BAGIAN 1
      Saudara, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Kun, makanan kesukaan saya daging bakar atau ayam panggang atau singkong rebus atau apa sajalah selama wanginya sedap dan empuk saat dikunyah, maklum umur saya sudah tidak lagi muda jadi rahang dan gigi saya sudah tidak kuat makan makanan yang keras. Saya suka bermalas-malasan di depan televisi dan film kartun menjadi tontonan yang saya tunggu-tunggu. Film kartun itu seru, banyak adegan kejar-kejaran dan gambarnya warna-warni tapi kadang saya juga menonton acara lainnya seperti bioskop televisi, berita pagi, acara kriminal sampai acara gosip.
Saya benci bawang, bukan hanya baunya yang mengganggu tapi jika saya makan bawang, saya langsung pusing, seolah ada banyak burung terbang berkeliling di atas kepala macam adegan di film kartun kesukaan saya.
      Saudara, di tempat sekarang saya berada tidak ada yang bisa dimakan. Disini gelap, sempit, bau basah, kotor, banyak sampah dan kadang ada tikus yang bergantian keluar-masuk lubang, jangan tanya kenapa mereka keluar-masuk, karena saya tidak mengerti bahasa tikus, mungkin mereka ingin mencari udara segar atau bisa jadi mereka penasaran dengan penghuni baru, yaitu saya dan sahabat saya, entahlah.
      Sebenarnya kami baru sebentar ada disini, saya lupa nama tempat ini apa, seingat saya gorong-gorong, tapi ada juga yang bilang saluran irigasi bawah tanah, tak tahulah mana yang benar. Tapi saya pernah melihat tempat seperti ini di televisi, mungkin saudara juga pernah melihatnya. Tempat ini dijadikan markas besar oleh empat ekor kura-kura berukuran tidak normal yang suka menggunakan penutup mata, mereka juga mahir berkelahi, kalau tidak salah ada di film "Kura-kura samurai," eh, tunggu-tunggu "Kura-kura ninja." Ya, itu judul filmnya. Maaf saya sudah tua jadi ingatan saya tidak sebagus dulu.
      Saudara, saya ingin bercerita tentang sebab kami disini tapi sebelumnya saya perkenalkan dulu sahabat saya yang sekarang sedang tidur pulas. Namanya Kosasih, laki-laki, umurnya tujuh belas tahun, tidak tinggi, badan kurus, kulit cokelat, rambut hitam, matanya lucu seperti mata boneka beruang. Dia suka makan sambal, tidak bisa berenang dan suka berlama-lama di kamar mandi. Saya tahu banyak tentangnya karena dari kecil kami selalu bersama, tidak terpisah barang sehari saja. Oh iya, dia sangat takut ular. Dulu, Ketika masih kecil dia pernah dililit ulat besar di kebun tebu, beruntung saya mendengar teriakannya. Sebagai sahabat yang baik saya langsung menolong, hari itu ular besar berhasil dibunuh tapi sejak hari itu pula dia ketakutan jika melihat ular.
Kami tinggal di pinggiran kebun tebu yang luas sekali. Saya tidak bohong saudara, saking luasnya kemana mata memandang yang terlihat hanya hamparan pohon tebu. Kakek Duloh pernah bilang kalau perkebunan itu milik pabrik gula yang dikelola pemerintah jadi meskipun jarak antara kebun dan tempat tinggal kami dekat, kebun tebu itu bukan milik kami.
      Baiklah, saya akan mulai bercerita. Tapi tunggu! Saya harus mulai dari mana? Saya tak mahir bercerita seperti Ustad Muri atau Kakek Duloh. Ah saudara juga pasti bingung siapa mereka kan? Sekali lagi maaf, tolong dimaklum umur saya sudah tua jadi banyak lupa dan kadang suka melantur kemana-mana. Ya ampun, ternyata begini rasanya menjadi tua.
Sebenarnya saya sedang sedih, kenapa disaat genting dan kacau seperti sekarang ini saya tidak lagi kuat dan lincah. Saya takut tidak bisa melindungi sahabat saya. Kosasih itu hidup saya, tentu akan menjadi penyesalaan yang begitu luar biasa jika hal buruk menimpanya.
Menyebalkan, semua bermula karena kemampuan istimewanya lalu berturut-turut terjadilah peristiwa seperti Kampung Milyader, kebakaran Gedung Kejaksaan dan sampai monumen sialan, gara-gara monumen itu kami harus sembunyi. Rasanya saya ingin meluapkan marah tapi tak mungkin karena jika saya teriak pasti Kosasih terbangun. Biarlah dia tidur nyenyak dan saya tetap terjaga meski sejujurnya saya sudah mulai lemas. Saya harus siaga bilamana orang-orang partai dan polisi datang kemari.
Agar saudara tidak bingung, saya akan menceritakan semua dari awal secara berurutan, dari pertemuan saya dengan Kosasih sampai kami berada disini. Tapi jika saya melantur dan cerita saya meloncat kesana-kemari mohon dimaklum.
Cerita ke 1 : Pertemuan
      Orang bilang pagi buta, yaitu waktu dimana ayam berkokok dan masjid-masjid berlomba mengumandangkan pujian lewat pengeras suara. Ketika itu saya masih muda, umur saya sekitar delapan atau sembilan tahun, entahlah saya lupa pastinya, yang saya ingat saya sudah seharian tersesat di kebun tebu setelah sebelumnya dimasukan kedalam karung oleh pemilik lama.
"Kamu anjing hebat, kuat juga lucu. Tapi mau bagaimana? bapak melarangku memelihara anjing."
Kalimat terakhir yang terngiang-ngiang di kepala setelah saya dibuang, sisanya saya lupa. Kapan saya lahir? Siapa nama pemilik saya? Darimana asal saya? Dan bahkan saya lupa dengan nama sendiri?.
      Saya melangkah tak jelas arah, pohon tebu yang tinggi mengganggu gerak. Saya panik berlari kesana-kemari mencari jalan, sesekali menggonggong dengan harapan ada anjing lain yang datang menolong atau paling tidak memberitahu jalan pulang atau memberi makan. Saya lapar, seharian tersesat, seharian pula saya tidak makan. Sialnya, apa yang saya harapkan tidak jadi kenyataan.
Keadaan saya sudah tak karuan, beberapa kali sempat berpikir mungkin disinilah saya mati. Kaki bergetar, lidah menjulur haus tapi insting dan naluri saya sebagai anjing tak mau menyerah, saya tetap berjalan meski tak jelas arah.
      Antara sadar dan tidak, saya mendengar bunyi kendaraan, manusia saling berbisik lalu hening dan tak lama suara tangisan bayi terdengar. Sebenarnya saya tidak peduli tapi perut saya mendorong, "Mungkin itu makanan." dengan sisa tenaga saya mendekat ke sumber suara.
Ada kotak terbuat dari kayu yang besarnya tak lebih dari ukuran tubuh saya, di dalamnya ada kain dan ...
"Ya Tuhan, ada bayi manusia yang masih kecil" kata saya waktu itu "ini bayi laki-laki." saya tahu karena ketika saya menarik kain yang menutupinya, ada semacam belalai seukuran ulat bulu di antara kedua kaki, sama seperti yang saya punya.
Saya mengendus-endus. Naluri berburu saya menggoda "Makan saja dari pada mati kelaparan," tapi bisikan yang lainnya melarang "Tidak boleh dimakan, ini bayi manusia bukan makanan."
Saya tatap bayi itu lamat-lamat, tak disangka dia menatap balik lalu berhenti menangis. Saat mata kami saling pandang, saya merasakan ada ikatan kuat. Dia istimewa, saya bisa merasakannya. Kulitnya yang masih merah, matanya yang lucu seperti mata boneka beruang, bibirnya yang kecil dan rambut hitam halus yang tumbuh di kepalanya membuat saya lupa kalau sedang kelaparan.
Dia tersenyum, menggemaskan. Saya menggoda dengan menjilati pipinya dan dia malah memberi senyum lebih lebar yang membuat saya senang.
Kami punya kesamaan, sama-sama dibuang. Tapi sampai detik ini saya suka bertanya-tanya. Kenapa ada manusia yang tega membuang bayinya? Sepengetahuan saya sebagai anjing, tidak ada dari jenis kami yang tega meninggalkan bayinya. Tapi manusia? Yasudahlah.
Perlahan-lahan saya tarik kotak kayu berisi bayi menjauh, mencari jalan keluar. Jika tetap disini kami berdua akan mati, makanya saya tetap membawanya pergi walaupun tenaga yang tersisa tidak banyak. Sedikit demi sedikit kami menjauh dari tempat semula.
Ada cahaya di langit, jika saudara tidak tahu, itu namanya cahaya matahari. Cahaya itu menembus celah diantara rapatnya pohon tebu, menyinari kami seperti sedang mengatakan "Aku datang." Saya senang, bukan karena cahayanya tapi saya tahu biasanya jika sudah terang maka akan ramai. Saya lebih bersemangat menarik kotak kayu, sesekali menggonggong kencang, berharap ada yang mendengar. Benar saja, tak lama dari kejauhan saya melihat lelaki tua mendekat.
"Ya ampun ada bayi." Kata lelaki tua. Saya memasang wajah seram, takut jika dia akan mencelakai kami. Sebenarnya wajar saja saya beranggapan seperti itu, toh yang membuang bayi ini juga manusia, jangan-jangan dia juga punya niat jahat. Tapi ternyata saya salah, justru dia baik. Dia mendekat pelan-pelan, saya bisa merasakan kalau dia ketakutan, bukan takut bayi tapi takut saya gigit. Kami saling menatap, saya memasang posisi waspada, tak lama dia melemparkan sesuatu dari tas selempangnya "Singkong rebus", ya dia memberi saya makanan. Itulah alasannya kenapa saya suka singkong rebus sebab dengan memakannya pertemuan antara saya, bayi dan lelaki tua akan terkenang di kepala.
Saya sibuk makan, lelaki tua melihat keadaan bayi. Sesekali saya melirik ingin tahu. Dia membetulkan kain yang menyelimuti bayi, disentuhnya dengan halus pipi bayi lalu menangis. Bukan bayi yang menangis, saudara jangan salah paham. Bayi itu tidak lagi menagis semenjak saya temukan tapi lelaki tualah yang menangis. Air matanya membanjiri pipinya yang keriput, banyak sekali. Saya tidak tahu kenapa dia menangis tapi melihatnya begitu saya jadi  terenyuh. Saya bisa merasakan kesedihannya, sampai-sampai hilang selera makan. Saya hampiri dia, duduk dekatnya dan ikut bersedih.
"Duh, Gusti Pangeran Nu Agung, Kenapa ada orang yang tega buang bayi padahal dia belum bisa apa-apa, kejam." kata lelaki tua yang masih bercucuran air mata. Saya lebih mendekat lagi, dia mengelus kepala saya, sentuhan tangannya membuat saya nyaman. "Nuhun pisan sudah jaga bayi ini." katanya sambil terus mengelus.
Dia berdiri, menggendong bayi. Saya menggongngong kebingungan, tapi lelaki tua memberitahu saya lewat gerak tubuhnya, seolah berkata. "Tenang, aku akan merawat bayi ini. Ayo ikut pulang ke rumah."
Di dunia ini, anjing berada di daftar teratas sebagai binatang yang bisa menangkap maksud dari gerak tubuh manusia, jika saudara tidak percaya silahkan saudara cari tahu sendiri. Saya tahu dari televisi, di salah acara yang membahas hewan peliharaan, ada ahli binatang yang menjelaskan bahwa anjing sangat paham dengan gerak manusia makanya banyak manusia menjadikan anjing sebagai kawan setia. Orang itu juga menjelaskan bahwa anjing punya banyak kelebihan lain, seperti loyal pada pemiliknya, mudah mengikuti perintah, tidak buang kotoran sembarangan, punya naluri melindungi dan tentu penuh cinta. Disitu saya bangga terlahir sebagai anjing.
Kami sampai di rumah setelah berjalan agak lama, untung saja lelaki tua memberi singkong rebus jadi saya punya tenaga untuk mengikutinya. Rumahnya besar, ada pohon mangga di halaman, ada kotak dari kayu yang jauh lebih besar dari kotak bayi, mempunyai empat kaki penyangga, diatasnya biasa digunakan untuk duduk sedang bawahnya dibiarkan kosong, namanya bale.Â
Lelaki tua membuka pintu, masuk ke rumah, meletakan bayi di lantai kemudian menyalakan benda yang menempel di dinding yang bisa mengeluarkan angin lalu memberi saya perintah untuk menjaga bayi sementara dia sibuk keluar masuk ruangan yang ada di dalam rumah, mengambil barang-barang yang diperlukan. Mengambil bantal lalu pergi lagi, kemudian datang lagi membawa air dalam wadah, selimut dan kain basah, saat melihat air saya ingin meminumnya tapi lelaki tua melarang, katanya "Hust! ini untuk bayi, nanti aku ambil lagi." Tak lama dia kembali dengan dua wadah, satu isi air satu lagi isi nasi putih yang dicampur daging. Saya lupa daging ikan atau daging ayam karena kejadiaanya sudah lama, yang saya ingat saya menghabiskan semuanya.
Lelaki tua membersihkan tubuh bayi, dia menanggalkan kain yang menyelimuti bayi sampai telanjang. Dia mengelap sekujur tubuhnya menggunakan kain basah dengan sangat hati-hati dan lembut, Mahir, seolah sudah biasa. Setelah selesai dia mengeringkan tubuh bayi, mengoleskan minyak beraroma hangat lalu menyelimutinya dengan selimut yang dibawanya tadi.
Satu per satu orang mulai berdatangan, kabar penemuan bayi tersebar begitu cepat. Mereka berebut ingin tahu. Saya lihat ada perempuan yang sedang menggendongnya, memberikan susu  langsung dari sumber. Saya kira hanya anjing saja yang mau menyusui bayi selain bayinya tapi rupanya manusia juga sama. Apakah sebenarnya manusia dan anjing masih merupakan satu garis keturunan?.
Saya yang tadi berada di dalam terpaksa  harus keluar karena terlalu berdesakan. Ada orang yang mengusir saya tapi lelaki tua malah memarahinya, katanya "Tong diusir anjingnya. Kalau gak ada dia, bayi ini sudah mati."
Saya jadi pusat perhatian, mereka memandangi saya dan berbisik. "Oh anjing ini yang nyelamatin bayi." Ada juga yang memuji saya dengan sebutan "Anjing hebat."
Dalam waktu seminggu saya sudah tahu seluk beluk rumah. Lebih jelasnya begini : ukurannya besar, ada dua kamar tidur, satu kamar milik lelaki tua dan satu lagi dibiarkan kosong. Di bagian belakang ada kamar mandi dan dapur. Dikamar mandi ada bak tembok dengan keramik biru dan gayung berbentuk hati, ada tempat buang kotoran sedangkan di dapur ada lemari berisi peralatan masak dan peralatan makan, disebelahnya kompor lalu didepan lemari ada meja panjang dengan enam kursi, disitu biasanya lelaki tua makan. Di ruang tengah ada juga kursi dan meja tapi tidak pernah dipakai makan melainkan untuk menerima tamu, benda yang menempel di dinding yang bisa mengeluarkan angin itu ternyata namanya kipas angin. Ada juga jam dan beberapa foto. Oh iya di ruang tengah ada benda yang mengagumkan, benda inilah yang membuat saya suka bersantai. Namanya televisi, bentuknya kotak, warna hitam dan bisa menampilkan gambar. Saya jatuh cinta dengan televisi sejak pertama dinyalakan. Hampir lupa, dindingnya hijau, lantainya putih lalu jendelanya cokelat.
Nama lelaki tua "Duloh", orang-orang biasa memanggilnya Kang Duloh atau Kakek Duloh atau Duloh. Bayi yang saya temukan juga sudah diberi nama, "Kosasih" tapi Kakek Duloh lebih sering memanggilnya Jang atau Kasep. Bukan cuma bayi yang diberi nama, saya juga. Nama saya "Kun". Apakah saudara tahu arti nama Kun? Jika tidak tahu berarti kita sama, bagi saya nama Kun itu bagus karena enak terdengar meskipun saya tidak tahu artinya. Ustad Murilah yang menyematkan. Dia bilang ke Kakek Duloh seperti ini.
"Kang, anjing ini sudah dikasih nama?"
"Belum." kata Kakek Duloh.
"Boleh aku kasih nama?"
Kakek Duloh hanya mengangguk. Tandanya setuju.
"Aku kasih nama Kun, boleh?"
Cerita ke 2 : Orang terdekat
      Saya tadi habis kencing, jadi harus berjalan agak jauh dari Kosasih, saya tidak mau kencing didekatnya, takut jika air kencing saya mengenainya. Kata Ustad Muri jika manusia terkena air kencing anjing maka untuk membersihkannya harus dibasuh  sebanyak tujuh kali yang dimana salah satu basuhannya harus menggunakan tanah. Merepotkan bukan? Saya tidak tahu alasannya kenapa? mungkin karena air kencing saya bau atau mengandung racun, sumpah saya tidak peduli, toh saya juga tidak pernah kencing sembarangan.
      Saya akan menceritakan orang-orang yang dekat dengan kami, kita mulai dari Kakek Duloh, Ustad Muri lalu Haji Idang, untuk yang terakhir sebenarnya saya malas sebutkan, saya tidak suka.
      Saudara, masih ingat perempuan yang menyusui Kosasih? namanya Suebah, dia punya anak perempuan yang umurnya tiga hari lebih tua dari Kosasih, Tanti namanya. rumah dia ada disebelah kanan rumah Kakek Duloh, ingat sebelah kanan karena kalau sebelah kiri cuma ada kebun tebu. Dia masih muda, saya bisa lihat dari kulit putihnya yang kencang. Cantik, rambut hitam sepundak, kadang dibiarkan terurai, kadang juga diikat. Dia lebih pendek dari Kakek Duloh, tubuhnya sedang tidak gemuk tapi juga tidak kurus, ukuran dadanya lebih besar dari kebanyakan perempuan yang pernah saya lihat. Mungkin karena  harus menyusui Tanti dan Kosasih jadi ukuran dadanya tumbuh besar. Nama suaminya Kurnia, bekerja di pabrik gula. dia jarang di rumah, pergi pagi dan pulang larut malam. Sebelum berangkat kerja, saya sering melihatnya  mampir ke rumah, menyapa Kakek Duloh dan melihat Kosasih.
Menurut saya dia lebih sayang Kosasih ketimbang Tanti. Saya tahu, pernah di satu pagi dia bilang seperti ini :
"Sebenarnya mah aku pengen anak lelaki tapi dikasihnya perempuan. alhamdulillah semenjak ada Kosasih, apa yang aku mau jadi kenyataan. Aku menganggap Kosasih anak sendiri."
      Setiap hari Suebah menyusui Kosasih, rutin. Biasanya setelah selesai masak, siang hari sebelum Kosasih tidur dan malam hari. Tapi  kadang juga menyusui diluar waktu yang sudah ditentukan, itu terjadi  dulu ketika Kosasih sakit panas.
      Anaknya yang bernama Tanti, kadang saya benci tapi kadang saya sayang. Saya benci, karena Kosasih suka dekat-dekat dia atau sebaliknya. Saya masih ingat, dulu mereka boleh pergi ke sekolah bersama sedangkan saya tidak meskipun Kosasih mengizinkan saya ikut tapi Kata Kakek Duloh saya itu anjing, anjing tidak boleh ke sekolah, jika ikut nanti ibu guru marah. Saudara, saya tidak kenal ibu guru, bertemu saja tidak pernah. Tapi kenapa dia harus marah kalau saya ke sekolah? Ibu guru jahat.
Biasanya selama mereka sekolah saya menghabiskan waktu bersantai di ruang tengah sambil menonton televisi atau sesekali ikut Kakek Duloh memberi makan ikan yang ada di belakang rumah atau pergi ke tempat Ustad Muri.
Rumah Ustad Muri dekat jalan raya, saudara tahu jalan raya? Jalan raya itu jalan besar yang diselimuti batu keras berwarna hitam, disana banyak kendaraan melintas seperti mobil atau motor. Jalan di depan rumah Kakek Duloh bukan jalan raya, karena tidak besar dan tidak diselimuti batu keras. Di sebelah rumah Ustad Muri ada Masjid, namanya Masjid Al Ikhlas, disitu tempat orang-orang shalat dan disitu juga tempat  Kosasih, Tanti dan anak-anak lainnya mengaji. Di rumahnya, Ustad Muri menjual ayam bakar. Namanya "Ayam Bakar Madu".
