Mohon tunggu...
Muna Panggabean
Muna Panggabean Mohon Tunggu... -

seorang pengamat sastra sekaligus pelaku, esais, dan budayawan. tapi yang lebih penting daripada itu semua: seorang ibu rumah tangga, ibu dari 3 puteri dan 2 putera.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Antar Kamu ke Sana

4 Juni 2014   14:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Born from the sky,
we are born to this land.
From a dream, so far away,
I was sent to your heart.
With the stars shining,
we are asked to live as one love.
Never forget, this is.

Trust me to be singlet,
we will sing on the days.
When each voice will be a witness,
each will sing every way.
There’ll be no more empty promises,
we are turning a special page of life.
I will be the one to hold you
in this everlasting dance of love……..

***

Sesosok tubuh muncul dari pintu kaca. Mengenakan kaca mata hitam, lelaki itu nampak sehat, cergas, cemerlang. Dira memeriksa dirinya, kuatir ada degup liar yang muncul tanpa pamit. Lelaki itu melambai dengan tawa segar tanpa beban. Berjarak tiga langkah, dia berhenti.

“Aku boleh memelukmu?”

“Pertanyaan itu menghadirkan kemungkinan bagi penolakan.”

“Kalau begitu, aku tarik pertanyaanku dan langsung memelukmu.”

Pelukan itu hangat. Dira tak percaya kalau dia masih merindukannya. Dengan rasa berat namun risih, dia dorong tubuh lelaki itu pelan. Sekarang sebuah kecupan lembut bersarang di kening. Bekas cukuran jenggot terasa mengusik.

“Kamu cantik.”

“Secantik apa?”

“Secantik perempuan yang tak bisa hilang dari ingatan.”

“Dusta. Kamu meninggalkan aku selama delapan tahun.”

“Itu keluhan?”

“Bukan, sekadar mengingatkan.”

“Kita naik taksi?”

“Nggak. Kita harus berjalan ke areal parkir. Mobil ada di sana.”

Dengan tas ransel di pundak kiri dan koper di tangan kanan, lelaki itu berjalan tegap. Dia betul-betul peduli dengan apa yang dinamakan pose.

Mereka bermaksud menyeberang jalan. Klakson terdengar. Lelaki itu menoleh. Sebuah wajah berhijab nongol dari kaca mobil yang diturunkan.

“Badru,” seru wajah itu.

“Alida.” Badru menghampir Ford Ecosport berwarna merah. Mereka bersalaman.

“Bukankah kamu di Somalia?”

“Aku liburan semester di Jakarta.”

“Sejak kapan kerja kemanusiaan mengenal istilah liburan semester?”

“Sejak perempuan Indonesia ada di sana.”

“Kamu terlihat sehat dan segar.”

“Bagaimana kabar Chapin?”

“Mana aku tahu. Aku baru tiba dari Granada.”

“Liburan semester juga?”

“Nggak. Cuma mau bikin heboh Jakarta.”

“Chapin baik,” selak Dira. “Kanal-7 yang dia pimpin maju pesat.”

“Aku mau ketemu dia.”

“Kenapa nggak sekarang saja?”

“Mana alamatnya?

“Kamu tahu kompleks pertokoan Belanova di Sentul?”

Perempuan itu menanyakannya kepada sopir. Lima detik kemudian, dia berucap tegas, “Yep.”

“Kita ketemu di sana lalu jalan bareng ke tempat dimana Chapin akan berada dalam 1 jam lagi.”

“Sure do.”

Klakson terdengar dari belakang.

“Sampai ketemu di sana.”

Mobil merah melaju. Badru dan Dira menyeberang.

“Kamu gila?”

“Yang mana?”

“Mengumpulkan Chapin, Aku, Alida dan Om Benjamin di satu tempat?”

“Aku percaya kalian akan baik-baik saja.”

***

“Loe jadi jemput gue, ‘kan?”

“Gue dalam perjalanan ke rumah elo.”

“Jangan telat, nanti Chapin ngamuk.”

“Biarin aja dia ngamuk. Makin beringas, dia makin sexy. Gue setuju sama Igor: Chapin dulunya mantan finalis Miss Universe, wakil dari Zimbabwe.”

“Loe ngomongin soal cewek dewasa sama Igor?”

“In a good way.”

“Define ‘good’!”

“We were talking about her personality.”

“Apa hubungannya dengan beringas dan sexy?”

“Gue juga nggak tahu.”

“Yoram.”

“Apa?”

“Igor remaja baik. Jangan loe racunin.”

“Sumpah! Gak sama sekali. Waktu itu gue lagi ngobrol sama Igor di kantor. Chapin lewat, terus secara gak sadar gue ngelihatin dia sampai dia menghilang ke dalam ruangan. Igor langsung komentar: Chapin pasti mantan finali Miss Universe sepuluh tahun lalu. Gue bilang, gue juga curiga seperti itu. Itu doang.”

“Berapa menit lagi loe nyampe?”

“Sepuluh.”

“Gue tunggu elo di depan pagar.”

“Be right there.”

***

Kamu baik-baik saja, Mar?

Kabarku apik, lulus dengan nilai UN peringkat ke-1 di sekolahku. Kabar Mas Paimo?

Ndak ada UN di sini, aku gak punya kabar mengagumkan seperti kamu.

Kabar lainnya?

Biasa-biasa saja. Aku lagi membentuk barisan relawan Jokowi. Anggotaku masih sedikit. Terlalu banyak fitnah. Aku ngarep Kyai Muslih bantu aku. Tapi kayaknya dhek e netral. Aku bingung. Netral itu kalau dua capresnya sama-sama bagus, sama-sama bermoral. Iki ndak, bedanya kayak langit dan bumi. Yang satu main jujur, satunya lagi main kayu. Kok orang baik bisa netral ngeliat keadaan seperti itu?

Aku juga lagi merencanakan sesuatu buat ndukung Pak Jokowi. Temen-temenku banyak. Mereka bersemangat, mau kerja habis-habisan.

Wah hebat kamu.

Bukan aku yang mimpin…, teman sekolahku.

Rencana kalian apa?

Belum tahu, ini baru mau rapat.

Aku dikabari ya.

Nggih.

Siapa tahu ada yang bisa kita kerjasamakan.

Mugo-mugo.

“Paimo…”

Aku dipanggil Kyai Muslih. Nanti kita sambung lagi.

“Dalem, Yai.”

“Kocomotoku ndi?”

“Kayaknya tertinggal di kamar mandi.”

“Kok ndak kamu ambil.”

“Aku ambil sekarang.”

Paimo menutup aplikasi kirim-pesan di selponnya.

***

Pertemuan diadakan di lantai atas. Anto dan rombongannya tiba lebih dulu. Disusul Chapin dan Benjamin. Lelaki tua itu sedikit rikuh. Semua orang bersikap normal. Maria memeluk Chapin dan sejenak tertegun melihat wajah mertuanya yang sumringah.

Badru dan Dira datang kemudian. Di belakangnya, mengikut Alida. Chapin menghambur ke pelukan Alida dan mendekapnya erat. Matanya berkaca-kaca. Sambil menikmati nasi pecal, mereka berbincang berdua, terpisah dari orang-orang.

Yoram dan Derina jadi peserta rapat yang datang paling belakangan. Tidak terlambat. Persis jam 10:30. Chapin mengacungkan jari jempol kepada mereka. Taruli bolak-balik bertanya kepada setiap orang jika ada hal lain yang perlu disediakan. Chapin memanggil Taruli untuk bergabung bersama mereka. Kita sama-sama pemilik rambut keriting, katanya sambil memegang rambut Taruli yang hitam bercahaya. Alida berlari ke luar rumah, mengambil sesuatu dari mobil. Dia kembali dengan kotak berukuran 20 x 20 bertinggi 5 senti dan memberikannya kepada Taruli. Kotak itu masih dingin. Ini kue Samosa dari Somalia, kata Alida, Aku selundupkan ke pesawat dan minta tolong pada awak kabin untuk memasukkannya ke dalam freezer. Ini kue terlarang di Somalia, katanya lagi, bentuknya yang segitiga dicurigai penguasa setempat sebagai lambang trinitas Kristen. Alida mengajak Taruli dan Chapin mencobanya. Itu mirip risoles namun lain bentuk, berisi sayuran dan daging cincang. Enak betul, seru Taruli langsung sesudah gigitan pertama.

Ketika masih berada di cabana, Badru menjelaskan topik pertemuan mereka secara singkat. Dia menawarkan kesempatan kepada Alida untuk bergabung. I’m in, sambut perempuan berhijab itu tegas. Semua orang bertepuk tangan. Taruli memaksa Badru berjanji untuk melibatkan gadis kecil itu dalam gerakan mereka. Pasti, sahut Badru, kamu bertanggungjawab terhadap keselamatan perut kami.

Hal pertama yang mereka bincang dalam pertemuan itu adalah memetakan keadaan terkini dari pertarungan Jokowi dan Prabowo. Derina menyodorkan kajian yang dibuat oleh tim riset Kanal-7. Jerome ikut berkomentar. Benjamin tak ketinggalan. Juga Maria. Amanda ikut hadir melalui layar skype. Dari sana, mereka telisik apa yang masih jadi kelemahan dari kampanye Jokowi. Semua orang setuju dengan pendapat Igor bahwa Prabowo tak punya keunggulan apapun. Mudah diduga, strateji perang kelompok jenderal ini adalah merusak citra Jokowi dengan isyu dan disinformasi untuk melucut semua keunggulan capres dengan nomor urut 2 itu.

Maria angkat bicara. Semua isyu dan fitnah kelas comberan yang dimainkan kelompok Prabowo tidak bisa ditangkal dengan data dan fakta –sekuat apapun itu. Fiksi hanya bisa dilawan dengan fiksi, kata perempuan berusia 47 tahun itu. Kita harus membangun narasi kuat yang menemalikan Jokowi dengan rakyat. Jika dia pemimpin yang lahir dari rakyat dan berbicara dengan suara rakyat, tidak sukar untuk merumuskan narasi semacam itu. Sesudahnya, barulah kita rancang agenda aksi dan kegiatan. Kita tidak boleh bergerak serabutan dengan hanya memasang poster, mengumpulkan orang untuk bicara yang itu-itu saja, apalagi merancang keramaian tak berguna.

Maryati berdiri. Wajahnya teduh. Untuk beberapa detik, dia tatap Igor. Maria tergetar. Ketara betul Maryati ingin agar Amanda Wilde bisa mengikuti gagasannya. Dia mengulangi apa yang kemarin pagi disampaikannya kepada Brigitta namun kali ini dalam bahasa Inggris yang bersih. Ada aksen Jawa di sana, membuat tuturannya terasa natural.

“Sejarah hidup Jokowi adalah teladan unggul bagi rakyat Indonesia untuk bersegera mengubah diri, untuk merebut kembali kejayaan Nusantara yang telah dirampas para koruptor, orang-orang tamak, dan pebisnis culas. Menyerahkan kekuasaan republik ini kepada seseorang yang seumur hidupnya dimanja dan memanja diri dengan limpahan fasilitas serta bantuan orang besar adalah penghinaan kepada rakyat Indonesia yang rela bekerja keras, jujur, tekun, dan rela berkorban. Sejarah hidup jenderal itu bukan jati diri Indonesia. Jokowilah identitas Indonesia.”

Maria berdiri dengan wajah tersima. Semua orang memandang dia. “Itu yang kumaksud..., rumusan itu yang kita cari.” Dia sekarang melangkah ke depan, berdiri di sebelah Badru. “Jokowi adalah identitas Indonesia,” suaranya dipenuhi getaran yang meluap. “Jokowi adalah identitas Indonesia,” ulangnya lagi. “Itu jauh melampaui kontestasi calon presiden. Jika dunia ingin memahami Indonesia, mereka bisa melihatnya melalui Jokowi. Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden Indonesia, seluruh rakyat akan menjadikan Jokowi sebagai rujukan bagi masa depannya masing-masing. Apa yang diperjuangkan Jokowi di sepanjang hidup dan kemudian dia abdikan kepada rakyat negeri ini adalah cara Indonesia dalam membangun kemuliaan: rajin, tekun, bersahaja, gigih, jujur, terbuka kepada seluruh manusia, adil, berbela-rasa, berani berkorban dan tak gentar menghadapi tantangan, bersikap hormat kepada tradisi, tak jeri berhadapan dengan perubahan, sigap, berani mengambil keputusan dan teguh dalam eksekusi. Tolong katakan padaku, yang mana dari semua itu yang bukan sifat Jokowi?”

Tak ada sahutan.

“Itulah Jokowi. Itulah Indonesia yang mau kita bangun kembali. Itulah identitas Indonesia.” Maria menatap Maryati. “Kamu luar biasa,” pujinya sambil menghampir gadis itu dan memeluknya.

“Seperti singlet,” sambut Rakesh, lelaki dari Mombay yang berada di kelompok Anto.

“Maksud anda kaus singlet?” Raymond terbelalak.

“Maknanya mirip seperti itu. Tapi singlet yang saya maksud adalah sebuah terma yang dikenal dalam fisika kuantum. Sepasang partikel dengan putaran ½ dapat dikombinasikan untuk menghasilkan 4 kemungkinan. Tiga dari 4 kemungkinan itu menghasilkan putaran 1 yang disebut triplet; kemungkinan ke-4, karena hanya 1 maka disebut singlet, menghasilkan putaran 0. Pada triplet, probabilitas untuk menemukan dua elektron pada titik yang sama dalam ruang adalah nol. Dengan kata lain, dalam triplet, dua elektron memiliki kecenderungan untuk menghindar satu sama lain. Di keadaan singlet, ada kemungkinan-lebih  untuk menemukan dua elektron pada titik yang sama di dalam ruang. Dua elektron tertarik satu sama lain sehingga menghasilkan putaran 0. Dalam metafisika, putaran 0 disebut diam.”

“Menurut kak Kenisha,” selak Taruli, “dalam numerologi, 0 adalah lambang untuk tidak-yang-mutlak…..ups…,” gadis itu menutup wajahnya dengan dua tangan. “Aku kuatir telah mengucapkan sesuatu yang kacau dan tak ada hubungannya sama sekali.”

Rakesh menghampir Taruli dan mengusap kepala gadis itu. “Kamu telah menajamkan apa yang aku katakan. Dalam keadaan singlet, dua partikel itu tak terpengaruh oleh hal-hal di sekitarnya. Mereka saling hisap bukan untuk meniadakan satu sama lain melainkan, jika dihubungkan dengan spiritualitas, berada dalam kesadaran penuh bahwa mereka tidak dapat dipisahkan. Keadaan singlet secara mutlak meniadakan hal-hal lain.” Lelaki Mombay itu menoleh kepada Raymond. “Demikianlah kaus singlet yang baik. Kaus tersebut harus terbuat dari bahan dan berpotongan tertentu –sedemikian hingga ia seolah tak terpisahkan dari tubuh pemakainya. Tubuh yang mengenakan kaus singlet harusnya tak merasakan ada benda lain yang berada di antara sang tubuh dan pakaian.”

Satu menit tanpa suara.

Selanjutnya, mereka menyusun organisasi dan memilih orang-orang yang tepat. Hampir semua berusul agar Badru yang menjadi ketua. Lelaki itu menolak tegas. Tidak ada yang lebih cocok daripada Igor untuk memimpin kita, katanya dengan tatapan tajam ke semua orang. Mereka lalu mencari orang yang pantas menjadi wakil Igor. Brigitta angkat tangan dan mengusulkan nama Maryati. Dari layar Skype, Amanda Wilde mengacungkan ibu jari. Semua orang setuju. Maryati tersipu. Badru menawarkan diri untuk jadi sekretaris. Mungkin, tepatnya, sekjen, katanya. Tak ada yang menolak. Yoram duduk sebagai direktur program, Derina sebagai direktur riset. Anto dan rombongannya tentu saja kebagian jatah untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan telematika. Brigita dan Lita bergabung dengan Yoram di direktorat program. Dido, Raymond, dan Stephan mengurus semua perlengkapan. Alida didapuk sebagai direktur komunikasi.

Sisa hari itu dihabiskan untuk curah pikiran. Mereka pulang dengan tugas utama: masing-masing memikirkan program yang cocok untuk dikerjakan dalam mewujudkan apa yang telah disampaikan Maryati, Maria, dan Rakesh. Tentu saja tugas utama ada pada Yoram.

Mereka berjanji untuk berkumpul lagi pada hari Senin pagi jam 8:30 di kantor Kanal-7 setelah 7-Sekawan menyelasaikan programtutoringbuat Raymond dan Dido.

episode ke-3: Bawang Merah

Musik menggelegar, membangunkan pagi. Yoram memasuki kotak kaca dengan tergopoh sambil memasukkan t-shirt ke dalam celana jeans, merapikannya sejenak lalu menghempaskan napas dengan lega. “Aku telat bangun,” katanya pada Derina, “baru tidur jam dua ngetik rencana kerja kita.”

Derina bangkit dan menendang kursi Yoram.

“Sumba gila,” rutuk Yoram. “Aku bersumpah nggak bakal jatuh cinta sama kamu,” lanjutnya sambil memasang headphone di kepala.

“Aku?” Derina ngakak, “kamu?” lanjutnya lagi.

Yoram mengucap kata tanpa suara sembari menggerak-gerakkan tangan seakan tak mendengar apa yang Derina katakan. Dari balik kaca, Anwar mengacungkan lima jari. Lalu empat, dan tiga, kemudian dua, satu, berakhir di kepalan tinju.

“Selamat pagi tolan radio Kanal-7, selamat pagi Indonesia, selamat memulai hari. Dari kebisingan roda dan suara starter mobil di garasi rumah-rumah, Derina Zasa hadir menemani Anda untuk menemukan perspektif baru di hari yang baru. Ini hari Senin, hari yang sama dengan pekan lalu, bulan lalu, tahun lalu, dan seabad lalu. Tapi ini hari baru. Ini Senin yang baru sebab kita percaya: Sang Hidup menjadikan segala sesuatunya baru.”

“Dan di sebelah perempuan tak bermutu ini, saya, Yoram Mangundap, bertugas sekuat tenaga untuk menjaga Anda tetap waras dari romantisisme jaman Barok yang ditawarkan Derina –romantisisme yang sebetulnya sudah tak laku lagi dalam hidup kita semenjak The Beatles bersabda: words are flowing out like endless rain into a paper cup; they slither while they pass, they slip away across the universe. Dominasi tertentu selesai karena telah tiba giliran bagi sabda orang Baduy dan firman orang Tomohon menyelinap pergi, menembus batas-batas, berhamburan ke seantero jagad raya.”

Gerakan non-blok didirikan pada tahun 1970 melalui deklarasi Havana. Ada 100 negara yang menjadi anggotanya untuk berkata tegas bahwa mereka tidak bersekutu dan tidak ambil bagian dalam kebijakan maupun kegiatan yang dikerjakan blok barat mapun blok timur. Gerakan ini bertujuan untuk menjamin kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni serta sekaligus menentang segala bentuk blok politik. Gerakan non-blok merepresentasikan 55% penduduk dunia.”

“Pada masa itu, Indonesia dikenal luas karena kepemimpinannya yang kuat dalam gerakan ini. Presiden Soeharto dan Presiden Anwar Sadat acap tampil di panggung untuk menyuarakan sikap gerakan non-blok atas perkembangan dan situasi terbaru. Dari pentas aneka peristiwa yang mengitari gerakan non-blok, kita mengenal, mencatat dan seterusnya mengenang nama Adam Malik yang moncer karena kegesitannya dalam memainkan peranan gerakan non-blok. Tak sepenuhnya gerakan ini berhasil karena kuatnya hegemoni blok barat dan blok timur melalui pengaruh ekonomi dan militer mereka. Namun setidaknya, dunia memperhitungkan mereka.”

