Â
DREESSS.....!!!
Â
      Halilintar menyambar-nyambar di langit yang tiba-tiba mendung. Hujan turun dengan derasnya disertai badai menderu-deru. Alam seakan mengamuk. Orang-orang itu panik dan kebingungan. Pertanda apakah ini?
Â
      Namun napsu dan amarah lebih membutakan mata hati mereka. Mereka pun memilih untuk melanjutkan kegiatan mereka memotong-motong ular raksasa tersebut. Kali ini mereka semakin menggila. Apalagi saat mereka berhasil membelah perut ular itu dan menemukan jasad anak-anak mereka yang masih utuh. Ratapan dan tangisan meraung-raung dari bapak-bapak yang kehilangan anaknya itu, sembari memeluk jasad anak mereka. Yang lain malah tertawa senang karena mendapatkan banyak daging. Sementara Ki Seladharma semakin bernapsu membunuh ular raksasa itu, melampiaskan semua amarahnya. Darah membasahi wajah dan pakaiannya. Bau amis menyeruak ke mana-mana.
Â
"Cukup sampai di sini!" Kata Ki Seladharma, dengan napas memburu. "Kita pulang sekarang. Kita kuburkan jasad anak-anak kita. Dan daging ini, kita bawa ke pendapa desa. Kita akan mengadakan selamatan dan pesta di sana."
Â
"Lantas bagaimana dengan anak pembawa sial itu, Ki?" Tanya salah seorang dari mereka.
Â