Mohon tunggu...
Muna Panggabean
Muna Panggabean Mohon Tunggu... -

seorang pengamat sastra sekaligus pelaku, esais, dan budayawan. tapi yang lebih penting daripada itu semua: seorang ibu rumah tangga, ibu dari 3 puteri dan 2 putera.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Antar Kamu ke Sana

4 Juni 2014   14:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tahap-2: deklarasi.
Tahap ini akan dieksekusi tepat pada malam berakhirnya masa kampanye dalam bentuk pergelaran kesenian. Dira didapuk sebagai produser. Mereka perlu menghubungi pekerja seni yang bersedia mendukung tanpa imbalan honor. Kembali mereka dibingungkan soal nama sebelum Maryati kemudian mengacungkan tangan: Malam Kesenian Bawang Merah, katanya dengan suara mantap.

“Bawang merah?” Dido terbahak. Lita kontan menyepak lelaki Syria itu.

“Di dalam dirinya,” kata Maryati dengan tenang,” bawang merah menyimpan dua warna: ungu –orang jawa menyebutnya merah, dan putih. Itu lambang kaum abangan dan relijius sebagaimana partai-partai pendukung Jokowi. Dua warna itu sesuai dengan nomor urut capres Jokowi. Itu dualitas yang mengkonstruksi seluruh realitas dan menjadi lambang bagi kemanunggalan pemimpin dengan rakyatnya. Bawang merah adalah bumbu dapur yang terdapat di rumah rakyat Indonesia, baik miskin maupun kaya. Bawang merah jadi idiom yang mempersatukan kita semua. Di dalam bawang merah, masa lalu berjumpa dengan hari ini dan menyapa hari esok.”

“Saya putuskan, website kita bernama Bawang dash Merah dot co,” sambut Yoram.

Tahap-3: pemenangan.
Masing-masing orang yang terkoneksi akan didorong untuk melakukan kunjungan ke 20 orang selama 4 hari.

***

episode ke-4: identitas

Dengan kerja keras, Dido dan Raymond berhasil melampaui passing grade jurusan yang mereka tuju di Universitas Indonesia –Igor, Stephan, Brigitta, Lita, dan Stephan sudah lebih dulu diterima di sana melalui jalur undangan SMPTN.  Meski demikian, Igor belum puas. Dia putuskan program tutoring tetap dilaksanakan setiap pagi, try-out dilakukan sekali dalam dua hari.

Sehabis sarapan di rumah Igor, mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing. Beberapa pesohor di jagad maya telah dihubungi Dira dan Derina untuk menyebarluaskan pesan-pesan kampanye mereka.

Batas panjang pesan twitter tak boleh lebih dari 140 karakter. Tapi Alida membatasinya lebih singkat lagi: tak boleh lebih dari 110 karakter agar tersedia ruang sebanyak 30 karakter bagi mereka yang meng-RT untuk membubuhkan pesan atau kesan yang bersifat dukungan.

Ini lima tweet pertama yang mereka unggah di hari Selasa:

Kita rengkuh matahari karena pagi adalah sukacita. #Jokowi:identitas-indonesia

Kita rancang masa depan dengan jelas dan berani. #Jokowi:identitas-indonesia

Kita kerjakan rencana kita dengan teguh dan tekun. #Jokowi:identitas-indonesia

Kita serap semua ilmu, berusaha dengan jujur. #Jokowi:identitas-indonesia

Membaca hidup Jokowi, kita bisa berkata tegas: Impossible is Nothing. #Jokowi:identitas-indonesia

***

Jerome menggesek layar selpon, menggesek lagi dua kali dan mengklik aplikasi layanan pesan. Dia klik grup percakapan The Famous Seven dan mulai mengetik.

Jerome: Gue blm tahu jmlh dana yg dibutuhkan Identitas Indonesia. Utk minggu ini, target gue Rp 200jt. Mungkin kita mulai dari kantong masing-masing. Komen?

Atjong: se7. gua 20jt

Dehen: ngikut, 15jt

Sastro: lanjut, 20jt

Elsye: dukung 20jt

Pingkan: okeh, 15jt

Hadid: gw 20jt

Jerome: Amanda $10rb dollar, gue 20jt, total in rp = 250jt. Tlng trf ke Elsye hr ini. Utk kebutuhan pekan depan, gue kabarkan 3 hr lagi. Siap2 hub kenalan kita msng2. Gue jg akan hub Pak Djarwo.

***

“Website kita pakek Flash gak?” Raymond mengambil kertas kosong dan mulai menulis.

“Menurut elo-elo pade,” Yoram membuka laptop-nya.

“Sebisa mungkin kita main gambar,” usul Stephan. “Teks seperlunya aja.”

“Tapi itu bakal berat buat selpon jadul,” protes Nico, “juga buat mereka yang koneksinya lelet.”

“Gak juga. Soal kompresi, kita serahkan ke Rakesh. Paling-paling satu gambar gak lebih dari 20 kilo.”

“Template-nya beli aja, gak usah bangun sendiri. Waktunya gak cukup. Enerji lebih baik kita habiskan buat konten.”

“Setuju,” dukung Lita. “Kita belum nentuin siapa yang jadi fotografer.”

“Itu bagian awak tv Kanal-7. Jangan kita disibukkan hal-hal seperti itu,” saran Yoram.

“Sekarang kita susun site map-nya.”

“Konsumsi dah siap belom,” Dido memandang ke meja di tengah mereka.

“Taruli,” teriak Yoram.

Si gadis keriting muncul setengah badan di balik pintu.

“Konsumsi?” tagih Yoram.

“It’s ready when you’re ready.”

“We are ready.”

“You just started your meeting.”

“No opening then?”

“We are not having dinner, are we?”

“Not at all.”

“So thirty minutes from now.” Taruli menutup pintu.

Itu halaman terakhir dari 3 halaman skrip video Identitas Indonesia. Igor mengangkat wajah dan tersenyum kepada gadis di depannya. Mereka duduk di halaman samping. Gemerisik air dari berbagai sudut mengirim keteduhan.

“Kita cuma butuh dua talent.”

“Ya: ibu yang berusia di pertengahan tigapuluhan, sama anak lelaki dua belas tahun.”

“Aku yang cari tokoh Ibu, kamu cari talent buat karakter anak.

“Lokasinya?”

“Bantar rel kereta api jalan KS Tubun.”

“Waktu?”

“Subuh menjelang fajar.”

“Butuh penataan cahaya yang bagus.”

“Pasti. Aku mau nyari wajah ibu yang rada kartunal supaya dialognya berkesan optimistik.”

“Apa nggak wajah anak lelakinya saja yang kartunal? Dalam budaya apapun Ibu selalu dipersepsikan sebagai sesuatu yang suci: entah malaikat, entah peri. Jangan kita lawan. Wajahnya kita cari yang betul-betul khas Indonesia.”

“Anaknya ingusan? Giginya ompong? Bibirnya tebal?”

“Setuju.”

“Di mana kita cari anak seperti itu?”

“Ada sanggar anak-anak di pinggir Kali Malang. Kayaknya bisa kita temukan di sana.”

“Untuk karakter Ibu seperti yang kamu bayangkan, aku punya calon kuat.”

“Siapa?”

“Inangudaku..., maksudku, tanteku. Dia perempuan Jawa. Dia juga tinggal di bantar rel kereta api.”

“Kenapa pengambilan gambar nggak kita lakukan di rumahnya saja.”

“Kurang dramatik. Rumah inangudaku berjarak tiga-empat meter dari rel kereta. Kalo yang di KS Tubun, maut cuma berjarak satu setengah meter.”

“Pakek ilustrasi musik?”

“Gak usah. Dialogmu kuat. Musik malah bakal jadi gangguan. Kalaupun ada, mungkin a capella sebagai latar.”

“Kamu yang jadi sutradara?”

“Kamu yakin sama kemampuanku?”

“Kata Dido, kamu calon pengganti Steven Spielberg. Kalo Kata Gita, kamu punya kemampuan untuk nendang Michael Bay ke keranjang sampah.”

“Mereka sok tahu.”

“Kalo menurutmu?”

“Oke, akan kukerjakan. Tolong kamu terjemahkan skrip ini ke bahasa Inggris lalu kita kirim ke Amanda. Mungkin dia punya beberapa insight yang berguna.”

“Siapa penata cahayanya?”

“Siapa lagi.”

“Om Badru?”

Igor mengangguk pasti. “Kamu bikin list of property-nya.”

“Gak perlu. Kita pakek saja apa yang ada di dalam rumah tersebut.”

“Gak kepikiran untuk menghadirkan beberapa simbol?”

“Kan sudah ada: si mbok ngupas bawang merah sambil ngomong sama anaknya.”

***

Entah sudah berapa kali potongan tahu di piring itu dicucuk-cucuk dengan garpu.  Ruang rapat lengang, tak ada suara manusia meski dua perempuan duduk berhadap-hadapan.

“Gak enak?”

“Sangat.”

“Tiba-tiba.”

Dira mengangkat wajah. “Aku tak sedang gelisah, kak!”

“Potongan tahu itu berkata lain. Ini gado-gado paling enak di Bogor, kubawa khusus karena tahu kamu selalu gragas menghabiskannya.”

“Hari ini gak enak.”

“Mudah-mudahan karena lidah Bu Prayitno sedang mati rasa sewaktu menyiapkan bumbunya.”

“Mungkin dia lagi ngidam.”

“Umurnya empat puluh lima tahun.”

“Gak berarti gak bisa ngidam.”

“Atau kamu yang ngidam?”

Dira mendelik. “Pacarku pendeta. Sudah sembilan hari dia tidak bersamaku.”

“Kamu ngidam dibelai oleh yang satunya lagi.”

“Kak Maria...,” wajah Dira memelas.

“Kenapa? Dugaanku tak berlebih?”

“Bukan, bukan itu. Kenapa kamu tega menuduhku seperti itu?”

“Tega tak selalu berseberangan dengan kebenaran. Betul, mungkin itu dugaan yang tergolong tega. Tapi juga, betul, itu dugaan yang tak keliru.”

“Jangan sudutkan aku.”

“Tidak. Aku mau bongkar perasaanmu.”

“Gak ada yang gak kusadari, kak. Semua jelas. Aku kenal  aneka getaran yang merambati nadiku. Frekuensi mereka berbeda satu sama lain.”

“Apalagi yang kamu tunggu?”

“Gak ada.”

“Sudah kamu putuskan?”

“Sudah.”

“Sepak dia keluar!”

“Yang mana?”

“Siapapun dia yang tak kamu kehendaki mukim lagi di hidupmu.”

“Tak perlu sesadistik itu. Cukup bagiku kalau Badru berhenti berharap.”

“Tak ada yang salah jika dia terus berharap. Keputusan ada padamu.”

“Aku berharap bukan aku yang membuat keputusan.”

“Ini tentang hidupmu.”

“Ini juga tentang hidup lelaki keparat itu. Biar dia saja yang memutuskan.”

“Dan kalau dia tak mau berhenti?”

“Ya... dia keparat.”

“Itu cukup?”

“Maksud kakak?”

“Menyematkan label ‘keparat’ sepanjang 30 senti di punggung Badru cukup untuk membuatmu merasa aman melanjutkan langkah bersama James?”

***

Lampu bercahaya biru dari sisi kiri dan kanan kolam renang yang ditembak menyilang ke atas membentuk dua sisi segitiga. Dari bagian tengah, menyorot tegak cahaya berwarna emas yang ditembak dari dasar kolam. Ujung dari tiga garis cahaya itu bertemu –seakan mereka memiliki ujung—untuk mencipta bidang.

Dua tangan Amanda bersandar pada garis tepi kolam renang. Sudah tigapuluh putaran tanpa jeda di kolam yang berpanjang 25 meter. Melintas di depannya, seorang gadis sedang merenangi putaran ke-28.

“Dua putaran lagi,” serunya pada gadis itu.

Tak ada jawaban. Hanya kecipak air yang terdengar teratur.

“Sebetulnya kamu masih sanggup 12 putaran lagi.”

Amanda mendongak, menikmati segitiga biru emas. Dia selalu membayangkan itu sebagai gerbang menuju semesta paralel. Tiba-tiba jantungnya serasa dicubit. Seperti apa mereka sekarang di sana? Masih serumah seperti apa yang tersua setahun lalu? Dengan siapa anak perempuan itu menikah? Duh, belasan pertanyaan.

Pertanyaan yang paling mengusik: berada di keluarga mana gadis yang sedang berenang ini di seberang sana? Atau, ini yang paling menggetarkan: eksiskah gadis ini di sana? Di mana Maria? Di mana Igor, Taruli, dan di mana Benjamin?

Cuma Kenisha? Tak adakah anak kedua lahir?

“32 putaran. Itu cukup. Kamu cuma 30.”

“Masih kuat 8 putaran lagi?”

“Rasanya begitu. Tapi aku lihat kamu menikmati langit, aku iri.”

“Aku menikmati gerbang itu.”

“Semesta paralel?”

“Ya.”

“Sebentar kamu berharap bisa bersatu dengan ayahku di kehidupan setelah ini. Sebentar kemudian, kamu bayangkan hidup dengan dia di semesta paralel.”

“Sains tak mengakui reinkarnasi. Itu cuma ada di ranah percaya.”

“Kamu sudah tak percaya lagi?”

“Bukan begitu. Karena semesta paralel lebih rasional, lebih asyik membayangkan Amanda-2 ada di sana bersama Jerome-2 dan Kenisha-2.”

“Dan tak ada Tirza-2.”

“Di titik itu aku merasa terganggu.”

“Mereka bertiga ada di sana.”

“Ya. Aku malah membayangkan ada anak kedua.”

“Lelaki atau perempuan?”

“Lelaki.”

“Seperti apa?”

“Seperti Igor.”

“Hah?”

“Kamu tahu, sewaktu merencanakan kelahiran Kenisha lewat teknologi IVF dulu, kami sepakat memberi nama bayi itu Tigor jika dia lelaki, dan Kenisha jika dia perempuan. Itu sebab aku terkejut ketika tahu adikmu bernama Igor. Separuh dari fantasi ayahmu mewujud bersamaku, separuh lagi hadir dalam hidupnya bersama Maria.”

“Keliru. Seperempat dari fantasi Jerome Siagian hadir melalui kamu, tigaperempatnya lagi melalui Maria Tobing.”

“Ya. Kamu benar.”

“Kamu masih menutup hatimu bagi lelaki lain?”

“Siapapun lelaki itu, dia akan berdiri di antara aku dan ayahmu. Itu menggangguku, mengganggu Kenisha, dan juga mengganggumu, kukira.”

“Aku akui, aku bakal terganggu. Tapi semua orang rela berkorban sedikit buat kebahagiaanmu.”

“Kamu berbahagia dengan keadaan ini?”

“Kita sedang bicara tentang hidupmu.”

“Di dalam hidupku ada kamu.”

Tak ada balasan. Sekarang sepi. Air tak berkecipak. Jam 10 malam waktu California.

“Langit adalah bentangan sunyi. Di sana tak ada bunyi. Aku tak suka kepada bayangan orang-orang yang menempatkan bala tentara malaikat memainkan symphony dan bernyanyi di sana. Riuh, gaduh, merampas satu-satunya tempat bagiku untuk menemukan sepi sempurna. Seluruh kebisingan itu biarlah cuma milik bumi, tak perlu mengotori langit.”

“Tenanglah. Tak ada suara bisa terdengar di ruang hampa udara. Gelombangnya memang melintas tapi tidak membunyikan apa-apa.”

“Lalu kitab-kitab itu omong apa?”

“Mereka adalah berbaris-baris puisi. Nikmati saja keindahannya. Tak perlu ngotot membuktikan apakah itu pernah terjadi atau tidak sebab bukan itu yang ingin disampaikan si penutur.”

“Kamu terdengar seperti Kenisha.”

“Dia kakakku, mewarisi gen ayahku. Ya Tuhan, aku rindu padanya.”

“Tak lama lagi. Kita akan berkumpul dengan dia.”

“Apa maksudmu? Kita tak jadi ke Los Cabos?”

Amanda menggeleng kepala. “Igor memanggil kita pulang.”

“Pulang? Itu untukku. Untukmu?”

“Dia memanggilku pulang.”

“Jarakmu cuma satu senti dari kegilaan.”

“Dia anak lelaki yang pindah dari rahimku ke rahim Maria.”

“Demi orang-orang kudus dan segala yang baik, hentikan racauanmu.”

“Tahukah kamu, semua yang kita bayangkan, kita harapkan, kita mampu imajinasikan --sebagai satu dari sekian pilihan, mewujud telak?”

Tirza tercengang.

“Sebagian dari mereka mewujud di semesta yang kita diami, sebagian lain di semesta paralel. Ada milyaran semesta di sekeliling kita: bertumpuk dan mengalirkan peristiwa.”

“Kamu tidak hidup di sana.”

“Bagaimana kalau aku bisa menyeberang ke sana?”

Tirza menjempa tepi kolam dan mengangkat tubuhnya. “Sebentar lagi jam Chapin siaran. Aku mau mengalirkan suara dari selponku ke pelantam di kolam renang ini. Aku juga mau bikin minuman. Air beras kencur hangat untukmu?”

“Persediaan kita masih ada?”

“Persediaanmu sudah habis. Persediaan di apartemenku di Palo Alto yang kubawa ke sini.”

“Untunglah. Setidaknya, malam ini kita bisa nikmati introduksi dari perjalanan pulang ke Indonesia.”

“Berjanjilah padaku.”

“Apa?”

“Jangan menangis. Aku mencintai Ibuku..., dan juga kamu.”

“Aku cuma sedang mengalami Amanda-2 di semesta paralel.”

“Itu belum tentu ada.”

“Kenapa kita tidak mengharapkannya ada?”

“Karena kitab-kitab bakal tak bermakna. Mereka hanya membincang semesta tunggal. Orang-orang beragama berharap semesta paralel tak perlu ada agar Allah tak terasa jenaka.”

“Dan kalau ada?”

“Tak tahulah. Aku mau ke dalam dulu. 10 menit dan aku akan tenggelam lagi bersamamu.”

***

Alida menuruni anak tangga. Sesosok tubuh muncul di kelokan bawah.

“Salut, cher. Où allez-vous?”

“Je vais pour le déjeuner. Entretien rejoindre??”

“ Lima menit lagi aku siaran.”

“Kamu CEO Kanal-7. Masih kebagian tugas untuk siaran?”

“Aku belum sanggup menepis kenikmatan yang dihasilkannya.”

“Dalam bahasa Indonesia?”

“Inggris. Ini untuk para pendengar Kenisha di belahan Australia, Singapore, Hongkong, menyapa pagi di Eropa dan menembus kegelapan malam di California.”

“Wow. Berapa banyak pendengarmu?”

“Lumayan.”

“Telinga mereka pasti dimanja oleh aksen Shona-mu yang seksi itu.”

Chapin menatap Alida lekat. Sekarang, boru Lubis itu merasa tubuhnya meriang.

***

Dari pelantam di dalam mobil, dering panggilan telephone terdengar. Badru menekan tombol hijau.

“Bos Badru, kita sudah terhubung dengan sebelas barisan relawan Jokowi yang ranting-rantingnya tersebar di 31 propinsi.”

“Bagus. Kita juga butuh relawan di kota-kota kecil, bahkan di kampung.”

“Mereka bisa bantu kita.”

“Berapa lama lagi.”

“Butuh seminggu.”

“Kalian punya lima hari.”

“Itu gokil.”

“Kita memang barisan gokil. Baca tweet Alida?”

“Yang mana?”

“Impossible is nothing.”

“Oke, lima hari.”

“Anto...,”

“Ya...,”

“Gue serius. Gak boleh maling-maling itu punya kesempatan lagi. Beberapa polster sudah kasih perkembangan terkini: margin kita menipis.”

“Gue tahu... Sampai besok pagi.”

“Oke.”

Klik.

Badru mengklik aplikasi radio Kanal-7 di selpon. Suara Chapin segera terdengar di pelantam di mobil:

“Tak ada cinta yang berusia sejenak, atau dua jenak, atau seabad. Cinta selalu abadi –seberapa keraspun upaya kita melenyapkannya atau menganggapnya tak lagi berlaku. Sebagian dari kita mengira, apa yang berakhir di tiga, lima, tujuh atau delapan tahun lalu sebagai masa lalu. Betulkah? Adakah yang bisa kita sebut dengan kini atau saat ini?

Apa yang sedang saya ucap ini segera menjadi masa lalu buat saya ketika sampai di telinga Anda –entah berapa nano sekon waktu yang ditempuh gelombang suara  untuk tiba di pendengaran Anda. Dan apa yang anda dengar saat ini dari mulut saya, segera menjadi masa lalu buat Anda ketika tiba di benak Anda. Itu sebab kita menyebut kotak penyimpan dan pengolah informasi sebagai memory..., memento mori.

Otak kita tak menyimpan kekinian, hanya merekam masa lalu. Bahkan ketika kita membayangkan sesuatu di masa depan dan bayangan itu terekam dalam benak, ia jadi bagian dari masa lalu. Semua yang kita pikir tentang masa depan menetap di dalam masa lalu.

Tak ada yang bisa kita namakan ‘kini’ atau ‘sekarang’. Romansa yang sedang Anda alami dengan tunangan Anda, atau suami maupun istri Anda, juga dengan kekasih Anda, adalah bagian dari masa lalu meski semua itu belum berakhir. Kisahnya menempati ruang yang sama dengan asmara Anda bersama seseorang lain di setahun lalu.....

Alida memutuskan untuk makan di Sate Kiloan Cibubur, lima belas menit berkendara dari kantor Kanal-7. Ia memasang headset di telinga, mengklik aplikasi radio Kanal-7 dan lalu menyalakan mesin. Mobil melaju. Suara Chapin terdengar:

“...Ia tak bisa diusir, tak kunjung pamit. Ada masa ketika kisah-kisah itu tenggelam oleh tumpukan ingatan yang baru. Namun akan tiba saat bagi beberapa konstanta hadir untuk membangunkan mereka lagi. Dan anda gemetar, tubuh anda meriang. Segala yang terjadi di beberapa hari lalu bersama orang-orang yang anda anggap bagian dari masa kini mendadak berganti rasa, kesan, dan dengan cepat memengaruhi denyut jantung. Anda lalu tak percaya: betapa mudahnya Anda berkhianat dari kekinian....”

Siaran Kanal-7 dari cable-tv di rumah Benjamin mengudara. Ini jam Chapin berceloteh. Selalu ada kegirangan yang menyembul cepat di lambung bagian atas oleh suara perempuan itu:

“...Anda boleh saja menghapus nomor telepon orang tertentu dari selpon Anda, menghapus nama dan alamatnya dari catatan serta membuang semua pernak-pernik peninggalan, tapi orang tersebut tak lenyap. Terlalu banyak konstanta lain yang tak bakal mampu Anda raih, melejit ketika anda genggam, dan lolos ketika berusaha Anda campakkan. Mereka hadir dalam cara, bentuk dan waktu yang sekonyong-konyong.

Amanda mencecap air beras kencur dengan mata terpejam. Suara Chapin terdengar jernih dari 8 pelantam yang mengelilingi 4 dinding di sekitar kolam renang.

“Masa lalu dan semua yang Anda anggap masa kini bukan siapa-siapa, bukan pula apa-apa. Mereka hanya proyeksi dari pikiran Anda, berpendar, bekerjapan, di sini, dan di sana, dan di sebelah sana, juga di sebelah sini. Andalah pemilik realitas. Andalah pusat dari semua yang ada.”

Lagu Can’t Shake You mengudara. (klik tautannya di sini untuk mendengar lagu tersebut )

I still change the station
every time they play that song
Cant’ drive past your house
so I take the long way home
Your black leather jacket
stil hanging’ in my closet
I wish that I gould give it away
Oh even though you’re gone, somehow you stay

Buzz terdengar dari selpon Dira. Sebuah sandek: 'dengarkan lagu dari Chapin di radio Kanal-7'. Dira meraih saklar di dinding ruang rapat dan memencet sisi kanannya. Maria menggeleng kepala.

And every other time a love said goodbye
I just shake it off, shake it off
Pour another drink so I don’t feel a thing
I just shake it off, break it off
Erased all your numbers, blocked all your calls,
tried another lover, built up my walls,
told myself it’s over, don’t know what else I can do
I can’t shake you.

Tirza menyodor beberapa lembar tissue kepada Amanda. Perempuan itu menolak. “Air kolam renang ini cukup untuk membasuh mataku.”

“Kamu tak menepati janjimu.”

“Kamu pun tahu aku tak sanggup menepatinya.”

Laman Badru sudah terpampang di selpon. Dira hanya perlu menulis sebaris kalimat dan mengklik tombol send lalu semua selesai.

“Kamu tidak sedang mencampakkannya,” Maria mengirimkan tatapan hangat.

Dira mulai mengetik.

Sate Kiloan masih seperti dulu: empuk dan dilabur dengan rempah-rempah entah apa yang membuatnya terasa sebagai delivery dari Yaman yang tiba dengan menggunakan teleport. Alida duduk sendiri. Headset terpasang di telinga dan..., tentu saja mengalirkan suara yang sudah lama terbenam di balik lapisan kulit. Ada yang menggelitik pinggang, lalu turun ke bawah. Entah siapa. Get inside me to find you. Sate Kambing? Anjrit. Ini pilihan menu yang menyesatkan. Tiba-tiba dia merindu Paris.

I didn’t wanna be here
but my friends all love this bar
I don’t wanna see you
but I’m wondering where you are
And why I still keepin
the shirt you used to sleep in
It’s been sittin there for over a year
Oh even though you left me you’re still here

***

episode ke-5: Phobia

Indonesia nyaris terbelah dua. Layar twitter, jendela facebook, laman path, monitor youtube diisi oleh keberpihakan rakyat kepada 2 capres. Peberdaannya terlihat jelas: pesan-pesan kampanye dari dan untuk Prabowo Subianto lahir dari komando yang berpusat di Rumah Pemenangan Prabowo. Semburat harapan dari dan untuk kubu Joko Widodo berserak tanpa instruksi, tanpa penyeragaman dan lahir dari keberwarnaan.

Para pekerja seni pun membelah diri, masuk ke dua kubu. Terlihat Ahmad Dhani, Husein ‘Idol, Nowela ‘Idol’ menyanyikan lagu Queen’We Will Rock You’ yang syairnya diubah untuk pemenangan Prabowo. Daniel Ziv, pekerja media dan sutradara film, berlomentar: neo nazi mewarnai tampilan Dhani Ahmad. Itu terlihat telak. Dan, agaknya, Dhani memaksudkannya demikian. Prabowo dikesankan sedemikian rupa sebagai pemimpin tegas yang yang komandonya membahana dan menggerakkan Indonesia memasuki era kebangkitan.

Slank memelopori kehadiran pekerja seni di kubu Jokowi. Tak ada lagu rock. Tak ada pernak-pernik militerisme. Mereka hadirkan cengkok Indonesia dalam lagu Salam Dua Jari. Syairnya bermodel pantun, susunan kwatrin, dengan alur melodi yang mudah diikuti umat, sungguh cocok dijadikan nyanyian komunal. Semua orang bernyanyi. Semua orang bersukacita. Mereka bergegap, memekik, bergelak, dengan wajah-wajah gemebyar menantikan jaman baru datang melanda Indonesia pasca-9 Juli 2014.

Tulisan pertama Maria Tobing yang dicemplungkan di situs Kompasiana dibaca ribuan orang. Bertajuk ‘Otentik!’, tulisan itu membedah personalitas capres melalui kesalahan mereka dalam berbahasa. Maria tidak mengadili kesalahan tersebut melainkan menggunakannya sebagai pintu untuk masuk ke dalam kepribadian dua capres. Kesimpulan Maria: tampilan Jokowi dalam debat capres ke-2 pada tanggal 15 Juli otentik. Hal serupa tidak terlihat pada Prabowo. Maria malah mengetengahkan diagnosis: ada keterpecahan dalam pribadi Prabowo. Lalu Maria berprognosis: keterpecahan yang membuat Prabowo rapuh dan mudah ambruk ketika berhadapan dengan hal-hal yang menghimpit dirinya.

Sejumlah komentar datang sebagai tanggapan. Sebagian pembaca terpesona oleh diksi sederhana yang kuat dan getas dalam tulisan Maria; sebagian lagi terpukau oleh model kajian yang terhitung unik yang disodor dan digelar dengan menggunakan bahasa popular; sebagian lain menuding, ada presuposisi yang belum ditanggalkan Maria ketika memulai kajiannya sehingga berpengaruh pada kesimpulan akhir. Apapun itu, ‘Otentik!’ telah menghias ruang percakapan para calon pemilih dalam pilpres 2014.

Pekan ke-3 masa kampanye berlalu dalam suasana yang mulai mencekam. Wiranto, mantan Menteri Pertahanan sekaligus Panglima TNI di era kejatuhan Soeharto naik ke panggung. Dia bersaksi tentang keadaan di sekitar terbitnya surat pemberhentian Prabowo Subianto dari dinas TNI, enam belas tahun lalu. Para pendukung capres nomor urut 1 menanggapi Wiranto dengan suara-suara yang terhitung sentimental.

Goenawan Mohamad sekarang kuatir. Dia mencuit, menyuarakan kecemasan tentang bangsa yang berkemungkinan terbelah. Apalagi setelah sejumlah purnawirawan kopassus berdiri di depan mikropon: mengancam Wiranto dan menyuruh mantan Menteri Pertahanan sekaligus Panglima TNI di era kejatuhan Soeharto itu untuk diam. Jika masih berkoar, akan kami cari dimanapun Wiranto berada.

Tapi itu hanya segelintir. Sebagian besar rakyat memilih untuk tak terganggu. Mereka berpesta, mereka bernyanyi, mereka berjoged, mereka mendamba jaman keemasan Indonesia. Anak-anak muda tampil ke depan. Ya, satu hal yang mencolok mata: pilpres kali ini adalah tentang orang-orang muda. Mereka hias Indonesia dengah aneka kreativitas dalam mendukung para capres. Inilah sebuah pesta. Inilah latihan agung: keberbedaan dalam dua kubu sebelum memasuki keberbedaan sesungguh: ratusan suku, ratusan bahasa, dan ratusan agama nusantara.

Kubu Prabowo menutup kampanye pekan ke-3 dengan pengumpulan seratusribuan orang di Gelora Bung Karno. Kubu Jokowi memilih cara sederhana: gerak jalan pagi yang bermula di lapangan yang mengelilingi Monumen Nasional.  Hari Minggu itu akan ditutup dengan debat capres ke-3 yang berlangsung di hotel Holiday Inn di bilangan Kemayoran. Maria sudah mempersiapkan diri mengaji tampilan mereka.

Subuh beranjak pergi. Keremangan masih terasa. Iring-iringan mobil berhenti di depan gang. Brigitta turun dari mobil kedua.

“Jangan lama-lama,” seru Dido.

“Gak. Paling tiga menit.”

“Kelamaan. Cukup dua menit.”

“Setengah menit untuk satu soal SIMAK,” balas Brigitta jengkel lalu ngeloyor.

“Tante Chapin nggak kita jemput,” Lita menempuk pundak Badru yang berposisi di belakang kemudi.

“Dia langsung ke lokasi bersama Ompung Benjamin.”

“Setia banget,” tukas Raymond.

“Status mereka gimana sih?” Lita menjawir Igor yang duduk di sisinya.

“Status apa?”

“Hubungan mereka?”

“Ya, hubungan dua manusia. Sama seperti aku sama kamu, kamu sama Dido, kamu sama Om Badru, aku sama Tante Dira, dan lain-lain.”

“Apa nggak ada yang khusus?”

“Kenapa mesti khusus?”

“Jemput-jemputan kayak gitu.”

“Kamu mesti punya hubungan khusus untuk jemput aku..., untuk bezoek aku di rumah sakit, untuk bantu nyalin catatan, untuk nraktir aku minum bajigur, untuk meluk aku kalau aku lagi jengkel atau sedih?”

“Ya nggak.”

“Lalu?”

“Susah menemukan hubungan seperti itu di jaman sekarang.”

“Susah buat kamu melakukan semua itu ke aku?”

“Nggak. Nggak ada halangan sama sekali.”

“Lalu?”

Lita terbungkam.

“Kalau itu semua gak susah untuk kamu lakukan ke aku, kenapa kamu pikir susah untuk dilakukan Tante Chapin ke Ompung?”

“Karena mereka dua orang dewasa.”

“Kamu ngawur, Lit. Kasih gak kenal umur, gak kenal status sosial, gak kenal ras, gak kenal gender, gak kenal batasan.”

“Aku mungkin menderita phobia.”

“Phobia terhadap apa?”

“Terhadap hubungan ganjil.”

“Itu bukan phobia. Kamu hanya curiga sama hubungan-hubungan yang tidak lazim. Barangkali karena kebanyakan dari hubungan tersebut bersifat transaksional di kepala kamu. Kebanyakan nonton sinetron sih.”

“Trus kalau mereka ternyata berpacaran?”

“So what? Mereka tahu apa yang terbaik bagi hubungan mereka.”

“Kamu gak merasa dikhianati?”

“Dikhianati apa? Gak ada yang tahu berapa lama lagi Ompung hidup. Dia punya hak ngisi hidupnya dengan kebahagiaan. Aku gak bakal ngerampas itu. Kalau dia berbahagia, aku lebih berbahagia lagi. Mungkin mereka kelihatan ganjil buat sebagian orang; tapi tidak untukku.”

“Trus kamu bakal manggil Ompung ke Tante Chapin?”

“Apa itu sebuah konsekuensi?”

“Ya dong.”

“Nggaklah. Itu hanya bisa disebut konsekuensi kalau ada beban—yang lahir dari keputusan tersebut—yang harus kamu tanggung. Buatku, manggil ‘Ompung Boru’ ke Tante Chapin bukan beban. Aku gak merasa terbebani. Ingat, Lit..., aku malah berbahagia.”

Tanpa berbalik badan, Badru mengacungkan jari jempolnya ke belakang.

Pintu mobil dibuka. Wajah bulat telur nongol menghias pagi.

“Selamat Pagi.”

“Yang ini yang namanya kosekuensi, Lit,’ selak Dido.

Tiba-tiba Lita merasa semut merah sedang menyengat jari kelingking kakinya.

Iring-Iringan mobil meneruskan perjalanan. Mereka tiba di Monas dalam waktu 40 menit. Anggota rombongan berhamburan dari mobil dengan peralatannya masing-masing: broadcaster, selongsong kabel, kamera, mikrofon, modem yang mengalirkan data dalam kecepatan transfer 72 mbps, headset, laptop, komputer tablet dan beberapa yang lain.

Pemandangan unik terlihat di bagian utara. Seorang lelaki dengan kaki kanan yang buntung, bertopi dan berkaus warna kuning sedang bersiap diri memanjat tebing.

“Siapa dia?” Chapin menunjuk lelaki tersebut.

“Sabr Gorky,” sahut Dira. “Hari ini ulang tahun Jakarta. Dia hendak memanjat Monas untuk berkabar kepada orang-orang tuna daksa bahwa harapan mereka tidak lebih kecil daripada harapan umat manusia lain dalam mendaki cita-cita setinggi apapun.”

Chapin tercengang.

“Impossible is nothing,” seru Brigitta.

Dalam waktu 20 menit seluruh peralatan sudah terpasang dan siap mengabarkan jalannya gerak jalan pagi bersama Jokowi. Orang-orang mulai berdatangan. Sebagian menggunakan kaos putih, ada yang berkaos merah, ada yang melapisi kaosnya dengan baju kotak-kotak. Wajah mereka girang, bersemangat, memancarkan sukacita yang sebentar lagi meledak.

Mereka tak saling kenal tapi bertaut oleh salam dua jari yang terus diacungkan ketika berpapasan satu sama lain. Kamerawan kanal-7 merekam rindu di wajah mereka. Chapin melaporkannya ke seluruh dunia. Suaranya dipenuhi ketakjuban.

“Inilah suara bumi,” kata Chapin. “Inilah wajah-wajah yang meneriakkan gairah tentang kebebasan. Mereka tak rela Indonesia kembali masuk kerangkeng. Dari berbagai sudut Jakarta mereka bangun, berwudhu, bershalat, dan pergi ke luar rumah untuk mengumandangkan pernyataan tegas: jangan rampok kegembiraan kami. Sebagian gereja mungkin kesepian pada pagi ini. Para jemaatnya memilih untuk beribadah di Monas bersama umat beragama lain. Di sini Tuhan hadir. Di sini Tuhan bertindak melalui tangan-tangan yang teracung tinggi: inilah kemenangan manusia, inilah damai dan sejahtera yang melingkupi Indonesia.

Seberapa menggetarkanpun gambar yang tersaji di pesawat komputer Anda, mereka masih tak mampu mewakili luapan gairah yang hanya bisa Anda alami jika Anda hadir di sini. Perubahan sedang terjadi. Tak ada penyandang dana yang perlu membiayai ratusan bus untuk mengangkut mereka ke tempat ini. Tak ada roti dibagikan. Tak ada minuman dihamburkan. Merekalah roti dan minuman itu sendiri. Merekalah roti kehidupan yang maujud dari Roti Perdana; air yang bermula dari sumur Maha Agung. Merekalah roti-roti yang siap dipecahkan bagi orang-orang miskin; air kehidupan yang bersedia mengaliri jiwa-jiwa yang kering.

Entahlah. Lelaki yang sebentar lagi hadir di tengah kita memang bukan Obama. Dia juga bukan Nelson Mandela. Dia bernama Jokowi yang merentangkan tangan kepada semua nyali untuk bergenggaman. Dari sinilah solidaritas dunia sedang dimulai; dari sebuah negeri yang bernama Indonesia; negeri yang kemarin asing bagi dunia; negeri yang sedang mengabarkan kepada kita: sukacita tak bisa dibungkam, nurani tak bisa dibunuh, kebebasan tak bisa ditindas.”

Igor menghampir Stephan. “Tolong liput kerumunan masa dan juga kedatangan Pak Jokowi nanti. Gue butuh itu buat stock shoot video klip Maryati.”

“Aye-aye, skipper.”

“Mond, take some pictures. Grab their smiles, their laughters, their joy.”

“You got it, skipper.”

“Gita, kamu bantu Chapin. Selingi kalimat-kalimat dia dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.”

“Will do”

“Om Badru, I need a scream, I need a Liverpool shout, a blastical one.”

“Blastical? Is that a word?”

“You got me.”

“I did.”

“Go get one for me.”

“Not a problem, Commander.”

Selpon Igor berdering. Amanda.

“Kamu di mana?”

“Di Tom Bradley, 40 menit menuju boarding.”

“Kalian bakal tiba besok?”

“Ya.”

“Secepat itu?”

“Kami tak mampu lebih cepat dari ini.”

“Aku tahu.”

“Kamu terdengar sedang menangis.”

“Kalau kamu ada di sini, kamu bakal meraung. Orang-orang berkumpul di Memorial Park Jakarta. Sekarang sudah ribuan..., sebentar lagi belasan ribu..., aku yakin bakal puluhan ribu.”

“Bersiap untuk demonstrasi?”

“Bukan. Jalan pagi bersama Jokowi.”

“Tanpa pidato?”

“Tak ada pidato. Tak ada umbul-umbul partai. Orang-orang datang seperti sedang berpesta, seperti sedang menyambut Liverpool menjuarai liga Inggris.”

“Tapi Liverpool belum juara.”

“Sebentar lagi..., tak lama lagi. Begitu juga Jokowi..., dan Indonesia.”

“Aku sudah tidak sabar menjejakkan kaki di Jakarta.”

“Tirza ada di dekatmu?”

“Tidak. Dia sedang menikmati mie bakso LA di VIP lounge ini.”

“Sejak kapan negerimu mengenal mie bakso?”

“Sejak Obama jadi presiden.”

Sekarang, puluhan ribu yang dibayangkan Igor sudah mewujud, Sisi utara, barat, timur nyaris sesak oleh masa yang datang bergulung-gulung. Dan pekik terdengar. Bagai guntur, teriakan membahana. Dari kejauhan sana, seorang lelaki ceking dengan mengenakan kaus berwarna putih dan celana berwarna hitam berjalan dengan langkah gegas. Tangannya melambai-lambai. 2 jari teracung serentak ke udara.

Lelaki itu mengucapkan salam singkat. Dia menegaskan tentang betapa pentingnya kemenangan capres nomor 2 di Jakarta. Selanjutnya, tak berpanjang kata, dia nyatakan gerak jalan pagi itu dimulai. Hitung mundurnya terasa jenaka: 5..., 4...., 3..., 2..., mulai.

Tawa meledak, pecah berhamburan. Lelaki itu membelakangi massa dan mengacungkan dua jari. Kamera melingkupnya dari kejauhan. Gambarnya terasa epik, mewakili gelegak di dada puluhan ribu orang yang berkumpul.

Bersama puluhan ribu orang, lelaki itu bergerak, melangkah meninggalkan Monas.

***

“Kamu belum tidur?”

“Malah baru mau nulis?”

“Tak tertarik untuk mengembarai malam bersamaku?”

“Kalau kamu bersedia nunggu sampai tulisanku selesai, aku lebih dari bersedia.”

“Kenapa bukan sekarang? Siapa tahu gairah yang tersisa dari kembara kita bakal melecut kreativitasmu untuk menemukan sudut lain dari debat capres barusan.”

“Sudut itu sudah kutemukan.”

“Apa?”

“Tunggulah sampai tulisan ini selesai.”

“Kalau aku sudah tertidur ketika kamu selesai?”

“Aku bangunkan kamu dengan sentuhanku. Aku bakar tubuhmu dengan cumbuanku.”

“Itu terkategorikan sebagai gangguan, bukan kenikmatan.”

“Pada 30 detik pertama, ya. Di detik-detik berikutnya, kamu bakal marah kalau aku berhenti.”

“Kamu terlalu percaya diri.”

“Bukankah itu yang membuatmu tidak bisa melupakan aku? Kamu selalu merasa nyaman saban kali aku mengendarai tubuhmu, mengendalikan permainanmu, dan menyeretmu ke puncak tertinggi dan lalu terkapar di ujung pekik. Ingat: kamu selalu memekik. Itu membuatku bangga dengan kegilaanku.”

