"Aku ingin pulang Kun." kata Kosasih  "Aku lelah ada disini."
       Ingin sekali saya mengatakan "Sama, saya juga sudah bosan disini."  tapi percuma karena saya anjing, saya tidak bisa bahasa manusia.
      Jadi dua hari sebelum acara peresmian saya dan Kosasih bertolak dari Puncak menuju Jakarta. Di mobil hanya ada saya, Kosasih dan supir, Om Kus ikut rombongan mobil lainnya, mungkin dia merasa tidak enak jika satu mobil dengan kami. Kata supir kami akan menuju "Hotel Indonesia." Sementara. karena setelah acara peresmian selesai kami akan dipulangkan ke rumah. Ibu Kanjeng yang akan mengantar, katanya sebagai ucapan terima kasih.
      Di perjalan, saya melihat Kosasih tidak nyaman. Badannya panas, keringat mengucur dari kening meski udara didalam mobil dingin, dia lebih sering membenarkan posisi duduk, gelisah.
      Sesampai di Hotel dia langsung masuk kamar, merebahkan tubuh, berdiri lagi, minum, ke kamar mandi, merebahkan tubuh lagi, minum lagi lalu duduk. Napasnya tidak beraturan dan saya yakin sekali ada hal besar yang sedang dia tutupi. Saya pernah melihatnya seperti itu, dulu ketika dia mengambil uang Kakek Duloh secara diam-diam  untuk membeli mainan.
      Dia gelisah, saya mendekat, mengeluskan kepala ke kakinya sekedar memberi isyarat kalau dia tidak sendirian. Dia melihat saya lalu memindahkan tubuh saya ke pangkuan, mengelus-elus kepala saya kemudian menangis. Saya ingin menghibur tapi tidak tahu dengan cara apa jadi saya diam saja sebab yang bisa saya lakukan hanya mendengar dan menemani.
      "Kun, sekarang aku sudah tahu ternyata selama ini Haji Idang bukan orang baik." Katanya, "Aku coba menerima kenyataan. memang sakit tapi sebisa mungkin mencoba mengalihkan pikiran bahwa masih ada Tanti dan ibunya yang baik, yang selalu menyiapkan makanan."
      "Aduh, tolol." kata saya dalam hati, "Tanti memang baik tapi ibunya tidak, jika saja kamu tahu bahwa dia bersekongkol dengan Haji Idang untuk meracuni Kakek Duloh. Ah Kosasih payah. Seharusnya kamu tahu bahwa Ustad Murilah yang baik, dia yang sebenarnya memberi perhatian dari jauh."
      "Kun, aku kasih tahu. Sebenarnya setelah Om Kus jujur, malam harinya aku bermimpi melihat acara peresmian menjadi kacau, rusuh, berantakan."
      Saya dan Kosasih tidak ikut ke lokasi peresmian walaupun sebenarnya Kosasih diminta untuk datang kesana tapi dia menolak, katanya sedang tidak enak badan jadi kami memilih menyaksikan acara tersebut lewat televisi saja.
      Pembawa acara mempersikahkan Ibu Kanjeng untuk menyampaikan pidato. Di televisi saya  bisa melihat para ketua partai ada di atas panggung, berdiri sejajar di belakang Ibu Kanjeng dengan pakaian warna-warni sesuai warna partai yang diwakilinya. Di depan panggung ada tenda besar berwarna merah dan putih. Disitu ada presiden, wakil presiden, Menteri, pasangan capres "MANJA", pasangan capres "CANDA" dan tamu undangan lainnya. Dilihat dari tampilan udara Kawasan Monas seperti Pelangi, berjejal orang disana menggunakan baju dengan warna serupa partai yang di dukungnya. Barangkali orang-orang inilah yang dikatakan Om Kus sebagai kader dan simpatisan. Polisi dan tantara berjaga, diantara mereka ada yang membawa senjata, ada yang membawa anjing dan ada juga yang tidak membawa apa-apa. Jalan ditutup untuk parkir mobil, helikopter lalu lalang diudara memonitor keadaan dari udara.