Mereka suka jalan-jalan bersama, kadang saya diajak. Saya duduk didepan dan Tanti di bonceng di belakang. Sekedar menghabiskan sore atau minum es kelapa di bawah pohon karet dan jati. Saya melihat Kosasih nyaman berada di dekat Tanti, bagi saya itu anugerah karena dengan adanya Tanti perlahan Kosasih lupa kalau dia anak malang yang tidak punya orang tua meskipun saya tahu diantara mereka ada perasaan yang mengganjal, mereka tak bisa bersatu meski saling mencinta dan saya yakin itu bukan perkara gampang untuk dijalani, saya saja kesepian menjadi satu-satunya anjing di desa, kadang saya ingin sekali kawin tapi dengan anjing yang mana? Masa dengan kucing. Itu tidak mungkin, saya tidak bisa membayangkan kalau saya mengawini kucing nanti anak saya seperti apa? Bisa-bisa tubuhnya anjing kepalanya kucing, kalau bersuara tidak menggonggong bunyinya "meong, meong" ih menjijikan. Tapi begitulah hidup kalau sudah berbicara masalah hati, tidak bisa sederhana.
      Suebah semakin  menawan, pasokan uang dari Haji Idang membuatnya mudah membeli kecantikan. Pakaiannya bagus, perhiasannya banyak, warna rambutnya dirubah. Kemana-mana pakai mobil, sudah seperti artis-artis yang ada di televisi. Tanti tidak suka, dia menganggap semua  karena pengaruh Haji Idang, atas dasar itulah sejak ibunya kawin lagi dia tak pernah sekali pun bicara dengan Haji Idang, ayah sambungnya.
      Ustad Muri pernah bilang, "Manusia itu tidak pernah merasa cukup, jika diberi kesulitan dia akan berkeluh kesah dan jika diberi kemudahan dia akan lupa diri kecuali orang-orang yang menjaga shalatnya." Pertanyaan saya jika orang sudah menjaga shalat tapi masih berperilaku begitu, dimana letak salahnya? Apakah shalatnya salah? Atau memang jenis manusia seperti itu bebal sejak diciptakan? Saya sedang membicarakan Haji Idang, saudara harus tahu dia kan Haji dan dia juga selalu shalat di masjid tapi kok kelakuannya begitu. Bukan saja serakahnya yang semakin menjadi pun penuh dengki. Dia menghasut Kosasih supaya tidak dekat-dekat dengan Ustad Muri, dia bilang begini :
"Lihat tuh si Muri, semenjak Kakek Duloh meninggal mana ada dia memperhatikan kamu," katanya meyakinkan. "Kamu juga jangan dekat-dekat dia lagi, aku yakin manusia seperti dia datang kalau  ada maunya saja."
      Pelan-pelan Kosasih mengikuti yang Haji Idang bilang, dia jadi jarang ke Masjid, berhenti mengaji. Sumpah saya kesal, demi ayam bakar madu saya berani bilang bahwa Ustad Murilah  sosok yang lebih tepat menggantikan Kakek Duloh, selama ini dia tidak menengok Kosasih karena urusan keluarganya pelik, warungnya tutup dan pesanan masker kain tidak lancar, dia harus pontang-panting mencari pendapatan supaya hidup keluarganya tetap berkelanjutan. Saya tahu, saya pernah datang ke rumah Ustad Muri, dia memberi saya makan tapi bukan ayam bakar. sambil  menemani saya makan dia bilang, "Kabar Kosasih gimana Kun? Mudah-mudahan dia sehat ya. Sudah lama aku tidak lihat dia ke Masjid." katanya dengan raut wajah rindu.
Kematian Kakek Duloh sudah lama berlalu tapi berita di televisi cuma tentang virus dan segala perintilannya semisal vaksin, jumlah korban, istilah-istilah baru seperti PSBB, PSBB transisi, PPKM, PPKM darurat, PPKM level 4. Jujur saja saya bingung dengan istilah itu, kenapa ada banyak? Gunanya buat apa? Belum lagi berita tentang varian virus model terbaru yang sudah membuat rumah sakit tak bisa lagi menampung orang, saya kesal televisi sudah tidak semenarik dulu, setiap hari isinya cuma berita duka dan duka.
Di waktu yang sama Tanti sedang uring-uringan, dia mengadu pada Kosasih tidak kuat dengan kondisi di rumah setelah Haji Idang terpilih sebagai kepala desa.
"Kacau Kos, rasanya aku ingin pergi saja dari sini," keluhnya. "Si bangsat semakin tidak tahu diri, untuk apa coba jadi kepala desa? Bikin rumahku tiap hari penuh sama orang saja."
Kosasih mengangguk pelan. Dari rautnya saya melihat bahwa kali ini dia sepakat dengan Tanti, terganggu oleh suara orang-orang yang hampir setiap malam datang, wajar saja rumah mereka berdekatan jadi kalau rumah Tanti berisik sudah pasti suaranya akan terdengar juga ke rumah Kosasih. Tapi sama seperti yang sudah-sudah kalau Tanti mengeluh tentang Haji Idang, Kosasih tidak bisa berbuat banyak, apalagi terpilihnya Haji Idang sebagai kepala desa karena campur tangannya. Begini kejadiannya :
Ketika orang-orang ramai membicarakan kejadian gerhana bulan yang katanya hanya terjadi setiap sembilan ratus lima puluh tahun sekali disitu Haji Idang kembali menjalankan siasat busuknya. Cara yang dipakai sama seperti dia meminta Kosasih memimpikan tanah miliknya agar mengandung minyak. Mula-mula dia memberi Kosasih hadiah lalu dia lebih sering mengobrol dan obrolannya tidak jauh dari apa yang diinginkan. Dia bilang, "Kepala desa kita sudah mati karena virus, sekarang kosong." Jelasnya. "Kalau aku jadi kepala desa rasanya enak ya Kos." lalu dia juga menunjukan video-video tentang kepala daerah yang berprestasi lalu berkelakar "Aku yakin bisa seperti ini."
Lagi dan lagi berhasil, Kosasih memimpikannya dan dalam hitungan hari Haji Idang sudah dilantik atas penunjukan langsung dari camat. Duh, Kosasih bodoh masa terus memimpikan hal-hal yang tidak berguna seharusnya dia memimpikan saya bisa bicara bahasa manusia agar saya bisa memberitahu siapa Haji Idang sebenarnya. Kesal.