“Itu istillah yang pas?”

“Yang mana?”

“Kegilaan?”

“Aku belum punya istilah lain. Kamu selalu berkata: apa yang kulakukan terhadap tubuhmu lebih dari sekadar kebinalan.”

“Bagaimana dengan kebinatangan?”

“Tak ada kebinatangan dan kemanusiaan dalam seksualitas. Bodoh kamu.”

Lelaki itu bangkit dari tidurnya.

“Mau kemana?”

“Menyeduh seteko teh  caramel. Kamu mau?”

“Aku butuh caramel yang lain.”

Mata lelaki itu terpejam sejenak. Dia melangkah ke luar kamar.

Maria mulai menulis.

Phobia

Terima kasih untuk sambutan hangat dari para pembaca. Saat menulis artikel ini, ‘Otentik!’ telah dibaca oleh lebih dari 5.000 orang. Beberapa orang menghubungi saya via japri, minta agar dalam kajian selanjutnya saya bahas juga konten yang disajikan dua capres kita.

Itu permintaan yang tidak bisa saya penuhi. Selain karena saya bukan ahli dalam kebijakan internasional dan pertahanan –sebagaimana topik debat pada minggu malam kemarin, konten juga tak bisa diadili karena merupakan pilihan kebijakan yang diambil masing-masing capres. Apa yang dilihat Prabowo tentang Indonesia barangkali berbeda sangat dengan bagaimana Jokowi memandangnya. Keberbagaian itu merupakan kekayaan. Kadang sebagian darinya beririsan, kadang berseberangan, namun, apapun itu, adalah bagian dari kemajemukan kita.

Kali ini, saya akan mengaji tampilan Prabowo melalui sistematika paparan –selain juga tinjauan lingustika yang merupakan ranah utama penelitian saya.

Baiklah. Kita mulai saja.

Sesi ke-1 dibuka Prabowo dengan kemampuan orasi yang jauh lebih baik daripada debat capres ke-1. Sekarang dia memainkan tempo, memainkan intonasi, memastikan setiap kata terucap dengan bersih, juga menjaga ketat agar ‘kan’ terlafalkan ‘ken’ –tak sepenuhnya berhasil karena di sesi-sesi berikutnya terhitung tiga kali ‘kan’ terbunyi ‘ken’. Sekali lagi, pembunyian vokal di seluruh kalimat tak bersesuai dengan bunyi ‘ken’. Entah apa yang membuat Prabowo mempertahankan itu. Dan saya tersentak ketika acara debat memasuki segmen ke-5.

Dalam pertanyaan ke-2 di segmen itu, Jokowi bertanya: apa ayang salah di dalam hubungan Indonesia dengan Australi sehingga seringkali naik dan turun, sering sekali panas dan dingin?

Saya kira, kata Prabowo, secara jujur saya merasa bahwa masalahnya tidak terletak di fihak Indonesia, Pak Joko. Saya kira masalahnya adalah..., mungkin Australi engh... ada semacam kecurigaan atau phobia terhadap kita.

Kata ‘phobia’ terekam pada sisa waktu 01:36 dari 2 menit waktu yang disediakan bagi Prabowo untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Meskipun Prabowo belum menjadi pemimpin Indonesia dalam acara debat ini, namun dia dituntut untuk menggunakan diksi seorang Presiden. Kata ‘phobia’ tidak dikenal dalam kamus percakapan Presiden yang menyelenggarakan kebijakan luar negeri yang bebas aktif dan berusaha sedapat mungkin mengerjakan good neighbour policy –apalagi dengan beranggapan bahwa ‘1000 teman terlalu sedikit, 1 musuh terlalu banyak.’

Phobia adalah penyakit kejiwaan. Ia mengandung rasa takut berlebih terhadap sesuatu –entah kepada ketinggian, kesesakan, kesepian, ras tertentu dan berbagai hal lain. Betul, tidak ada yang salah atau jahat pada sesuatu yang ditakutkan. Ketinggian bukanlah hal buruk –demikian juga dengan kesepian, orang berkulit hitam, kucing, atau ruang sempit. Kesalahan atau, lebih tepatnya, gangguan ada pada orang yang mengalami ketakutan. Dalam pengertian itu, Prabowo benar. Bukan Indonesia yang salah, tapi Austalia.

Yang jadi soal, kesalahan tersebut tak lantas bisa kita kategorikan sebagai gangguan kejiwaan. Seseorang yang dijambret tasnya ketika berjalan di malam gelap bakal takut ketika harus melewati tempat yang sama di malam hari. Tapi itu bukan phobia. Bersama waktu, tanpa obat atau terapi tertentu, ketakutan itu akan hilang.

Tak demikian halnya dengan phobia. Diperlukan konseling, terapi, bahkan –pada tingkat tertentu—obat penenang untuk menyembuhkan phobia si pasien. Orang yang mengalami phobia terhadap kucing, misalnya, tak mungkin disembuhkan oleh kucing. Orang yang dijangkiti phobia dalam berhadapan dengan orang Afrika tidak mungkin –atau kecil kemungkinannya—disembuhkan oleh terapist dari ras Afrika.

Jika apa yang dialami Australia dalam hubungannya dengan Indonesia adalah semacam phobia, pihak yang berkemungkinan untuk menyembuhkannya pastilah bukan Indonesia. Tapi Prabowo berpendapat sebaliknya: kitalah yang harus aktif meyakinkan Australia bahwa kita adalah tetangga yang baik.

Hanya ada 2 kemungkinan: diagnosis Prabowo yang keliru atau terapinya yang ngaco. Apapun itu, penyakit yang terdapati dalam hubungan antara Indonesia dengan Australia tak mungkin sembuh.

Mungkin saja Prabowo salah ucap. Benarkah? Kita periksa sekali lagi.

“...mungkin Australi engh... ada semacam kecurigaan atau phobia terhadap kita.”

Perhatikan penggal ‘kecurigaan atau phobia terhadap kita’.

Prabowo menggunakan paparan mendaki: kecurigaan atau Phobia.

Kecurigaan bersifat normal. Ia merupakan tanggapan atas kekecewaan. Si penderita tak memiliki ketakutan untuk berhadapan dengan pihak atau situasi yang pernah melahirkan kekecewaan di dalam dirinya. Ketika pertemuan ke-2 atau peristiwa yang sama terjadi lagi dan kali ini dia tidak mengalami kekecewaan, kecurigaan itu lenyap.

Phobia adalah ketakutan yang lahir dari peristiwa tertentu di masa lalu yang mengendap di alam bawah sadar. Jangankan berpikir untuk bersua dengan situasi yang sama, si pasien langsung kabur ketika kepadanya tersaji kemungkinan untuk masuk ke situasi tersebut.

Dengan demikian, dalam tinjauan klinikal kejiwaan, phobia berada di tataran yang lebih berat daripada kecurigaan. Itu sebab Prabowo menaruh phobia sesudah kecurigaan. Ia menggunakan gaya bahasa klimaks: dari kecil ke besar. Lalu, ‘atau’ yang terletak di antara ‘kecurigaan’ dengan ‘phobia’ menegaskan kepada kita bahwa ‘phobia’ bukanlah diksi yang tak disengaja.

