Mohon tunggu...
Doris Kusumardiyanto
Doris Kusumardiyanto Mohon Tunggu... Politisi - mahasiswa

mahasiswa Fakultas Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia (Analisis legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional)

18 Maret 2024   21:26 Diperbarui: 18 Maret 2024   21:55 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

BAB 8 ASAL USUL NASAB ANAK

A. Penetapan Asal Usul Anak dalam Hukum Islam

       Jika seseorang mengadopsi anak yang memiliki garis keturunan     yang jelas dalam sebuah keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, adopsi tersebut tidak secara otomatis sejalan dengan garis keturunan keluarga       tersebut, karena agama Islam melarang adopsi anak untuk mengaburkan    hubungan  antara bapak dan anak. Selain itu, ada kekhawatiran tentang    munculnya masalah keluarga. dilahirkan kurang enam bulan dari masa perkawinan orang-tuanya, tidak dapat dinasabkan dengan bapaknya. Dalam konteks itu, ada kemungkinan perempuan tersebut hamil di luar nikah. Jika anak lahir berarti dapat dikatakan anak itu lahir sebagai akibat perkawinan sah.

Berdasarkan pernyataan tersebut, muncul beberapa hukum terkait anak luar nikah, sebagai berikut;

  • Dalam kasus di mana seorang pasangan menikah dan melahirkan seorang anak yang hidup dan sempurna bentuknya sebelum enam bulan, anak    tersebut tidak dapat dihubungkan dengan ayah biologisnya.
  • Dalam kasus di mana seorang suami menceraikan istrinya setelah mencampurinya, dan istrinya kemudian menjalani "iddah" dan kemudian menikah dengan orang lain setelah masa "iddah" selesai. Kemudian, setelah kurang dari enam bulan dari pernikahannya dengan suaminya yang kedua, tetapi enam bulan lebih lama jika dia menikah dengan suaminya yang pertama, anak tersebut dinisbatkan kepada suaminya yang pertama. Namun, setelah enam bulan pernikahannya dengan pasangannya yang kedua, anak itu lahir.
  • Jika seorang wanita diceraikan oleh suaminya dan kemudian menikah dengan orang lain dan melahirkan anak kurang dari enam bulan dihitung dari percampurannya dengan suami yang kedua dan lebih dari batas maksimal kelahiran dihitung dari percampurannya dengan suami yang pertama, anak itu dilepaskan dari suami yang kedua tersebut.

       Adapun batas maksimal masa kehamilan, para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya. Berikut pendapat yang masyhur di kalangan mereka, sebagai berikut;

1. Menurut keyakinan Hanafiyyah, masa kehamilan paling lama adalah dua tahun. Seorang anak berada di dalam rahim ibunya tidak lebih dari dua tahun, meski dengan kecepatan putaran alat pintal, kata Sayyidah Aisyah. Bayi yang dilahirkan setelah dua tahun kematian suami atau dua tahun perceraian masih memiliki keturunan ayahnya, baik yang meninggal maupun yang cerai.

2. Menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, paling lama masa kehamilan adalah empat tahun. Hal ini disebabkan fakta bahwa masa kehamilan yang lebih lama dari empat tahun telah dibuktikan.

3. Maksimal masa kehamilan adalah lima tahun, menurut pendapat yang masyhur dari Malikiyyah, seperti yang dinyatakan oleh Imam Malik, "Aku pernah mendengar bahwa ada wanita yang masa kehamilannya mencapai tujuh tahun."

4. Muhammad ibnu Abdul Hakam dari mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah satu tahun hitungan tahun hijriyah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun