"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semuanya, om swastiastu namo buddhaya, salam kebajikan. Salam Pancasila".
      "Indonesia adalah negara besar. negara subur dengan kekayaan melimpah baik di laut dan di darat. Indonesia adalah negara yang penuh dengan keanekaragaman budaya, bahasa, suku bangsa yang mampu hidup rukun dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika."Â
      "Hadirin yang berbahagia kejujuran adalah kebijaksaan paling mulia. Kejujuran bisa diibaratkan sebagai bahan bakar untuk saling percaya dan rasa percaya adalah modal paling utama untuk mencapai keutuhan yang hakiki baik dalam kelompok kecil atau pun dalam konteks bernegara sehingga terciptalah persatuan yang kokoh, solid, tidak mudah dipecah belah. Kita semua sudah melihat di masa pademi ada orang-orang yang dengan teganya berlaku tidak jujur, mereka korupsi, mendzalimi rakyat demi kepentingan pribadi sehingga mengikis rasa percaya bahwa keadilan itu ada. Pademi memperlihatkan kepada kita kelompok-kelompok yang ingin merusak keutuhan NKRI, tapi sekali lagi kita bisa buktikan pada dunia bahwa kita adalah negara hebat yang tidak goyang diterpa angin, tidak tumbang dihantam badai. kita bahu membahu melewati masa-masa sulit. Kami pun dari perwakilan partai berkewajiban untuk mengambil bagian dan tentu pada setiap langkah yang kami lakukan atas nama rakyat, atas nama keadilan, atas nama persatuan, atas nama bangsa dan negara."
      "Saudara-saudara, dibangunnya monumen kejujuran bukan semata-mata sebagai simbol melainkan pengingat bahwa kejujuran harus hidup pada setiap jiwa yang bernyawa. Dan bagi kami monumen ini adalah bentuk ikrar bersama bahwa mulai saat ini setiap partai yang ada di Indonesia akan berkomitmen untuk berlaku jujur demi kemajuan bersama. Kami akan memberikan contoh kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia walaupun kami berbeda pandangan politik tapi kami akan bersatu, bergotong royong untuk kemajuan bangsa dan negara."
      "Demikanlah serangkai kata yang saya sampaikan. HIDUP INDONESIA."
      Gemuruh suara tepuk tangan menggelegar setelah Ibu Kanjeng menyelesaikan pidato, suara siulan saling bersahutan, pembawa acara membakar semangat orang-orang yang ada disana dengan teriakan "MERDEKA.. MERDEKA.. MERDEKA."
      Kakek Duloh pernah menceritakan dikisah Jendral Sudirman dan kisah-kisah perjuangan lainnya, dia bilang kata "Merdeka" digunakan sebagai mantra sakti untuk membakar semangat rakyat melawan penjajah yang ada di depan mata. Nah sekarang saya bingung, tujuan pembawa acara meneriakan kata itu untuk memicu semangat dalam rangka apa? Karena yang ada di depan mata mereka para ketua partai dan pejabat-pejabat negara, apakah dia menganggap mereka sebagai penjajah?
      Tombol diberikan kepada para pemimpin partai, pembawa acara meminta semua yang hadir disana berdiri dan menghitung mundur.
      "10.. 9.. 8.. 7.. 6.. 5.. 4.. 3.. 2.. 1.." tombol ditekan, suara musik menggema, paduan suara menyanyikan lagu "Indonesia Raya", kain penutup monumen turun perlahan. Dari televisi saya bisa melihat mata para ketua partai berkaca-kaca, mereka bersalaman dan mengucapkan selamat satu sama lain.
      Kekacauan dimulai, seharusnya kain turun pelan-pelan mengikuti tempo lagu yang dinyanyikan paduan suara tapi yang terjadi kain turun dengan cepat dan monumen yang seharusnya berbentuk perempuan memakai daster dengan satu tangan mengacungkan timbangan dan satu tangan lainnya memeluk lambang negara berganti menjadi kelamin laki-laki berukuran raksasa, berwarna cokelat muda dan kemerah-merahan dibeberapa bagian. Kotak dengan pintu besar yang ada dibagian bawah berubah menjadi dua buah zakar lengkap dengan bulu-bulu hitam. "Itu seperti kelamin Kosasih," saya pernah melihatnya ketika pagi-pagi dia kencing di bawah pohon mangga depan rumah, bedanya kepunyaan Kosasih menggantung diselangkangan tapi yang ini berdiri kekar menghujam langit. Diantara buah zakar ada tulisan "Kita hidup pada masa kelamin lebih jujur dari pemiliknya."
      Saya dan Kosasih melihat di televisi kekacauan luar biasa yang tak masuk di akal. Presiden dan wakil presiden dipandu meninggalkan lokasi diikuti tamu undangan lainnya tapi kader dan simpatisan juga para ketua partai tidak bergeming dari tempatnya, mulut mereka ternganga, barangkali tidak percaya dengan yang mereka lihat di depan mata.Â