“Pagi ini kita akan mempercakapkannya berkait dengan sikap rakyat Indonesia dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung satu bulan dari sekarang.”

“Siapa yang harus berada di kelompok non-blok, siapa yang harus bersikap netral dan pada saat apa netralitas itu kita pegang teguh.”

“Kanal-7 akan membuka saluran telepon bagi para tolan yang ingin curah pendapat dalam acara ini. Jangan kemana-mana, pastikan headset dari gadget Anda tetap menempel di telinga. Setelah klenengan beberapa pedagang berikut ini, kami akan kembali menemui tolan sekalian. Tetaplah di Kanal-7, radio internet.”

***

Paimo berjalan dari satu rumah ke rumah lain. Dia membawa lebih dari seratus lembar poster. Beberapa anak kecil yang berpapasan dengannya minta jatah, Paimo tak latah. “Nanti, sesudah orang dewasa kebagian, kamu boleh ambil sisanya buat dilipat untuk kapal-kapalan,” katanya.

Orang-orang tua menyambutnya ramah. Mereka girang melihat gambar Jokowi bersama Iriana dan dua anak mereka berpose di depan Kabah. Satu foto lagi memperlihatkan beberapa jamaah haji laki-laki berpose bareng Jokowi dan anak lelakinya.

“Katanya, Jokowi Kristen?”

“Kristen kok naik haji, nyai?

“Trus tabloid itu?”

“Gombal.”

“Gombal opo? Tabloid kok gombal?”

“Nanti kalo saya punya duit, saya bikin tabloid; saya beritakan Nyai punya suami dua.”

“Hus, ngawur. Kamu nanti ditangkep.”

“Saya bakal ditangkep kalau nyai lapor. Banyak, nyai, banyak tablod gombal, koran-koran pontal, juga tivi-tivi gatal.”

“Ini bukan poster gombal?”

“Ndak. Makanya saya tulis nama, alamat, dan nomor ponsel saya di setiap lembar. Kalo ada yang keberatan dengan isi poster ini, atau kalau ada yang nyangka saya sedang menyebar kabar bohong, silakan hubungi saya. Kalau perlu, adukan saya ke kantor polisi atau kemana saja.”

“Sampeyan diupah berapa nyebar-nyebar poster ini,” seorang lelaki berambut cepak yang tak begitu dikenal, mojok di dekat kentongan bale warga.

“Sampeyan keleru, Mas. Saya ndak dibayar. Saya sendiri yang datang ngajukan diri untuk nyebar poster.”

“Naïf. Nanti kalo Pak Jokowi sudah dadi presiden, gak mungkin dia ingat sampeyan. Lebih baik ngerjakan yang jelas-jelas saja. Kalau disuruh, ya minta honor. Nek wis dadi presiden, Jokowi ingkar janji, sampeyan ndak rugi apa-apa.”

“Ojo dibalik to, Mas. Saya yang kepingin Jokowi jadi presiden.”

“Sampeyan kepingin opo buat diri sampeyan sendiri?”

Paimo tak tahu. Dia sungguh-sungguh tak tahu. Selintas wajah Maryati bekerjapan di dalam benak. Dadanya berdebar kencang.

***

“Kamu mau ambil jurusan apa?”

“Maunya sih bareng Igor: hukum.”

“Kenapa mesti bareng Igor?” Maryati menepis rambut panjangnya ke belakang.

“Seru aja.”

“Hasil try-out kamu kemarin 32%; masih jauh dari 48%. Waktu tinggal delapan hari lagi. Apa ndak kepikir untuk nurunin target.”

Dido tercenung.

“Jurusan apa yang sebenernya jadi minat kamu?”

“Politik.”

“Kenapa politik?”

“Aku pengen jadi konsultan politik. Seru liat Eep Saefulloh Fatah ngomong kalem di layar tapi kalimat-kalimatnya bikin orang gemetar.”

“Kamu tertarik pada dunia politik?”

“Jadi pelaku, nggak; jadi komentator, ya.”

“Kayaknya ngambil jurusan politik lebih realistik. Passing grade-nya gak terlalu jauh dari kemampuan kamu sekarang.”

“Nanti aku pertimbangkan. Aku perlu bicara sama orangtuaku.”

“Bukan mereka pemilik kamu.”

Dido menatap Maryati. “Kamu firm dengan diri kamu.”

“Tentu. Sejak kelas 11 aku sudah menetapkan pilihan: ngambil Ilmu Ekonomi, lalu S2-nya mau ngambil jurusan Ekonomi, Politik, dan Filsafat di Oxford.”

“Alternatifnya?”

“Gak ada. Aku gak biasa menyusun masa depan dengan membentangkan beberapa alternatif. Masa depanku adalah garis lurus, ndak mendua. Aku hitung yang harus aku persiapkan lalu berusaha sekuat tenaga memenuhi itu. Mbokku pasti gak punya duit, biaya kuliah di Oxford selangit. Aku mau ngejar bea siswa.”

“Bener kamu naksir Igor?”

“Kamu ndak perlu tahu. Itu urusanku sama Igor.”

“Jadi bener?”

“Kok usil? Kerjain soal latihan kamu!”

***

“Aku gak pernah bosen sama susu kedelai Amanda. Setiap hari, sudah hampir setahun, dan aku merasa bertambah sehat,” Faisal mengusap tetesan susu di bibirnya.

“Aku kangen.”

“Kangen apa?”

“Kangen.”

“Ya. Kangen apa?”

“Dipeluk kamu.”

“Aku gak berani nyoba, takut gagal. Sekali gagal, aku gak bakal percaya diri nyoba lagi.”

“Kamu gak mau?”

“Nanti kalau aku sudah yakin betul…, kalau fisioterapisku sudah kasih lampu ijo.”

“Memangnya dia nglarang kamu?”

“Gak! Aku tanya dia: kira-kira kalau malam ini saya coba menggauli istri saya, bakal berhasil, gak….? Dia jawab, gak ada salahnya untuk nyoba. Aku desak: pasti berhasil, gak?”

“Dia bilang apa?” Aminah berdebar.

“Peluangnya lebih besar kalau bapak sudah bisa bangkit dari posisi duduk tanpa bantuan orang.”

“Kemarin kamu bisa bangkit tanpa aku bantu.”

“Baru dua kali; tunggu sampai sepuluh kali.”

“Sebentar lagi Dira berangkat ke kantor, Badru ke Kanal-7. Rumah ini sepi, gak ada siapa-siapa. Kenapa kita gak nyoba?”

“Kalau aku gagal?”

“Aku tetap sayang kamu.”

“Satu kali gagal, kamu tetap sayang. Dua kali gagal, masih sayang. Sebelas kali, kamu puyeng. Dua puluh kali, kamu gampar aku.”

“Gek. Wanneer heb ik ooit onbeleefd met jou...?” Ik mis je ... al bijna vier jaar,” Aminah membelai kepala Feisal.

Bunyi langkah terdengar menuruni tangga. Feisal menepis tangan Aminah. Dia menegakkan tubuh.

“Mulai nanti malam aku menginap di rumah bossku,” Dira meraih susu kedelai.

“Berapa lama? Ada pekerjaan?”

“Sampai kita berangkat ke Solo.”

“Kok?”

“Mencegah terjadinya hal-hal yang mengguncang dunia.”

“Aku nggak mengguncang apa-apa,” suara dari tangga terdengar.

“Kamu ketuk pintuku tadi malam,” Dira menuang susu kedelai ke gelas berwarna biru dan memberikannya kepada lelaki yang sedang melangkah dari anak tangga terakhir.

“Aku mau ngajak kamu ngobrol.”

“Jam 1 pagi?”

“Memangnya kenapa?”

“Gak normal.”

“Halah, di Granada aku terbiasa menelpon Gisella, partner kerjaku, di tengah malam buta pas ada ide gila yang tiba-tiba melintas di kepala. Kalau nggak aku yang datang ke apartemennya, dia yang datang ke apartemenku, lalu kami ngobrol sampai pagi.”

“Aku bukan Gisella. Aku calon istri seorang lelaki.”

“Kamu gak perlu menegaskan itu berulang-ulang. Jangan sampai aku berpikir kamu sedang menantang aku untuk mengobrak-abrik rencana pernikahan kalian lalu melarikan kamu ke Granada. On the second thought, itu gagasan menarik.”

“Gagasan yang bakal menyengsarakan kamu. Aku jamin.”

“Tenga cuidado. La felicidad a menudo se pierde en la última curva,” ucap lelaki itu nyaris tak terdengar sambil menyeruput minumannya.

“Kon ngomong opo?” senggak Feisal kepada Badru

“Nggak ada yang tahu yang bakal terjadi di tikungan terakhir.”

“Tikungan terakhir sudah lewat. Garis finish sudah ditubruk.”

“Kita jalan sekarang? Aku yang setir.

“Ada Pak Trisno.”

“Dia sudah aku telpon semalam. Aku kasih dia libur sehari penuh.”

“Apa hakmu mengatur hidupku?”

“Nggak ada. Sekali-sekali aku pingin bikin orang kecil hidup nyaman.”

“Kamu antar aku ke kantor?”

“Ya, lalu aku ke Kanal-7. Nanti sore jemput kamu.”

“Aku bisa pulang naik taksi.”

“Memang kenapa kalau aku jemput?”

“Aku gak pulang ke sini. Aku sudah bilang sama Abi dan Umi, aku bakal nginap di rumah Bossku sampai bulan depan aku berangkat ke Solo.

Lelaki itu tertunduk.

“Baik. Aku jemput kamu nanti sore dan aku antar kamu ke rumah Jerome.”

“Kamu tidak menghitung kesan yang mungkin timbul di pikiran Jerome dan Maria?”

“Kesan apa? Toh kamu bakal menginap sebulan penuh di sana.”

Dira menghentak sepatunya ke lantai dan bangkit berdiri. “Aku jalan, Abi…, Umi,” ucapnya sambil merangkul ayah mertuanya, memberi kecupan di kening dan pindah ke ibu mertuanya untuk melakukan hal yang sama.

Sampai di pintu, Dira berbalik badan. “Kurangi kecerewetan Abi…, jangan sampai Umi minggat ke Amsterdam. Dan yang paling penting, stroke-mu jangan kumat lagi. Tiga kali serangan sudah cukup. Aku gak punya kesanggupan untuk mendampingi Abi menjalani serangan keempat.”

Feisal tertunduk.

“Angkat dua koperku ke mobil,” sentak Dira pada lelaki di belakangnya.

***

“Aku pulang agak larut nanti.”

“Kau bilang, kau rindu makan daun ubi tumbuk sama ikan teri goreng disambal? Atau besok saja ku masak itu?”

“Ya, Mak, besok saja.  Besok Bapak pulang dari Kendal, bukan?”

Dia sudah rindu sama kau.”

“Semoga sudah takada rencananya lagi untuk membawaku ke psikiater.”

Dahniar merapikan kerudungnya yang hampir melayang dari kepala. “Takada kau buat aneh-aneh di Somalia, bukan?”

“Kalau adapun tak bakal kubilang sama Mamak.”

“Adakah?”

Alida menggenggam jemari ibunya. “Tak ada. Aku diawasi dengan ketat oleh Letjend purnawirawan Soedjarwo. Dua bulan pertama, aku tidur bertiga dengan Kak Elsye dan Kak Pingkan. Setelah mereka pulang ke Indonesia, dimulailah pertarungan itu. Tenanglah, Mak. Sampai saat ini, rasa kasihku kepada orang-orang kelaparan di sana masih sanggup jadi penawar. Mungkin aku bakal terbiasa. Jadi, sudah saatnya Mak bersiap diri berhadapan dengan kenyataan akhir: aku tak menikah dan tak ada cucu bisa Mak harap dariku. Relakan diriku untuk menikah dengan kemiskinan dunia. Tak cuma Bunda Theresa yang sanggup melakukan itu. Muslimah macam Alida Lubis ini pun pantas. Tak begitu, Mak?"

Dahniar menggandeng Alida melangkah ke luar rumah. “Kemana kau pigi hari ini?”

“Bergabung bersama Chapin dan teman-teman Kak Elsye. Kami mau mengadakan rapat, merencanakan beberapa aksi mendukung Jokowi.”

“Chapin?”

“Tak usah Mak kuatir. Percayalah padaku.”

“Kau sudah sanggup?”

“Aku lebih rindu kepada Somalia daripada kepada Chapin. Di sana aku mengasuh duapuluhan anak-anak berusia di bawah 15 tahun.Mereka menangis ketika aku menaiki jeep yang membawaku ke bandara.  “Ma waxaad ka timid dib, tanya mereka berulang-ulang. Pasti, jawabku. Mudoo intee le’eg, tanya mereka lagi. ‘Ku jawab, dua bulan. Satu per satu mereka memelukku dengan air mata. Berat kali langkahku ‘ku rasa.”

“Lalu dengan mendukung Jokowi kau berharap dapat menolong anak-anak Indonesia untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik?”

“Cuma dia harapan kita. Lima bulan di kampung suku Darod, aku terhubung dengan Indonesia melalui tenda relawan Perancis. Setiap malam, di tenda itu, kunikmati berselancar di internet dan mengakses berita-berita tentang negeriku. Dengan melihat kemiskinan yang paling telanjang di Somalia, aku berkata kepada diriku: sudah terlalu lama kita biarkan orang-orang papa di Indonesia menderita karena diperdaya orang-orang besar. Aku tak mau lagi sekadar berdoa untuk Jokowi. Aku harus bertindak. Dan, entah siapa yang mengaturnya, aku berjumpa dengan teman-teman Chapin saat mendarat di Soekarno-Hatta. Aku sepenuhnya merasa: aku dipanggil.”

***

“Non Blok adalah sebuah blok. Dia blok ketiga selain blok timur dan blok barat. Sia-sia para pelopornya menamakan barisan negara tersebut sebagai kelompok Non blok. Tanpa di sadari, mereka sebetulnya malah meneguhkan eksistensi dua blok yang mereka tentang. Non-blok adalah blok yang bukan barat dan bukan timur. Itu keberpihakan kepada sebuah blok baru.

Sikap netral bukanlah non-blok. Kenetralan tidak menghadirkan pilihan baru, tidak menghasilkan pemain baru, tidak menghasilkan kelompok baru. Sikap netral adalah tidak bersikap terhadap apapun. Tidak kepada Jokowi, tidak kepada Prabowo, dan tidak kepada pilihan lain karena pilihan tersebut tak ada.

Sikap netral, dengan demikian, hanya patut diambil dan dimiliki oleh mereka yang tidak terlibat di dalam sebuah kontestasi atau perlombaan. Posisi itu ada pada wasit dan panitia penyelenggara serta mereka yang mengamankan jalannya lomba.

Pertanyaan saya: apakah anda dan saya adalah wasit, atau penyelenggara pemilu, atau aparatus keamanan? Tidak sama sekali. Lalu mengapa kita bersikap netral?”

“Karena pemilu kita menganut asas langsung, umum, bebas, dan rahasia. Saya kira, Yoram, asas rahasia yang kita anut memagari para pemilih untuk merahasiakan pilihannya hingga tiba di bilik suara. Saya merahasiakan pilihan saya di ruang publik, dan menjatuhkan keberpihakan saya kepada salah satu capres di dalam bilik.”

“Dan membiarkan sekarung praktik busuk bertumpahan di kampung-kampung?”

“Kita punya KPU dan Bawaslu. Mereka yang berhak mengadili kecurangan.”

“Saya setuju. Tapi apakah atas nama asas rahasia anda tak bereaksi kepada inisiatif orang-orang yang berkumpul di kubu yang bukan pilihan anda? Saya kira, tidak! Saya mengajak kita semua untuk berpihak dan tidak malu-malu menunjukkan pilihan kita. Inilah pesta yang berlangsung selama 35 hari. Mari kita terlibat dengan tidak hanya pergi ke bilik suara pada tanggal 9 Juli. Berpihaklah kepada capres yang sesuai dengan aspirasi Anda. Dan mari kita bekerjasama untuk memastikan kecurangan tak terjadi, tabloid-tabloid rombengan tidak disebar. Kita cegah berseliwernya Isyu-isyu yang memecah-belah kerukunan sebagai bangsa. Kebenaran dan kebaikan kiranya menjadi pandu kita bersama.”

“Ini memang hari Senin yang baru. Saya tak percaya kalau ternyata saya bakal pernah bersepakat dengan Yoram Mangundap. Ya, tolan kanal-7, mari kita latih diri untuk terbiasa hidup dan bersikap dalam perbedaan. Dengan menunjukkan keberpihakan kita masing-masing dan menyuarakannya melalui cara-cara yang dapat diterima keadaban, masyarakat Indonesia akan semakin dewasa. Kita adalah bangsa yang majemuk. Pilpres ini adalah latihan. Kita mulai dengan keberbedaan dalam dua kubu sebelum kita terlatih untuk hidup dalam keberbedaan ratusan suku, ratusan bahasa, dan ratusan agama di nusantara.”

“Kita tidak perlu netral karena memang kita tidak berada dalam posisi yang diwajibkan untuk netral. Kita berbeda dan semakin bergairah oleh kesadaran akan perbedaan itu. Sebab, bermula dari perbedaanlah cinta mengalir deras. Saya masih ingat sahabat kita semua, Kenisha, pernah berkata: hanya sedikit cerita-cerita gemilang lahir dari keteraturan musim. Namun, lihatlah! Dari musim panen yang datang terlambat atau musim hujan yang tiba terlalu cepat, kita temukan kisah agung dari perbedaan ekstrim yang dihasilkannya: ada korban dan ada mereka yang selamat. Di sana, dalam peristiwa tersebut, kita melihat ribuan tangan terulur untuk menolong mereka yang jadi korban, mereka yang dalam hidup sehari-hari tak pernah kita gubris, tak sekalipun kita sapa. Rutinitas telah mengaburkan keberbedaan di antara kita. Kadang, itu terjumpai sebagai anugerah karena kesamaan membuat kita mudah hidup rukun. Namun, rutinitas juga yang membuat kita tak sadar bahwa ada keberbedaan lain yang lahir bersama waktu. Entah itu status sosial, status ekonomi, atau peristiwa yang mengguncang tiba-tiba. Kita tak lagi sadar bahwa untuk sementara waktu kita sebetulnya sudah berbeda. Lalu jagad raya menyembuhkan kita. Apa yang kita sebut sebagai bencana ternyata kemudian membuka mata kita untuk celik: ada perbedaan yang tak teperhatikan. Perbedaan yang kemudian melahirkan cinta berkobar-kobar untuk menolong mereka dan kadang memuncratkan kerelaan berkorban apa saja bagi orang-orang di sekeliling kita. Mari rayakan perbedaan karena di sana cinta mengalir deras.”

“Cinta, kata seorang yang tak dikenal, ternyata bisa dijelaskan dengan kisah berikut ini:

Anda berdiri di tepi ngarai yang curam, dalam, berangin deras, dan berterik matahari; kekasih Anda berdiri di tepi yang sama namun di seberang. Kalian saling melambai. Anda memiliki parasut, kekasih Anda juga. Namun tali untuk membuka parasut ada di belakang, di bagian punggung, sehingga hanya kekasih Anda yang dapat membukakannya untuk Anda, dan Anda untuk kekasih Anda. Anda terdiam sejenak, ragu, dan mulai putus asa. Apakah Anda siap untuk terjun? Apakah kekasih Anda siap untuk terjun? Jika Anda dan kekasih Anda terjun pada detik yang sama, saling gapai di udara terbuka dan membuat keputusan untuk –salah satu dari Anda yang—membuka parasut, Anda dan kekasih Anda akan meluncur mulus, mendarat dengan empuk lalu pergi ke sebuah meja di bawah sana yang sudah disiapkan bagi kalian berdua untuk menikmati makan malam diterangi cahaya remang dari tiga batang lilin. Jika tidak, kalian bakal binasa, hancur di bebatuan di bawah sana.”

***

“Kita lewat mana sih? Kenapa jadi ngelantur seperti ini. Pak Trisno cuma butuh waktu lima belas menit setiap hari untuk membawaku dari jalan Sumenep ke kawasan Kuningan. Ini sudah dua puluh menit dan kita masih separuh perjalanan.”

“Aku menghindari macet.”

“Banyak alasan. Ini bukan rute yang biasa kami tempuh tiap pagi. Dan rute itu gak pernah macet.”

Badru menggeprak setir dengan telapak tangannya.

“Ya aku memang sengaja berputar-putar agar punya kesempatan untuk ngobrol sama kamu.”

“Ngobrol apa lagi. Relakan aku kawin dengan James. Desember kemarin dari Granada kamu layangkan surat tuntutan cerai melalui kantor Akbar. Sepekan kemudian kita bertemu di perayaan Natal Kenisha. Kamu berubah pikiran. Padahal, aku sudah berjalan jauh meninggalkan sengsara yang kamu muntahkan dengan pergi tanpa pamit, tanpa kabar, ke seberang benua.

Abi uring-uringan ketika kamu minggat. Umi minggat ke Amsterdam karena tak tahan jadi sasaran umpatan Abi atas kepergianmu. Abi dihajar stroke, dua kali, kamu biarkan. Kamu memilih untuk menyembuhkan lukamu di Granada bersama Chapin dan membiarkan aku sendiri dipanggang ketidakjelasan, ketidakmengertian, seorang diri.

Aku minggat ke Solo, balik ke Jakarta lalu bertemu dengan Abi yang sedang terseok-seok menyusur jalan ke mobilnya di sebuah hypermart. Aku yang akhirnya merawat Abi, memandikannya, menceboknya jika dia berak di celana, dan memasak makanan untuknya. Dia lelaki Arab dan muslimin tulen akhirnya berdaya menyayangiku: perempuan katholik yang tak pernah alpa berdoa rosario setiap hari.

Aku bertemu James, jatuh cinta padanya, dan sekarang sedang berencana menikah bulan depan. Kamu pikir kamu siapa dengan tiba-tiba ngajak aku ngobrol untuk menimbang-ulang rencanaku? Ikuti dengan cermat kilas-balikku tadi. Kamu masih sanggup untuk melepas predikat ‘lelaki tak tahu malu, tak tahu diri’ dari jidatmu? Cuih!”

“Aku salah.”

“Bukan hanya salah; kamu bangsat!”

“Ya, aku bangsat dan aku tak mau jadi bangsat dua kali.”

“Apa maksud kamuuu?”

“Kamu ingat masa-masa kita bertarung dengan cibiran orang atas hubungan cinta lelaki arab-muslim dan perempuan katolik. Mereka bilang, tidak ada masa depan dalam hubungan seperti itu. Aku perkenalkan kamu kepada Abi dan dia kontan mengajukan satu syarat: kamu harus jadi mualaf. Kontan juga kamu tolak. Keluargamu pun tak setuju. Tapi kita nekad kawin di Sydney lalu balik ke Jakarta untuk tinggal di rumah Abi. Aku tetap sebagai muslimin, kamu bersetia sebagai perempuan Katolik. Di sana kamu hadapi dengan sabar bagaimana Abi setiap hari berusaha memengaruhimu. Kamu nggak marah, tersinggung pun nggak. Kamu maklumi semua kelakuan Abi.

Kamu hamil. Abi semakin gencar membujuk kamu, kamu semakin sopan dan lembut menolak dia. Lalu, 3 hari sebelum persalinanmu, Abi pergi ke tanah suci menunaikan ibadah umroh. Dia pergi tanpa pamit. Aku menelpon dia dan bertanya apa maksud kepergiannya. Dia jawab: aku mau berdoa khusyu agar Allah membatalkan laknatnya kepada kita.

Air ketubanmu pecah, kamu harus dibawa ke RS. Dalam perjalanan di Jakarta yang macet, air ketubanmu habis, tali pusat terkompresi, bayi kita tercekik dan mati. Aku menduga, doa Abi dikabulkan. Laknat itu dibatalkan hadir di tengah kita. Aku marah kepada Abi, marah kepada Allah, marah kepada dunia dan lalu minggat. Aku tak mau laknat itu menyerang kamu, membunuh kamu. Bertahun-tahun di Granada, aku hidup dalam keyakinan tolol dan jahat seperti itu. Sampai kemudian perayaan natal Kenisha mempertemukan kita kembali. Kamu ternyata setia merawat Abi, mengurus hidupnya dengan penuh cinta. Pada hari itu juga aku tahu, bahwa Abi berdoa kepada Allah agar persalinanmu berlangsung mulus dan kepada kamu serta bayi kita dikaruniakan damai dan sejahtera. Itulah doa yang dengan khusyu dia panjatkan di Ka’bah. Aku malu. Aku tolol, ceroboh dan sombong.

Apa yang kita yakini tentang persahabatan dua agama ternyata maujud di dalam relasimu dengan Abi. Relasi tulus yang mengguncang nalarku, menggetarkan imanku. Aku tidak dipersilakan Sang Hidup untuk ambil bagian di dalamnya karena aku terlalu angkuh, tak cukup rendah hati untuk bertanya jernih kepada Abi.

Aku menyesal. Semua kilas-balik itu membuat aku yakin, kamulah perempuan yang diperuntukkan Sang Hidup bagiku. Aku sadar, aku telah mencampakkannya. Namun, seperti perempuan Kanaan yang memohon kepada Yesus agar diberi jatah remah-remah roti bagi anjing yang jatuh dari piring makan tuannya, demikianlah aku bermohon kepadamu sekarang. Ampuni aku.”

“Aku sudah mengampuni kamu setelah menggamparmu dua kali di perayaan Natal kemarin.”

“Terimalah aku kembali.”

“Kamu ceraikan aku pada Januari kemarin. Aku sudah menandatangani tuntutan ceraimu.”

“Akbar belum mendaftarkannya ke pengadilan untuk minta pengesahan.”

“Apaaa?”

“Secara teknis, kita masih jadi pasangan suami-istri.”

“Kenapa kamu perangkap aku seperti ini?”

