Ki Seladharma menatap jasad Jaka Pening yang masih ada di sana, di dekat bebatuan tempatnya jatuh. Matanya tampak berkaca-kaca, namun ia sendiri tak tahu apa yang ia rasakan. Ia berusaha menepis perasaannya.
Â
"Biarkan saja! Biar jasadnya dimakan binatang buas." Ucapnya.
Â
^^^^^^^
Â
      Dua hari telah berlalu sejak peristiwa yang menggemparkan Desa Pathok itu. Ada kesedihan, dan ada kesenangan keduanya seperti gelap dan terang berdampingan. Ratapan dan tangisan masih terasa atas orang-orang tua yang kehilangan anak-anak mereka. Tak terkecuali Ki Seladharma dan istrinya yang kehilangan kedua anak pertamanya. Namun kehidupan di desa itu tetap berjalan. Sebagaimana yang diucapkan Ki Seladharma, mereka mengadakan pesta besar di pendapa desa. Daging yang mereka dapatkan itu dimasak dan dimakan bersama-sama. Daging itu terlalu banyak untuk dihabiskan dalam dua hari oleh penduduk desa. Pesta itu juga dimeriahkan dengan musik gamelan, tarian, dan tembang-tembang sukacita. Ada pula pertunjukan wayang kulit. Orang dewasa, anak-anak, pria, wanita, tua, muda. Semuanya bersukacita menikmati pesta.
Â
Ki Seladharma berdiri di depan tangga pendapa. Tatapannya datar. Kedua anak buah setianya menghampirinya. Karta dan Sujiman.
Â
"Pestanya sangat meriah, Ndara." Kata Sujiman. Bandara (dibaca: bendoro) adalah panggilan untuk orang terhormat terutama bangsawan di Jawa. Keluarga Seladharma memang terkenal sebagai juragan terkaya di desanya. Memiliki rumah mewah, tanah, sawah dan perkebunan di mana-mana. Tak seorang pun berani mencari masalah dengan keluarga tersebut. Dan tidak sedikit warga desa yang mencari muka dengannya.