Kami sampai di rumah setelah berjalan agak lama, untung saja lelaki tua memberi singkong rebus jadi saya punya tenaga untuk mengikutinya. Rumahnya besar, ada pohon mangga di halaman, ada kotak dari kayu yang jauh lebih besar dari kotak bayi, mempunyai empat kaki penyangga, diatasnya biasa digunakan untuk duduk sedang bawahnya dibiarkan kosong, namanya bale.Â
Lelaki tua membuka pintu, masuk ke rumah, meletakan bayi di lantai kemudian menyalakan benda yang menempel di dinding yang bisa mengeluarkan angin lalu memberi saya perintah untuk menjaga bayi sementara dia sibuk keluar masuk ruangan yang ada di dalam rumah, mengambil barang-barang yang diperlukan. Mengambil bantal lalu pergi lagi, kemudian datang lagi membawa air dalam wadah, selimut dan kain basah, saat melihat air saya ingin meminumnya tapi lelaki tua melarang, katanya "Hust! ini untuk bayi, nanti aku ambil lagi." Tak lama dia kembali dengan dua wadah, satu isi air satu lagi isi nasi putih yang dicampur daging. Saya lupa daging ikan atau daging ayam karena kejadiaanya sudah lama, yang saya ingat saya menghabiskan semuanya.
Lelaki tua membersihkan tubuh bayi, dia menanggalkan kain yang menyelimuti bayi sampai telanjang. Dia mengelap sekujur tubuhnya menggunakan kain basah dengan sangat hati-hati dan lembut, Mahir, seolah sudah biasa. Setelah selesai dia mengeringkan tubuh bayi, mengoleskan minyak beraroma hangat lalu menyelimutinya dengan selimut yang dibawanya tadi.
Satu per satu orang mulai berdatangan, kabar penemuan bayi tersebar begitu cepat. Mereka berebut ingin tahu. Saya lihat ada perempuan yang sedang menggendongnya, memberikan susu  langsung dari sumber. Saya kira hanya anjing saja yang mau menyusui bayi selain bayinya tapi rupanya manusia juga sama. Apakah sebenarnya manusia dan anjing masih merupakan satu garis keturunan?.
Saya yang tadi berada di dalam terpaksa  harus keluar karena terlalu berdesakan. Ada orang yang mengusir saya tapi lelaki tua malah memarahinya, katanya "Tong diusir anjingnya. Kalau gak ada dia, bayi ini sudah mati."
Saya jadi pusat perhatian, mereka memandangi saya dan berbisik. "Oh anjing ini yang nyelamatin bayi." Ada juga yang memuji saya dengan sebutan "Anjing hebat."
Dalam waktu seminggu saya sudah tahu seluk beluk rumah. Lebih jelasnya begini : ukurannya besar, ada dua kamar tidur, satu kamar milik lelaki tua dan satu lagi dibiarkan kosong. Di bagian belakang ada kamar mandi dan dapur. Dikamar mandi ada bak tembok dengan keramik biru dan gayung berbentuk hati, ada tempat buang kotoran sedangkan di dapur ada lemari berisi peralatan masak dan peralatan makan, disebelahnya kompor lalu didepan lemari ada meja panjang dengan enam kursi, disitu biasanya lelaki tua makan. Di ruang tengah ada juga kursi dan meja tapi tidak pernah dipakai makan melainkan untuk menerima tamu, benda yang menempel di dinding yang bisa mengeluarkan angin itu ternyata namanya kipas angin. Ada juga jam dan beberapa foto. Oh iya di ruang tengah ada benda yang mengagumkan, benda inilah yang membuat saya suka bersantai. Namanya televisi, bentuknya kotak, warna hitam dan bisa menampilkan gambar. Saya jatuh cinta dengan televisi sejak pertama dinyalakan. Hampir lupa, dindingnya hijau, lantainya putih lalu jendelanya cokelat.
Nama lelaki tua "Duloh", orang-orang biasa memanggilnya Kang Duloh atau Kakek Duloh atau Duloh. Bayi yang saya temukan juga sudah diberi nama, "Kosasih" tapi Kakek Duloh lebih sering memanggilnya Jang atau Kasep. Bukan cuma bayi yang diberi nama, saya juga. Nama saya "Kun". Apakah saudara tahu arti nama Kun? Jika tidak tahu berarti kita sama, bagi saya nama Kun itu bagus karena enak terdengar meskipun saya tidak tahu artinya. Ustad Murilah yang menyematkan. Dia bilang ke Kakek Duloh seperti ini.
"Kang, anjing ini sudah dikasih nama?"
"Belum." kata Kakek Duloh.
"Boleh aku kasih nama?"