“Aku tidak mau melepasmu.”
(klik tautan lagu ini)

“Kamu bedebah, kamu sontoloyo, kamu anjing kurap.” Dira tersengal. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya meronta di udara. “Sebagian dari hatiku memang masih mencintaimu. Dan aku tahu, kamu tahu itu. Itu yang bikin kamu seenaknya menyekapku, melempar aku ke keranjang sampah dan memungutnya kembali.”

“Aku tidak bermaksud begitu.”

“Itu yang aku rasakan. Itu yang aku alami. Kamu selalu melihat peristiwa dari sudut pandangmu sendiri dan berharap orang menggunakan lensamu. Kamu bajingan. Aku mencintai James, Badru. Tapi dari 100 keping hatiku, ada 1 keping dimana namamu tersurat di situ. Aku biarkan saja. Aku tahu, jika 1 keping itu aku angkat ke luar, maka sisa 99 keping hatiku yang bertorehkan nama James bakal rontok berantakan. Meski 1 keping, kamu berada di posisi tertentu yang menjaga keseimbangan bangunan hatiku. Tak ada yang lebih menyiksaku daripada kesadaran semacam itu.

Harusnya, jika kamu arif, jika kamu pecinta sejati, kamu sangkal apa yang aku yakini. Kamu negasi apa yang aku percaya agar 1 keping itu tak perlu diangkat namun bersalin-nama ke James Wilde. Ini tidak. Dengan serakah dan tak tahu malu, kamu klaim 1 keping itu. Kamu sekarang seolah mengancam untuk menarik dan membawanya pergi agar hancur seluruh bangunan hatiku.

Aku memang masih mencintaimu namun tak lagi punya selera untuk berimajinasi tidur di sebelah kamu. Kadang tubuhku menggigil ketika teringat padamu. Ada pada beberapa masa aku teriakkan namamu di dalam gelap. Tapi itu sudah selesai. James Wilde adalah masa depanku, kamu hanya masa lalu. Dan sebagaimana masa lalu manusia, kamu akan kubawa pergi ke mana pun aku melangkah. Di sana, entah di mana, akan aku kenang kembali janin yang pernah mukim selama sembilan bulan, menemaniku siang dan malam, membubuhkan kehadiranmu di dalam tubuhku.

Kamu tak akan lenyap. Gimana mungkin? Kamu pernah jadi api yang membakar gairahku, menyalakan bagian-bagian dingin dari tubuhku untuk menyala bersama kamu, menghanguskan semua yang ada bahkan termasuk tentangan orangtua kita. Kamu pernah membuatku percaya bahwa tak ada yang lebih sempurna daripada cinta kita. Setiap kali memandikan Abi, setiap kali menyabuni bagian penting dari tubuhnya, aku berkata kepada diriku: dari sinilah lelaki yang kucinta bermula.

Tapi ini fase baru dalam hidupku. Dan di fase ini, kamu bernama ‘masa lalu’.

“Aku ada di hari ini dalam hidupmu.”

“Kamu bukan Badru yang itu, bukan Badru yang berdiam dalam 1 keping dari hatiku.”

Dan Dira meraung sambil memukuli dadanya.

“Antar aku ke Kanal-7,” isaknya, “aku perlu bertemu Maria.”

***

Pertemuan dimulai pada jam 08:30. Yoram dan Derina hadir belakangan setelah jam siaran selesai. Semua orang datang dengan gagasan masing-masing. Sebagian dibilang Igor ‘basi’, sebagian membuatnya tercengang.

Igor menentang keras tiap gagasan yang melulu berkibar di dunia maya. Orang-orang perlu didatangi. Mereka tak terkoneksi dengan internet. Aku muak dengan celoteh dan dukungan di internet seakan dengan itu semua orang merasa telah berbuat sesuatu. Bohong, tandasnya. Keras.

Badru tetap menganggap kegiatan di ruang maya sebagai sesuatu yang penting. “Untuk menggelorakan komunitas agar pergi berkunjung ke rumah-rumah,” katanya. Pendapat Badru didukung teman-teman Igor.

Mereka lalu membagi sisa waktu hingga tanggal 9 juli ke dalam 3 tahap.

Tahap-1: penaburan.
Tahap ini dipimpin Yoram dan Alida dan seluruhnya berlangsung di jagad maya. Alida bertugas untuk merumuskan pesan-pesan yang menguraikan tema besar: Jokowi adalah identitas Indonesia. Pesan tersebut dikembangkan ke dalam beberapa tulisan pendek yang diposting di facebook dan dimampatkan ke dalam format 140 karakter yang dicuit di twitter.  Brigitta, Lita, Dido, Nico, juga Arief, Brenda, Yono dan Bayu di berbagai benua mengeksekusinya dengan menggunakan akun masing-masing. Alida menghubungi beberapa kenalan yang memiliki jumlah followers besar untuk membantu penyebaran pesan-pesan tersebut.

Yoram akan membangun website bersama Stephan dan Raymond. Mereka hanya punya waktu 3 hari. Satu hal yang bikin gelagapan adalah nama. Selama setengah jam mereka tak kunjung mendapat kesepakatan dan lalu menaruh itu sebagai pekerjaan rumah yang harus selesai dalam dua hari. Website ini menjadi jangkar bagi seluruh pesan yang dikemukakan, juga kegiatan yang akan dilaksanakan.

Maria kebagian tugas menulis artikel yang mengulas debat capres pada tanggal 15 juni dan 22 juni melalui tinjauan psikolinguistik. Artikel tersebut akan disebar di ruang maya. Kegiatan ini dipandang penting karena dengan mudah menampilkan kelebihan Jokowi. Semua peserta rapat berpikiran sama: Jokowi lebih berintegritas dibanding Prabowo. Dan itu terhitung telak.

Badru bertugas untuk membentuk kantung-kantung pendukung di berbagai daerah. Tentu saja inisiasinya berlangsung di ruang virtual dan lalu diwujudkan di ruang fisikal. Anto beserta rombongannya akan membantu Badru berkunjung ke kantung-kantung tersebut.

Igor dan Maryati ditugaskan untuk membuat dua sampai tiga potongan video berpanjang 90 detik berisi fragmen-fragmen kecil dari sudut-sudut sumuk dan busuk untuk mengartikulasi pesan 'Jokowi adalah Identitas Indonesia'. Igor jadi produser, Maryati menulis skrip. Jika dipandang perlu, Dira akan menghubungi beberapa sutradara video kenalannya untuk bergabung secara pro-bono.

Jerome dan teman-temannya yang dikenal sebagai 7-Sekawan senior bertugas mengumpulkan dana kegiatan. Mereka sudah punya pendukung tetap. Itu tugas yang terhitung mudah.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun