review book: Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia (Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag.)
Doris Kusumardiyanto
222121167
UIN Raden Mas Said Surakarta
Â
A. Sejarah dan Sumber Pemberlakuan Hukum IslamÂ
    Hukum Islam, sebagai hukum yang diberikan kepada manusia, tetap teguh dan tidakdapat berubah seiring perkembangan zaman, tetapi sebagai hukum yang dibuat oleh Tuhan, ia fleksibel dan siap untuk memenuhi tuntutan zaman. Akibatnya, hukum Islam tidak boleh kehilangan jati dirinya ketika mengikuti perkembangan dan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat.
   Hukum Pancasila adalah hukum yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjaga kesatuan dan persatuan, demokratis, dan berbasis keadilan sosial. Mereka juga tidak bertentangan dengan agama apa pun. Dalam situasi ini, Pancasila bukan hanya tujuan akhir dari hukum yang dibuat; itu juga berfungsi sebagai Pertama, pedoman utama atau inspirator untuk pembentukan hukum baru yang mendukung kemajuan dan mengamankannya; Kedua, filter atau selektor hukum lama yang harus diperbarui; dan ketiga, standar formal dan filter untuk penerimaan hukum dari sistem hukum yang berbeda.
    Dengan berfungsi sebagai sistem hukum, Pancasila menghasilkan sejumlah kaidah hukum yang diterapkan dalam berbagai lapangan hukum. Oleh karena itu, diduga bahwa Pancasila berfungsi sebagai representasi dari salah satu dari berbagai teori tentang bagaimana hukum Islam akan diterapkan di Indonesia. Itu karena pancasila tidak hanya berfungsi sebagai cita-cita dan sistem standar hukum, tetapi juga menjadi satu-satunya falsafah dan ideologi negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa ke arah yang benar. Sementara UUD 1945 adalah undang-undang tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.
   Dalam UU No. 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat 1, hukum Islam diberlakukan sebagai lex positiva/ius contitutum (hukum positif). Sebuah paragraf berbunyi sebagai berikut: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu." Pada ayat 1 pasal 63 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama seperti yang tercantum dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 khusus untuk orang-orang yang beragama Islam.  Tidak ada kemajuan dalam hal ini. Hukum perkawinan dan kewarisan Islam telah menjadi hukum positif dan digunakan sebagai hukum materiil untuk membuat keputusan di pengadilan untuk orang-orang Islam pribumi sejak zaman VOC. Ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam merupakan kemajuan penting dalam hukum Islam dalam kerangka ius constitutum. Hukum Islam bukan saja diakui sebagai hukum nasional, tetapi juga menjadi pilar peradilan negara dan bagian dari hukum nasional, baik secara materiil maupun secara formal. Hukum Islam juga menjadi bagian dari reorganisasi dan reformasi hukum nasional. Sementara itu, beberapa undang-undang substansial masih dalam proses mendapatkan dorongan potensial dari pemerintah negara.
B. Perspektif  Teori-teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
   Hukum Islam telah lama melekat pada kesadaran hukum masyarakat Islam di Indonesia seiring dengan berkembangnya agama Islam. Hal ini terjadi pada awal kedatangan Islam di Indonesia. Animisme dan dinamisme telah ditanam dalam masyarakat sebelum kedatangan Islam. Kemudian muncul kerajaan-kerajaan berdasarkan agama yang dianut, seperti Hindu dan Budha. Kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam yang didukung oleh wali-wali yang menyebarkan dan menyebarkan agama Islam.
    Hukum Islam memiliki sejarah panjang di Republik Indonesia, Juhaya S. Praja menemukan enam teori tentang bagaimana hukum Islam berlaku di Indonesia.
1. Teori penaatan hukumÂ
   Dalam menerapkan aturan Islam ke dalam masyarakat, Islam sangat bergantung pada undang-undang penguasa dan konstitusi sebagai dasar hukum negara selama tidak melanggar syariat islam.
2. Teori autoritas hukum atau teori kredoÂ
   Teori autoritas hukum, juga dikenal sebagai teori syahadat, menyatakan bahwa orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat harus melaksanakan hukum Islam sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya. Kelanjutan dari prinsip tauhid adalah teori kredo atau teori syahadat. Prinsip tauhid mengatakan bahwa setiap orang Islam yang mengklaim beriman kepada ke-Maha Esaan Allah harus mematuhi semua perintah Allah.
3. Teori receptie in complexuÂ
   Menurut teori penerimaan kompleks, orang Islam di Indonesia telah menerima hukum Islam secara keseluruhan dan secara bersamaan.
4. Teori receptieÂ
  Teori recepsi mengatakan bahwa orang pribumi pada dasarnya mengikuti hukum adat.
5. Teori receptie exit Â
   Karena bertentangan dengan UUD 1945, dan melawan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka teori reseptie harus dihapus. Hazairin juga menyebut teori reseptie sebagai teori iblis.
6. Teori receptie a contrarioÂ
   Karena dalam tulisan tersebut disebutkan Hazairin sebagai penentang teori receptie, teori receptie a contrario adalah teori Ha zairin. Namun, penelitian yang lebih mendalam menunjukkan bahwa teori receptie a contrario adalah evolusi dari teori receptie exit, ajaran Hazairin.
7. Teori eksistensiÂ
    Eksistensi adalah kondisi eksistensi, bentuk eksistensi yang terdiri dari interaksi dengan benda lain, dan kondisi eksistensi yang sebenarnya.
BAB 2
PEMBERLAKUAN UU RI. NO.1 Â TAHUN 1974 DAN KHI
A. Dinamika UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam sistem hukum nasional
     Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia sangat membutuhkan undang-undang tertulis yang mengatur beberapa masalah yang terkait dengan perkawinan. Ini berbeda dengan Saudi Arabia, yang tidak memiliki undang-undang tertulis karena al-Qur'an menjadi acuan utama dalam pelaksanaan perkawinan, dan negara itu juga tidak mengalami kekacuan dalam konteks hukum yang berlaku. Akan tetapi, situasinya sangat berbeda jika melihat bagaimana undang-undang diterapkan di Indonesia, yang memiliki beberapa sistem hukum yang berlaku. Selain itu, pluralisme mazhab menjadi norma di Indonesia. Dengan demikian, kondisi di Indonesia dianggap sebagai sumber beberapa masalah hukum kekeluargaan Islam, terutama yang berkaitan dengan perkawinan, dari sebabitulah muncul  undang-undang membahas perkawinan yang dapat berlaku bagi seluruh warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia.
Inti point yang ada di buku ini Dinamika UU RI No. 1 tahun 1974 dalam sistem hukum nasional mencakup beberapa hal, antara lain:
1. Perubahan dan Amendemen: UU tersebut telah mengalami berbagai perubahan dan amendemen sejak diberlakukan, yang bertujuan untuk memperbarui dan meningkatkan ketepatan serta relevansi regulasi terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang.
2. Penyesuaian dengan Kebutuhan Masyarakat : UU tersebut mengalami penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal-hal seperti hak atas tanah, pemanfaatan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, dan hak-hak pemilik tanah.
3. Dinamika UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam sistem hukum nasional mengalami berbagai perkembangan sejak disahkan. Beberapa perubahan dan penyesuaian telah dilakukan melalui amendemen, peraturan pelaksana, dan keputusan pengadilan untuk mengakomodasi perubahan sosial, budaya, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Selain itu, UU tersebut juga mengalami interpretasi yang beragam dari pengadilan, terutama terkait dengan isu-isu kontroversial seperti perkawinan sejenis, hak-hak perempuan dalam perkawinan, dan perlindungan terhadap anak.
B. Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Â
   Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI), nilai-nilai tata hukum Islam di bidang hibah, warisan, wakaf, perkawinan, dan wasiat telah menjadi jelas dan dapat digunakan sebagai pedoman oleh lembaga atau badan peradilan agama dan atau masyarakat yang memerlukannya. Dengan kata lain, instansi yang dimaksud antara lain lembaga atau badan peradilan agama yang memiliki wewenang untuk mengawasi peradilan agama.
   Tidak terlepas dari fakta bahwa pelaksanaan KHI bertujuan untuk memantapkan berlakunya hukum Islam sesuai dengan karakteristik dan budaya Indonesia. Oleh karena itu, KHI, yang dianggap sebagai fikih Indonesia, bukan lagi fikih seperti Hijazy, Mishry, dan Hindy. Oleh karena itu, diperlukan untuk menguatkan status KHI dalam undang-undang Indonesia. UU RI No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 menetapkan bahwa hakim harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, menurut KHI. Setelah pemberlakuan  KHI, para hakim di Pengadilan Agama dapat menggunakannya untuk mengungkap hukum-hukum yang dianggap tidak jelas oleh UU RI No. 1 Tahun 1974. Akibatnya, KHI harus terus didukung dan dipertahankan agar hukum Islam dapat diterapkan lebih luas dalam hukum nasional. Ini akan memungkinkan KHI untuk menumbuhkan keilmuan dan menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk terus menerapkan hukum Islam dalam masyarakat.
BAB 3 KONSEPSI PERKAWINAN DALAM Â HUKUM ISLAM
A. Definisi Perkawinan
      Beberapa definisi yang diberikan oleh para fukaha atau ulama terdahulu tampaknya hanya menekankan aspek akad yang dapat menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Definisi ini tidak terlalu kompleks karena para fukaha mungkin masih menganggap perkawinan hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan seksual atau melakukan hubungan kelamin. Model perkawinan seperti ini mungkin tidak akan bertahan lama.
    Dalam bahasa Indonesia, makna istilah "perkawinan" dan "pernikahan" masih diperdebatkan. Perkawinan kadang-kadang dianggap memiliki makna umum untuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi dianggap lebih sakral hanya untuk manusia. Untuk membuat perbedaan jelas antara perkawinan dan pernikahan, harus ada batasan dalam konteks baik perkawinan maupun pernikahan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling umum untuk istilah "perkawinan", sedangkan bahasa Arab adalah bahasa yang paling umum untuk istilah "pernikahan". Pernikahan dan perkawinan memiliki tujuan yang sama. Namun, pernikahan selalu menunjukkan makna khusus, sementara perkawinan masih sering dipahami dengan membawa makna umum.
    Salah satu pemahaman yang masih sering muncul adalah bahwa perkawinan, juga dikenal sebagai "kawin", adalah proses generalisasi alamiah yang dapat dipahami sebagai melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Meskipun pernikahan adalah elemen keabsahan yang dapat melegalkan hubungan suami-istri, hubungan kelamin dengan lawan jenis dapat dianggap sebagai perkawinan dalam hal ini. Namun, untuk perkawinan menjadi sah, seorang laki-laki dan seorang perempuan harus menyelesaikan beberapa tahapan sebelum menikah. Sudah pasti, keabsahan yang dimaksud harus dicapai melalui beberapa proses dan mekanisme yang sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Perkawinan Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974
   Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974, definisi perkawinan terdapat dalam Pasal 1 "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
   Artinya Menurut Pasal 1 UU RI No. 1 Tahun 1974, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama dan kerohanian. Akibatnya, bukan saja unsur lahir atau jasmani, tetapi juga unsur batin atau rohani dari perkawinan memiliki peran penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan memiliki keturunan yang sah
2. Perkawinan Perspektif Kompilasi Hukum Islam
     Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan di Indonesia adalah perkawinan yang harus dilakukan sesuai dengan hukum Islam dan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti UU RI No.1 Tahun 1974 dan KHI. Dengan demikian, perkawinan di masyarakat Islam di Indonesia adalah perkawinan yang berdasarkan hukum Islam.
    Definisi perkawinan harus diperluas sehingga mencakup hal-hal seperti melakukan hubungan suami istri, memenuhi kebutuhan seksual, membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan abadi yang didasarkan pada perjanjian yang kuat, atau memiliki keturunan. Klaim bahwa definisi perkawinan harus diubah untuk melindungi hak-hak anak telah menjadi sangat jelas dan menjadi salah satu tujuan utama perkawinan. Akibatnya, definisi perkawinan masih belum sempurna jika tidak mencakup perlindungan untuk memenuhi semua hak-hak anak.
   Perkawinan dapat didefinisikan sebagai "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, melaksanakannya merupakan ibadah, untuk memperoleh keturunan yang sah dan sanggup memenuhi segala hak-hak anak dalam memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil."
BAB 4 TUJUAN PERKAWINAN
A. Tujuan Perkawinan dalam Hukum Islam
- 1. Perkawinan dijalan untuk memberikan keturunan yang jelas menjaga keharmonisan hubungan
- 2. Perkawinan disyariatkan menjadi sarana, keluarga menjadi wadah syar'i yang bersih.
- 3. Bekerja sama dalam menghadapi kesulitan hidup.
- 4. Menghibur dan menenangkan jiwa bersama-sama.
- 5. Perkawinan sebagai sarana untuk pemindahan kewarisan.
B. Tujuan Perkawinan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
  Tujuan perkawinan dalam UU RI No.1 Tahun 1974 ditemukan dalam Pasal 1 untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sangat mirip dengan tujuan perkawinan dalam KHI Pasal 3, yang menyatakan bahwa "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah". Oleh karena itu, apabila tujuan perkawinan dalam UU RI No.1 Tahun 1974 Pasal 1 dengan KHI Pasal 3 disinergikan,
BAB 5Â
ASAS ATAU PRINSIP Â PERKAWINAN
Â
A. Asas atau Prinsip Perkawinan dalam Hukum IslamÂ
    Ada beberapa asas atau prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan. Asas atau prinsip yang dimaksud dalam hukum Islam antara lain;
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama.
2. Kerelaan dan persetujuan.
3. Perkawinan untuk selamanya.
4. Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga.
5. Khitbah atau peminangan dalam hukum Islam sebagai asas perkawinan.
B. Â Prinsip dan Asas Perkawinan dan UU RI. No.1 Tahun 1974Â
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
3. Undang-undang itu menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan.
4. Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
5. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang itu menganut prinsip untuk mempersukar perceraian.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. Â
BAB 6Â
RUKUN DAN SYARAT Â PERKAWINAN
A. Penetapan Rukun dan Syarat dalam Hukum IslamÂ
 Secara rinci rukun nikah dalam hukum Islam  yang dapat dikemukakan adalah:
1.Calon mempelai laki-laki.
2.Calon mempelai perempuan
3.Wali nikah
4.Saksi nikah
5.Ijab dan kabul.
   Kelima rukun nikah itu masing-masing harus memenuhi syarat, sebagai berikut;
a. Calon mempelai laki-laki.
1. Beragama Islam.
2. Laki-laki.
3. Baligh.
4. Berakal.
5. Jelas orangnya.
6. Dapat memberikan persetujuan.
7. Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umrah.
b. Syarat calon mempelai perempuanÂ
1. Beragama Islam dan boleh meskipun Yahudi atau Nasrani (pendapat sebagian ulama).
2. Perempuan.
3. Jelas orangnya
4. Dapat dimintai persetujuannya.
5. Tidak terdapat halangan perkawinannya (wanita-wanita yang haram dinikahi).
c. Syarat wali nikah
1. Laki-laki
2. Dewasa
3.Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Syarat saksi nikah
1. Minimal dua orang saksi laki-laki.
2. Hadir dalam ijab dan kabul.
3. Dapat memahami maksud akad.
4. Beragama Islam.
5. Dewasa.
e. Syarat ijab-kabul
1. Ada ijab (pernyataan) menikahkan dari pihak wali.
2. Ada kabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.
3. Memakai kata-kata "nikah", "tazwij" atau terjemahannya seperti "kawin".
4. Antara ijab dan kabul bersambung, tidak boleh terputus.
5. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait dengan ijab  dan kabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umrah.Â
7. Majelis ijab dan kabul harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dan calon mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.
    Pemetaan rukun dan syarat dalam perkawinan dapat dilihat dari beberapa pendapat Imam Mazhab yakni Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah ada lima macam, sebagai berikut:
1. Wali dari pihak perempuan.
2. Mahar (maskawin).
3. Calon mempelai laki-laki.
4. Calon mempelai perempuan.
5. Sighat akad nikah.
    Imam Syafi'i berkata bahwa rukun nikah ada lima macam, sebagai berikut:
a. Calon mempelai laki-laki.
b. Calon mempelai perempuan.
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat akad nikah.
    Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah adalah hanya ijab dan kabul saja (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah ada empat, yaitu:
1. Sighat (ijab dan kabul).
2. Calon mempelai perempuan.
3. Calon mempelai laki-laki.
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
    Ada pula yang berpendapat  bahwa rukun nikah ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun seperti terlihat di bawah ini, bahwa rukun nikah adalah:
1. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan .
2. Adanya wali.
3. Adanya dua orang saksi.
4. Dilakukan dengan sighat tertentu.
Perbedaan  pendapat yang sangat menonjol dikalangan para fukaha tentang rukun dan syarat dalam perkawinan dapat dilihat sebagai berikut;
1. Mahar, Imam      Malik  misalnya memasukan mahar
Mas kawin sebagai salah satu unsur nikah. Tetapi, Imam Syafi'i dan ulama Hanafiyah tidak menganggap mahar sebagai salah satu unsur nikah, karena mahar hanya merupakan syarat dalam perkawinan.Â
2. Saksi, Imam Malik dan ulama Hanafiyah tidak mementingkan saksi sebagai rukun dalam perkawinan. Namun Imam Syafi'i sangat dipentingkan saksi dalam sebuah perkawinan.
3. Lebih ektrim lagi jika dilihat pendapat  ulama Hanafiyah yang tidak memerlukan unsur lain dalam rukun nikah kecuali sighat akad nikah. Â
B. Kontekstualisasi Rukun dan Syarat Perkawinan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
Rukun dan syarat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat pada Pasal 14 "Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:Â
- 1. Calon suami;
- 2. Calon istri;
- 3. Wali nikah;
- 4. Dua orang saksi
- 5. Ijab dan kabul.
   Kontekstualisasi rukun dan syarat perkawinan dalam Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) mencerminkan upaya untuk mengatur perkawinan sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, rukun perkawinan mencakup persyaratan seperti izin dari orang tua, kesamaan agama, dan keberadaan wali bagi calon pengantin wanita yang belum pernah menikah atau telah diceraikan. Hal ini menunjukkan upaya untuk memperhatikan norma-norma budaya dan agama dalam proses perkawinan.      Â
    Sementara itu, KHI memberikan panduan yang lebih spesifik tentang rukun dan syarat perkawinan dalam konteks hukum Islam. Misalnya, KHI menetapkan bahwa salah satu rukun perkawinan dalam Islam adalah ijab kabul, yaitu kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak secara jelas dan tegas. Selain itu, KHI juga memuat persyaratan seperti persetujuan dari wali yang sah, ketentuan tentang mahar, serta ketentuan mengenai hak dan kewajiban suami istri.
BAB 7 LARANGAN PERKAWINAN
A. Larangan Perkawinan dalam hukum IslamÂ
1. Perempuan yang haram dikawini untuk selamanya.
 A. Haram dikawini sebab hubungan nasab, di antaranya;
1). Ibu, termasuk dalam pengertian ibu adalah nenek dan seterusnya ke atas baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.
2). Anak perempuan, termasuk dalam pengertian anak perempuan adalah cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan terus ke bawah.
3). Saudara perempuan, baik sebapak dan seibu, maupun sebapak saja atau seibu saja.
4) Bibi, yaitu saudara perempuan bapak dan ibu, baik sekandung maupun sebapak dan seibu
5). Kemanakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
- b. Haram dikawini sebab hubungan sesusuan.
- 1). Ibu susuan, yaitu seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak. Ibu tersebut dipandang sebagai ibu kandung, sehingga haram untuk dikawini.
- 2). Nenek sesusuan, yaitu ibu dari yang menyusui, atau ibu dari suami yang menyusui.
3). Bibi sesusuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau saudari perempuan dari suami ibu susuan.
- 4). Saudara perempuan, baik saudara sebapak kandung maupun seibu saja.
- c. Haram dikawini sebab hubungan perkawinan.
1). Mertua perempuan dan nenek perempuan istri, baik dari pihak bapak maupun ibu.
2). Anak tiri, dengan ketentuan telah bercampur dengan anak tiri itu.
3). Menantu, yaitu istri anak, istri cucu dan terus ke bawah.
4). Ibu tiri, yaitu bekas istri bapak.
Haram dikawini sebab sudah dilian. Para ulama fikih berpendapat bahwa sumpah lian mengakibatkan suami istri harus berpisah (cerai) dan tidak boleh kawin lagi selamalamanya.
- d. Perempuan yang haram dikawini untuk sementara.
- 1). Memadu dua orang perempuan yang bersaudara atau dengan bibinya.
2). Perempuan yang masih istri orang lain atau bekas istri orang lain yang masih dalam masa iddah.
3). Perempuan-perempuan yang ditalak tiga kali.
4). Perempuan yang sedang melakukan ihram.
5). Perempuan musyrik.
6). Wanita kelima sesuadah beristri empat orang.
Â
2. Larangan Perkawinan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
Pasal 8 UU RI No. 1 tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Â
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;Â
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;Â
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;Â
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;Â
e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;Â
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
Â
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;
b. dengan   seorang       wanita bekas  istri    orang  yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang  wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj`i'i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i'i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i'i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
BAB 8 ASAL USUL NASAB ANAK
A. Penetapan Asal Usul Anak dalam Hukum Islam
    Jika seseorang mengadopsi anak yang memiliki garis keturunan   yang jelas dalam sebuah keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, adopsi tersebut tidak secara otomatis sejalan dengan garis keturunan keluarga    tersebut, karena agama Islam melarang adopsi anak untuk mengaburkan   hubungan  antara bapak dan anak. Selain itu, ada kekhawatiran tentang   munculnya masalah keluarga. dilahirkan kurang enam bulan dari masa perkawinan orang-tuanya, tidak dapat dinasabkan dengan bapaknya. Dalam konteks itu, ada kemungkinan perempuan tersebut hamil di luar nikah. Jika anak lahir berarti dapat dikatakan anak itu lahir sebagai akibat perkawinan sah.
Berdasarkan pernyataan tersebut, muncul beberapa hukum terkait anak luar nikah, sebagai berikut;
- Dalam kasus di mana seorang pasangan menikah dan melahirkan seorang anak yang hidup dan sempurna bentuknya sebelum enam bulan, anak   tersebut tidak dapat dihubungkan dengan ayah biologisnya.
- Dalam kasus di mana seorang suami menceraikan istrinya setelah mencampurinya, dan istrinya kemudian menjalani "iddah" dan kemudian menikah dengan orang lain setelah masa "iddah" selesai. Kemudian, setelah kurang dari enam bulan dari pernikahannya dengan suaminya yang kedua, tetapi enam bulan lebih lama jika dia menikah dengan suaminya yang pertama, anak tersebut dinisbatkan kepada suaminya yang pertama. Namun, setelah enam bulan pernikahannya dengan pasangannya yang kedua, anak itu lahir.
- Jika seorang wanita diceraikan oleh suaminya dan kemudian menikah dengan orang lain dan melahirkan anak kurang dari enam bulan dihitung dari percampurannya dengan suami yang kedua dan lebih dari batas maksimal kelahiran dihitung dari percampurannya dengan suami yang pertama, anak itu dilepaskan dari suami yang kedua tersebut.
