"Nama saya Jaka Pening, Nyi. Saya dari desa sebelah."
"Oalah, Gusti. Kamu anak yang sejak kemarin dibicarakan warga itu, tho?! Sini masuk dulu, Ngger..." Ucapnya ramah. "Saya Nyi Latung. Kamu kenapa ndak ke pendapa desa saja? Semua orang pada pesta daging di sana. Nyai lagi ndak enak badan, makanya di rumah. Apakah... mereka mengusirmu, Ngger?"
Â
"Iya, Nyi. Mereka mengusir dan memukuli saya. Nyai mungkin sudah mendengar tentang saya dari orang-orang. Saya dianggap pembawa sial dan kutukan."
Â
"Jahat sekali orang-orang itu! Kamu ndak usah heran. Warga desa sini memang begitu. Jahat, kikir, tamak, sombong, suka seenaknya. Apalagi kepala desanya juga suka begitu dari muda, tukang mabuk, judi, suka main perempuan. Lihat saja, anak mereka baru meninggal tapi sudah bisa berpesta seperti itu. Hati mereka mungkin sekeras batu.
Nyai juga sering merasakan hinaan mereka, makanya Nyai juga jarang bergaul sama warga desa. Nyai juga tahu, kamu anaknya Ginarsih tho?"
Â
"Nyai.... kenal ibu saya."
"Kenal sekali, Ngger. Kakek kamu dulu orang baik, sering bantuin Nyai kalau kesusahan. Ibumu dulu kembang desa. Cantik, baik pula. Suka ngunjungin Nyai dan bantuin Nyai di sini. Dia sudah seperti anak Nyai sendiri. Sayangnya, kehormatannya dirusak oleh binatang-binatang itu. Sudah, Jaka ndak usah pikirkan semua itu lagi. Biarkan Tuhan yang membalasnya. Jaka lapar 'kan? Nyai masih punya makanan, ayo makan!"
Â