Saya sebenarnya suka kesana, karena setiap kesana selalu diberi sepotong ayam bakar, kadang dapat bagian dada, kadang juga bagian kaki. Ayam bakarnya enak, rasanya seperti ada manis-manisnya. Tapi saya tidak boleh sering-sering kesana, saya pernah dengar Kakek Duloh bilang begini.
"Kosasih kasep kalau dikasih ayam bakar sama Ustad Muri bayar ya! Kalau dia gak mau, kamu paksa. Bukan apa-apa, kalau kamu keseringan makan gratis nanti dia bisa rugi, kalau rugi nanti tidak bisa jualan lagi."
Saya tidak bisa bayar, saya kan tidak punya uang. Saya juga tidak mau kalau Ustad Muri berhenti jualan makanya saya tidak sering datang kesana.
Saya benci Tanti tapi kadang saya sayang, saya sayang karena dia bisa menjaga Kosasih selama di sekolah. Tanti itu kuat, dia pernah meninju anak laki-laki yang mengejek Kosasih. di satu malam sebelum tidur Kosasih bilang begini :
"Kun, tadi di Sekolah Tanti meninju anak laki-laki yang badannya lebih besar. Aku kaget, awalnya kami sedang main di lapangan tiba-tiba beberapa anak yang bukan dari kelas kami datang. Mereka mengejek, pengkor ... pengkor ... pengkor ... sambil bertepuk tangan. Aku sih tidak marah, kan sudah biasa dibilang pengkor. Tapi Tanti malah marah, dia hantam anak yang paling besar sampai tersungkur, setelah tersungkur dia terus meninju, menendang, menjambak sampai anak laki-laki itu teriak minta ampun."
Jadi begini saudara, saat Kosasih berumur satu tahun lebih beberapa bulan, Kakek Duloh  penasaran melihat Tanti sudah bisa jalan sedangkan Kosasih belum, akhirnya diperiksakanlah ke dokter setelah itu barulah diketahui bahwa kakinya pengkor.
Tanti, Apa kabarnya dia sekarang ya? Jika diingat-ingat Tanti itu malang, di umur delapan tahun ayahnya meninggal, orang menemukan mayatnya di pinggir jalan yang membelah kebun tebu dengan leher yang hampir putus. Katanya lokasi penemuan ayah Tanti dekat dengan lokasi Kosasih dulu ditemukan. Disitu memang sering terjadi kejahatan, dulu pernah ada mayat tanpa kepala, ada juga perempuan yang diperkosa sepuluh orang temannya, orang bilang ayahnya Tanti  mati dibegal sebab motor yang biasa digunakan raib entah kemana.
Di tahun yang sama dengan kematian ayahnya Tanti, televisi juga banyak mengabarkan berita duka, seperti meninggalnya Angelina, anak kecil yang dibunuh orang tua angkatnya. Salim kancil yang dibunuh karena protes tambang pasir ilegal. Ada juga orang lucu yang meninggal tapi bukan dibunuh tapi karena sakit, kalau tidak salah namanya Olga Saputra.
Selama seminggu pengajian digelar dan selama seminggu pula Tanti jarang terlihat, dia tidak sekolah juga tidak main seperti biasa. Sekalinya  keluar rumah matanya pasti bengkak, kelihatan kalau habis menangis. Kosasih sedih, saya sedih, Kakek Duloh sedih. Apalagi waktu di pemakaman, kami semua tak kuasa menahan haru melihat Tanti memanggil-manggil ayahnya, ibunya bahkan sempat beberapa kali pingsan.
Selepas ayahnya sudah tidak ada sampai  saat saya dan Kosasih meninggalkan rumah, Tanti dan ibunya tetap tinggal disana. Dulu sempat mereka ingin pindah, katanya mau cari kerja di Jakarta, ibu Tanti harus kerja biar punya penghasilan tapi Kakek Duloh melarang, dia bilang.
"Kamu jangan takut masalah uang, kakek bisa kasih biaya hidup, anggap weh balas budi karena sudah merawat Kosasih. kakek teu boga sasaha deui, lagian tabungan kakek cukuplah buat biayai anak-anak sekolah bahkan sampai menikah."
      "Kakek Duloh."
Saudara tahu Iwan Fals? Yang penyanyi itu loh, yang suka muncul di televisi membawa secangkir kopi sambil bilang "Bongkar kebiasaan lama, orang Indonesia perlu yang ini. Top Kopi, kopinya orang Indonesia." Saya yakin saudara pasti tahu, dia kan terkenal. Biasanya Kakek Duloh suka menyanyikan lagunya kalau sedang memberi makan ikan atau sedang duduk sendiri di bale, begini nih.
si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan
di simpang jalan tugu pancoran, menunggu pembeli jajakan koran.
Kakek Duloh suka lagu itu, meskipun sampai sekarang saya penasaran. Siapa Budi? Kenapa dia malah jualan koran padahal tubuhnya menggigil kedinganan. Jika saya jadi Budi sudah pasti saya memilih pulang, aneh kan dia? Â Tapi biarlah itu menjadi urusannya, lagi pula yang mau saya ceritakan bukan si Budi.
Kenapa saya menanyakan Iwan Fals? Sebenarnya saya cuma mau bilang kalau wajah Kakek Duloh mirip Iwan Fals, ada beda tapi sedikit. Kalau Kakek Duloh rambutnya putih, sedangkan Iwan Fals, kadang putih kadang hitam, itu saja.
Kata Ustad Muri, Kakek Duloh pernah punya istri "Ningsih" namanya, tapi sudah meninggal. Dia meninggal karena ..., saya lupa karena apa tapi seingat saya bukan karena begal. Sudah kita lewatkan dulu, nanti kalau sudah ingat saya beritahu.
Kakek Duloh suami penyayang, lembut dan murah senyum. Bisa dibilang serasi dengan Ningsih yang cantik, baik dan penyabar. Mereka pasangan yang bahagia meski tak punya keturunan. begitulah yang Ustad Muri bilang.
Saya membayangkan, berarti kalau istri Kakek Duloh masih hidup, saya dan Kosasih harus memanggilnya "Nenek Ningsih". Oh iya, di ruang tengah di bawah jam ada foto-foto digantung, ada wajah Nenek Ningsih semasa muda disalah satunya, sumpah dia lebih cantik ketimbang Suebah tapi kalau soal ukuran dada jelas siapa yang unggul.
Kakek Duloh, Ustad Muri dan Haji Idang bersahabat. Mereka suka menghabiskan malam bersama, minum kopi, main kartu, tertawa dan tak jarang mereka bertukar cerita tentang kejadian yang sudah lalu. Seperti yang saya bilang Ustad Muri dan Kakek Duloh itu pandai bercerita, jika mereka bercerita membuat saya terhanyut, seolah saya sedang mengalaminya. Kalau Haji idang, saya tidak suka. Dia menyebalkan, suka mengusir saya, jahil. Dulu pernah waktu Kakek Duloh tidak ada di rumah, saya dijejali bawang, terpaksa saya telan sebab dia mengunci mulut saya dengan kain setelah memasukannya. Saya benci bawang dan Haji Idang.
Ustad Muri memanggil Kakek Duloh "Kang Duloh" karena umurnya lebih muda dan Haji Idang memanggil Kakek Duloh "Loh" kadang "Duloh". Dari yang saya dengar, mereka seumuran, teman satu kelas seperti Tanti dan Kosasih.
Tunggu sebentar saudara! Saya ingin kencing lagi. Nanti saya lanjutkan ceritanya.
Saudara pernah tidak merasa ingin kencing tapi tidak jadi kencing? Sekarang saya sedang mengalaminya. Tadi saya ingin kencing setelah siap-siap kencing saya tidak jadi kencing. Apa karena saya sudah tua? Atau karena saya salah minum air? Sebelum ke tempat ini saya sempat minum air di kolam besar berbentuk bulat yang di tengahnya ada patung laki-laki dan perempuan sedang melambai seolah berteriak "Selamat datang". Mungkin karena itu ya? Yasudah, sampai mana tadi saya cerita?
Kakek Duloh pintar, saya banyak tahu hal baru darinya. Seperti saat dia memberitahu nama daerah tempat kami tinggal "Purwadadi -- Subang". Juga tentang sejarah pabrik gula, dari mulai pabrik berjaya sampai mengalami bangkrut dan memberhentikan banyak pekerjanya.
Kenangan yang saya tidak bisa lupakan tentang Kakek Duloh yaitu ketika menemani Kosasih sebelum tidur, biasanya dia akan menceritakan kisah-kisah seru, kisah yang diceritakan kebanyakan punya petualangan menarik, semisal Jenderal Sudirman, Cut Nyak Dien dan yang paling terakhir  dia menceritakan Mahatma Gandhi. "Itu yang terakhir." karena setelahnya dia selalu terlihat gelisah, jarang tidur, tidak banyak senyum pokoknya seperti bukan Kakek Duloh, hitungan minggu setelahnya dia meninggal.
Saya menangis, Kosasih menangis, Tanti menangis, tapi Ustad Muri tidak menangis. Dia bilang, "Ini sudah kehendak Gusti Allah, nangis sewajarnya, jangan berlebihan!" Saya tahu Ustad Muri selalu berkata benar tapi untuk yang satu itu saya tidak mau dengar, saya sangat sedih jadi wajar jika terus menangis.
Kepergian Kakek Duloh membawa duka yang tidak habis-habis sampai berhari-hari lamanya. Kadang saya mengira dia masih hidup, saya masih suka membawa wadah makan ke kamarnya jika saya lapar, menggonggong untuk memberitahunya bila ada yang mencuri ikan di kolam belakang rumah dan banyak kekeliruan lainnya, ketahuilah saudara yang terberat dalam perpisahan bukan tentang kepergian karena itu pasti, melainkan membiasakan diri untuk terbiasa melakukan sesuatu yang biasa dilakukan bersama, dan itu menyakitkan.
Rendah gairah, ikan-ikan tak lagi diberi makan, baik saya atau Kosasih sama-sama tak semangat melakukan apapun. Jika malam, saya hanya menatap kosong ke jalan atau pohon tebu dan sesekali berharap Kakek Duloh muncul dari sana.
Saya prihatin melihat keadaan Kosasih, ayah dan ibunya tak jelas asal ditambah harus ditinggal Kakek Duloh, sudah pasti hatinya lebih hancur ketimbang saya. Untungnya ada Tanti, dia satu-satunya orang yang bisa menghibur. Awalnya dia bilang begini, "Kita sama-sama ditinggal mati orang yang kita sayangi tapi hidup kan memang begitu, kalau tidak ditinggal ya meninggalkan." Dari situ Kosasih mulai membiasakan diri.
Saya suka sedih jika mengenang Kakek Duloh. Biar tidak terlarut saya persingkat saja, yang jelas saya berani sumpah demi singkong rebus bahwa Kakek Duloh adalah sebaik-baiknya manusia yang saya temui, walaupun Ustad Muri baik, Kosasih baik, Tanti juga baik tapi Kakek Duloh jauh lebih baik. Saya ingin berterus terang pada saudara tentang dua hal.
Pertama, harus saudara ketahui penyebab Kakek Duloh berubah tak lain karena kemampuan istimewa Kosasih. Mungkin saudara tidak percaya tapi itu benar. Kosasih itu berbeda dengan yang lain dan karena itulah Kakek Duloh khawatir kalau orang tahu maka akan banyak yang memanfaatkannya. Kakek Duloh takut jika kemampuan Kosasih disalahgunakan bisa-bisa malah bawa petaka.
Kedua, banyak orang bilang Kakek Duloh meninggal karena umur tua, ada juga yang bilang dia meninggal karena terjangkit virus yang waktu itu sedang banyak diberitakan di televisi, tapi sebenarnya Kakek Duloh meninggal karena diracun. Saya tidak bohong, saya mendengar sendiri rencana untuk meracuni Kakek Duloh.
Kita bahas yang lain saja ya? Saya suka daging bakar, saudara suka? Itu loh daging kambing yang ditusuk kayu kecil lalu dibakar. Wanginya harum, jika digigit dagingnya terasa empuk, ditaburi bumbu kacang juga boleh karena bisa menambah rasa daging semakin lezat.
Pertama saya makan daging bakar saat lebaran haji. Waktu itu di masjid dekat rumah Ustad Muri menyembelih tujuh ekor kambing gemuk, eh enam deh, tunggu! Sebentar saya ingat-ingat dulu. Sepertinya lima ekor. Ya benar lima ekor kambing gemuk dan satu ekor kambing kurus.
Pagi orang-orang shalat lalu menyembelih kambing lalu memotongnya jadi kecil-kecil lalu potongan daging dimasukan ke plastik lalu dibagikan terus bubar. Tapi saya, Kosasih, Tanti dan anak-anak lainnya tidak bubar. kami justru berkumpul di rumah Ustad Muri, makan bersama.
Ustad Muri punya istri namanya Komariah, Kosasih suka memanggilnya Ceu Kokom. Dia tidak seperti Suebah. Orangnya jarang bicara tapi ramah, selalu senyum kalau ketemu orang. Suka menyapu masjid dan kepalanya dibungkus jilbab. Saya penasaran apa warna rambut istrinya Ustad Muri sama dengan yang lain? Karena memang tak sekali pun saya melihatnya melepas jilbab dari kepalanya.
Saudara, Ustad Muri sama pintarnya dengan Kakek Duloh. apalagi kalau soal agama, sudah pasti dia juaranya. Jika Kosasih pergi mengaji saya selalu ikut tapi saya tidak boleh masuk ke masjid, katanya haram. Mulanya sih saya marah tapi lama-lama biasa saja. Menunggu diluar tak jadi maslah yang penting bisa mendengar suara Ustad Muri bercerita selepas mengajar Kosasih dan teman-temannya mengaji.
Selain menonton televisi, kesukaan saya lainnya adalah mendengarkan cerita. Menurut saya, mendengar cerita dan menonton televisi sama-sama menyenangkan sebab dari keduanya saya jadi tahu banyak hal.
Saya suka kalau Ustad Muri menceritakan tentang hewan. Semisal waktu dia cerita tentang burung ababil. Burung yang menyerang pasukan gajah dengan batu dari neraka, saya tidak tahu dimana neraka tapi yang saya dengar batu yang berasal dari sana sangat panas. Ada juga cerita "Nun" ikan besar yang menelan seorang nabi. Saya suka cerita ikan besar, karena nama ikannya hampir sama dengan nama saya. "Nun -- Kun" tuh kan hampir sama. Tapi yang paling saya sukai yaitu cerita anjing yang menjaga beberapa pemuda yang tertidur dalam gua sampai beratus-ratus tahun, nama anjingnya "Qithmir".
Qithmir itu anjing yang dijamin masuk surga, surga itu tempat orang-orang baik berkumpul setelah mati. Saya ingin seperti Qithmir, saya ingin masuk surga juga, katanya di surga kita bisa minta apa saja yang diinginkan. Saya ingin seperti Qithmir, menjadi anjing yang bisa menjaga Kosasih sampai beratus-ratus tahun, walaupun sepertinya tidak mungkin  saya bisa hidup sampai selama itu. Tapi Ustad Muri pernah bilang, bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama Gusti Allah berkehendak. Saudara tahu Gusti Allah?
  Saya itu utang nyawa sama Ustad Muri, dulu kalau tidak ada dia mungkin saya sudah dikubur di dalam tanah. Jadi semasa saya baru tinggal di rumah Kakek Duloh, Haji Idang datang membawa kayu. Saya dipukuli berkali-kali sampai membuat kepala saya berdarah, bahkan sampai sekarang bekas lukanya masih ada di bagian atas mata kiri. Haji Idang teriak begini,
"Loh, anjing teh haram, kenapa masih aya didieu?"
Saya sembunyi di kolong bale, takut. Sementara Haji Idang masih berusaha memukul, beruntung tak lama Ustad Muri datang, dia menenangkan Haji Idang, katanya "Cukup atuh haji."
Haji Idang gila, bukannya berhenti malah memarahi Ustad Muri "Ustad Goblok, tidak tahu hukum pelihara anjing." Katanya dengan mata melotot.
"Istigfar atuh haji, nyebut! Nyebut! Nih aku kasih tahu, pelihara anjing dengan hajat tertentu itu diperbolehkan," jelas Ustad Muri. "Lagi pula anjing ini juga yang selametin Kosasih, coba atuh sedikit mah ada rasa terima kasih."
Haji Idang mereda, dia duduk lalu melemparkan tongkat yang digunakan untuk memukul saya. memang dasar Idang Stres, Idang Pekok, Idang Dobol, Idang Peyot. Huh, menyebalkan. Ingin rasanya saya gigit sampai putus jari-jarinya supaya dia tidak bisa memukul saya lagi. Sejujurnya jika saya ingat kejadian itu bawaanya langsung emosi. Saya benci Haji Idang,
Nama lengkap Haji Idang sebenarnya "Idang Darajatun". Orang-orang memanggilnya begitu karena dia pernah pergi beribadah ke Mekah jadi di depan namanya harus menggunakan gelar "Haji". Tapi kalau kata Kakek Duloh asal-usul gelar haji baru ada pada saat Indonesia dijajah, para penjajah sengaja menyematkan gelar itu agar mereka mudah mengawasi gerak-geriknya karena biasanya orang yang baru pulang dari mekah suka mengadakan perlawanan yang cukup merepotkan.
BAGIAN 2
      Kosasih masih tidur, sepertinya sangat lelah setelah berurusan dengan orang-orang partai, kasihan.
      Apa yang ditakutkan Kakek Duloh terbukti, kemampuan Kosasih menjadi petaka besar. Beberapa hari lalu dia masih dielu-elukan karena yang dilakukannya membuat orang-orang partai bersorak riang, tapi sekarang? kami dikejar-kejar seperti penjahat. Kenapa manusia bisa cepat berubah? Kemarin sayang hari ini tidak. Ah saya rasa tidak semua manusia, barangkali plin-plan cuma milik orang-orang partai saja.
Kakek Duloh pernah bilang ke Haji Idang seperti ini, "Manusia akan membunuh seratus anjing lainnya hanya karena ada satu ekor anjing yang menggigit tapi anjing akan menganggap seratus manusia lainnya baik hanya karena ada satu orang yang memberinya makan." Saya rasa untuk melihat kebaikan seharusnya manusia belajar kepada anjing.
Â
Cerita ke 3 : Istimewa
Kosasih bilang, bahwa dia bermimpi melihat ikan mas besar di kolam belakang rumah, warnanya terang sekali sampai menyilaukan mata. Kakek Duloh menganggapnya hanya candaan tapi nyatanya di malam hari saat mau membuang sampah dia melihat cahaya keluar dari kolam, terang sekali sampai daerah sekitarnya benderang. dia dekati pelan-pelan dan betapa kaget ketika mendapati seekor ikan mas besar dengan warna menyala berenang kesana-kemari. Tentu saja Kakek Duloh panik, selama ini dia belum pernah melihat yang semacam itu. Kakek Duloh salah tingkah, lari masuk rumah tapi belum sampai pintu sudah kembali lagi ke kolam. Dia perhatikan baik-baik ikan mas lalu menggerutu "Ini sih harus segera dibuang biar tidak mengundang perhatian orang."
Kakek Duloh menggali lubang dekat kolam lalu menangkap ikan mas dengan serokan lalu memasukannya ke lubang lalu menguburnya lalu dia masuk ke rumah lalu membuat teh manis hangat lalu duduk melamun di bale. Saya perhatikan raut wajahnya penuh kebingungan.
Kadang saya suka bertanya kenapa teh manis hangat selalu menjadi minuman dalam segala situasi, apa manfaatnya? waktu Kosasih sakit, Kakek Duloh memberi teh manis hangat. Saat Haji Idang marah Kakek Duloh juga memberi teh manis hangat bahkan saat ibunya Tanti sedih karena suaminya meninggal pun Kakek Duloh memberi minuman yang sama. Saya tidak pernah minum teh manis hangat jadi saya tidak tahu seberapa hebat manfaatnya. Apakah teh manis hangat bisa menyembuhkan penyakit? Atau bisa merubah perasaan seseorang?.
      Setelah kejadian ikan mas masih ada lagi yang lainnya seperti buah mangga berwarna ungu yang rasanya asin seperti garam, bebek bertelur sampai ratusan butir di bak mandi, hingga kelinci berwarna merah muda terbang seperti burung.
      Saya baru ingat, ada satu kejadian yang membuat Kakek Duloh, saya dan Kosasih sampai harus ke luar kota hanya untuk menutupi kejadian sebenarnya. Dulu setelah Kakek Duloh selesai menceritakan kisah Mahatma Gandhi, dia dibuat kelimpungan karena Kosasih bilang seperti ini "Kek, aku mimpi kalau kakiku tidak pengkor lagi."
      "Duh Gusti Pangeran, kalau kejadian lain bisa disembunyikan dengan macam-macam alasan tapi kalau kaki pengkor bagaimana? Orang tidak ada yang percaya kalau pengkor bisa sembuh dalam waktu semalam? Saya harus ngomong apa? pasti mereka curiga." keluhnya di ruang tengah setelah berhasil menidurkan Kosasih.
      Lewat tengah malam, Kakek Duloh membangunkan Kosasih, di ruang tengah sudah ada dua tas berisi pakaian ganti. Kosasih bingung, kenapa dibangunkan padahal pagi masih jauh tapi saya dan Kakek Duloh lebih bingung ketika melihat Kosasih keluar dari kamar dengan kaki yang sudah tidak pengkor lagi. Kosasih berteriak kegirangan menyadari kakinya lebih leluasa digerakan, dia melompat kesana kemari, katanya "Asik, enak juga kek punya kaki seperti ini." Sementara Kakek Duloh hanya membalas dengan senyum. Dari matanya ada kebahagiaan juga ketakutan, saya bisa merasakannya, dia bahagia melihat Kosasih bisa berjalan selayaknya orang-orang tapi juga ketakutan kalau orang lain sampai tahu tentang yang sebenarnya. Mustahil kaki pengkor bisa sembuh cuma dalam waktu semalam.
      Kakek Duloh mengajak Kosasih pergi ke Bandung, katanya "Kita akan berlibur." Kosasih bertanya kenapa harus mendadak, Kakek Duloh hanya jawab "Sudah ikuti saja."
Saya tidak diajak pergi tapi Kosasih merengek, katanya "Aku tidak mau pergi kalau Kun tidak ikut." Tak mau berdebat Kakek Duloh meng-iya-kan.
      Di Bandung kami tidur di Villa Imah Seniman, tepatnya di Lembang. Begitulah yang saya dengar dari obrolan Kakek Duloh dan Kosasih. Hari pertama, kami hanya berdiam diri di kamar. Sebatas tidur, makan, minum, menonton televisi, tidur lagi, buang kotoran, makan lagi, minum lagi, buang kotoran lagi, Huft membosankan.
Hari kedua lebih menyenangkan, Kakek Duloh mengajak saya dan Kosasih naik kuda, memetik buah strawberry, melihat kawah gunung dan makan daging bakar. Pokoknya seru, hari itu saya senang sekali karena bisa melihat strawberry secara langsung, biasanya saya hanya bisa melihatnya di televisi.
      Hari ketiga kami hanya berkeliling disekitar Villa, kata Kakek Duloh nanti malam kita akan pulang jadi sengaja tidak kemana-mana agar tidak capek. Kami bersantai di bangku samping kolam renang, Kosasih tidur di pangkuan Kakek Duloh sementara saya merebahkan diri di bawah mereka. disana Kakek Duloh meminta Kosasih untuk merahasiakan kemampuannya, dia bilang begini :
      "Jang, kasep. Kakek minta kamu jangan kasih tahu orang lain kalau yang kamu mimpikan bisa jadi nyata." katanya sambil mengelus-elus rambut Kosasih
      "Lah, kunaon?"
      "Karena orang lain gak ada yang kayak kamu, kalau mereka iri bagaimana? Syukur-syukur cuma iri, kalau mereka niat memanfaatin kasep gimana? Kalau sampai mereka mau buat jahat sama kasep gimana?"
      "Tapi kan aku gak jahat sama mereka."
      "Kasep, kadang manusia gak butuh dijahati terlebih dulu untuk berbuat jahat sama orang lain. Kasep yang nurut ya!"
      "Aku sih nurut wae kek, tapi kenapa?"
      "Jadi begini jang. Kakek kasih kamu perumpamaan ya biar gampang paham. Kamu masih ingat film Avenger End Game yang kemaren kita tonton? Di Film itu Thanos dan Avenger kan berebut Infinity Stone, Avenger pengen ngegunain buat kebaikan sedangkan Thanos malah sebaliknya. Nah kamu itu sekarang ibarat Infinity Stone. Kalau orang lain tahu kamu punya kemampuan istimewa pasti kamu bakal jadi rebutan, mun dipakai buat kebaikan sih gak apa-apa tapi masalahnya sekarang lebih banyak orang mirip Thanos. Kakek takut kalau orang tahu terus kamu dimanfaatin buat yang gak baik, yang ada kemampuan kamu bisa bawa petaka sama kayak waktu Thanos ngegunain Infinity Stone buat kepentinganya. Sederhananya sih begitu, kamu ngerti kan?
      Kosasih mengangguk, nurut.
      Saya membayangkan kalau Kosasih Infinity Stone berarti saya dan Kakek Duloh jadi Avenger,  Kakek Duloh Kapten Amerika, saya yang jadi Iron Mannya. Terus kira-kira yang cocok jadi Thanosnya siapa?
 Cerita ke 4 : Racun atau Pisau?
Orang bilang kita harus kerja keras untuk mewujudkan mimpi tapi apa yang orang bilang tidak berlaku untuk Kosasih, dia cukup tidur lalu mimpinya  jadi kenyataan, kata Kakek Duloh itu kemampuan istimewa, itu anugerah dari Gusti Allah. Dia percaya apapun yang diberikan Gusti Allah baik hanya bagaimana cara kita menyikapinya, makanya walaupun sebenarnya yang terjadi  cukup menjadi beban tapi dia lebih memilih menyebut kemampuan Kosasih "istimewa" ketimbang kata lain yang mempunyai arti buruk semacam "kutukan" atau "kekurangan".
      Kemampuan Kosasih mulai ada pada waktu berita virus corona masuk pertama kali ke Indonesia, seingat saya hanya beda dua atau tiga harilah. Lebih tepatnya setelah dia menginjak umur baligh. Kata Ustad Muri Baligh adalah keadaan dimana seorang anak sudah memasuki masa dewasa dan ketika memasuki baligh maka diwajibkan baginya menjalankan syariat agama. Masa baligh bisa ditandai dengan mimpi basah, tumbuh jakun, suara semakin berat atau tumbuh rambut di bagian tubuh tertentu. Rambut saya sudah tumbuh sejak lahir berarti saya baligh dari lahir.
      Dalam perjalanan pulang dari Bandung Kakek Duloh semapt bertanya, katanya "Apa ada perbedaan yang kasep rasakan semenjak punya kemampuan?". Kosasih menggelengkan kepala tapi tidak selang lama dia bilang "Ada kek." Kakek Duloh membenarkan posisi duduk, bersiap menyimak dengan serius "Aku lebih banyak tidur tanpa mimpi."
      "Untung saja jarang mimpi, coba kalau sering." kata saya dalam hati. Saya tidak bisa membayangkan kalau setiap hari Kosasih bermimpi, berarti harus setiap hari pula Kakek Duloh mencari alasan, jika mimpinya masih masuk akal sih enak, semisal mimpi makan burger atau makan makanan yang ada di televisi tapi sepertinya tidak mungkin karena kebanyakan mimpi tak masuk akal. Mimpi saya juga kadang begitu, dulu  saya pernah bermimpi menjadi Presiden, pernah juga bermimpi menjadi Super Dog dan pernah saya mimpi singkong rebus, daging bakar dan ayam bakar ukuran raksasa jatuh dari langit menimpa perkebunan tebu.
      Semenjak dari Bandung Kakek Duloh lebih banyak diam, dia suka lupa memberi makan ikan, sudah tidak menceritakan kisah untuk pengantar Kosasih tidur, intinya dia sudah menjadi orang yang beda.
      Di satu malam Haji Idang dan Ustad Muri datang berkunjung, mereka duduk santai di bale sambil menghisap rokok dan sesekali menyeruput kopi hitam.
      "Sebenarnya kamu kenapa?" kata Haji Idang.
      "Iya kang, akang seperti banyak pikiran." sambung Ustad Muri
      "Sejak kaki Kosasih sembuh, yang aku lihat kamu kebanyakan murung." kata Haji Idang  "Eh ngomong-ngomong berobat dimana? cuma tiga hari bisa langsung normal tuh kaki. Pasti sakti orangnya. Mahal gak bayarnya?"
      Kakek Duloh hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan lalu diam lagi.
Memecah hening Haji Idang membuka kenangan masa kecilnya. Dia bilang Kakek Duloh sudah banyak berjasa di hidupnya, seperti menyelamatkannya saat tenggelam di balong, mengenalkannya pada Sukesih yang sekarang menjadi istrinya bahkan saat anak pertamanya lahir, Kakek Dulohlah yang menanggung semua biaya lahiran. Dulu usaha toko kelontong Haji Idang tidak besar, masih miskin.
      "Loh, kita tuh sudah kenal lama. Jadi aku tahu kalau kamu lagi suntuk banget. Cerita atuh kalau masih mau anggap kita teman mah".
      Seumpamanya balon yang diisi angin terus-menerus pasti lama-lama akan pecah, begitu pun Kakek Duloh, pada akhirnya dia tidak kuat menahan takut dan khawatir yang bertambah setiap detiknya. Setelah malam berjalan semakin jauh Kakek Duloh berterus terang, katanya "Aku mau ngomong jujur tapi kalian harus janji cuma kita saja yang tahu." Haji Idang setuju, Ustad Muri pun sama.
      Kakek Duloh menceritakan sedetail mungkin tentang kemampuan istimewa Kosasih, mulai dari ikan mas sampai pergi ke Bandung. Dia juga membeberkan alasan kenapa dia takut kalau sampai orang lain tahu.
"Duh Duloh... Duloh... kalau aku jadi kamu sih sudah pasti dimanfaatin." kata Haji Idang setelah mendengarkan penjelasan "Coba pikir baik-baik, kemampuan Kosasih kalau bisa diolah pasti bisa ngasilin banyak duit itu."
"Husst." Ustad Muri menyela "Kan Pak Haji dengar kalau Kang Duloh tidak mau."
Haji Idang mendebat Ustad Muri, katanya. "Mur, zaman lagi susah begini jangan munafik. Gak ada yang salah kok kalau sedikit ambil keuntungan dari kemampuan Kosasih dari pada mubazir, ya kan?"
"Tidak begitu juga Kang Haji, barusan Kang Duloh bilang kalau dia lebih memilih merahasiakan supaya gak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hargain atuh kang!"
"Halaah, sok iya kalian berdua." ketus Haji Idang.
"Dang, hirup mah tong loba ngejar dunya. Nyesel aing carita." kata Kakek Duloh sambil berlalu, masuk rumah, menggebarak pintu keras-keras, marah.
Hari-hari setelahnya semua berjalan normal seperti adanya, meski ada beberapa kejadian dari mimpi Kosasih yang menjadi kenyataan tapi tak masalah karena masih bisa diatasi.
Menurut saya jika ada orang yang mengajak binatang atau benda mati ngobrol tandanya orang itu sudah tidak kuat memendam masalah sendiri atau bisa jadi karena tidak ada orang lain yang bisa diajak ngobrol. Sama halnya Kakek Duloh, barangkali karena mendapat tanggapan yang tidak mengenakan setelah jujur tentang Kosasih pada Haji Idang dan Ustad Muri makanya dia mengajak saya bicara, saat kami selesai memberi makan ikan dia bilang begini :
"Kun, aku sudah bingung harus bagaimana, apakah membiarkan saja orang tahu atau tetap menutupinya? Aku bingung Kun, kemarin kamu dengar kan bagaimana si Idang keukeuh kalau kemampuan Kosasih bisa digunakan buat numpuk uang. Bangsat benar dia, aku kira gak bakal ngomong seperti itu. Jujur saja, sekarang aku sulit percaya sama orang lain. Sekarang banyak orang yang baik di depan tapi di belakang jahat. Haduh, Manusia itu wajahnya satu tapi rupanya bisa banyak, munafik." Keluhnya.
Saya paham yang dikatakan tapi saya tidak bisa memberi komentar karena saya tidak bisa bahasa manusia tapi sebagai peliharaan yang baik saya selalu mendengarkan apapun yang diceritakan Kakek Duloh. Mungkin saja dengan didengar dia merasa sedikit lebih baik.
Bisa saya katakan jika Haji Idang itu contoh yang buruk, dia licik, serakah dan tak tahu balas budi. Kakek Duloh sering membantunya tapi balasannya sangat menyebalkan. Kenapa ada orang semacam itu ya?
Haji Idang sangat dekat dengan ibunya Tanti. saya sering melihat kalau menjelang siang saat Tanti sekolah dia mengindik-indik masuk rumah Tanti, berdiam lama di dalam lalu keluar lewat pintu belakang tapi semenjak sekolah ditiadakan karena virus corona, saya jarang melihat dia seperti itu lagi. Paling sesekali itu pun biasanya malam menjelang pagi. Kalau kata orang sih ada hubungan gelap antara Haji Idang dan Suebah, hubungan gelap itu apa? Apakah hubungan di tempat yang gelap atau hubungan apa? Manusia kadang suka pakai istilah yang bikin anjing tidak mengerti.
Kakek Duloh sakit, sudah dua hari terbaring lemas. Kosasih merawatnya, Ustad Muri membujuk agar mau dibawa ke rumah sakit tapi Kakek Duloh menolak, katanya "cuma sakit biasa nanti juga sembuh". Kadang juga Tanti dan Ibunya suka membawakan makanan, membawakan bubur di pagi hari, nasi dan lauknya di siang dan malam hari.
Pada saat Kakek Duloh meninggal, rasanya ingin sekali saya bisa berbahasa manusia agar bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Semua orang menangis, Kosasih menangis, Tanti Menangis. beberapa orang yakin Kakek Duloh meninggal karena penyakitnya dan beberapa lagi percaya karena virus corona tapi kejadian sebenarnya tidak seperti itu. malam hari sebelum Kakek Duloh meninggal saya mendengar Haji Idang bicara dengan Suebah, begini :
"Sudah kamu beri saja racun ini di teh manis atau bubur."
"Tapi aku takut ketahuan." kata Suebah
"Jangan takut, dia sedang sakit jadi kalau dia mati orang akan menganggap kematiannya karena sakit bukan karena dibunuh."
"Tapi ..."
"Jangan pakai tapi, coba kamu pikirkan kalau si Duloh meninggal, otomatis semua hartanya bisa jadi milik kamu."
"Kenapa tidak Kang Haji saja yang bunuh pakai pisau, gorok sendiri lehernya."
"Aduuh Suebah sayang, itu terlalu mencolok. Satu-satunya cara supaya gak ketahuan cuma pakai racun." rayu Haji Idang. "Sayang, kalau rencana kita berhasil, aku janji akan mengawini kamu. Aku akan menceraikan Sukesih yang sudah peyot itu."
Cerita ke 5 : Kampung Milyader
      Sepeninggalan Kakek Duloh, Kosasih dirawat Suebah, semua kebutuhan menjadi tanggung jawabnya sebab tabungan Kakek Duloh dia yang kelola, Haji Idang yang menyuruh. Katanya, "Sudah serahkan semua tabungan Duloh ke Suebah, dia kan dekat sama Kosasih jadi biarkan saja dia yang melanjutkan merawat Kosasih lagipula Duloh tidak punya sodara jadi siapa lagi yang mau mengurus Kosasih."
Ustad Muri setuju, menurutnya selama ini Suebah dan Tanti selalu ada untuk Kosasih. Kosasih juga setuju, dia tidak mau ribet soal uang. Hanya saya yang menolak karena tahu apa yang telah dilakukakannya. Tapi percuma saja, penolakan saya tidak berarti apa-apa sebab saya tidak bisa menyampaikan kebenaran.
Andai saja saya bisa melakukan sesuatu setelah mengetahui rencana Haji Idang dan Suebah, mungkin semua tidak sampai seperti ini. Saya tahu sudah takdir jadi seberapa besar penyesalan pun tidak membawa Kakek Duloh kembali, sekarang yang terpenting saya harus menjaga Kosasih. Kakek Duloh begitu peduli padanya, jadi saya pun harus melakukan hal yang sama. Semoga dengan itu Kakek Duloh bisa bahagia di dunia orang mati.
      Sepeninggalan Kakek Duloh, Haji Idang tampil seperti malaikat, dia membelikan handphone, motor dan playstation. Ustad Muri melarang tapi Haji Idang meradang, katanya "Biar saja kita manjakan, anggap saja bersedekah sama anak yatim-piatu." Ustad Muri pasrah tidak bisa melawan. Kalau pagi Haji Idang datang berkunjung, menanyakan sudah makan atau belum, siang hari juga begitu lalu malam pun sama. Harus saya akui apa yang dilakukannya luar biasa, dia sudah bisa membuat Kosasih percaya.
Hampir disetiap kesempatan Haji Idang selalu menceritakan hal-hal tentang minyak bumi. Dia juga menunjukan video-video kampung milyader yang ada di daerah Tuban. Sesekali dia bilang ""alau tanah punyaku yang dekat dengan lapangan bisa seperti ini pasti enak ya? aku bisa punya banyak uang."
Saya ini anjing tentu saya punya naluri menjaga, naluri saya mendorong rasa curiga lebih terhadap apa yang dilakukan Haji Idang apalagi saya mengetahui dialah otak dibalik kematian Kakek Duloh. Mulanya saya tidak mengerti tapi lama-lama saya tahu kenapa dia selalu cerita tentang itu. Dia sengaja agar cerita minyak bumi masuk ke alam bawah sadar Kosasih maka dengan begitu kemungkinan Kosasih untuk memimpikannya semakin besar.
Oh iya saya lupa memberitahu bahwa Haji Idang pernah bilang pada Kosasih kalau dia mengetahui keistimewaannya, dan dia juga bilang agar menceritakan yang dimimpikan hanya kepadanya. Kosasih ragu tapi Haji Idang meyakinkan, dia bilang "Ini amanat dari Kakek Duloh."
      Berhasil, Kosasih akhirnya memimpikan yang Haji Idang mau. dia bilang bahwa dia bermimpi tanah milik Haji Idang mengandung minyak yang sangat banyak. Akan ada orang-orang dari Jakarta yang datang dan membeli tanah dengan harga mahal.
      Berselang seminggu dari mimpi Kosasih, orang-orang dari Jakarta datang, mereka membawa peralatan yang banyak, menemui Haji Idang untuk mau menjual tanahnya dan tanpa pikir panjang Haji Idang memasang harga tinggi. Tak jadi masalah kata orang dari Jakarta, dia bilang berapapun akan kami bayar. Kesepakatan dibuat, sebuah kilang minyak baru akan dibangun di Purwadadi -- Subang.
      Haji Idang menjadi semakin kaya, toko kelontongnya semakin besar dan uang hasil penjualan tanah dia belikan mobil, merenovasi rumah juga memborong perhiasan tapi bukan untuk istrinya melainkan untuk Suebah sebab tak lama setelah kematian Kakek Duloh, dia dan istrinya bercerai. Anak-anaknya ikut bersama ibunya, katanya pulang ke Sumedang. Dan tak lama dari situ juga Haji Idang resmi mengawini Suebah.
      Pernikahan itu di tentang oleh Tanti, dia pernah bercerita pada Kosasih seperti ini :
      "Sebenarnya aku tidak suka ibuku kawin lagi, apalagi sama Haji Idang yang sudah tua. Aku malu, banyak orang bilang kalau ibuku hanya mengincar hartanya saja." kata Tanti kesal. "Aku malu."
      Kosasih diam, dia tahu Tanti tak suka Haji Idang tapi untuk Kosasih itu lain hal karena baginya Haji Idang sudah seperti pengganti Kakek Duloh, dia baik, suka membelikan hadiah bahkan membelikan motor model terbaru, takut dosa jika ikut menjelek-jelekannya.
      "Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja." rayu Kosasih menghibur. "Kita main ke daerah Cijoget, minum es kelapa dibawah pohon karet dan jati."
      "Kamu memang selalu bisa bikin aku tak bisa nolak," kata Tanti. "Ayok."
      Saudara, menjadi manusia lebih sulit ketimbang menjadi anjing karena banyak aturannya, contohnya anjing boleh kawin dengan saudara kandungnya tapi manusia tidak boleh jangankan saudara kandung, mengawini yang sepersusuan dengannya pun tidak boleh. contohnya Kosasih, waktu kecil dia sepersusuan dengan Tanti maka Kosasih tidak boleh kawin dengan Tanti, kasihan. Padahal perlu saudara ketahui sebenarnya mereka saling jatuh cinta. saya pernah melihat mereka berciuman malam-malam di atas bale, tapi setelahnya Tanti bilang "Kita itu tidak akan berhasil, kita saudara sepersusuan jadi tidak boleh menjalin hubungan." Kemudian mereka saling diam dan tak lama Tanti masuk rumah meninggalkan Kosasih sendirian.
      Bolehlah saya menyamakan kisah cinta mereka seperti kisah cinta di film yang saya tonton. mereka serupa "Dilan dan Milea" dalam hal romantis tapi tragis karena tak bisa bersatu. Jika saya boleh memilih, lebih baik saya melihat Kosasih dan Tanti yang kawin ketimbang Haji Idang dan Suebah, mereka tidak cocok, yang satu tua yang satu masih muda, Suebah masih kencang sedang Haji Idang keriput. Saya rasa mereka berseberangan dalam banyak hal kecuali dalam kejahatan, mereka licik, mereka yang membunuh Kakek Duloh. Bila orang lain menjadikan cinta sebagai dorongan untuk melengkapi kekurangan satu dan yang lain tapi mereka menjadikan cinta sebagai dasar berbuat jahat.
      Mereka sudah hidup bersama sejak bayi, masuk sekolah bersama bahkan sampai mereka beranjak dewasa tetap bersekolah di tempat yang sama, tidak terpisah. Saya berterima kasih pada Tanti karena sudah banyak memberi waktu pada Kosasih agar tidak kesepian. Sejujurnya meski saya selalu bersama Kosasih tapi saya ini anjing, saya tidak bisa bahasa manusia jadi kalau untuk sekedar mendengar cerita saya bisa tapi untuk mengingatkan saya tidak bisa, disinilah Tanti punya peran penting. Manusia itu kan suka lupa, ya sama halnya Kosasih, kadang dia lupa diri. Pernah ketika Haji Idang membelikan motor baru dia sibuk dengan motornya, pergi pagi pulang malam, sehari-hari yang di urus cuma itu-itu saja tapi Tanti menyadarkan, katanya "Ada motor aku dilupakan." Kosasih tak enak hati lalu mengurangi kegiatannya.
Mereka suka jalan-jalan bersama, kadang saya diajak. Saya duduk didepan dan Tanti di bonceng di belakang. Sekedar menghabiskan sore atau minum es kelapa di bawah pohon karet dan jati. Saya melihat Kosasih nyaman berada di dekat Tanti, bagi saya itu anugerah karena dengan adanya Tanti perlahan Kosasih lupa kalau dia anak malang yang tidak punya orang tua meskipun saya tahu diantara mereka ada perasaan yang mengganjal, mereka tak bisa bersatu meski saling mencinta dan saya yakin itu bukan perkara gampang untuk dijalani, saya saja kesepian menjadi satu-satunya anjing di desa, kadang saya ingin sekali kawin tapi dengan anjing yang mana? Masa dengan kucing. Itu tidak mungkin, saya tidak bisa membayangkan kalau saya mengawini kucing nanti anak saya seperti apa? Bisa-bisa tubuhnya anjing kepalanya kucing, kalau bersuara tidak menggonggong bunyinya "meong, meong" ih menjijikan. Tapi begitulah hidup kalau sudah berbicara masalah hati, tidak bisa sederhana.
      Suebah semakin  menawan, pasokan uang dari Haji Idang membuatnya mudah membeli kecantikan. Pakaiannya bagus, perhiasannya banyak, warna rambutnya dirubah. Kemana-mana pakai mobil, sudah seperti artis-artis yang ada di televisi. Tanti tidak suka, dia menganggap semua  karena pengaruh Haji Idang, atas dasar itulah sejak ibunya kawin lagi dia tak pernah sekali pun bicara dengan Haji Idang, ayah sambungnya.
      Ustad Muri pernah bilang, "Manusia itu tidak pernah merasa cukup, jika diberi kesulitan dia akan berkeluh kesah dan jika diberi kemudahan dia akan lupa diri kecuali orang-orang yang menjaga shalatnya." Pertanyaan saya jika orang sudah menjaga shalat tapi masih berperilaku begitu, dimana letak salahnya? Apakah shalatnya salah? Atau memang jenis manusia seperti itu bebal sejak diciptakan? Saya sedang membicarakan Haji Idang, saudara harus tahu dia kan Haji dan dia juga selalu shalat di masjid tapi kok kelakuannya begitu. Bukan saja serakahnya yang semakin menjadi pun penuh dengki. Dia menghasut Kosasih supaya tidak dekat-dekat dengan Ustad Muri, dia bilang begini :
"Lihat tuh si Muri, semenjak Kakek Duloh meninggal mana ada dia memperhatikan kamu," katanya meyakinkan. "Kamu juga jangan dekat-dekat dia lagi, aku yakin manusia seperti dia datang kalau  ada maunya saja."
      Pelan-pelan Kosasih mengikuti yang Haji Idang bilang, dia jadi jarang ke Masjid, berhenti mengaji. Sumpah saya kesal, demi ayam bakar madu saya berani bilang bahwa Ustad Murilah  sosok yang lebih tepat menggantikan Kakek Duloh, selama ini dia tidak menengok Kosasih karena urusan keluarganya pelik, warungnya tutup dan pesanan masker kain tidak lancar, dia harus pontang-panting mencari pendapatan supaya hidup keluarganya tetap berkelanjutan. Saya tahu, saya pernah datang ke rumah Ustad Muri, dia memberi saya makan tapi bukan ayam bakar. sambil  menemani saya makan dia bilang, "Kabar Kosasih gimana Kun? Mudah-mudahan dia sehat ya. Sudah lama aku tidak lihat dia ke Masjid." katanya dengan raut wajah rindu.
Kematian Kakek Duloh sudah lama berlalu tapi berita di televisi cuma tentang virus dan segala perintilannya semisal vaksin, jumlah korban, istilah-istilah baru seperti PSBB, PSBB transisi, PPKM, PPKM darurat, PPKM level 4. Jujur saja saya bingung dengan istilah itu, kenapa ada banyak? Gunanya buat apa? Belum lagi berita tentang varian virus model terbaru yang sudah membuat rumah sakit tak bisa lagi menampung orang, saya kesal televisi sudah tidak semenarik dulu, setiap hari isinya cuma berita duka dan duka.
Di waktu yang sama Tanti sedang uring-uringan, dia mengadu pada Kosasih tidak kuat dengan kondisi di rumah setelah Haji Idang terpilih sebagai kepala desa.
"Kacau Kos, rasanya aku ingin pergi saja dari sini," keluhnya. "Si bangsat semakin tidak tahu diri, untuk apa coba jadi kepala desa? Bikin rumahku tiap hari penuh sama orang saja."
Kosasih mengangguk pelan. Dari rautnya saya melihat bahwa kali ini dia sepakat dengan Tanti, terganggu oleh suara orang-orang yang hampir setiap malam datang, wajar saja rumah mereka berdekatan jadi kalau rumah Tanti berisik sudah pasti suaranya akan terdengar juga ke rumah Kosasih. Tapi sama seperti yang sudah-sudah kalau Tanti mengeluh tentang Haji Idang, Kosasih tidak bisa berbuat banyak, apalagi terpilihnya Haji Idang sebagai kepala desa karena campur tangannya. Begini kejadiannya :
Ketika orang-orang ramai membicarakan kejadian gerhana bulan yang katanya hanya terjadi setiap sembilan ratus lima puluh tahun sekali disitu Haji Idang kembali menjalankan siasat busuknya. Cara yang dipakai sama seperti dia meminta Kosasih memimpikan tanah miliknya agar mengandung minyak. Mula-mula dia memberi Kosasih hadiah lalu dia lebih sering mengobrol dan obrolannya tidak jauh dari apa yang diinginkan. Dia bilang, "Kepala desa kita sudah mati karena virus, sekarang kosong." Jelasnya. "Kalau aku jadi kepala desa rasanya enak ya Kos." lalu dia juga menunjukan video-video tentang kepala daerah yang berprestasi lalu berkelakar "Aku yakin bisa seperti ini."
Lagi dan lagi berhasil, Kosasih memimpikannya dan dalam hitungan hari Haji Idang sudah dilantik atas penunjukan langsung dari camat. Duh, Kosasih bodoh masa terus memimpikan hal-hal yang tidak berguna seharusnya dia memimpikan saya bisa bicara bahasa manusia agar saya bisa memberitahu siapa Haji Idang sebenarnya. Kesal.
Waktu itu saya marah pada Kosasih, saya memilih menghabiskan waktu di rumah Ustad Muri, melihat dia dan istrinya membuat jamu. Oh iya sejak setahun yang lalu Ustad Muri mulai menjual jamu penyehat badan setelah masker tidak lagi laku.
Tiga hari lamanya saya tinggal disana, tidur diluar rumah, makan seadanya yang kadang Ustad Muri hanya memberi saya nasi atau kadang tidak sama sekali tapi tidak jadi masalah karena saya tidak mau tinggal bersama Kosasih yang bodoh, saya sedang marah kepadanya.
Hari ke empat Ustad Muri mengabari Kosasih, meminta dia menjemput saya, katanya "Ini Kun ada disini terus, kamu gak ambil?" Kosasih datang, mereka sempat mengobrol walau sebentar. Ustad Muri bertanya kabar, bertanya tentang Tanti, Haji Idang dan dia juga meminta maaf jika tidak pernah menengok semenjak Kakek Duloh meninggal. Kosasih hanya manggut-manggut, maklum hasutan Haji Idang sudah mengotori hatinya jadi apapun yang dikatakan Ustad Muri cuma sebatas kentut belaka. "Goblok kau Kosasih," kata saya dalam hati. "Harusnya kamu dekat dengan Ustad Muri bukan dengan Haji pembunuh bermuka dua."
BAGIAN 3
      Saudara, dulu saya berpikir bahwa Haji Idang adalah contoh manusia buruk tapi setelah saya dan Kosasih berada di Jakarta dan bertemu dengan orang-orang partai dan pejabat-pejabat rasanya Haji Idang sedikit lebih baik.
      Pertama ke Jakarta saya dan Kosasih ditempatkan di Gedung besar dan tinggi, kalau tidak salah namanya "Hotel Indonesia". Kami tidur di kamar yang menghadap kolam berbentuk bulat yang di tengahnya ada patung lelaki dan perempuan melambai seolah berteriak "selamat datang". Seperti biasa karena saya anjing maka saya tidak dibolehkan ikut ke Jakarta tapi Kosasih bilang jika saya tidak ikut maka dia juga tak mau pergi. Tak ingin ada perdebatan akhirnya saya diizinkan. Kami berangkat berlima, saya, Kosasih, supir, Haji Idang dan Om Kus.
      Di Jakarta Haji Idang hanya menemani kami selama tiga hari lalu pulang lagi, sebelum pulang dia bilang "Mulai saat ini kamu akan ditemani Om Kus, kalau butuh apa-apa bilang saja, jangan sungkan, anggap seperti kakak sendiri." Om Kus orang kepercayaan bapak Manahan Kusuma, itu loh calon Presiden 2024 dari koalisi Partai Merah dan Partai Biru. Saya sering melihatnya di televisi, dia masih muda untuk ukuran presiden jika dibandingkan dengan yang sebelumnya "Jokowi" apalagi dengan wakilnya "Yai Ma'ruf" duh sangat jauh. Di pemilihan presiden dia berpasangan dengan bapak Wijaya. Di iklan-iklan mereka sering muncul dan teriak begini "Pilihlah MANJA -- Manahan dan Wijaya untuk Indonesia Maju dan berakhlak." Lucu ya "Manja." saya jadi ingin tertawa kalau mendengar kata itu sebab mengingatkan saya pada kelakuan Tanti kalau sedang marah pasti bawaannya selalu ingin dimanja Kosasih.
      Barangkali saudara sering melihat para petinggi partai atau pejabat berdebat di televisi, saya beritahu pada saudara bahwa itu hanya terjadi di televisi buktinya setelah sampai di Jakarta betapa kagetnya saya melihat dua orang yang waktu itu hampir adu jotos karena membicarakan kebijakan pemerintah ternyata di luar televisi mereka sangat akrab sekali, Kosasih sempat bertanya begini, "Bukankah kalau di tivi bapak sering adu mulut dengan bapak ini ya? kok sekarang seperti teman dekat." Mereka terbahak-bahak seperti melihat film komedi, "Itu kan di televisi, gimmick, gimmick." Saya tidak tahu maksudnya apa tapi saya yakin itu bukan hal yang baik.
Cerita ke 6 : Perpisahan
      Tanti menangis setelah tahu Kosasih akan ke Jakarta, "Aku boleh ikut?" katanya merajuk. Kosasih tidak menjawab, dia tahu betul Haji Idang tak mungkin mengizinkan. Air mata Tanti menetes, dia memeluk Kosasih erat tidak lepas meski malam terus berjalan semakin jauh, boleh jadi dibenak Tanti sedang berandai agar waktu berhenti supaya dia dan Kosasih bisa lebih lama berduaan.
      "Malang benar nasibku, sejak kecil ditinggal ayah dan sekarang harus ditinggal kamu. Aku tahu kita tidak mungkin menjadi satu karena kita saudara tapi perlu kamu tahu dengan melihat kamu saja sudah cukup. Kita tidak perlu status untuk mengikat rasa cinta karena memang cinta kita terlalu besar untuk diikat. Biar saja kita seperti ini, aku tidak peduli di kemudian hari kamu menikahi siapa dan aku dinikahi siapa tapi kita akan selalu menjaga rasa cinta ini agar tetap utuh, kamu mau?"
      Kosasih mengangguk, "Jika kamu mau," kata Tanti. "Kamu harus ajak aku." Kosasih melepaskan pelukan Tanti pelan-pelan, menatapnya dengan tajam.
"Aku memang sayang kamu, tapi kamu harus mengerti kalau aku tidak bisa mengajak kamu karena ayahmu tidak mungkin mengizinkan, lagi pula aku yakin ini cuma sebentar." jelas Kosasih.
"Dia bukan ayahku." Jawab Tanti ketus kemudian kembali memeluk Kosasih.
"Sudah pulang sana, tidak baik kita begini."
"Tidak mau, malam ini aku ingin menginap disini, aku ingin tidur denganmu."
"Nanti ibumu mencari."
"Tidak akan, dia tidak peduli aku pulang atau tidak yang dia pedulikan cuma berdandan dan melayani si peyot Idang."
Tak lama mereka berpindah dari kursi tamu ke depan televisi, Kosasih mengambil Kasur lipat, selimut dan dua bantal, satu untuknya dan satu lagi untuk Tanti. Sial melihat mereka, saya jadi iri. Saya ingin punya pasangan seperti Kosasih tapi apa boleh buat saya kan anjing satu-satunya di desa jadi beginilah, kesepian.
Malam itu saya tidak tidur karena Kosasih dan Tanti juga tidak tidur, sepanjang malam mereka berpelukan lalu berciuman lalu mengobrol lagi lalu saling melucuti pakaian lalu saling menindih badan setelahnya makan mie instan lalu mengobrol lagi lalu berciuman lagi terus saja begitu sampai pagi datang.
Semua berawal dari Ibu bupati datang berkunjung ke rumah Haji Idang, katanya sih untuk keperluan bisnis perumahan yang akan dibangun di dekat desa. Saya tidak tahu pastinya apa tapi setelah pertemuan pertama Ibu bupati jadi lebih sering kesana. Kadang mereka bertemu di luar, sekali waktu Tanti pernah bilang kalau si Peyot Idang dan ibunya sedang pergi makan di luar bersama bupati, jadi aku di tinggal sendiri.
Saudara, setelah Kakek Duloh meninggal sebenarnya keadaan saya dan Kosasih sudah tidak seperti dulu. Saya ingin pergi tapi tidak mungkin. saudara ingat selepas saya minggat ke rumah Ustad Muri? Tak lama dari situ Kosasih jatuh sakit, badannya lemas, Haji Idang mau membawanya ke rumah sakit tapi Kosasih menolak, katanya "Ini cuma sakit biasa nanti juga sembuh." kalimat yang mengingatkan saya pada Kakek Duloh. Hampir tiga hari panasnya tinggi, Tanti telaten merawat sedangkan saya ketakutan kalau-kalau Kosasih mati. Di tengah kekalutan itulah saya kembali mengingat sumpah untuk menjaga Kosasih, saya tidak mau kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Saya ingin seperti Qithmir menjadi anjing penjaga tuannya sampai beratus-ratus tahun lamanya. Karena saya anjing jadi saya tidak mungkin mengingkari janji.
      Dua hari sebelum Tanti menginap, Haji Idang dan Ibu bupati datang menemui Kosasih. Haji idang bilang kalau Kosasih harus ke Jakarta karena akan dimintai bantuan oleh orang-orang partai. Kosasih bingung karena dia harus bantu apa. Dia tidak punya kebisaan apa-apa, apa yang diharapkan darinya tapi Haji Idang menjelaskan bahwa Kosasih bisa membantu  dengan kemampuan istimewanya, katanya "Ibu bupati sudah tahu tentang hal itu makanya dia mau minta tolong." Kosasih terkejut, ini kali pertama ada orang lain yang tahu tentangnya terlebih orang yang belum dia kenal, Tanti yang setiap hari ketemu saja tidak tahu, dia menolak tapi Haji Idang terus membujuk, katanya "Sudah saatnya kemampuan kamu digunakan untuk kepentingan banyak orang, apalagi ini untuk kepentingan bangsa," bujuk Haji Idang. "Aku yakin mendiang Kakek Duloh juga pasti setuju."
      Kosasih bimbang lalu Ibu bupati ikut bicara "Nak, semenjak pademi karena virus corona negara kita sedang tidak baik-baik saja, fitnah disana-sini, orang miskin semakin banyak, pekerjaan semakin sulit lalu banyak orang yang mencari kesempatan di balik itu semua. Kami berencana meminta bantuanmu. Kami yakin dengan keistimewaanmun banyak hal yang bisa diperbuat untuk bangsa dan negara."
Pada akhirnya Kosasih pun meng-iya-kan apa yang Haji Idang dan Ibu bupati minta, bagaimana pun dia menganggap Haji Idang sebagai pengganti Kakek Duloh jadi dia merasa yang dilakukannya pastilah baik.
      Saudara, kebencian saya pada Haji Idang sangat besar karena saya yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Dari kematian Kakek Duloh sampai dia menjadi kepala desa semuanya memang sudah direncanakannya. Sumpah rasanya saya ingin bisa bicara bahasa manusia agar bisa menjelaskan semua pada Kosasih. Saya ingin bilang "Bodoh, jangan mau kalau disuruh ke Jakarta." tapi apa boleh dikata, dia terlanjur termakan omongan manis Haji Idang, kurang ajar.
      Setelah Haji Idang meninggalkan kami, Om Kus memindahkan kami ke daerah perbukitan, "Puncak" itu nama yang saya tahu dari obrolan Kosasih dan Om Kus.
      Disana kami tinggal di rumah besar dengan banyak kamar, ada kolam renang, ada taman yang luas juga ada aula pertemuan. Saat kami datang sudah ada banyak orang yang menunggu. Beberapa bisa saya kenali karena sering muncul di televisi seperti Pak Manahan calon presiden, Ibu Kanjeng ketua partai merah, Pak Bambang ketua partai biru juga ada beberapa kepala daerah yang saya lihat ditelevisi suka marah-marah. Sisanya saya tidak tahu, mungkin para pengawal atau bisa jadi orang kepercayaan seperti Om Kus. Ibu Kanjeng dan Pak Bambang menyalami Kosasih, mempersilahkan duduk, menanyai kabar, mengobrol sebentar lalu mempersilahkan ke kamar untuk istirahat.
      Om Kus badannya besar, kulitnya gelap, baunya wangi, rambutnya pendek kalau diperhatikan dia lebih mirip tantara, gagah, berwibawa. Cara bicaranya beda dari orang lain, saya suka dengan caranya bicara. Dia memanggil Kosasih "Adik" dan mengunakan kata "saya" untuk menyebut dirinya.
      Saudara, Om Kus sudah lama bekerja dengan Pak Manahan, sebenarnya dia sudah lelah  karena bekerja dengan Pak Manahan menghabiskan banyak waktu sampai-sampai sulit pulang untuk bertemu keluarga. Dari ceritanya yang saya dengar, dulu dia mahasiswa berprestasi yang mendapat beasiswa, setelah lulus dia langsung ditawari menjadi asisten pribadi, katanya "Adik, dulu saya pikir jadi asisten politisi besar bisa kasih mudah saya punya langkah jadi pejabat, tapi ya Tuhan ternyata saya salah besar, sampai sekarang saya tetap tidak jadi apa-apa."
      Om Kus itu berasal dari Indonesia timur, tepatnya di ..., aduh saya lupa tapi dari cerita yang saya dengar di tempat asalnya ada gunung emas. Emas itu mahal kalau dijual bisa dapat uang banyak tapi kata dia orang-orang disana justru hidup miskin meskipun punya gunung emas, aneh.
      Dia itu seperti Ustad Muri, banyak memberi nasihat tapi bedanya Om Kus tidak shalat. Hampir sepanjang waktu kami selalu bersama kecuali ketika Kosasih buang kotoran, mandi dan bertemu "Psikolog" begitulah Om Kus menyebutnya.  Ya semenjak kami pindah, Kosasih dibuatkan jadwal, kegiatannya teratur. Pagi olahraga, lalu sarapan, mandi, lalu setelah itu menonton video dari televisi besar, tidak seperti di rumah Kakek Duloh, televisi disana  membosankan, semisal hari pertama sampai seminggu setiap pagi sampai siang yang diputar hanya video seorang yang menjadi saksi kunci kasus korupsi pengadaan bantuan sosial. Lalu ada juga video memperlihatkan sebuah gedung besar yang bertuliskan "Gedung Kejaksaan RI". Sambil menonton Kosasih ditemani perempuan, namanya "Helen". berkulit putih, rambut panjang, tidak lebih tinggi dari Om Kus, bibirnya kecil, matanya kecil, suka membawa buku tulis dan balpoin kemana-mana. Setelah menonton biasanya dia langsung mengajak Kosasih mengobrol tapi tidak seperti Om Kus, yang dibicarakannya tidak menyenangkan, semisal begini "Kamu lihat kan orang yang tadi di video? Sebenarnya dia bukan saksi kunci melainkan orang yang ingin negara kita hancur. Jika saja orang itu tidak ada atau boleh dikatakan mati mungkin negara kita akan jadi lebih baik karena sebenarnya dia penyebar fitnah." atau seperti ini "Gedung Kejaksaan, disana banyak dokumen berisi video yang sudah diedit dan akan digunakan untuk kepentingan orang-orang yang benci dengan pemerintah. Jujur saja kami berharap dokumen itu lenyap agar pemerintah bisa lebih fokus mengurus rakyat ketimbang menghadapi fitnah yang keji." Membosankan bukan?
Siang hari jadwal Kosasih tidur, biasanya dia tidak tidur melainkan bermain playstation atau merebahkan badan diatas Kasur, sore hari bersantai di taman, menjelang malam bertemu psikolog lagi.
      Ada ruangan khusus untuk pertemuan malam hari, didalamnya ada kursi panjang dengan bantal, buku-buku, kursi kecil, karpet dan aroma ruangnya membuat tenang ketika dihirup. Jika didalam Kosasih akan disuruh berbaring di kursi panjang sementara psikolog memberi beberapa pertanyaan dari kursi yang kecil, saya boleh ikut kesana tapi tidak boleh bersuara. Biasanya psikolog akan bertanya begini, "Bagaimana hari kamu, menyenangkan?" lalu dilanjut dengan pertanyaan tentang yang dirasakan Kosasih dan banyak lagi tapi setiap selesai biasanya dokter akan membisikan di telinga Kosasih seperti ini "Kamu bisa merubah dunia menjadi lebih baik," dengan ekspresi wajah penuh senyum. "Sudah saatnya kamu melakukan yang seharusnya kamu lakukan." Oh iya psikolog  yang dijumpai Kosasih dimalam hari adalah perempuan tua, pakaiannya selalu rapih, rambutnya selalu digelung dan suka memakai sepatu tinggi.
Cerita ke 7 : Rapat Besar
      Menjelang sore banyak orang berdatangan ke tempat kami, berkumpul di aula pertemuan. Saudara boleh percaya atau tidak kalau yang ada di sana adalah orang-orang terkenal. selain Pak Manahan, Pak Wijaya, Ibu Kanjeng, Pak Bambang, ada juga Ketua Dewan yang namanya saya lupa sebab dia jarang terlihat kecuali di foto-foto besar yang dipajang di pinggir jalan yang ada tulisan "Kepak sayap-Kepak sayap." ada Pak Tommy ketua partai kuning, Haji Roni ketua partai Hijau dan Pak Zul ketua partai putih bahkan ada juga pasangan calon presiden dan wakil presiden pesaing pasangan "MANJA" yaitu Candra Kusuma dan Dany, kalau ditelevisi biasa dipanggil pasangan "CANDA" . Saya tidak bisa mendengar yang mereka bicarakan sebab saat pertemuan berlangsung pintu ditutup, tidak ada yang boleh masuk kecuali orang-orang yang sudah di dalam. Tapi tenang saudara saya tahu apa yang mereka bahas dari obrolan Kosasih dan Om Kus.
      "Om, kenapa di rumah ini banyak orang?"
      "Ah, itu orang-orang partai adik."
      "Iya aku tahu, tapi untuk apa mereka berkumpul?"
      "Rahasia."
      Kosasih melengos, dia memberi isyarat tidak suka mendengar jawaban yang terakhir. Tak tega Om Kus mengalah.
      "Tidak  usah marah begitu adik. nanti saya kasih tahu." Katanya, "Tapi adik harus janji ini jadi rahasia kita ya!"
      Kosasih membenarkan posisi duduk, menyimak. Dan saya merebahkan diri didekatnya, penasaran.
      "Jadi mereka itu mau membahas pembangunan Monumen Kejujuran."
"Monumen Kejujuran?" Kosasih heran. "Maksudnya?"
"Adik diam dulu, jangan memotong saya punya cerita." protes Om Kus. "Saya lanjutkan."
"Adik pasti sudah tahu tahun 2020 kemarin kita sedang menghadapi pademi virus corona. Adik pasti lihat di televisi bagaimana pademi membuat rumah sakit kewalahan, tenaga kesehatan kelelahan dan masyarakat kecil menjerit kelaparan."
"lalu?"
"Masalah sebenarnya bukan hanya virus corona tapi kejadian-kejadian yang ada didalamnya. Waktu awal-awal, para ahli sudah kasih tahu kalau virus yang berasal dari china akan sampai ke Indonesia tapi kita punya pejabat menanggapinya dengan candaan. Ada yang bilang virus tidak akan masuk Indonesia karena birokrasi kita rumit, lalu ada juga yang bilang virus tidak akan menyerang sebab orang di Indonesia kuat karena sering makan nasi kucing, ada juga yang bilang kalau goyang ubur-ubur bisa menghalau virus sampai ada yang membuat plesetan corona itu cuma singkatan dari Komunitas Rondo Mempesona. Ah kesal sekali kalau ingat kejadian itu."
"Para ahli sudah bilang tutup akses warga negara asing datang ke Indonesia tapi lagi-lagi mereka tidak dengar, malahan memberi diskon tiket dan membayar mahal influencer untuk promosi wisata supaya turis asing datang, konyol memang. Parahnya adik, sampai ada yang membela mati-matian kebijakan pemerintah. Dia mengatakan orang yang menyebarkan isu corona disaat pemerintah menggempor-grmporkan wisata adalah binatang. Saya penasaran setelah ternyata corona terbukti ada, dia tidak malu kah?"
"Kebijakan yang salah, ketidakseriusan memicu tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah menurun apalagi setelah yang dikatakan para ahli benar. Masalahnya bukan cuma itu adik. Pademi yang panjang membuat keadaan tidak stabil, pemerintah kita mulai membatasi kegiatan masyarakat dengan istilah-istilah yang banyak, mulai dari PSBB, PSBB transisi, PPKM, PPKM darurat, PPKM level 4 dan lain-lain. Gerak masyarakat dibatasi tapi kebutuhan perut mereka tidak dijamin tentu jadi masalah. Kalau untuk orang seperti saya yang punya gaji tetap enak. Tapi kalau pekerja tidak tetap bagaimana? Macam tukang ojek, pedagang asongan, nasib mereka bagaimana? Memang negara memberikan bantuan berupa sembako tapi diteliti dong! bantuan itu cukup atau tidak. Negara tidak ingin rakyatnya mati terkena virus tapi lupa jika rakyat juga bisa mati karena lapar. Parahnya lagi saat kegiatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kerumunan dibatasi tapi di tahun yang sama negara kita menyelenggarakan Pilkada serentak. Saya tahu Pilkada penting karena kalau tidak ada orang yang mengisi jabatan kepala daerah pasti akan ada kekosongan figur pemimpin yang bisa saja menyebabkan ketidakstabilan kondisi di daerah tersebut, tapi apa tidak ada solusi lain? adik tahu berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pilkada? 20,46 triliun. Wow itu duit yang banyak. Kalau saja dana itu digunakan untuk mengatasi virus sejak awal pasti sudah banyak membuat perubahan atau dana itu dibagikan kepada orang yang terdampak selama pademi pasti sudah bisa membantu jutaan orang. aduh mama sayange, kalau diingat-ingat jadi kesal juga. Eh adik, jangan bilang ke yang lain kalau saya menceritakan ini ya!"
"iya, Om." kata Kosasih.
"Bukan apa-apa adik, meski begini saya masih orang partai yang menjadi koalisi pemerintah. Saya tidak enak saja kalau berbeda pandangan dengan orang partai lainnya."
"Tenang saja Om, aman. Lanjut lagi Om, seru."
"Saya rasa semakin hari rakyat semakin jengah, disaat kondisi semakin susah lagi-lagi dan lagi pejabat-pejabat yang terhormat  seperti tidak pernah bosan membuat rakyat sengsara. Ketika bantuan sosial turun ada yang dengan teganya maling dananya, korupsi, BANGSAT."
Kosasih kaget karena Om Kus teriak bangsat dengan sangat kencang.
"Aduh maaf adik, saya tidak sengaka. Saya terbawa suasana saja, kesal. Jadi adik saya paling benci dengan orang yang korupsi apalagi korupsi untuk bantuan sosial, sudah tahu untuk kelangsungan hidup rakyat tapi masih saja diembat. Saya rasa orang yang korupsi bansos lebih cocok dihukum mati saja, ah kesal."
"Sedikit demi sedikit semakin turun rasa percaya rakyat pada pemerintah, lebih gilanya lagi ketika 75 lima orang pegawai KPK dipecat karena tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan. Saya sendiri melihat kasus itu biasa saja tapi yang jadi masalah pemecatan 75 orang pegawai KPK terjadi saat tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah turun sehingga timbulan tafsiran liar yang menganggap bahwa pemecatan sudah disusun sedemikian rupa untuk melindungi sesuatu yang besar. Terlebih 20 dari 75 orang pegawai yang dipecat merupakan penyidik yang sedang menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap."
"Kalau boleh bilang, pemerintah tidak belajar dari pengalaman, tidak bisa membaca gejolak di kalangan bawah. Entahlah, saya juga tidak tahu pastinya atau jangan-jangan sengaja dibuat bergejolak untuk tujuan besar yang saya tidak tahu apa. Lalu yang menurut saya sangat mempengaruhi turunnya kepercayaan rakyat yaitu pada saat pemberlakuan PPKM darurat jawa-bali. Sumpah hampir setiap hari saya melihat diberita kejadian yang menunjukan betapa arogannya pemerintah, seperti membubarkan pedagang kecil dengan kekerasan, mendenda pedagang kecil karena melanggar PPKM, pedagang kecil di denda, Wow. Jangankan untuk bayar denda, untuk makan besok saja mereka tidak tahu darimana, yang membuat saya pedih ada kuli bangunan yang dipecat karena tak pakai masker dan juga seorang tuna netra yang didenda hanya karena memakai masker di bawah hidung. Jujur saja saya menangis. Dan mungkin orang-orang yang ada diluar sana juga menangis menyaksikan keadilan pudar atau bisa jadi menghilang. Pemerintah keras menegakan aturan kebawah tapi tumpul keatas. Sebenarnya pada saat itu ada sedikit harapan baru yang saya lihat dari gerakan Warga Bantu Warga, saya melihat gerakan itu sebagai inisiatif masyarakat agar bisa bertindak cepat menolong sesama. Aduh adik saya bisa menangis kalau melanjutkan lagi cerita."
"Lalu hubungannya dengan pertemuan hari ini apa Om?"
"Aduh bodoh kali, lupa saya menjelaskan. Begini adik, kejadian-kejadian yang saya ceritakan barusan membuat ketidakpercayaan masyarakat semakin besar sampai berakibat pula pada turunnya dukungan kepada partai. Nah untuk membenahi keadaan agar tidak berlarut-larut, Ibu Kanjeng dan Pak Bambang mengambil langkah membuat program lintas partai, ada program "Sembako Satu" dimana partai-partai menyumbang untuk membeli sembako lalu diberikan pada masyarakat dengan slogan "dari Indonesia untuk Indonesia" agar dilihat bahwa semua partai menghilangkan egonya masing-masing dan bahu-membahu demi kepentingan rakyat. Lalu yang malam ini dirapatkan adalah rencana pembangunan "Monumen Kejujuran". Gunanya hanya sebagai simbol saja bahwa semua partai berkomitmen, bersatu dan berlaku jujur. Â Ceritanya mengajak masyarakat membuka lembaran baru dan melupakan yang sudah-sudah.
      "Om, aku bingung yang korupsi kan pejabat pemerintah, yang menganggap remeh virus pejabat pemerintah tapi kenapa partai harus ikut terlibat sampai  membuat program? sumpah aku gak ngerti."
      "Adik, pejabat pemerintah diusulkan oleh partai jadi secara tidak langsung berkurangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah berjalan lurus dengan berkurangnya kepercayaan mereka kepada partai. Lagi pula sekarang susah membedakan mana pejabat mana petugas partai. Banyak dari mereka yang tidak bisa menempatkan posisi."
      "Satu lagi Om, kalau sekarang semua partai bersatu. Kenapa mesti ada dua pasangan calon presiden? kan aneh, kenapa tidak langsung satu saja?".
      "Ah adik, baru sebentar adik disini  tapi sudah pintar. Saya rasa mereka malu kalau nanti ketika pemilihan mereka hanya menang melawan kotak suara kosong, makanya dibuat dua calon biar terlihat seperti ada saingan, mungkin begitu adik." Jelas Om Kus. "Eh adik jangan dianggap serius. Untuk yang terakhir saya sekedar bercanda saja."
      Kosasih menggaruk kepala, bingung. Saya pun sama, saya tidak mengerti penjelasan Om Kus, apa itu KPK? Birokrasi? PPKM dan istilah yang asing ditelinga tapi saya lebih penasaran dengan "nasi kucing", apakah itu sejenis nasi yang terbuat dari daging kucing, jika benar, saya tidak mau makan sebab bisa saudara bayangkan ketika sedang asik makan tiba-tiba di tumpukan nasi ada separuh kepala kucing yang mata keluar lengkap dengan darah yang mengering, menjijikan.
      Ketika Om Kus dan Kosasih sedang bermain playstation  tiba-tiba pintu diketuk. Ada lelaki yang mengabarkan kalau mereka berdua dipanggil Ibu Kanjeng. Om Kus, saya dan Kosasih bergegas.
      "Bagaimana Kus perkembangan Kosasih?"
      "Menurut laporan Tim Psikolog perkembangannya cukup baik bu."
      Ibu Kanjeng beranjak dari tempat duduknya, berdiri di hadapan Kosasih, mengelus kepalanya lalu berbisik.
      "Nak, kami harap secepat mungkin kamu bisa membantu," katanya. "Ingat! Ini untuk bangsa dan negara." Ibu Kanjeng berlalu diikuti pengawalnya sedangkan kami kembali ke kamar dan melanjutkan bermain playstation.
      Haji Idang pernah bilang, kalau Kosasih bermimpi ceritakan saja pada Om Kus karena sekarang dialah yang bertanggung jawab.
      Pagi hari saat olahraga, Kosasih bilang kalau dia bermimpi tentang orang yang ada dalam video korupsi bansos. Dalam mimpi, dia melihat orang itu sedang diserang sekumpulan monyet besar, monyet-monyet menggigit sampai lehernya hampir putus dan wajahnya berantakan. Dia ada di sebuah pulau yang dikelilingi batu, di pulau itu ada semacam gading gajah besar di pintu masuknya. Di mimpi juga dia melihat orang itu naik kapal dari dermaga yang ada tulisan "Ancol."
      Om Kus menelpon seseorang, mengabari apa yang baru didengarnya dari Kosasih lalu setelahnya dia menelpon Pak Manahan, "Lapor, target sudah ditemukan, kemungkinan berada di salah satu pulau yang ada di Kepulauan Seribu dengan ciri-ciri pulau dikelilingi batu dan ada serupa gading gajah ukuran besar di pintu masuknya."
      Siang hari setelah Kosasih selesai bertemu Helen, kami merebahkan diri. Saya bersantai di karpet dan Kosasih di Kasur lalu Om Kus masuk dan menyalakan televisi, ada berita tentang kematian orang yang tak dikenal. Beritanya seperti ini :
      "Pemirsa telah ditemukan mayat tanpa identitas dengan kondisi mengenaskan di sebuah pulau, lebih tepatnya Pulau Bulat yang terletak di kecamatan Kepulauan Seribu Utara, diduga kematiannya disebabkan oleh serangan binatang buas karena dari hasil pemeriksaan didapati beberapa luka menyerupai cakaran binatang namun sampai saat ini polisi belum bisa memastikan jenis binatang yang menyerang dikarena tidak ditemukan jejak binatang. Untuk lebih jelasnya sekarang saya sudah bersama dengan salah satu warga yang biasa memancing di sekitaran Pulau Bulat.
"Baik pak, dengan bapak siapa saya bicara?"
"Saya Lukman."
"Pak Lukman, apakah di pulau ini terdapat binatang buas?"
"Eh anu, setahu saya sekarang sih gak ada mba, dulu memang disini banyak monyet tapi sudah lama gak ada."
"Apakah bapak yakin?"
"Yakin sekali mba, soalnya saya ikutan waktu nangkepin monyet dari sini. Kalau mbanya gak percaya bisa dilihat di Facebook, saya pernah upload fotonya. Mbanya lihat aja kalau mau jelas, Nama Facebooknya Lukman Sayang Mama Selalu."
"Menurut Pak Lukman sendiri, selain monyet, ada binatang buas yang hidup di kepulauan seribu? Karena menurut keterangan polisi kematiannya akibat serangan binatang buas."
"Sepengetahuan saya, di pulau seribu binatang buas ya cuma monyet liar saja, dan untuk sekarang-sekarang itu juga cuma ada di Pulau Pamegaran. Pulaunya lumayan jauh dari sini tapi rasanya gak mungkin monyet-monyet disana sampai kesini, keburu mati kalau mereka berenang."
"Terima kasih Pak Lukman atas informasinya."
"Sama-sama mbanya."
"Permirsa demikan yang bisa sampaikan dari lokasi kejadian, saya Gita Senandung, selamat siang dan sampai berjumpa lagi di Headline berikutnya satu jam mendatang."
      Om Kus mematikan televisi lalu mendekati Kosasih.
      "Apa benar itu orangnya?"
      "Iya."
      "Yasudah, adik istirahat saja." kata Om Kus kemudian berlalu meninggalkan kami.
      Sejujurnya saya kaget, dari yang sudah-sudah mimpi Kosasih memang selalu tak masuk akal. Kali ini bukan hanya tak masuk akal tapi juga melibatkan kematian orang, bisa dikatakan Kosasihlah yang membunuh meskipun tidak secara langsung.
      Saya melihat Kosasih merenung, barangkali dia juga memikirkan hal yang sama seperti yang saya pikirkan. Saya melompat ke Kasur menubrukan badan lalu menancapkan kepala di pangkuannya. Kosasih tersenyum, hambar.
      Hampir sama seperti kejadian yang lalu, sore itu banyak orang berdatangan ke tempat kami. Tapi bukan membicarakan monumen kejujuran melainkan untuk berpesta. Di aula pertemuan sudah tersaji beraneka hidangan, dari buah sampai ke ragam daging. Ada juga minuman segar, ada panggung kecil yang diatasnya sudah ada dua orang lelaki, satu memegang gitar dan dan satu lagi berdiri disamping sejenis papan tebal dengan banyak tombol hitam-putih lalu ada juga tiga perempuan yang menggunakan pakaian ketat. Saya pernah melihat semacam ini di desa, kalau tidak salah namanya "organ tunggal" biasanya ada pada saat orang acara kawinan.
      Saya, Kosasih dan Om Kus masuk ke aula. disana sudah ada Ibu Kanjeng, Pak Bambang, Pak Tommy dan tentu ada Pak Manahan dan Pak Wijaya. Saya penasaran apakah jika seseorang dipasangkan sebagai calon presiden dan wakil presiden, apakah mereka harus kemana-mana bersama seperti saya dan Kosasih? atau bagaimana ya? soalnya hampir disetiap kesempatan saya melihat dimana ada Pak Manahan disitu ada Pak Wijaya.
      "Teng... Teng... Teng..." suara gelas diketuk Ibu Kanjeng setelah kami masuk aula kemudian seseorang memberinya gagang yang bisa membuat suara terdengar lebih keras, semua diam.
      "Hadirin, dihadapan kita sudah berdiri Kosasih. orang yang paling berjasa hari ini." katanya dengan suara serak tua "Berkat dia, orang yang selama ini kita cari sudah ditemukan. Tadi sekitar pukul tiga saya dapat laporan dari polisi bahwa hasil otopsi mengatakan bahwa mayat yang ditemukan adalah mayat saudara Harun." semua orang tepuk tangan, mereka bergembira hanya saya dan Kosasih saja yang kebingungan, oh iya Om Kus juga sama, dia memasang muka datar. Beberapa orang menghampiri Kosasih lalu menepuk Pundak sambil berkata "Hebat."
      Di tempat kami jika ada yang meninggal biasanya orang akan menangis, berduka. Tapi kenapa orang yang ada di aula  malah tertawa bahkan mengadakan acara makan-makan seperti sedang merayakan kawinan.
      Kami sempat mengongbrol dengan Ibu Kanjeng dan Pak Bambang sebelum meninggalkan aula. Mereka mengucapkan terima kasih pada Kosasih karena sudah menemukan Harun, Pak Bambang memberi Kosasih jam tangan yang bagus sekali, kalau Ibu Kanjeng bilang akan membelikan mobil jenis apa pun yang Kosasih mau. Sebelum kami kembali ke kamar Ibu Kanjeng memeluk Kosasih, raut wajahnya ceria lalu berbisik "Terima kasih sudah berbuat untuk bangsa dan negara, berkat kamu kegaduhan tidak akan terjadi di negara kita."
      Untuk kesekian kalinya  saya mendengar kalimat bangsa dan negara, kenapa pejabat atau orang partai sangat suka mengucapkan itu ya? apakah semacam ciri khas? Seperti orang latah yang kalau dikagetkan akan teriak "Ayam .. ayam .. ayam."
Cerita ke 8 : Kebenaran
      Selang seminggu pesta kembali digelar. Sama seperti kemarin, ada makanan, minuman dan musik. Hanya saja kali ini lebi ramai. Saya, Kosasih dan Om Kus cuma sebentar disana karena kami bosan dengan pesta.
      Malam itu Ibu Kanjeng berkali-kali memeluk Kosasih, semua pemimpin partai memberi hadiah.
      "Kita menang, kita senang." Teriak salah satu kepala daerah yang hadir.
      "Malam ini ada dua kabar yang menggembirakan. Pertama, Dokumen kasus korupsi hilang bersamaan dengan terbakarnya Gedung Kejaksaan RI lalu yang dalam waktu dekat  Monumen Kejujuran sudah bisa diresmikan." Kata Ibu Kanjeng dalam sambutannya
      Kami memilih beristirahat di kamar, untuk mengusir bosan Kosasih mengajak Om Kus bermain playstation, Om Kus meng-iya-kan meski sedang rendah gairah.
      "Om kenapa?"
      "Tidak apa-apa adik."
      "Tapi dari tadi Om diam terus, Om kelihatan sedih."
      Om Kus menatap Kosasih, seperti ada yang mau dikatakan tapi mengganjal. Kosasih berdiri, dia pergi lalu kembali dengan dua gelas air putih dan sepiring cemilan.
      "Om itu satu-satunnya orang yang dekat denganku disini, memang yang lain memberiku hadiah mahal tapi tetap saja aku merasa asing." Kata Kosasoh "Kalau Om seperti ini, aku jadi bingung."
      Om Kus tersenyum lalu memeluk Kosasih.
      "Adik itu baik. Adik juga istimewa. Jujur saja adik saya punya hati sedang sedih, saya ingin cerita tapi takut adik kecewa."
      "Terus terang saja om! Bukankah setiap ada apa-apa aku juga selalu bilang sama om."
      Om Kus menatap lamat-lamat lalu mulai bicara.
      "Adik, sebelumnya saya meminta maaf, saya bodoh. Seharusnya saya beritahu adik sejak awal supaya semua tidak terjadi. Tapi apa boleh buat, saya tak bisa bertindak banyak. Adik waktu Ibu bupati memberitahu pak Manahan kalau ditempatnya ada orang yang bisa mewujudkan apa saja hanya lewat mimpi, saya sebenarnya tidak percaya. Apakah benar ada orang seperti itu tapi setelah menyaksikannya sendiri, anggapan saya salah."
      Om Kus mengelus kepala Kosasih, bangga.
      "Adik jangan marah, saya ingin jujur. Entah, apakah ini baik atau tidak yang jelas saya sudah lelah kalau terus-terusan dipendam. Jadi ketika Ibu bupati menceritakan masalah yang dihadapi partainya, Haji Idang menawarkan solusi yaitu dengan memanfaatkan adik, Ibu Bupati tidak percaya tapi Haji Idang bisa membuktikan yang dikatakannya lewat beberapa foto dan video, dia juga bilang kalau selama ini hanya memanfaatkan adik saja, mulai dari tanahnya yang tiba-tiba mengandung minyak sampai dia terpilih menjadi kepala desa. Haji Idang juga memberitahu cara-cara agar adik bisa bermimpi sesuai yang diinginkan, setelah itu Ibu Bupati menelpon Pak Manahan. Setalahnya Pak Manahan berdiskusi dengan Ibu Kanjeng dan Pak Bambang. Mereka sepakat menggunakan solusi yang ditawarkan Haji Idang karena memang sudah tidak ada jalan keluar. Semua tidak gratis adik, Haji Idang meminta uang lima milyar dengan perjanjian jika tidak berhasil maka semua akan di kembalikan."
      "Maksud Om Haji Idang jahat?" Kosasih terkejut, Om Kus tidak  menjawab. Dia melanjutkan ceritanya.
      "Saya akui saya salah karena tidak jujur sejak awal tapi sebagai pembelaan, adik juga harus tahu kenapa saya bisa berbuat begitu. Adik tahu toh kalau saya lahir dari keluarga miskin dan adik juga tahu sejak pertama saya menjadi asisten Pak Manahan sebenarnya hanya cari mudah jadi pejabat dan kalau sudah jadi pejabat berarti saya punya kuasa merubah kondisi tanah kelahiran saya. Saya ingin keadaan disana jadi lebih baik, lebih makmur dan damai. Tapi kenyataannya saya punya mimpi sepertinya jauh dari nyata. saya harus terjebak disini dengan orang-orang bermuka banyak."
      "Adik, saya punya bapak pekerja lepas di tambang dan mama sudah payah, sering sakit. Saya anak pertama, saya punya empat saudara, saya terpaksa. Setelah tahu kalau mimpi saya tidak akan terwujud saya berpikir, sudahlah tak apa setidaknya keadaan keluarga saya berubah. Sejak itu saya melakukan semua demi uang, saya ingin, saya punya saudara tidak perlu susah seperti yang saya alami. Saya ingin, saya punya mama bisa sembuh dan bapak bisa hidup tenang, tak perlu lagi kerja keras sebab saya punya bapak sudah tua. Tapi adik, malam ini saya sudah tidak kuat, saya tidak bisa lagi terus-menerus berbohong, saya punya hati seperti berontak. Ketika melihat orang-orang di aula berpesta seketika itu pula ingatan saya di serang mimpi yang sudah lama mati."
      "Dulu saya kesal dengan ketimpangan. Di jawa fasilitas Kesehatan lengkap tapi ditempat kami sekarat, di jawa mendapatkan uang mudah tapi di tempat kami setiap hari harus telan ludah, di jawa akses pendidikan gampang tapi di tempat kami bikin meradang. Malam ini kekesalan saya yang dulu memaksa saya harus berbuat sesuatu, sekarang saya memilih berkata jujur. Memang terlambat tapi setidaknya saya tidak mau dikemudian hari harus hidup dengan penyesalan."
      "Adik, semua  yang adik lihat dan adik dengar di Jakarta sampai dan di tempat ini adalah bohong. Psikolog-psikolog yang adik temui cuma akal-akalan saja biar adik bisa memimpikan apa yang mereka mau, cerita tentang Harun yang katanya penyebar fitnah juga bohong. Sebenarnya dia memang saksi kunci yang bisa menyeret semua pemimpin partai dan calon presiden ke penjara. Dia sembunyi membawa bukti penting, tapi sekarang dia sudah mati dan buktinya raib entah kemana. Lalu Gedung Kejaksaan yang katanya menyimpan dokumen yang sudah diedit untuk menjatuhkan pemeritah juga bohong. Di Gedung itu semua bukti korupsi ada. Dan sekarang hilang dilahap api. Sembako satu, monumen kejujuran juga bohong. Semua yang adik dengar dari mulut-mulut pertinggi partai hanya sampah. Katanya untuk bangsa dan negara, ah yang benar untuk pribadi dan kelompoknya. Mereka dan bahkan saya termasuk bangsat-bangsat yang seharusnya dihanguskan, kami itu licik, menggiring opini lewat media, menciptakan krisis agar gaduh lalu kami selesaikan sendiri seolah kami pahlawannya. Kami itulah seburuk-buruknya manusia."
      "Adik, saya minta maaf!" kata Om Kus sambil menangis. "Saya mau melakukan semua demi uang. saya sudah tidak kuat melihat yang seperti ini. Saya menyesal. Andai saja saya dan semua orang berani jujur mungkin keadaan negara kita tidak seperti sekarang, mungkin adik tetap hidup tenang di desa karena tak perlu terlibat dalam kebohongan tapi semua sudah terjadi. Saya ingin kasih pesan. Adik masih muda, punya kemampuan istimewa, lakukanlah yang bisa merubah keadaan. Jangan seperti saya, pilihlah cara yang benar. Meski harus saya akui itu sulit karena sekarang kita hidup pada masa dimana kelamin lebih jujur daripada pemiliknya."
      Kosasih meneteskan air mata, kecewa mendengar semua penjelasan dari Om Kus, dia kecewa mengetahui orang yang selama ini dianggapnya baik ternyata hanya memanfaatkan saja. Dia berdiri meminta Om Kus meninggalkan kamar. Katanya ingin menghabiskan malam hanya dengan saya. Sebelum pamit Om Kus kembali meminta maaf tapi Kosasih tetap diam. Air matanya sudah cukup menjelaskan bahwa dia mengalami guncangan luar biasa.
      Dia membantingkan tubuh ke atas kasur, memeluk guling sambil terisak. Suaranya payau memanggil-manggil nama Kakek Duloh. Dalam keadaan seperti sekarang ini seharusnya memang ada seorang yang bisa menenangkannya tapi satu-satunya orang yang sangat dia percaya sudah tidak ada. Dan Tanti juga tidak mungkin dihubungi sebab sejak kami meninggalkan rumah, Haji Idang melarangnya membawa handphone agar konsenterasinya tidak terpecah. Saya ingin mendekatinya tapi saya yakin bukan waktu yang tepat jadi saya hanya bisa meringis melihatnya terisak.
BAGIAN 4
      Saudara, sebelum saya melanjutkan cerita, sepertinya saya harus memberitahu terlebih dahulu tentang monumen kejujuran. Bentuk bagian bawahnya kotak, ada pintu besardi tengahnya dan sebelah pintu ada tulisan "Kejujuran adalah kebijaksanaan paling baik -- Benjamin Franklin". Di atas kotak ada perempuan memakai daster dengan mata tertutup dan sebelah tangan yang mengacungkan timbangan. Saya sering lihat patung seperti itu di film bedanya jika di film tangan yang satu lagi memegang pedang sedangkan di monumen kejujuran tangan yang satunya memeluk lambang negara Indonesia. Warnanya putih dan Lokasinya terletak di salah satu sudut Kawasan Monas yang berdekatan dengan masjid besar. tingginya 100 meter. 100 meter itu tinggi sekali, mungkin mengalahkan tinggi Godzilla yang saya lihat di televisi.
      Rencana yang disusun seperti ini. Hari senin tanggal 1 april 2024 acara peresmian dilangsungkan, dipandu oleh artis ternama,  sengaja dibuat semi formal biar terlihat kekinian tapi tetap elegan,  Monumen ditutupi kain putih besar dan akan terbuka ketika Ibu Kanjeng dan para ketua partai lainnya menekan tombol yang sudah disediakan secara bersamaan, saat tombol ditekan paduan suara akan menyanyikan lagu Indonesia raya, bersamaan dengan lagu bergema kain penutup akan turun pelan-pelan, temponya sudah diatur, ketika lagu habis maka kain juga sudah selesai diturunkan kemudian Pak Bambang akan memukul Gong sebagai tanda monumen sudah diresmikan tapi sebelum sampai ke bagian itu terlebih dahulu Ibu Kanjeng akan  menyampaikan pidato. Begitulah yang saya dengar dari obrolan di aula pertemuan.
Cerita ke 9 : Monumen Kelamin
      "Aku ingin pulang Kun." kata Kosasih  "Aku lelah ada disini."
       Ingin sekali saya mengatakan "Sama, saya juga sudah bosan disini."  tapi percuma karena saya anjing, saya tidak bisa bahasa manusia.
      Jadi dua hari sebelum acara peresmian saya dan Kosasih bertolak dari Puncak menuju Jakarta. Di mobil hanya ada saya, Kosasih dan supir, Om Kus ikut rombongan mobil lainnya, mungkin dia merasa tidak enak jika satu mobil dengan kami. Kata supir kami akan menuju "Hotel Indonesia." Sementara. karena setelah acara peresmian selesai kami akan dipulangkan ke rumah. Ibu Kanjeng yang akan mengantar, katanya sebagai ucapan terima kasih.
      Di perjalan, saya melihat Kosasih tidak nyaman. Badannya panas, keringat mengucur dari kening meski udara didalam mobil dingin, dia lebih sering membenarkan posisi duduk, gelisah.
      Sesampai di Hotel dia langsung masuk kamar, merebahkan tubuh, berdiri lagi, minum, ke kamar mandi, merebahkan tubuh lagi, minum lagi lalu duduk. Napasnya tidak beraturan dan saya yakin sekali ada hal besar yang sedang dia tutupi. Saya pernah melihatnya seperti itu, dulu ketika dia mengambil uang Kakek Duloh secara diam-diam  untuk membeli mainan.
      Dia gelisah, saya mendekat, mengeluskan kepala ke kakinya sekedar memberi isyarat kalau dia tidak sendirian. Dia melihat saya lalu memindahkan tubuh saya ke pangkuan, mengelus-elus kepala saya kemudian menangis. Saya ingin menghibur tapi tidak tahu dengan cara apa jadi saya diam saja sebab yang bisa saya lakukan hanya mendengar dan menemani.
      "Kun, sekarang aku sudah tahu ternyata selama ini Haji Idang bukan orang baik." Katanya, "Aku coba menerima kenyataan. memang sakit tapi sebisa mungkin mencoba mengalihkan pikiran bahwa masih ada Tanti dan ibunya yang baik, yang selalu menyiapkan makanan."
      "Aduh, tolol." kata saya dalam hati, "Tanti memang baik tapi ibunya tidak, jika saja kamu tahu bahwa dia bersekongkol dengan Haji Idang untuk meracuni Kakek Duloh. Ah Kosasih payah. Seharusnya kamu tahu bahwa Ustad Murilah yang baik, dia yang sebenarnya memberi perhatian dari jauh."
      "Kun, aku kasih tahu. Sebenarnya setelah Om Kus jujur, malam harinya aku bermimpi melihat acara peresmian menjadi kacau, rusuh, berantakan."
      Saya dan Kosasih tidak ikut ke lokasi peresmian walaupun sebenarnya Kosasih diminta untuk datang kesana tapi dia menolak, katanya sedang tidak enak badan jadi kami memilih menyaksikan acara tersebut lewat televisi saja.
      Pembawa acara mempersikahkan Ibu Kanjeng untuk menyampaikan pidato. Di televisi saya  bisa melihat para ketua partai ada di atas panggung, berdiri sejajar di belakang Ibu Kanjeng dengan pakaian warna-warni sesuai warna partai yang diwakilinya. Di depan panggung ada tenda besar berwarna merah dan putih. Disitu ada presiden, wakil presiden, Menteri, pasangan capres "MANJA", pasangan capres "CANDA" dan tamu undangan lainnya. Dilihat dari tampilan udara Kawasan Monas seperti Pelangi, berjejal orang disana menggunakan baju dengan warna serupa partai yang di dukungnya. Barangkali orang-orang inilah yang dikatakan Om Kus sebagai kader dan simpatisan. Polisi dan tantara berjaga, diantara mereka ada yang membawa senjata, ada yang membawa anjing dan ada juga yang tidak membawa apa-apa. Jalan ditutup untuk parkir mobil, helikopter lalu lalang diudara memonitor keadaan dari udara.
      "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semuanya, om swastiastu namo buddhaya, salam kebajikan. Salam Pancasila".
      "Indonesia adalah negara besar. negara subur dengan kekayaan melimpah baik di laut dan di darat. Indonesia adalah negara yang penuh dengan keanekaragaman budaya, bahasa, suku bangsa yang mampu hidup rukun dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika."Â
      "Hadirin yang berbahagia kejujuran adalah kebijaksaan paling mulia. Kejujuran bisa diibaratkan sebagai bahan bakar untuk saling percaya dan rasa percaya adalah modal paling utama untuk mencapai keutuhan yang hakiki baik dalam kelompok kecil atau pun dalam konteks bernegara sehingga terciptalah persatuan yang kokoh, solid, tidak mudah dipecah belah. Kita semua sudah melihat di masa pademi ada orang-orang yang dengan teganya berlaku tidak jujur, mereka korupsi, mendzalimi rakyat demi kepentingan pribadi sehingga mengikis rasa percaya bahwa keadilan itu ada. Pademi memperlihatkan kepada kita kelompok-kelompok yang ingin merusak keutuhan NKRI, tapi sekali lagi kita bisa buktikan pada dunia bahwa kita adalah negara hebat yang tidak goyang diterpa angin, tidak tumbang dihantam badai. kita bahu membahu melewati masa-masa sulit. Kami pun dari perwakilan partai berkewajiban untuk mengambil bagian dan tentu pada setiap langkah yang kami lakukan atas nama rakyat, atas nama keadilan, atas nama persatuan, atas nama bangsa dan negara."
      "Saudara-saudara, dibangunnya monumen kejujuran bukan semata-mata sebagai simbol melainkan pengingat bahwa kejujuran harus hidup pada setiap jiwa yang bernyawa. Dan bagi kami monumen ini adalah bentuk ikrar bersama bahwa mulai saat ini setiap partai yang ada di Indonesia akan berkomitmen untuk berlaku jujur demi kemajuan bersama. Kami akan memberikan contoh kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia walaupun kami berbeda pandangan politik tapi kami akan bersatu, bergotong royong untuk kemajuan bangsa dan negara."
      "Demikanlah serangkai kata yang saya sampaikan. HIDUP INDONESIA."
      Gemuruh suara tepuk tangan menggelegar setelah Ibu Kanjeng menyelesaikan pidato, suara siulan saling bersahutan, pembawa acara membakar semangat orang-orang yang ada disana dengan teriakan "MERDEKA.. MERDEKA.. MERDEKA."
      Kakek Duloh pernah menceritakan dikisah Jendral Sudirman dan kisah-kisah perjuangan lainnya, dia bilang kata "Merdeka" digunakan sebagai mantra sakti untuk membakar semangat rakyat melawan penjajah yang ada di depan mata. Nah sekarang saya bingung, tujuan pembawa acara meneriakan kata itu untuk memicu semangat dalam rangka apa? Karena yang ada di depan mata mereka para ketua partai dan pejabat-pejabat negara, apakah dia menganggap mereka sebagai penjajah?
      Tombol diberikan kepada para pemimpin partai, pembawa acara meminta semua yang hadir disana berdiri dan menghitung mundur.
      "10.. 9.. 8.. 7.. 6.. 5.. 4.. 3.. 2.. 1.." tombol ditekan, suara musik menggema, paduan suara menyanyikan lagu "Indonesia Raya", kain penutup monumen turun perlahan. Dari televisi saya bisa melihat mata para ketua partai berkaca-kaca, mereka bersalaman dan mengucapkan selamat satu sama lain.
      Kekacauan dimulai, seharusnya kain turun pelan-pelan mengikuti tempo lagu yang dinyanyikan paduan suara tapi yang terjadi kain turun dengan cepat dan monumen yang seharusnya berbentuk perempuan memakai daster dengan satu tangan mengacungkan timbangan dan satu tangan lainnya memeluk lambang negara berganti menjadi kelamin laki-laki berukuran raksasa, berwarna cokelat muda dan kemerah-merahan dibeberapa bagian. Kotak dengan pintu besar yang ada dibagian bawah berubah menjadi dua buah zakar lengkap dengan bulu-bulu hitam. "Itu seperti kelamin Kosasih," saya pernah melihatnya ketika pagi-pagi dia kencing di bawah pohon mangga depan rumah, bedanya kepunyaan Kosasih menggantung diselangkangan tapi yang ini berdiri kekar menghujam langit. Diantara buah zakar ada tulisan "Kita hidup pada masa kelamin lebih jujur dari pemiliknya."
      Saya dan Kosasih melihat di televisi kekacauan luar biasa yang tak masuk di akal. Presiden dan wakil presiden dipandu meninggalkan lokasi diikuti tamu undangan lainnya tapi kader dan simpatisan juga para ketua partai tidak bergeming dari tempatnya, mulut mereka ternganga, barangkali tidak percaya dengan yang mereka lihat di depan mata.Â
      Saudara kekacauan tidak berhenti sampai disitu. kain penutup tiba-tiba saja terbakar tapi warna apinya bukan kuning atau biru seperti biasanya melainkan merah muda. Paduan suara tidak berhenti bernyanyi tapi bukan lagu Indonesia raya melainkan lagu "Lay lay lay lay lay lay panggil aku si jablay." Mereka hilang kendali atas tubuhnya. Kaku, tidak bisa beranjak kemana dan mulut mereka terus bernyanyi seperti biduan organ tunggal. Anjing-anjing yang dibawa polisi juga bertingkah aneh, tidak menggonggong dan tidak mau berpindah dari tempatnya, yang mereka lakukan hanya mengibas-ngibas ekor mengikuti alunan irama lagu yang terus bergema. Polisi dan tantara tak bisa mendekati para ketua partai dan paduan suara, setiap mereka mendekat pasti terpental seolah ada sekat penghalang yang mengeluarkan tenaga dorong yang kuat. Ketika lagu selesai dari atas kelamin raksasa menyemburkan cairan kental berwarna putih pudar. Banyak sekali sampai membasahi sekujur tubuh para ketua partai yang masih tidak bergeming di atas panggung.Â
      Saudara pernah lihat orang melakukan tawaf tidak? tawaf itu salah satu rukun yang ibadah haji yang wajib dilaksanakan. Jadi orang-orang yang melakukan tawaf akan berputar mengelilingi kabah sebanyak tujuh kali. Nah orang-orang disana juga melakukan hal semacam tawaf kecuali polisi, tantara, anjing dan orang televisi. Tubuh mereka bergerak sendiri mengelilingi kelamin raksasa sebanyak tujuh kali sambil teriak-teriak "Kelamin lebih jujur dari pada pemiliknya." dengan nada yang hampir serupa yel-yel di acara kuis.
      Seru sekali, saking serunya saya sampai tidak beranjak dari tempat karena tidak mau melewatkan kejadian yang ada disana barang sedikit saja. Film avenger seru tapi menyaksikan kelamin raksasa jauh lebih seru.
      Kosasih mengambil remot, mengganti saluran satu demi satu. Semua yang ditayangkan sama, yaitu kekacauan akibat kelamin raksasa hanya sudut pengambilan gambar saja yang berbeda. Di channel 7 misalnya, gambar diambil dari atas jadi semua bisa terlihat. lalu di channel 8, gambar diambil dari depan panggung jadi kita bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dari dekat, dan di channel 10 yang biasanya hanya menayangkan film kartun kali ini melaporkan secara live kejadian di Monas.
      "Permirsa saya sedang berada di Kawasan monas, lebih tepatnya di lokasi peresmian monumen kejujuran. Seperti yang bisa anda lihat layar televisi tepat di belakang saya keadaan sangat kacau sekali. Orang-orang berhambur ketakutan. Bisa anda saksikan sendiri ada beberapa polisi dan tantara sedang berupaya menggotong korban yang pingsan akibat terinjak-injak kerumunan. Sebelumnya kejadian tak masuk akal telah terjadi disini yang dimana monumen kejujuran berubah bentuk secara misterius. Dan sampai saat ini belum ada kabar tentang kondisi dari para ketua partai yang terjebak dikarenakan banyaknya orang membuat akses kesana tidak bisa dilalui."
      Suara sirine terdengar sampai ke kamar kami, saya dan Kosasih berjalan mendekati jendela untuk mengintip keadaan diluar sana. Mobil ambulan mondar-mandir tidak henti-henti, ada juga mobil pemadam kebakaran, mobil polisi, mobil tantara. Orang-orang ramai ada yang berlari menuju monas dan ada juga yang berlari ke arah sebaliknya. Jika dilihat yang berlari menjauh adalah orang-orang yang menggunakan baju partai, mungkin mereka yang berhasil menyelamatkan diri dari kekacauan. Â
      Kosasih diam, matanya sembab. Saya yakin sekali dia sedang merasa tak enak hati karena sudah menyebabkan keadaan sekacau ini. Lagi dan lagi keistimewaanya membawa petaka. Saya bisa merasakan Kosasih tertekan, bagi yang tidak tahu mungkin banyak yang menginginkan kemampuan istimewa seperti Kosasih karena pasti indah rasanya kalau setiap yang dimimpikan bisa terwujud tapi mereka melupakan satu hal bahwa tak selama mimpi itu indah, dalam hidup juga ada yang namanya mimpi buruk dan saya rasa yang belakang ini dimimpikan Kosasih masuk dalam katagori mimpi buruk.
      "Pemirsa kembali lagi bersama saya Budi Solasi dari channel 10. Saat ini kami sudah berada di luar tenda darurat, tempat sementara para petinggi partai mendapatkan pertolongan medis."Â
      Suara dari televisi menyadarkan kami. Kosasih dan saya menjauh dari jendela untuk kembali ke depan televisi.
      "Berdasarkan informasi yang kami dapat Pak Zul yang merupakan ketua partai putih sedang mendapatkan perawatan medis akibat serangan jantung yang dideritanya namun kami tidak bisa memastikan kondisi para ketua partai lainnya yang ada di dalam tenda karena petugas tidak mengizinkan melakukan pengambilan gambar dengan alasan privasi dan keamanan."
      Saya dan Kosasih terus memantau kabar terkini dari televisi. Mengganti saluran dari satu channel ke channel lainnya. Di channel 6 ada laporan live seperti channel 10 tapi lebih baik karena bisa masuk untuk mengambil gambar dan mewawancarai ketua partai langsung dari dalam tenda mungkin karena channel 6 merupakan channel terbesar di Indonesia atau bisa juga karena channel 6 milik salah satu pejabat pemerintah jadi bisa mendapat akses eksklusif ketimbang channel lainnya, wajar jika saya berpikir demikian sebab semenjak Om Kus berterus terang saya selalu berpikiran buruk setiap melihat kejadian yang melibatkan pemerintah dan partai.
"Pemirsa bersama saya Najila Sahwani, saat ini saya sudah bersama pak Bambang dan Haji Roni di tenda darurat. Baik pak untuk mempersingkat waktu kita langsung saja, kami ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi?"
"Seperti yang bisa mba Najila lihat sendirilah, saya pikir saya tidak perlu menjelaskan lagi karena saya yakin semua yang terjadi disini sudah ada di televisi karena memang acara ini diliput oleh semua media yang ada. Namun perlu mba Najila ketahui sampai saat ini juga kami masih belum mendapatkan informasi yang valid, apakah ini sabotase yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak suka kepada kami atau bukan. Saya belum bisa memastikan karena belum ada kejelasan tapi sampai sekarang orang-orang kami sudah bekerjasama dengan pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan."
"Kalau menurut Haji Roni sendiri bagaimana? Apakah sepakat dengan pernyataan yang baru saja disampaikan Pak Bambang?"
 "Sebetulnya saya sepakat Lala, maaf nih saya panggil Lala biar lebih akrab."
"Tidak apa-apa pak, silahkan saja."
"Jadi begini Lala, yang tadi disampaikan Pak Bambang saya sepakat, kami belum bisa memastikan ini sabotase atau bukan meskipun kalau dilihat dari yang terjadi ini mengarah kesana. Tapi sebagai seorang muslim sekaligus tokoh agama saya tidak mau su'udzon. Lebih baik kita menunggu saja hasil dari penyelidikan."
"Tadi Haji Roni mengatakan jika dilihat dari kejadian yang terjadi, ini mengarah pada sabotase. Jika memang benar, apakah ada yang berani melakukannya mengingat ini acara besar dengan penjagaan yang ketat."
"Oh tentu, itu bisa saja terjadi Lala. dari semenjak pademi kan banyak kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kebijakan pemerintah, ada juga kelompok-kelompok radikal tentu mereka tidak mau melihat negara kita  bersatu makanya ada kemungkinan mereka melakukan segala cara untuk membuat kekacauan lalu dengan kekacauan mereka bisa dengan mudah menggiring opini publik, menyebarkan berita-berita hoax dari kejadian ini. Misalnya mereka menyebarkan berita bahwa kejadian ini merupakan peringatan Allah karena kemunafikan para pemimpin negeri. Sasaran mereka bukan hanya pemerintah tapi juga partai karena mereka tahu kalau partai mempunyai tujuan luhur yaitu persatuan Indonesia. Apalagi monumen kejujuran ini bentuk ikrar kami untuk berjuang bersama. Tentu mereka melakukan segala cara agar semua berantakan, mereka takut."
"Luar biasa sekali analisa dari Haji Roni, sangat hafal betul bagaimana menggiring opini publik atau jangan-jangan Haji Roni juga pernah melakukannya".
"Hahahaha, bisa saja Lala ini."
"Mba Najila, kami itu ketua partai jadi harus pintar membaca situasi atau kemungkinan-kemungkinan. Tolong jangan bilang begitu karena itu juga bisa dijadikan ide oleh kelompok yang benci NKRI. Jangan-jangan nanti malam sudah ada berita judulnya "Haji Roni pakar penggiringan opini publik." Tambah pak Bambang
"Baik pak, terima kasih sudah mengingatkan. Sementara itu saja dulu yang saya tanyakan mengingat kondisi bapak-bapak sepertinya lelah dan butuh istrahat. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas kesediaan waktunya."
"Sama-sama mba Najila, nanti kalau sudah ada hasil penyelidikan saya langsung beritahu."
"Lala, meskipun kami lelah tapi jika rakyat membutuhkan kami sekarang, kami siap." Ucap Haji Roni, yakin.
"Terima kasih pak Bambang dan juga Haji Roni. Luar biasa sekali semangatnya untuk rakyat. Pemirsa demikianlah yang bisa saya sampaikan, saya Najila Sahwani sampai berjumpa pada kesempatan berikutnya.
      "BRAAAK" pintu kamar didorong keras, Om Kus muncul membawa kantong belanja dengan napas tersengal-sengal.Â
      "Adik harus pergi sekarang." Katanya, "Ketua partai tahu kalau kekacauan ini ulah adik, karena mimpi adik. Mereka tahu cuma adik yang bisa berbuat semacam ini dalam waktu singkat."
      Om Kus mengambil tas berisi pakaian ganti Kosasih yang ada di lemari lalu memasukan juga beberapa roti dan air kemasan ke dalamnya.
      "Adik pakai ini!" dia mengeluarkan masker dan topi dari kantong belanja yang dibawanya dan memberi beberapa lembar uang.
      "Adik, Ibu Kanjeng menyuruh anak buahnya menjemput adik, dia marah sekali dan sungguh itu tidak baik. Sekarang adik pergi dari sini sebelum mereka datang. Adik turun lewat tangga darurat saja."
      Kosasih diam, menatap Om Kus lamat-lamat lalu memeluknyaÂ
      "Terima kasih om."
      "Sama-sama adik. Cepat adik pergi dari sini! mereka sudah dekat."
      Kosasih memakai masker dan topi lalu keluar kamar, saya mengikutinya dari belakang. Kami menuju tangga darurat diperjalanan kami berpapasan dengan tiga orang yang menggunakan atribut partai. Mereka tidak mengenali Kosasih karena menggunakan masker dan topi tapi sialnya salah satu dari mereka mengenali saya. "Bukankah ini anjing anak itu." katanya. Kosasih dan saya mempercepat langkah. Salah seorang dari mereka menyusul, dia meraih tas yang Kosasih bawa, tanpa diperintah saya menyerang, mengigit tangannya sampai dia jatuh dan menjerit kesakitan, kemudian kami berlari sekencang mungkin menuju tangga darurat diikuti dua orang yang masih tersisa.
      Kami berhasil sampai, tak lama dua orang partai juga sampai. Kosasih panik, langkahnya goyah, terpeleset lalu jatuh berguling, kepalanya membentur anak tangga hingga membuatnya tak sadarkan diri.Â
      Saya menjaganya, memasang wajah seram. Dua orang partai menuruni anak tangga pelan-pelan, waspada. Mereka tahu jika saya bisa menyerang kapan saja. Salah seorang dari mereka berbicara melalui alat komunikasi.
"Lapor, kami sudah menemukan Kosasih dan anjingnya di tangga darurat."
"Tangkap1"
"Kami butuh orang, anjingnya menggila salah satu dari kami diserang sampai tumbang."
"Tunggu, bantuan datang."
      Tak mau kehilangan momen saya menyerang setelah perhatian mereka teralihkan saat Om Kus datang. Saya mengigit orang yang tadi bicara melalui alat komunikasi. Saya gigit lehernya lalu tangannya lalu saya mengoyak jari-jarinya sampai putus. Yang satu lagi menjauh dia ingin meminta bantuan tapi justru Om Kus malah meninju wajahnya dengan keras, dia terjungkal tak sadarkan diri.  Â
      Om Kus memeriksa keadaan Kosasih, suara langkah kaki dari bawah terdengar mendekat, terburu waktu  Om Kus mengendong Kosasih kembali lagi ke atas, kami keluar. Berjalan ke arah lift, didepan lift sudah ada orang partai lainnya yang berjaga. Mereka menghampiri kami tapi Om tak hilang akal, dia bilang "Kosasih sudah saya dapatkan, kalian tolong saja teman-teman yang terluka di tangga darurat."Â
      Saya pernah melihat adegan seperti ini di film action, Om Kus hebat bisa mengelabui orang. barangkali mereka juga tidak tahu bahwa sebenarnya Om Kus ada dipihak kami.
      Kami keluar lewat pintu lobi belakang sebab di lobi depan sudah ada orang partai dan beberapa anggota polisi. Om Kus membawa kami ke apotek, dia memohon kepada pemilik tempat supaya mau meminjamkan kamar, katanya "Tolong kami kakak. Saya punya adik tidak sadar` diri, ini darurat kakak, kami sedang dikejar orang." Om Kus diizinkan tapi dengan syarat tidak boleh mengajak saya masuk ke dalam.Â
      Saya melihat banyak orang partai berpencar, mereka juga didampingi polisi, saya bersembunyi di celah kecil yang ada diantara bangunan apotik dan toko roti. cukup lama sampai akhirnya Om Kus dan Kosasih keluar.
      "Adik seperti yang sudah saya jelaskan, sekarang adik pergi ke Bundaran HI, disana ada pos polisi di belakang pos polisi ada besi seukuran satu kali satu meter, adik buka lalu masuk ke dalamnya. Adik sembunyi disana. Saya yakin orang-orang tidak akan mencari sampai kesana." katanya mengingatkan, "Nanti jika keadaan sudah aman saya jemput lalu kita pergi dari Jakarta."
      "Om, bagaimana?"Â
      "Tak usah dipikirkan adik. Saya mengamati keadaan sekitar. Saya tidak bisa kembali ke hotel karena mungkin orang yang saya kasih tinju wajahnya sudah menceritakan kepada yang lain kalau saya membantu adik meloloskan diri. Biar saya mengamati keadaan dari sini. Kita harus berpencar adik agar tidak tertangkap."
      Kosasih memberi isyarat agar saya mengikutinya. Kami menuju Bundara HI. Kosasih sudah mengganti bajunya, juga masker dan topinya. Kami membaur di keramaian. Orang-orang banyak yang turun ke jalan, berjejal. Ramai sekali sampai untuk melangkah saja susah.Â
      Saudara, kami tiba di kolam besar berbentuk bulat yang ditengahnya terdapat patung lelaki dan perempuan seolah berteriak "selamat datang". Saya haus dan lapar, dari pagi saya belum minum apalagi makan. saya menggigit celana Kosasih memberi isyarat untuk menepi ke kolam. Saya minum meski rasa airnya tidak enak tapi setidaknya bisa sedikit menghilangkan haus.Â
      Hanya ada satu petugas polisi yang berjaga di pos, barangkali yang lain sedang sibuk mengurus kelamin raksasa di Monas atau bisa jadi sedang sibuk mencari kami. Kosasih berjalan jingjit, hati-hati. Dia takut kalau polisi yang berjaga melihatnya. Kami menemukan besi yang dimaksud, Kosasih mengangkatnya pelan-pelan, Saya masuk lalu Kosasih masuk, kami menuruni anak tangga lalu besi kembali ditutup.
      Kosasih duduk bersandar pada dinding, dia tidak peduli meskipun disana tempat yang didudukinya kotor, dinding yang disandarnya lembab.
      "Sial." Katanya, "Tasnya hilang. Bangsat"
      Sebenarnya saya melihat tas Kosasih tertinggal di tangga darurat tapi saya tidak memberitahu Om Kus kalau tas itu tertinggal karena saya pikir lebih baik menyelamatkan diri. Sayang sekali, tas itu penting. Ada roti dan air didalamnya, Kosasih pasti merasa haus dan lapar. Saya tidak bisa melakukan apa-apa selain berharap semoga Om Kus cepat datang menjemput kami.
      Kosasih meminta saya duduk dipangkuannya, dia mengelus kepala saya lalu bilang "Terima kasih tadi kamu sudah menyelmatkanku."Â
      "Itu memang sudah menjadi tugas saya sebagai anjing peliharaan." jawab saya dalam hati. Tak lama Kosasih tertidur.
      Saya ini sudah tua, perkelahian di hotel sudah menguras banyak tenaga saya. masih untung saya bisa melawan meski sebenarnya tubuh saya sangat kelelahan. Saudara, jika saya masih muda jangankan tiga orang, seratus orang pun pasti bisa saya taklukan.
Â
Â
Â
 BAGIAN 5.
      Saudara, Kosasih masih tak kunjung bangun padahal sudah lama dia tidur tapi tak apa-apa juga lagi pula kalau tidur kan dia jadi tidak merasakan lapar dan haus.
      Ketika saya mengamati wajah Kosasih tiba-tiba hati saya merasa sedih. Potongan kejadian yang kami lalui sejak pertemuan pertama sampai kami berada disini terus berkelebat di kepala. Saya ingat betul ketika masih kecil Kosasih sangat senang bermain lempar bola, jadi permainannya begini, dia melempar bola hijau seukuran kepalan tangan lalu saya berlari mengambilnya setelah dapat saya memberikan bolanya lalu dia melemparnya lagi lalu saya mengambilnya lagi, terus saja begitu sampai Kosasih lelah melakukannya. Dia tidak pernah mengajak saya bermain kejar-kejaran karena ketika kecil kakinya pengkor jangankan lari untuk berjalan saja dia susah.
      Bersama Tanti, teman, saudara sekaligus kekasih satu-satunya dia tumbuh. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal, kadang saya benci, kadang juga saya sayang Tanti. Waktu kecil mereka suka bermain masak-masakan, ketika bermain biasanya Kosasih berperan sebagai suami yang baru pulang kerja dan Tanti sebagai istri yang tugasnya memasak makanan untuk suami. Pernah di satu waktu Kosasih tak mau bermain dengan Tanti sebab banyak anak laki-laki yang mengejek, katanya "Laki kok main sama perempuan, bencong." Tapi ujung-ujungnya mereka pasti main bersama lagi karena Kosasih tidak punya teman selain Tanti, menyedihkan sudah pengkor tak punya teman pula.
      Kosasih itu sudah biasa dengan rundungan, dikatai pengkor, bencong itu sudah makanan sehari-hari tapi pernah ada kejadian yang membuat dia sedih sampai berhari-hari. Waktu itu umurnya sekitar sebelas atau dua belas tahun, entahlah saya lupa. Dia menjadi bahan gunjingan sebab mereka mengetahui kalau Kosasih cuma anak pungut. Saat itu dia tak mau mengaji dan sekolah, bahkan keluar untuk duduk di bale saja dia gundah. Kakek Duloh membelikan mainan banyak sekali untuk membujuk Kosasih supaya mau sekolah dan mengaji tapi gagal. Kosasih marah, katanya "Kenapa Kakek tidak bilang dari awal kalau aku anak pungut." Kakek Duloh  tersenyum.
      "Kasep memang anak pungut, terus kenapa? Kasep, kita memang tidak ada hubungan darah tapi Kakek sayang pisan, kamu gak usah sedih ya! tuh lihat si Kun. Orang tuanya gak tahu dimana, tapi dia biasa saja." Kata Kakek Duloh sambil memeluk Kosasih,
      "Tapi si Tono ngeledek terus Kek." kata Kosasih sambil menangis.
      "Biarin aja. Tono mungkin iri karena dia gak punya mainan banyak kayak kamu."
      Kata Ustad Muri, Kakek Duloh termasuk orang di desa yang banyak duitnya jadi wajar kalau Kosasih sering dibelikan mainan. Dulu Kakek Duloh menjabat sebagai manager di pabrik gula, saya tidak tahu pekerjaan manager itu seperti apa tapi kalau yang saya lihat di  televisi jika seorang jadi manager berarti orang itu sangat pintar.
      Semenjak Kakek Duloh meninggal kami tinggal berdua di rumah. Kosasih tidak pernah masak karena setiap hari ibunya Tanti menyediakan makanan, kalau malam hari kami sering duduk di bale atau di depan televisi. Kosasih suka cerita tentang kenangannya bersama Kakek Duloh, tentang perasaannya pada Tanti dan tentang hal-hal lain.
      Saudara, saya lupa memberitahu. Jadi dulu Kosasih pernah cerita asal-muasal dia punya kemampuan istimewa. Saya pernah bilang waktu kecil Kosasih pernah dililit ular besar di kebun tebu, saudara masih ingat? Jadi beberapa tahun kemudian setelah kejadiannya berlalu, ular yang melilit Kosasih mendatanginya di mimpi. Kosasih ketakutan tapi ular itu bilang "Tidak usah takut manusia. aku kesini hanya untuk memberitahu bahwasanya kelak kamu akan berbeda dengan orang lain karena apapun yang kamu mimpikan dalam tidur akan jadi kenyataan. semoga kamu kuat dan bisa menggunakannya dengan baik." Kemudian ular berubah menjadi asap dan menghilang.
      Kosasih bilang, cerita tadi hanya saya saja yang tahu. Sebenarnya dia ingin bilang pada Kakek Duloh tapi tak sempat karena keburu meninggal.
      Kata Ustad Muri mimpi itu kembang tidur, bisa memiliki arti bisa juga tidak. karena terkadang Gusti Allah suka menyampaikan isyarat atau pertanda melalui mimpi. Ustad Muri juga bilang ada satu nabi yang mukjizatnya menafsirkan mimpi, saya lupa siapa nama nabinya yang saya ingat wajahnya sangat tampan sekali.
      Kosasih akhirnya bangun setelah hampir seharian tidur, dia gelisah "Kenapa Om Kus lama sekali." keluhnya. Dia naik ke atas membuka penutup besi untuk melihat sekitar lalu kembali duduk ditempat semula. Dia bilang "Sudah malam, keadaan diluar sudah sepi tapi di pos ada banyak polisi berjaga."
      "Kun, kamu pasti lapar ya? aku juga sama." Katanya, "Begini saja Kun, kita tunggu sampai  pagi kalau Om Kus tidak juga datang kita pergi dari sini."
      Saya manut-manut saja apa yang dikatakan Kosasih tapi saya jadi kepikiran Om Kus, jangan-jangan hal buruk menimpanya. Saya yakin orang-orang partai sudah tahu kalau dia membantu Kosasih melarikan diri, bisa jadi dia tertangkap atau bisa jadi dia sedang bersembunyi juga, entahlah. Saya juga kepikiran kelamin raksasa, apakah sudah di bongkar atau masih tegak berdiri, sebenarnya saya ingin melihatnya dari dekat tapi apa boleh buat keadaannya tidak memungkinkan. Bagaimana kondisi para ketua partai? Apakah mereka baik-baik saja? Ah kenapa juga saya harus peduli, mereka orang jahat. Haji Idang jahat tapi yang dia bohongi cuma sedikit orang nah kalau mereka membohongi hampir satu negara. Ya hampir, karena saya yakin kader dan simpatisan tahu kalau mereka berbohong. Eh, tapi kenapa ada orang yang mengikuti walaupun tahu yang di ikutinya berbohong? Kalau saya sih malas. Apa mungkin kader dan simpatisan kena hipnotis seperti acara di televisi, jadi apapun yang diperintahkan ketua partai mereka akan nurut saja, jika benar seram juga.
      "Kun, sini!" saya mendekat, dia menarik tubuh saya dan merebahkan ke pangkuannya "Kun, kenapa nasibku selalu malang ya? sudah tidak tahu siapa ibu dan bapak, kehilangan Kakek Duloh dan sekarang harus  begini karena kutukan sialan ini. Aku lebih suka menyebutnya kutukan Kun dari pada keistimewaan sebab lebih banyak memberi masalah ketimbang kebaikan."
      "Kata orang jika mimpinya bisa terwujud itu menyenangkan tapi bagiku menyebalkan, karenanya kita sekarang harus berada disini. Jika boleh pilih aku ingin hidup normal seperti dulu, tidak apa kakiku pengkor tapi setidaknya tidak harus mengalami hal-hal menyebalkan seperti sekarang ini. Oh iya Kun aku takut kalau orang partai menangkap Om Kus, dia baik Kun, aku salah karena ketika dia jujur aku malah mengusirnya. Tapi jika dipikir-pikir yang orang partai lakukan jahat juga ya."
      "Kun, tadi pas tidur aku bermimpi ketemu Kakek. Dia duduk di bale menyambut kita pulang dari sini. Aku peluk dia lalu tidur dipangkuannya sambil menceritaka semua yang kita alami termasuk mengeluh karena banyak orang sudah berkata bohong, lalu Kakek bilang, terus apa yang kasep mau? Aku jawab aku ingin semua orang berkata jujur. Terus Kakek bilang, besok juga ucapan kamu jadi kenyataan seperti biasannya." setelah itu Kakek menghilang.
      "Semua orang berkata jujur." Sepertinya mimpi Kosasih kali ini baik. Saya yakin kalau semua orang berkata jujur pasti indah, saya bisa bayangkan tidak ada lagi orang-orang yang berbohong seperti para ketua partai, Haji Idang dan Ibunya Tanti. Saya juga yakin kalau Haji Idang akan jujur pada Kosasih kalau dia dan ibunya Tantilah yang sudah membunuh Kakek Duloh, saya jadi tak sabar menunggu esok pagi.
Â
 Â
Â
BAGIAN 6.
      Suara tembakan, teriakan, kaca pecah terdengar samapai ke tempat kami, bising sekali. "Ada apa ini?" kata Kosasih. dia bergegas menuju penutup besi lalu membukanya.
      "Diluar sedang ada kerusuhan Kun."
      Kosasih takut sekali, setelah dia melihat keadaan di atas yang dilakukanya cuma mondar-mandir sambil menggerutu. "Sial, Kenapa Om Kus lama sekali?" keluhnya. "Kun, kita tidak bisa disini saja. Kita harus keluar."
      Apapun yang Kosasih lakukan pasti saya setuju tapi apa tidak jadi masalah kalau pergi tanpa Om Kus. Kemarin saja kalau tidak ada dia saya dan Kosasih pasti sudah tetangkap. Sebenarnya apa yang terjadi diluar? Jangan-jangan ini masih dampak dari kelamin raksasa atau jangan-jangan ini karena mimpi Kosasih lainnya. Aduh disaat seperti ini seharusnya saya tidak boleh berpikiran macam-macam. Saya harus fokus menjaga Kosasih.
      "Kun, ayo kita pergi saja dari sini!"
      Saudara pernah lihat berita tentang kerusuhan demo penolakan RUU KUHP tidak? itu loh yang anak STM dan mahasiswa turun ke jalan lalu bentrok dengan polisi. Nah yang terjadi disini sekarang seperti itu tapi yang bentrok bukan mahasiswa atau anak STM karena mereka tidak memakai seragam atau almamater.Â
      Di Pos polisi ada beberapa orang yang ditangkap, polisi menyuruh tangan mereka memegang kepala, baju mereka dilucuti, ditodong senjata sambil dibentak-bentak "Mati saja kalian, dasar tidak berguna". Di jalan dekat kolam besar yang kemarin airnya saya minum sudah terparkir mobil polisi, ada juga mobil yang bisa menyemburkan air dan mobil barakuda.Â
      Saya dan Kosasih berhasil menyusup ke kerumunan, ikut membaur takut jika orang partai menangkap kami. Kacau, kacau sekali. Polisi menembakan gas yang membuat mata pedih, orang-orang melawan meskipun tubuh mereka berdarah-darah karena pukulan tongkat polisi.Â
      Kosasih dan saya pelan-pelan menjauh, kalau kami berada disana bisa mati sebab tongkat polisi membabi buta menyerang siapa saja tidak peduli perempuan atau laki-laki.Â
      Setelah kami rasa aman, kami beristirahat sebentar dipinggir jalan dekat halte yang tak jauh dari patung yang sedang hormat. "Itu patung Jendral Sudirman Kun." kata Kosasih, "Kakek dulu sering menceritakan kisahnya." Saya terpukau, ini kali pertama saya melihat wajah Jendral Sudirman, gagah sekali, lebih gagah dari yang selama ini saya bayangkan.
      Disini tidak terlalu rusuh seperti di dekat kolam besar, memang ada beberapa mobil polisi yang berlalu-lalang, orang-orang berlarian dan sedikit kebakaran disana-sini tapi tidak parah.Â
      Kosasih kembali mengajak pergi, kami melangkah tidak tahu arah, tujuannya sih pulang ke rumah tapi tidak tahu harus lewat jalan mana. Kami berhenti lagi di depan televisi besar yang ada disamping jalan. Televisinya beda dengan televisi yang ada dirumah atau kamar hotel. Disini tidak menayangkan berita atau film kartun. Mungkin namanya "televisi iklan" sebab yang dari tadi yang tayang cuma iklan saja.Â
      "Kun, ada yang aneh." kata Kosasih, "Kenapa iklan yang tampil tidak seperti biasa." Saya mengamati televisi besar dan memang benar aneh, biasanya iklan yang saya tahu akan membangga-banggakan produk yang ditawarkan tapi disini tidak. Ada iklan minuman yang isinya. "Teh Mangkok, terbuat dari bahan pengawet, banyak gula dan penguat rasa. Teh Mangkok, minuman gula rasa teh." lalu ada iklan jual rumah "Anda butuh hunian layak, jangan beli ditempat kami karena dibangun di lokasi macet dengan bahan bangunan kualitas rendah dan suku bunga cicilan yang terus naik setiap tahunnya." lalu berikutnya iklan partai biru "Demi Indonesia maju. Demi masa depan yang lebih baik. Jangan pilih partai kami karena kami bekerja hanya untuk korupsi."
      Ini aneh sekali, kenapa iklan-iklan tidak seperti biasa, apalagi iklan partai biasanya menggunakan kata-kata bualan yang membakar semangat tapi kali ini kenapa apa adanya, iklan yang kami tonton lebih jujur.Â
      "Jujur." ah sial ini pasti karena mimpi Kosasih, kemaren dia bilang kalau semua orang akan berkata jujur. Saya melihat Kosasih, sepertinya dia juga menyadari hal yang sama seperti saya. tak lama ada beberapa orang berlari ke arah kami, saya lihat mereka sedang dikejar polisi, barangkali karena panik Kosasih juga ikut berlari tentu saja saya pun sama, di simpang jalan orang-orang yang berlari berpencar ke beberapa arah, saya dan Kosasih ikut berbelok ke salah satu arah diantaranya. Kami masuk ke dalam Gedung lalu bersembunyi dibelakang tempat sampah.Â
      Ada saya, Kosasih dan dua orang yang kami ikuti. Mereka lelah sekali, keringat mengucur deras bahkan salah satu orang dari mereka kepalanya berdarah. Dia membuka baju lalu mengeringkan keringat dan membersihkan darah yang mengotori rambut dan kening.
      "Polisi bangsat beraninya main pukul."
      "Emang, babi."
      Kosasih penasaran kenapa banyak orang turun kejalan, kenapa bisa ada kerusuhan.
      "Maaf bang. sebenarnya ada apa ya?"
      Dua orang yang kami ikuti saling tatap, bingung.
      "Lah, memangnya kamu gak tahu?". Kosasih menggeleng.
      "Terus kenapa tadi ikut lari?"
      "Panik."
      "Duh gimana sih." kata orang yang kepalanya berdarah, "Jadi begini bang, tadi pagi secara mengejutkan banyak pejabat menyerahkan diri, mereka mengakui kalau mereka korupsi. Ada juga ketua partai yang melakukan konferesnsi Pers, mereka menjelaskan jika selama ini partainya berlaku curang, membeli suara, jual-beli jabatan, korupsi lalu mereka juga bilang selama ini bekerja atas kepentingan golongannya saja."
      "Aku juga sebenernya bingung sih bang." orang yang satu lagi menyahut "Kenapa tiba-tiba di pagi buta banyak pejabat, politisi jadi jujur, malah bukan cuma mereka, semua orang juga jadi jujur termasuk aku. Tadi pagi aku jujur ke istri sebenarnya sebelum menikah aku pernah menghamili anak orang dan istri jujur kalau sebelum menikah sampai sekarang dia masih berhubungan dengan orang lain."
      "Iya benar tuh." kata orang dengan kepala berdarah, "Entah kenapa aku jadi jujur, kayak ada dorongan besar. tadi pagi juga aku jujur sama keluarga kalau aku lebih suka laki-laki ketimbang perempuan, aku jujur berhenti kuliah dan keluargaku juga sama, ibuku jujur kalau aku bukan anaknya. Ayahku jujur kalau selama ini dia kerja sebagai intel di kepolisian, aneh kan?"
      Saya yakin betul ini akibat mimpi Kosasih, tidak seperti yang dibayangkan. Saya pikir jika semua orang jujur keadaan akan tentram karena tidak bakal ada orang-orang munafik lagi tapi nyatanya kenapa jadi berantakan begini.
      "Maaf nih bang, terus kenapa orang-orang turun ke jalan?" kata Kosasih
      "Oh, begini bang. Jujur saja kami tidak kaget kalau pejabat atau politisi itu punya kelakuan busuk tapi kami sangat marah ketika Ibu Kanjeng muncul di televisi dan bilang uang untuk bikin monumen berbentuk kelamin itu adalah uang hasil penjualan beberapa BUMN dan tambang. Fantastis nilainya. Bayangkan bang hasil penjualannya sampai 11.000 triliyun. Ibu Kanjeng bilang uangnya memang tidak digunakan semuanya untuk membangun monumen tapi untuk dibagi adil kepada semua pihak yang terlibat."
      "Babi memang mereka." orang yang kepalanya berdarah  mengumpat, "Jika uangnya dipakai untuk melunasi hutang negara sih masih okelah tapi ini, memang orang-orang sialan. Teriak NKRI harga mati tapi nyatanya jual NKRI harga promosi."
      "Tadi yang saya dengar Presiden dan wakilnya mengundurkan diri, Menteri-menterinya juga sama. Sekarang negara kita tidak punya pemimpin, kacau. Kami kecewa, marah."
      Raut wajah Kosasih berubah jadi kusut setelah mendengar penjelasan dua orang dihadapannya. Dia berdiri, pergi begitu saja. Kedua orang meneriakinya agar kembali tapi Kosasih tidak peduli dan saya mengikutinya.
      Jauh sekali dia berjalan, tidak istrahat barang sebentar saja. Air matanya menetes tidak habis-habis. Dia tidak peduli dengan keadaan sekitar sama sekali, barangkali dia juga tidak peduli kalau saya mengikutinya atau tidak.
      Hari semakin terik, matahari memanggang, sisa-sisa kebakaran membuat udara semakin panas. Sepanjang jalan saya melihat kejadian-kejadian konyol. Ada orang yang berjoget-joget di jembatan sambil teriak-teriak "Aku biduan, aku biduan.", ada juga kejadian yang mengerikan, yaitu orang melompat dari atap gedung, dari bisik-bisik di lokasi kejadian, dia begitu karena istrinya jujur bahwa anak-anak mereka bukan darah dagingnya ditambah usahanya ludes hanya dalam waktu semalam. Ada juga toko swalayan yang diserbu banyak orang yang membawa spanduk "Kembalikan uang kami."
      Sekarang saya sepakat dengan Kosasih bahwa kemampuannya bukan keistimewaan. ini kutukan sebab yang semenjak Kosasih punya kemampuan, kekacauan datang tidak henti-henti.Â
      Kami sampai berjalan sampai malam mau mendekati pagi lagi, tidak istrahat, tidak makan, tidak minum. Kaki saya bergetar hebat tapi saya tidak boleh berhenti, saya harus mengikuti Kosasih kemana pun dia pergi. jika memang saya harus mati karena ini, tidak jadi masalah setidaknya saya mati dengan bangga karena sudah menepati janji.
      Adzan berkumandang, kami sampai gapura desa. "Syukurlah." kata saya dalam hati. Kami melewati masjid, disana ada Ustad Muri dan istrinya. Mereka melihat kami lalu berlari, memeluk Kosasih kemudian sujud di kakinya.
      "Kos, hampura!" kata Ustad Muri dan Istrinya "Aku jujur selama ini tidak pernah menengok kamu semenjak Kakek meninggal. Aku malu punya hutang banyak ke Kakek Duloh. Hampura  Kos, waktu Kakek Duloh meninggal aku dan istri senang karena dengan begitu kami  tidak perlu membayar hutang, kami menyesal Kos, Hampura!"
      Lewat isyarat gerak Kosasih meminta Ustad Muri dan istrinya untuk melepaskan pegangan tangan mereka ke kakinya. Dia lanjut melangkah, tidak peduli yang baru saja dikatakan Ustad Muri. Tapi justru saya kecewa. Selama ini saya menganggap dia baik tapi nyatanya sama saja seperti yang lain.Â
      Saya menyusul Kosasih setelah sebelumnya sempat mengencingi Ustad Muri. Anggap saja sebagai unkapan kecewa dan ingin menunjukan bahwa Ustad Muri dan air kencing saya sama saja kedudukannya "Najis."
      Di rumah. Kosasih duduk di bale, saya langsung masuk rumah untuk minum air dari bak mandi. Menggeratak dapur mencari makanan. Ada dua bungkus mie instan, saya makan satu dan satu lagi saya biarkan untuk Kosasih.Â
      Haji Idang keluar rumah, melihat Kosasih duduk di bale dia langsung menubruknya, menangis sejadi-jadinya "Ampun Kos, aku jujur aku sudah memanfaatkan kamu, aku juga yang merencanakan pembunuhan Duloh menggunakan racun." dia teriak-teriak minta pengampunan tak lama Ibunya Tanti keluar, dia juga melakukan hal yang sama seperti yang Haji Idang lakukan "Kos, maafin bibi, bibi yang sudah taruh racun di bubur Kakek kamu. Maaf Kos, hampura!"
      Tanti yang melihat orang tuanya langsung manangis. Dia menendang Haji Idang sampai tersungkur "Bangsat." katanya dengan emosi membara, "Pantes mati yang begini sih." Tanti mencari sesuatu disekitarnya, menemukan balok kayu, mengambilnya lalu memukul kepala Haji Idang dengan keras sampai terdengar suara tengkorak pecah.
      Dia menyuruh Ibunya duduk "Tenang bu. Nyebut bu, nyebut!". Kemudian dilihatnya Kosasih lusuh, wajahnya berantakan. Dia memeluknya "Sayang, kamu kenapa? Ya Allah kenapa dua hari ini banyak kejadian ane." dia memapah Kosasih ke dalam. Mendudukannya di kursi, membawakan minum, Kosasih menolak tapi Tanti memaksa, dia juga mengambil nasi dari rumahnya lalu menyuapi Kosasih dengan air mata yang berurai tanpa henti.
      Kosasih menatap Tanti "Terima kasih, cuma kamu yang jujur.". Mereka berpelukan.Â
      Saya juga selalu jujur tapi Kosasih kenapa tidak memeluk saya. bahkan saya selalu setia menemani Kosasih kemana saja, ini tidak adil, saya benci Tanti. Tapi tidak bisa saya pungkiri sekarang saya baru tahu bahwa cuma Tantilah orang yang saat ini tidak pernah berbohong padanya, dia tulus.
      Saya keluar rumah, melihat Suebah sedang menaruh kepala Haji Idang yang berlumur darah dipelukannya. Saya rasa pukulan Tanti sudah membuat nyawa Haji Idang melayang. Buktinya Suebah menjerit-jerit "Jangan mati kang, jangan mati. Nanti kalau kamu mati duit siap yang harus aku poroti".
      Saudara, saya anjing. Meski saya lama hidup bersama manusia tapi saya masih belum mengerti tentang manusia. kenapa manusia suka berbohong, kenapa manusia suka menimbun uang dan kekakayaan. Tapi satu hal yang bisa saya tahu bahwa kejujuran tidak bisa membuat dunia menjadi tentram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H