Brigitta tersengat. Dia menutup mulut dengan dua telapak tangannya. “Kamu sudah pacaran sama dia atau lagi mabuk sambel pecel?”
“Pacaran? Belum. Tapi minggu lalu, waktu acara kelulusan, aku sudah bilang kalau aku suka sama dia.”
“Hah???”
“Ndak boleh? Kenapa? Apa karena aku perempuan? Atau karena aku perempuan Jawa? Karena aku puteri penjual pecal? Karena aku perempuan yang setiap bulan nerima bantuan keuangan dari lelaki yang aku suka? Atau karena aku muslimah dan dia orang Kristen? Yang mana menurut kamu yang gak normal?”
“Aku nggak tahu. Trus Igor jawab apa?”
“Dia bilang: aku rapopo,” Maryati terpingkal dan kemudian tersedak. “Dia sudah janji sama Ayah dan Ibunya, juga sama Kak Tirza dan Taruli: nggak mau pacaran sampai kuliah di semester tujuh.”
Brigitta mengembuskan napas panjang.
“Lego ta?”
“Nggak. Biasa aja.”
“Aku cuma nggak mau nyesel; nggak mau suatu saat nanti semua sudah terlambat. Lagian, apa salahnya kalau aku suka sama dia? Apa juga salahnya kalau itu aku utarakan?”
“Kamu nggak kecewa sama jawaban Igor?”