    Adapun batas maksimal masa kehamilan, para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya. Berikut pendapat yang masyhur di kalangan mereka, sebagai berikut;
1. Menurut keyakinan Hanafiyyah, masa kehamilan paling lama adalah dua tahun. Seorang anak berada di dalam rahim ibunya tidak lebih dari dua tahun, meski dengan kecepatan putaran alat pintal, kata Sayyidah Aisyah. Bayi yang dilahirkan setelah dua tahun kematian suami atau dua tahun perceraian masih memiliki keturunan ayahnya, baik yang meninggal maupun yang cerai.
2. Menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, paling lama masa kehamilan adalah empat tahun. Hal ini disebabkan fakta bahwa masa kehamilan yang lebih lama dari empat tahun telah dibuktikan.
3. Maksimal masa kehamilan adalah lima tahun, menurut pendapat yang masyhur dari Malikiyyah, seperti yang dinyatakan oleh Imam Malik, "Aku pernah mendengar bahwa ada wanita yang masa kehamilannya mencapai tujuh tahun."
4. Muhammad ibnu Abdul Hakam dari mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah satu tahun hitungan tahun hijriyah.
5. Â Umar ibnu Khattab dan Ibnu Hazm al-Zhahiri berpendapat bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah Sembilan bulan.
B. Penetapan Asal Usul Anak dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
- Pasal 42 UU RI No.1 Tahun 1974 mengatakan, "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.". Pasal 43 "(1) Anak yang dilahirkan luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Pasal 44 "(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. (2) Pengadilan dapat memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
- Pasal 99, 100, dan 101 dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur asal-usul anak. Untuk informasi tambahan, lihat Pasal 99 "Anak sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh suami istri tersebut." Pasal 100 "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya." Pasal 101 "Seorang suami yang mengingkari sahnya anak
- Pasal 102 menyatakan bahwa "(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya harus mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan setelah jangka waktu tersebut tidak dapat diterima."
BAB 9
PENCATATAN PERKAWINAN
A. Eksistensi Pencatatan dalam UU RI. No. 22 Tahun 1946 Â dan UU RI. No. 32 Tahun 195
    Yang dimaksud dengan "perkawinan tidak dicatat" adalah perkawinan yang memenuhi syarat hukum Islam dan belum dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana di wilayah kecamatan setempat. Menurut UU RI No. 22 Tahun 1946, pencatatan perkawinan diatur sebagai berikut: (1) perkawinan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah; dan (2) pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman sebagai pelanggaran. Penjelasannya tentang pencatatan perkawinan lebih tegas: dia mencatat perkawinan untuk keamanan hukum dan ketertiban. Saat menjelaskan hukuman yang dikenakan pada pasangan yang menikah tanpa pengawasan, maksudnya adalah agar peraturan administrasi diperhatikan, tetapi tidak membatalkan perkawinan.
Dalam UU RI. No. 22 Tahun 1946 jo. UU RI. No. 32 Tahun 1954, Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa "untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah", dan Pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa "perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum."
B. Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
    Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum pencatatan perkawinan dapat berdampak seperti berikut:
a. Perlindungan Hukum: Pasangan suami istri memiliki hak dan kewajiban yang diberikan oleh status perkawinan berkat pencatatan perkawinan.
b. Kepastian Hukum: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian hukum tentang status perkawinan dan hak dan kewajiban kedua belah pihak menurut hukum.
c. Kepentingan Publik: Pencatatan perkawinan adalah pelayanan publik yang bertujuan untuk mencatat dan mengatur status perkawinan sebagai dasar hukum untuk berbagai aspek kehidupan masyarakat.
d. Dukungan Hukum: Pasangan suami istri memiliki dasar hukum untuk mendapatkan hak-hak seperti warisan, asuransi, dan kepemilikan harta bersama melalui pencatatan perkawinan.
e. Bukti Hukum: Pencatatan perkawinan juga berfungsi sebagai bukti hukum yang sah tentang status perkawinan dan dapat digunakan dalam proses administrasi seperti pembuatan dokumen resmi dan persyaratan lainnya
BAB 10
PERKAWINAN WANITA HAMIL
A. Â LUAR NIKAH
Â
1. Perkawinan Wanita Hamil Luar Nikah Perspektif Hukum Adat
    Adat berarti adat lama dan baru, adat yang masih ada, adat yang dapat berubah, dan adat yang berirama. Jika hukum adat dipelajari lebih lanjut, ada peraturan yang bersanksi, yang berarti bahwa pelanggaran memiliki konsekuensi dan orang yang melanggar dapat dituntut dan dihukum. Hukum adat juga mengatur masalah nasab (kedarahan), di mana ada yang dianggap sebagai nasab (anak) sah dan anak tidak sah. Di masyarakat, memiliki anak yang lahir tanpa ikatan perkawinan yang sah dianggap sebagai aib. Untuk melindungi anak luar nikah, hukum adat mengatur masalah ini dengan ketat, sebagai berikut:
- Kawin Paksa dan Kawin Darurat Perspektif Hukum Adat
- Menurut hukum adat Jawa, seorang anak yang lahir luar nikah hanya menjadi ahli waris di dalam harta peninggalan ibunya dan keluarganya. Seorang anak yang lahir luar nikah tidak memiliki bapak. Karena hubungannya dengan ibunya, tidak ada perbedaan antara anak yang sah dan anak yang tidak dinikahkan.
- Status Hukum Anak Dilahirkan oleh Wanita Hamil Luar Nikah Perspektif Hukum Adat
- Pada awalnya, tujuan pengakuan anak hanyalah untuk menciptakan hubungan hukum kekeluargaan dengan anak yang tidak menikah. Pengakuan hanya diberikan kepada anak luar nikah dan dianggap sebagai ayah kandung oleh orang yang mengakui, yang dilakukan dengan lambat dan seiring dengan perkembangan hukum keluarga itu sendiri. Orang tersebut setidaknya memiliki hak untuk mengakui anak tersebut. Selain itu, pengakuan anak tidak selalu  berarti anak yang diakui menjadi anak sah dari orang yang mengakuinya.
Â
B. Perkawinan Wanita Hamil Luar Nikah Perspektif Hukum Islam
   Fuqaha telah sepakat tentang perkawinan wanita bahwa tidak boleh mengawini seorang wanita yang telah diikat dengan perkawinan sah sebelum melahirkan anaknya. Ini berlaku untuk suami wanita mafqud (hilang), kecuali setelah ada kepastian hukum tentang hilangnya suami tersebut dengan keputusan pengadilan dan setelah selesai iddahnya. Ini juga berlaku untuk wanita yang hamil karena syubhat. Namun, ulama fikih tidak setuju tentang mengawini wanita hamil akibat hubungan luar nikah (berzina), yang tidak diikat oleh akad nikah yang sah.
Mayoritas ulama fikih berbeda pendapat tentang perkawinan wanita hamil luar nikah karena masalah berikut:
- Mazhab Syafi'iyah berpendapat bahwa mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengzinainya atau menghamilinya, baik hamil maupun tidak hamil
- Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengzinainya atau menghamilinya, karena kandungannya tidak sah nasabnya. Namun, tidak boleh menggaulinya sampai dia melahirkan.
- Menurut Mazhab Malikiyah, tidak boleh mengawinkan dengan wanita yang melakukan zina sebelum dia bersih dari dosa zinanya dengan tiga kali haid atau setelah lewat tiga bulan setelah diketahui tidak hamil. Jika seorang wanita mengawinkan setelah pembersihan, perkawinannya adalah fasid (rusak atau batal), dan dia harus difasakh, apakah dia hamil atau tidak. Jika kehamilan tampak tidak dapat dikawinkan.
- Mazhab Hanabilah menyatakan bahwa tidak boleh mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengetahui kondisi wanita itu, baik hamil maupun tidak hamil.
Perkawinan Wanita Hamil Luar Nikah Perspektif UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHIÂ
   Setelah melakukan penyelidikan, Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tidak berbicara secara eksplisit tentang perkawinan wanita hamil luar nikah, apakah itu haram atau halal, baik laki-laki yang mengzinainya atau tidak. Namun, jika kita memperhatikan lebih lanjut pasal 42 undang-undang itu, disebutkan bahwa "anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah." Kita dapat memahami bahwa istilah "sebagai akibat perkawinan sah" menunjukkan bahwa perkawinan yang sah membutuhkan alasan yang mendorong seorang wanita dan laki-laki untuk menikah. Akibatnya, wanita yang hamil di luar nikah mungkin diizinkan untuk dikawinkan.     Â
   Sementara itu, dalam KHI, pasal 53 ayat 1, 2 menyatakan bahwa "Seorang wanita hamil luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya," ayat 2 menyatakan bahwa "Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya," dan ayat 3 menyatakan bahwa "Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir Namun, pasal 53 KHI menyatakan bahwa perkawinan dengan pria yang menghamili wanita hamil luar nikah hanya diizinkan. Sebab tidak ada pasal, itu adalah masalah besar dalam konteks hukum itu.
BAB 11
STATUS HUKUM ANAKÂ
A. LUAR NIKAH
 1. Anak zina
    Zina dalam Islam adalah haram dan sangat terlarang secara hukum. Zina tidak memiliki alasan darurat dan tidak dapat ditoleransi. Secara hukum Islam, setiap orang yang berzina harus dikenai hukuman berat. Hukum Islam tentang zina dapat dianggap sangat kejam. Tetapi kekejaman tidak berarti tidak manusiawi, jika seseorang berpikir logis.
Menurut hukum Islam, anak yang melakukan zina dianggap sebagai anak tidak sah, yang berdampak pada hukum berikut:
- Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang secara tidak sah mencampuri ibunya. Diuraikan bahwa anak yang dilahirkan tanpa nikah atau zina tidak dapat memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga secara yuridis ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak yang dilahirkan, bahkan jika anak tersebut secara biologis dan geneologis adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, hubungan kekerabatan hanya berdasarkan rasa manusiawi daripada hukum.
- Tidak ada warisan antara orang. Akibatnya, karena anak zina dan anak laki-laki yang mencampuri ibunya tidak memiliki hubungan nasab, mereka tidak saling mewarisi satu sama lain. Ini karena salah satu alasan warisan adalah hubungan nasab. Saling mewaris juga termasuk kerabat dekat, seperti paman, saudara, dan sebagainya. Dengan cara yang sama, keluarga bapak tidak dapat mewarisi anaknya. Seorang anak yang melakukan zina hanya dapat mewarisi dari ibu dan keluarganya, menurut para ahli hukum Islam.
Tidak ada warisan antara orang. Akibatnya, anak laki-laki yang mencampuri ibunya dan anak zina tidak saling mewarisi karena mereka tidak memiliki hubungan nasab. Kerabat dekat, seperti paman, saudara, dan sebagainya, juga termasuk dalam saling mewaris. Dengan cara yang sama, keluarga seorang bapak tidak memiliki kemampuan untuk mewarisi anaknya. Ahli hukum Islam berpendapat bahwa hanya ibu dan keluarga seorang anak yang melakukan zina yang dapat mewarisi.
b. Anak Dilahirkan dalam Nikah Mut'ah
    Nikah mut'ah disebut sebagai "nikah sementara waktu", "nikah terputus", dan "nikah temporer" di Indonesia. Anak yang dilahirkan dari nikah mut'ah tidak diakui secara resmi oleh negara karena, menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, dan nikah mut'ah tidak dianggap sah dalam hukum Indonesia. Ini dapat berdampak pada hak-hak dan kewajiban hukum anak, seperti hak warisan, pemeliharaan, dan kewarganegaraan.
c. Â Anak li'an
   Menurut Undang-Undang Republik Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 44 mengatur anak mula'anah: Pasal 1 "Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak yang dilahirkan akibat dari perzinaan tersebut." Pasal 2 "Pengadilan memberikan keputusan sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan."Dalam KHI Pasal 162 dinyatakan bahwa "Bilamana li'an terjadi, perkawinan itu putus untuk selamanya, dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah." Anak li'an tidak memiliki hubungan nasab dengan bapaknya karena status hukumnya yang tidak sah. Anak Li'an tidak lagi menerima hak-haknya dari bapaknya, dan bapaknya tidak lagi harus memberikan nafkah kepada anaknya.Â
BAB 12
PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Â
A. Putusnya Hubungan Perkawinan Perspektif Hukum IslamÂ
    Diharapkan setiap perkawinan akan bertahan seumur hidup. Ada kalanya harapan itu tidak terwujud karena perceraian berakhir dengan rumah tangga yang bahagia dan abadi yang diharapkan melalui perkawinan. Karena cinta dan kasih yang menjadi dasar perkawinan, perceraian selalu dipenuhi dengan emosi yang bertentangan, benci, dan dendam.  Â
Dalam kehidupan rumah tangga, ada minimal empat kemungkinan yang dapat menyebabkan keinginan untuk memutus atau mengakhiri perkawinan:
- Terjadinya nusyuz dari pihak istri.
- Terjadinya nusyuz dari pihak suami.
- Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri, yang alam al-Qur'an disebut syiqaq
- Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisah,
B. Putusnya Perkawinan dan Tata Cara Perceraian Perspektif UU RI. No.1 Tahun 1974Â
    Putusnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dinyatakan  dalam pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus karena:Â
1. Kematian,Â
2. Perceraian dan
3. Atas keputusan Pengadilan.Â
   Dengan begitu bahwa putusnya perkawinan dalam KUHPerdata dapat dikemukakan  sebagai berikut;
1. Kematian,
2. Kepergian suami atau istri selama sepuluh tahun,
3. Akibat perpisahan meja dan tempat tidur,
4. Perceraian,
     Pasal 113 sampai dengan pasal 162 KHI memberikan garis hukum yang lebih rinci tentang sebab-sebab terjadinya perceraian, tata caranya, dan konsekuensi hukumnya. Sebagai contoh, pasal 113 KHI mirip dengan pasal 39 UU RI. No.1 Tahun 1974, dan pasal 114 mengatur bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjjad karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian, dan pasal 115 mempertegas bunyi pasal 39 UU RI. No.1 Tahun 1974.
Jika perkawinan terjadi, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut:
- salah satu pihak melakukan zina atau melakukan tindakan yang tidak dapat disembuhkan seperti mabuk, pemadat, penjudi, atau kondisi lain yang tidak dapat disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena alasan lain di luar kemampuan mereka.
- Salah satu pihak dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
   Dapat dibandingkan dengan alasan-alasan terjadinya perceraian dalam KHUPerdata sebagai berikut;
a. zina,Â
b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat,
c. mendapatkan hukum penjara lima tahun atau lebih dalam suatu keputusan hakim yang diucapkan selama perkawinan.
d. keretakan yang tidak dapat dipulihkan.
   Kaitannya dengan tata perceraian  dapat dilihat dalam pasal 39 UU RI. No.1 Tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut;
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.Â
Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.Â
   Ditegaskan lagi dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa:
1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.Â
Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.Â
- Putusnya Perkawinan Perspektif KHI
- Konteks Putusnya Perkawinan dalam KHI
Sebagaimana halnya dengan UU RI No.1 Tahun 1974, KHI pasal 113 menetapkan keadaan putus perkawinan. Pasal 113 menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena :
- a. kematian,
- b. perceraian,
- c. atas keputusan pengadilan.
   Dalam hal ini, penetapan keadaan putus perkawinan dalam KHI pasal 113 hampir sama dengan keadaan yang ditemukan dalam UU RI No.1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan keputusan Sehubungan dengan konteks putusnya perkawinan bagi orang Islam, tentu harus mengikuti ketentuan tata cara perceraian yang diatur dalam UU RI No. 1 Tahun 1974.
    Beberapa Alasan Putusnya Perkawinan dalam KHI
     Menurut konsep KHI pasal 116, perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan tertentu. Dengan demikian, ada dua alasan tambahan yang berlaku untuk perceraian suami istri yang memeluk agama Islam, yang tidak ada sebelumnya dalam UU RI No.1 Tahun 1974 dan KUHPerdata:
- salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsung;
- salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
- salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
- antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
- suami melanggar taklik talak;
- peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
    Talak raj'i:  Dalam pasal 117, disebutkan bahwa talak adalah janji suami di hadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu alasan pemutusan perkawinan, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 129, 130, dan 131. Dalam kaitannya dengan pasal 118, disebutkan bahwa talak raj'i adalah talak pertama atau kedua, di mana suami memiliki hak untuk meminta rujukan kepada istrinya selama masa iddah.
  Jenis Jenis Putusnya Perkawinan dalam KHI
     Beberapa jenis talak dalam KHI  yang ketentuannya disebutkan sebagai beriku;
- Talak raj'i: Dalam pasal 117, disebutkan bahwa talak adalah janji suami di hadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu alasan pemutusan perkawinan, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 129, 130, dan 131. Dalam kaitannya dengan pasal 118, disebutkan bahwa talak raj'i adalah talak pertama atau kedua, di mana suami memiliki hak untuk meminta rujukan kepada istrinya selama masa iddah.
- Talak bain sugra, ketentuannya terdapat dalam pasal 119 ayat 1 "Talak bain sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
- Talak bain  kubra, ketentuannya dalam pasal 120 bahwa talak bain  kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
- Talak sunny, ketentuannya dalam pasal 121 bahwa talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
- Talak bid'i, ketentuannya dalam pasal 122 adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan  haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
- Lian terdapat dalam Pasal 125 yang menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.
    Tata Cara Perceraian dalam KHIÂ
   Pasal 131 disebutkan dalam beberapa ayat sebagai berikut:
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambatlambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
     Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
 B. Akibat  Hukum Putusnya PerkawinanÂ
     Akibat putusnya perkawinan karena perceraian dapat ditemukan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 pasal 4, sebagai berikut: Â
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.Â
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.3
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
   Sementara akibat hukum perceraiandapat ditemukan secara sitematis dalam KHI pasal 156 sebagai berikut :
1. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
b. ayah;
c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
3. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari  ayah atau ibunya;
4. apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohani anak, Â meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula;
5. semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
6. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);
7. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
B. Akibat hukum yang ditentukan dalam KUHPerdata dapat dirinci dan kenyataan itu, sebagai berikut:
1. perkawinan dan percampuran harta berakhir;
2. kewajiban suami untuk memberi nafkah pada  istri atau sebaliknya, menjadi tunjangan bagi yang menang;
     Jika bekas suami istri setelah menunggu 1 tahun satu sama lain menikah untuk kedua kalinya, maka segala akibat perkawinan pertama menjadi hidup, seolah-olah tidak ada perceraian;
Hal keempat yang dihentikan oleh suatu perceraian adalah kekuasaan orang tua terhadap anak-anak di bawah umur.
BAB 13
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
- Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Hukum Islam
Kewajiban suami dan istri seimbang dalam rumah tangga. Suami memiliki hak-hak materi dan nonmateri kepada istri, seperti perlakuan yang baik dan hubungan yang baik dengan tujuan membangun kedamaian, kebahagiaan, dan keadilan melalui cinta, hormat, dan bantuan satu sama lain.
Hak-hak istri yang paling penting dengan secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut;
1.Menjaga kesucian istri dan menggaulinya dengan cara makruf.
2. Seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik dan diwajibkan
3. mengeluarkan yang menjadi hak istrinya yang harus dipenuhi tanpa penangguhan.
Keadilan dalam masalah nafkah.
    Abdul Hakam Al-S}a'idi menyebutkan hak-hak istri atas suaminya dapat dirinci sebagai berikut;
1. Mengajarkan  pengetahuan   agama dan    dunia  yang dibutuhkan.
2. Memperlakukan dengan baik.
3. Menjaga perasaannya.
4. Tidak membuka rahasianya.
5. Setia dengannya
    hak dan kewajiban suami istri, sebagai berikut;
1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri.
a. Dihalalkan bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istrinya demikian pula sebaliknya termasuk hubungan seksual di antara mereka berdua.
b. Timbul hubungan mahram di antara mereka berdua.
c. Berlaku hukum pewarisan antara keduanya.
d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami. Berlangsung hubungan baik antara kedua suami istri.
e. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.
2. Kewajiban suami terhadap istrinya.Â
a. Yang berupa materi (uang) yaitu mahar dan nafkah sehari-hari.
b. Yang berupa non materi yaitu mempergauli istri dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan keadilan .
3. Kewajiban istri terhadap suaminya.
a. Bersikap  taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya selama hal yang bukan merupakan dilarang Allah.
b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya.
c. Menghindari diri dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap angkuh atau menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya.
    Wahbah al-Zuhaili menyebutkan hak suami atas istrinya yang paling penting, sebagai berikut;
1. Ketaatan istri terhadap suaminya dalam persetubuhan dan keluar  dari rumah.
2. Amanah, seorang istri harus menjaga dirinya, rumahnya, hartanya dan anak-anaknya ketika suaminya sedang tidak ada dirumah.
3. Perlakuan yang baik dengan cara mencegah berbuat aniaya dan lainnya.
4. Hak untuk memberikan pelajaran.
5. Mandi setelah selesai masa haid, nifas dan junub.
6. Melakukan perjalanan bersama istri
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam KHI Â Â
    Dalam KHI, hak dan kewajiban suami istri diatur mulai pasal 77 sampai pasal 84, yang membahas hak dan kewajiban, kedudukan suami istri, kewajiban suami, dan tempat kediaman. Pasal 77 mengatur hak dan kewajiban suami istri, dan bagian-bagiannya dapat dibaca secara bertahap sebagai berikut:
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat;
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satui kepada yang lain;
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
4. suami istri wajib memelihara kehormatannya;
5. jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama;
Pasal 78
Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami istri bersama;
Pasal 79
Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga;
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
Pasal 80
Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal; urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai istri bersama.
Suami wajib melidungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
biaya pendididkan bagi anak.
Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Pasal 81
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Pasal 82
Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masingmasing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
Dalam hal para istri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman. Pasal 83
Kewajibn utama bagi seoarang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Pasal 84
Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah istri nusyuz.
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Sepertinya KHI mengambil pasal-pasal dari UU RI. No.1 Tahun 1974, seperti yang berkaitan dengan posisi suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, kewajiban saling mencintai, menghormati, dan membantu satu sama lain. Di sisi lain, KHI sangat rinci tentang hal-hal yang dijelaskan secara umum dalam UU RI. No.1 Tahun 1974, seperti jenis kebutuhan yang harus dipenuhi suami, nafkah, kiswah, dan tempat tinggal atau Selain itu, biaya perawatan, perawatan istri dan anak, dan pendidikan. Oleh karena itu, KHI tampaknya menunjukkan sikap mendua dalam hal hak dan kewajiban suami istri. Satu pihak berusaha mewujudkan kesetaraan, sementara pihak lain gagal menyimpang dari prinsip fikih Islam yang jelas.
Hasil Riview buku ini memiliki kelebihan mengakses seluruh uu perkawinan yang lama dan yang baru, dalam buku ini juga terpapar mengenai hukum perkawinan islam dan nasional lengap. Dan kekuranganya memiliki pemborosan kata sehingga belum tentu mudah dipahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H