“Nek aku melu Prabowo?”
“Lha piye to Yai ki? Itu malah lebih ndak jelas dibanding Jokowi. Pesantren kita cuma berjarak dua puluh kilo dari Porong. Dhek e, sing ngelumpuri Porong, ono di barisane Prabowo. Aku yo gelo nek kudu melu Yai nderek Prabowo.”
“Trus maksudmu opo?”
***
Bangku itu telah berusia lebih dari 30 tahun, telah diduduki lebih dari sepuluh ribu siswa. Ia tetap kokoh. Sebagian berkata: ini bukti dari ketangguhan masa lalu. Hari ini orang-orang memproduksi barang dengan masa pakai terukur agar konsumer datang lagi untuk melakukan pembelian ulang. Jaman dulu, para tukang kayu digenjot gairah untuk menggergaji, menyerut, memaku dengan tekun agar kursi atau meja yang dihasilkan bisa bertahan selama mungkin, kalau perlu: abadi.
Maryati duduk di kursi itu, merasakan sejenak lagi kehangatan dan kekokohannya sebelum pekan depan ia mungkin tak akan kembali ke sekolah ini bertahun-tahun. Urusan hari ini sudah selesai. Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional ada di tangan. Tapi dia masih berat untuk melangkah pergi. Untuk segala yang baik, kita tak boleh meninggalkannya dengan pintu terhempas, pikirnya.
Suara langkah dari lapangan basket terdengar menderap tergesa.
“Sudah selesai,” tanya pemilik langkah itu.
Maryati mengangguk. Dia menekan dua telapak tangannya ke bangku untuk menumpukan berat tubuh di bagian pinggang hingga kepala. Dua kakinya bergesekan dengan lantai, maju-mundur bergantian.
“Kenapa belum pulang?”
“Nunggu kamu.”