Saudara, setelah Kakek Duloh meninggal sebenarnya keadaan saya dan Kosasih sudah tidak seperti dulu. Saya ingin pergi tapi tidak mungkin. saudara ingat selepas saya minggat ke rumah Ustad Muri? Tak lama dari situ Kosasih jatuh sakit, badannya lemas, Haji Idang mau membawanya ke rumah sakit tapi Kosasih menolak, katanya "Ini cuma sakit biasa nanti juga sembuh." kalimat yang mengingatkan saya pada Kakek Duloh. Hampir tiga hari panasnya tinggi, Tanti telaten merawat sedangkan saya ketakutan kalau-kalau Kosasih mati. Di tengah kekalutan itulah saya kembali mengingat sumpah untuk menjaga Kosasih, saya tidak mau kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Saya ingin seperti Qithmir menjadi anjing penjaga tuannya sampai beratus-ratus tahun lamanya. Karena saya anjing jadi saya tidak mungkin mengingkari janji.
      Dua hari sebelum Tanti menginap, Haji Idang dan Ibu bupati datang menemui Kosasih. Haji idang bilang kalau Kosasih harus ke Jakarta karena akan dimintai bantuan oleh orang-orang partai. Kosasih bingung karena dia harus bantu apa. Dia tidak punya kebisaan apa-apa, apa yang diharapkan darinya tapi Haji Idang menjelaskan bahwa Kosasih bisa membantu  dengan kemampuan istimewanya, katanya "Ibu bupati sudah tahu tentang hal itu makanya dia mau minta tolong." Kosasih terkejut, ini kali pertama ada orang lain yang tahu tentangnya terlebih orang yang belum dia kenal, Tanti yang setiap hari ketemu saja tidak tahu, dia menolak tapi Haji Idang terus membujuk, katanya "Sudah saatnya kemampuan kamu digunakan untuk kepentingan banyak orang, apalagi ini untuk kepentingan bangsa," bujuk Haji Idang. "Aku yakin mendiang Kakek Duloh juga pasti setuju."
      Kosasih bimbang lalu Ibu bupati ikut bicara "Nak, semenjak pademi karena virus corona negara kita sedang tidak baik-baik saja, fitnah disana-sini, orang miskin semakin banyak, pekerjaan semakin sulit lalu banyak orang yang mencari kesempatan di balik itu semua. Kami berencana meminta bantuanmu. Kami yakin dengan keistimewaanmun banyak hal yang bisa diperbuat untuk bangsa dan negara."
Pada akhirnya Kosasih pun meng-iya-kan apa yang Haji Idang dan Ibu bupati minta, bagaimana pun dia menganggap Haji Idang sebagai pengganti Kakek Duloh jadi dia merasa yang dilakukannya pastilah baik.
      Saudara, kebencian saya pada Haji Idang sangat besar karena saya yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Dari kematian Kakek Duloh sampai dia menjadi kepala desa semuanya memang sudah direncanakannya. Sumpah rasanya saya ingin bisa bicara bahasa manusia agar bisa menjelaskan semua pada Kosasih. Saya ingin bilang "Bodoh, jangan mau kalau disuruh ke Jakarta." tapi apa boleh dikata, dia terlanjur termakan omongan manis Haji Idang, kurang ajar.
      Setelah Haji Idang meninggalkan kami, Om Kus memindahkan kami ke daerah perbukitan, "Puncak" itu nama yang saya tahu dari obrolan Kosasih dan Om Kus.
      Disana kami tinggal di rumah besar dengan banyak kamar, ada kolam renang, ada taman yang luas juga ada aula pertemuan. Saat kami datang sudah ada banyak orang yang menunggu. Beberapa bisa saya kenali karena sering muncul di televisi seperti Pak Manahan calon presiden, Ibu Kanjeng ketua partai merah, Pak Bambang ketua partai biru juga ada beberapa kepala daerah yang saya lihat ditelevisi suka marah-marah. Sisanya saya tidak tahu, mungkin para pengawal atau bisa jadi orang kepercayaan seperti Om Kus. Ibu Kanjeng dan Pak Bambang menyalami Kosasih, mempersilahkan duduk, menanyai kabar, mengobrol sebentar lalu mempersilahkan ke kamar untuk istirahat.
      Om Kus badannya besar, kulitnya gelap, baunya wangi, rambutnya pendek kalau diperhatikan dia lebih mirip tantara, gagah, berwibawa. Cara bicaranya beda dari orang lain, saya suka dengan caranya bicara. Dia memanggil Kosasih "Adik" dan mengunakan kata "saya" untuk menyebut dirinya.
      Saudara, Om Kus sudah lama bekerja dengan Pak Manahan, sebenarnya dia sudah lelah  karena bekerja dengan Pak Manahan menghabiskan banyak waktu sampai-sampai sulit pulang untuk bertemu keluarga. Dari ceritanya yang saya dengar, dulu dia mahasiswa berprestasi yang mendapat beasiswa, setelah lulus dia langsung ditawari menjadi asisten pribadi, katanya "Adik, dulu saya pikir jadi asisten politisi besar bisa kasih mudah saya punya langkah jadi pejabat, tapi ya Tuhan ternyata saya salah besar, sampai sekarang saya tetap tidak jadi apa-apa."
      Om Kus itu berasal dari Indonesia timur, tepatnya di ..., aduh saya lupa tapi dari cerita yang saya dengar di tempat asalnya ada gunung emas. Emas itu mahal kalau dijual bisa dapat uang banyak tapi kata dia orang-orang disana justru hidup miskin meskipun punya gunung emas, aneh.
      Dia itu seperti Ustad Muri, banyak memberi nasihat tapi bedanya Om Kus tidak shalat. Hampir sepanjang waktu kami selalu bersama kecuali ketika Kosasih buang kotoran, mandi dan bertemu "Psikolog" begitulah Om Kus menyebutnya.  Ya semenjak kami pindah, Kosasih dibuatkan jadwal, kegiatannya teratur. Pagi olahraga, lalu sarapan, mandi, lalu setelah itu menonton video dari televisi besar, tidak seperti di rumah Kakek Duloh, televisi disana  membosankan, semisal hari pertama sampai seminggu setiap pagi sampai siang yang diputar hanya video seorang yang menjadi saksi kunci kasus korupsi pengadaan bantuan sosial. Lalu ada juga video memperlihatkan sebuah gedung besar yang bertuliskan "Gedung Kejaksaan RI". Sambil menonton Kosasih ditemani perempuan, namanya "Helen". berkulit putih, rambut panjang, tidak lebih tinggi dari Om Kus, bibirnya kecil, matanya kecil, suka membawa buku tulis dan balpoin kemana-mana. Setelah menonton biasanya dia langsung mengajak Kosasih mengobrol tapi tidak seperti Om Kus, yang dibicarakannya tidak menyenangkan, semisal begini "Kamu lihat kan orang yang tadi di video? Sebenarnya dia bukan saksi kunci melainkan orang yang ingin negara kita hancur. Jika saja orang itu tidak ada atau boleh dikatakan mati mungkin negara kita akan jadi lebih baik karena sebenarnya dia penyebar fitnah." atau seperti ini "Gedung Kejaksaan, disana banyak dokumen berisi video yang sudah diedit dan akan digunakan untuk kepentingan orang-orang yang benci dengan pemerintah. Jujur saja kami berharap dokumen itu lenyap agar pemerintah bisa lebih fokus mengurus rakyat ketimbang menghadapi fitnah yang keji." Membosankan bukan?