Mohon tunggu...
Doris Kusumardiyanto
Doris Kusumardiyanto Mohon Tunggu... Politisi - mahasiswa

mahasiswa Fakultas Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia (Analisis legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional)

18 Maret 2024   21:26 Diperbarui: 18 Maret 2024   21:55 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

2. Penyesuaian dengan Kebutuhan Masyarakat : UU tersebut mengalami penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal-hal seperti hak atas tanah, pemanfaatan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, dan hak-hak pemilik tanah.

3. Dinamika UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam sistem hukum nasional mengalami berbagai perkembangan sejak disahkan. Beberapa perubahan dan penyesuaian telah dilakukan melalui amendemen, peraturan pelaksana, dan keputusan pengadilan untuk mengakomodasi perubahan sosial, budaya, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Selain itu, UU tersebut juga mengalami interpretasi yang beragam dari pengadilan, terutama terkait dengan isu-isu kontroversial seperti perkawinan sejenis, hak-hak perempuan dalam perkawinan, dan perlindungan terhadap anak.

B. Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional  

      Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI), nilai-nilai tata hukum Islam di bidang hibah, warisan, wakaf, perkawinan, dan wasiat telah menjadi jelas dan dapat digunakan sebagai pedoman oleh lembaga atau badan peradilan agama dan atau masyarakat yang memerlukannya. Dengan kata lain, instansi yang dimaksud antara lain lembaga atau badan peradilan agama yang memiliki wewenang untuk mengawasi peradilan agama.

     Tidak terlepas dari fakta bahwa pelaksanaan KHI bertujuan untuk memantapkan berlakunya hukum Islam sesuai dengan karakteristik dan budaya Indonesia. Oleh karena itu, KHI, yang dianggap sebagai fikih Indonesia, bukan lagi fikih seperti Hijazy, Mishry, dan Hindy. Oleh karena itu, diperlukan untuk menguatkan status KHI dalam undang-undang Indonesia. UU RI No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 menetapkan bahwa hakim harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, menurut KHI. Setelah pemberlakuan  KHI, para hakim di Pengadilan Agama dapat menggunakannya untuk mengungkap hukum-hukum yang dianggap tidak jelas oleh UU RI No. 1 Tahun 1974. Akibatnya, KHI harus terus didukung dan dipertahankan agar hukum Islam dapat diterapkan lebih luas dalam hukum nasional. Ini akan memungkinkan KHI untuk menumbuhkan keilmuan dan menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk terus menerapkan hukum Islam dalam masyarakat.

BAB 3 KONSEPSI PERKAWINAN DALAM  HUKUM ISLAM

A. Definisi Perkawinan

           Beberapa definisi yang diberikan oleh para fukaha atau ulama terdahulu tampaknya hanya menekankan aspek akad yang dapat menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Definisi ini tidak terlalu kompleks karena para fukaha mungkin masih menganggap perkawinan hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan seksual atau melakukan hubungan kelamin. Model perkawinan seperti ini mungkin tidak akan bertahan lama.

        Dalam bahasa Indonesia, makna istilah "perkawinan" dan "pernikahan" masih diperdebatkan. Perkawinan kadang-kadang dianggap memiliki makna umum untuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi dianggap lebih sakral hanya untuk manusia. Untuk membuat perbedaan jelas antara perkawinan dan pernikahan, harus ada batasan dalam konteks baik perkawinan maupun pernikahan. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling umum untuk istilah "perkawinan", sedangkan bahasa Arab adalah bahasa yang paling umum untuk istilah "pernikahan". Pernikahan dan perkawinan memiliki tujuan yang sama. Namun, pernikahan selalu menunjukkan makna khusus, sementara perkawinan masih sering dipahami dengan membawa makna umum.

       Salah satu pemahaman yang masih sering muncul adalah bahwa perkawinan, juga dikenal sebagai "kawin", adalah proses generalisasi alamiah yang dapat dipahami sebagai melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Meskipun pernikahan adalah elemen keabsahan yang dapat melegalkan hubungan suami-istri, hubungan kelamin dengan lawan jenis dapat dianggap sebagai perkawinan dalam hal ini. Namun, untuk perkawinan menjadi sah, seorang laki-laki dan seorang perempuan harus menyelesaikan beberapa tahapan sebelum menikah. Sudah pasti, keabsahan yang dimaksud harus dicapai melalui beberapa proses dan mekanisme yang sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. Perkawinan Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun