabu, saya akan menulis tentang presentasi Jokowi dalam debat capres 22 Juli tanpa membandingkannya dengan Prabowo.
***
Maria menyalakan stereo set di kamar mereka. Sebuah lagu terdengar lembut, “A Soft Place To Land”. Ini pas untuk memulai kembara dengan keheningan.
Dia naik ke ranjang dan mencumbu telinga lelaki itu. “Aku butuh caramel,’ bisiknya.
Callin' it quits
You think this is easy
I swear I heard you callin' the jury
Call it a catch
Without any strings attached
Well I'm lookin' for a soft place to land
The forest floor
The palms of your hands
I'm lookin' for a soft place to land
I call it an ace
You've gotta believe me
But you're callin' me names not to my face
But you're calling my spade a bluff
Callin' it love
Call me in the night
I don't mind, I don't care, I can't sleep,
Call me in the day, in my car, on my way
Call me by name, all I want is to hear you say
Well I'm lookin' for a soft place to land
The forest floor
The palms of your hands
I'm lookin' for a soft place to land
The forest floor
The palms of your hands, palms of your hands
(sila klik tautan ini)
Episode-episode selanjutnya dapat Anda ikuti di laman ini
@munaxp
facebook.com/muna.panggabean
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H