Buat Prabowo, bangsa Australia secara kolektif mengidap penyakit kejiwaan tersebut. Sebab, pertanyaan Jokowi melingkup sebuah masa yang panjang dalam relasi Indonesia dan Australia: kadang naik, kadang turun; kadang panas, kadang dingin. Dan jika untuk keadaan seperti itu Prabowo menggunakan istilah phobia, tak pelak lagi, Prabowo beranggapan bahwa seluruh pemerintahan Australia yang menimbulkan turun-naik dan panas-dingin itu menderita gangguan kejiwaan. Lebih serius lagi, kalau sekian pemerintahan mengalami phobia, bisa jadi seisi negeri mengidap penyakit yang sama.

Phobia yang dipilih Prabowo memang menggambarkan seluruh paparannya pada malam itu dalam melihat Indonesia. Tengoklah. Dia menggunakan kata ‘bocor,’ ‘bocor,’ dan ‘bocor.’

Mari kita kaji.

Bocor adalah sebuah keadaan yang tak dirancang, tak dimaksudkan demikian, dan merupakan sesuatu yang diakibatkan faktor eksternal maupun internal. Kebocoran pada saluran air, boleh jadi, diakibatkan kualitas pipa yang buruk, usia pipa yang sudah tua, serta faktor eksternal seperti, misalnya, tergencet oleh benda berat yang membuat pipa tersebut rusak dan akhirnya bocor. Singkat kata, tak ada perancang irigasi atau pemipaan yang dengan sengaja menciptakan kebocoran dalam rancangannya.

Bocor bukanlah aliran yang berbelok.

Prabowo agaknya bereaksi terhadap tanggapan ekonomiman yang menyoal penggunaan istilah bocor bagi angka 1000 trilyun atau 7200 trilyun. Itu bukan bocor, kata Faisal Basri, itu air bah atau tsunami.

Lalu, kemarin malam, Prabowo menjelaskan apa yang dia maksud dengan ‘bocor.’

Bocor, kata Prabowo, adalah ketika kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri.

Itu kacau balau.

Ketika kekayaan dialirkan dari Jakarta ke Papua, tetesan dari kebocorannya—jika ada—hanya mungkin tertemukan pada ruang di antara Jakarta dan Papua; bukan di Singapura, bukan di Australia, atau Malaysia, atau Cina, apalagi Amerika.

Nah, apa yang dimaksud ‘bocor’ oleh Prabowo, di antaranya, adalah aliran bahan baku minyak untuk dikilang di luar negeri dan lalu masuk ke Indonesia sebagai BBM impor. Nilai tambah yang dihasilkannya dinikmati oleh para pengilang di luar negeri.

Itu bukan kebocoran. Itu kebijakan yang keliru.

Tentu penangggulangan atas kebocoran akan jauh berbeda dengan koreksi kebijakan. Treatment-nya berbeda; terapinya bertolak-belakang.

Pertanyaan kita: mengapa Prabowo berkukuh dengan istilah ‘bocor’?

Tabula Rasa, menurut John Locke, adalah teori yang menyatakan bahwa pikiran manusia ketika lahir adalah kertas kosong tanpa aturan dalam memroses informasi. Epistemologi Lockean selanjutnya mengatakan bahwa sumber pengetahuan diperoleh dari pengalaman dan persepsi alat inderanya ketika berinteraksi dengan dunia luar.

Sedikit jahil, karenanya, saya tertarik untuk menemukan kausalitas antara ‘bocor’ dengan ‘phobia’ dalam paparan Prabowo.

Bocor adalah sebuah keadaan yang tidak dimaksud dan karenanya tidak diinginkan oleh si pemilik aliran.

Phobia adalah sebuah gangguan kejiwaan yang tidak bersumber dari faktor-faktor yang bersifat nurtural dalam diri seseorang.

Di sini terlihat sisi positif Prabowo. Dia tidak melihat dua kerusakan atau gangguan tersebut sebagai sesuatu yang bersifat intensional, tidak disengaja, dan tidak merupakan tujuan. Pada Phobia, mau-tidak-mau, Prabowo harus mengakui bahwa dia mendiagnosis adanya faktor internal yang tersimpan di lapisan paling dalam dari memori kolektif orang Australia tentang Indonesia. Pada ‘bocor’, dia menduga Pemerintah Indonesia lalai dan lemah dalam pengawasan.

Tapi, celakanya, itu persepsi Prabowo. Sebab rumusannya tentang bocor ternyata tidak bersesuai dengan kebocoran. Dan rasa takut orang Australia terhadap Indonesia bukanlah ‘cacat’ bawaan lahir.

Lamat-lamat saya menduga, bocor dan phobia adalah waham yang menjelaskan tentang kecurigaan berlebih dalam diri seseorang.

Bagaimana dengan Jokowi?

Saya tidak ingin mengulasnya dalam artikel ini. Beberapa pembaca menuduh saya telah melakukan semacam penggiringan yang membentuk opini keunggulan Jokowi atas Prabowo. Padahal, bukan itu yang saya simpulkan dalam tulisan sebelumnya.

Saya tidak mengatakan Jokowi lebih unggul daripada Prabowo dalam debat pada tanggal 15 Juni 2014. Saya hanya berkata: Jokowi lebih otentik.

Apakah Jokowi lebih baik? Belum tentu. Otentisitas tidak menyimpulkan keunggulan melainkan sekadar tentang seberapa jujur seseorang dengan apa yang dia katakan.

Pada akhirnya, ada satu yang tersimpulkan telak. Kemampuan oratorik Prabowo memang unggul jauh dibanding Jokowi –meski di beberapa bagian saya akhirnya bosan dengan pemuaian kalimat yang sama sekali tidak mengandung muatan emosi apapun.

Untuk kesimpulan itu, beberapa pendukung Jokowi memrotes saya. Orator ulung bukanlah seorang yang hanya mampu berpidato tapi juga tahu apa yang dia katakan dan selanjutnya tahu bagaimana mengerjakannya.

Keliru!

Orasi dan orator berakar pada kata ‘orare’ yang berpadan dengan ‘bicara.’

Cukup. Itu saja. Tidak lebih dari itu.

Hari Rabu, saya akan menulis tentang presentasi Jokowi dalam debat capres 22 Juli tanpa membandingkannya dengan Prabowo.

***

Maria menyalakan stereo set di kamar mereka. Sebuah lagu terdengar lembut, “A Soft Place To Land”. Ini pas untuk memulai kembara dengan keheningan.

Dia naik ke ranjang dan mencumbu telinga lelaki itu. “Aku butuh caramel,’ bisiknya.

Callin' it quits
You think this is easy
I swear I heard you callin' the jury
Call it a catch
Without any strings attached

Well I'm lookin' for a soft place to land
The forest floor
The palms of your hands
I'm lookin' for a soft place to land

I call it an ace
You've gotta believe me
But you're callin' me names not to my face
But you're calling my spade a bluff
Callin' it love

Call me in the night
I don't mind, I don't care, I can't sleep,
Call me in the day, in my car, on my way
Call me by name, all I want is to hear you say

Well I'm lookin' for a soft place to land
The forest floor
The palms of your hands
I'm lookin' for a soft place to land
The forest floor
The palms of your hands, palms of your hands

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun