Kosasih meminta saya duduk dipangkuannya, dia mengelus kepala saya lalu bilang "Terima kasih tadi kamu sudah menyelmatkanku."Â
      "Itu memang sudah menjadi tugas saya sebagai anjing peliharaan." jawab saya dalam hati. Tak lama Kosasih tertidur.
      Saya ini sudah tua, perkelahian di hotel sudah menguras banyak tenaga saya. masih untung saya bisa melawan meski sebenarnya tubuh saya sangat kelelahan. Saudara, jika saya masih muda jangankan tiga orang, seratus orang pun pasti bisa saya taklukan.
Â
Â
Â
 BAGIAN 5.
      Saudara, Kosasih masih tak kunjung bangun padahal sudah lama dia tidur tapi tak apa-apa juga lagi pula kalau tidur kan dia jadi tidak merasakan lapar dan haus.
      Ketika saya mengamati wajah Kosasih tiba-tiba hati saya merasa sedih. Potongan kejadian yang kami lalui sejak pertemuan pertama sampai kami berada disini terus berkelebat di kepala. Saya ingat betul ketika masih kecil Kosasih sangat senang bermain lempar bola, jadi permainannya begini, dia melempar bola hijau seukuran kepalan tangan lalu saya berlari mengambilnya setelah dapat saya memberikan bolanya lalu dia melemparnya lagi lalu saya mengambilnya lagi, terus saja begitu sampai Kosasih lelah melakukannya. Dia tidak pernah mengajak saya bermain kejar-kejaran karena ketika kecil kakinya pengkor jangankan lari untuk berjalan saja dia susah.
      Bersama Tanti, teman, saudara sekaligus kekasih satu-satunya dia tumbuh. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal, kadang saya benci, kadang juga saya sayang Tanti. Waktu kecil mereka suka bermain masak-masakan, ketika bermain biasanya Kosasih berperan sebagai suami yang baru pulang kerja dan Tanti sebagai istri yang tugasnya memasak makanan untuk suami. Pernah di satu waktu Kosasih tak mau bermain dengan Tanti sebab banyak anak laki-laki yang mengejek, katanya "Laki kok main sama perempuan, bencong." Tapi ujung-ujungnya mereka pasti main bersama lagi karena Kosasih tidak punya teman selain Tanti, menyedihkan sudah pengkor tak punya teman pula.
      Kosasih itu sudah biasa dengan rundungan, dikatai pengkor, bencong itu sudah makanan sehari-hari tapi pernah ada kejadian yang membuat dia sedih sampai berhari-hari. Waktu itu umurnya sekitar sebelas atau dua belas tahun, entahlah saya lupa. Dia menjadi bahan gunjingan sebab mereka mengetahui kalau Kosasih cuma anak pungut. Saat itu dia tak mau mengaji dan sekolah, bahkan keluar untuk duduk di bale saja dia gundah. Kakek Duloh membelikan mainan banyak sekali untuk membujuk Kosasih supaya mau sekolah dan mengaji tapi gagal. Kosasih marah, katanya "Kenapa Kakek tidak bilang dari awal kalau aku anak pungut." Kakek Duloh  tersenyum.