''Aku pengangguran, Rin. Aku tidak punya uang. Darimana aku bisa mendapatkan uang untuk pulang ke rumah, dengan keadaan badan lusuh pakaian kumuh seperti ini. Aku malu, Rin."Â
"Tidak perlu merisaukan hal itu, pulanglah. Aku yang membiayaimu untuk pulang. Ceritakan semua pola hidupmu di perantauan. Barangkali, orang tuamu bisa mengerti apa yang kau rasakan, Wan." Lanjutku untuk meyakinkan perasaan hatinya yang diguncang gelisah.Â
Setetes kopi yang semula hangat menjadi dingin pun mempunyai alasan yang tersirat untuk diungkap, Wan. Apalagi dengan Berbagai perdebatan asumsi kedua orang tuamu tentang hidup yang engkau alami saat ini.Â
"Kamu butuh apa? jika bisa untuk kubantu, semoga bisa membantumu."
"Aku sebenarnya malu denganmu, Rin. Dengan semua ucapan racunku yang pernah ku lontarkan, engkau masih bisa memaafkanmu tanpa ada beban sedikitpun di pundakmu."
Ingat. Seperti ampas kopi yang seringnya diabaikan, ia masih sedia dan setia untuk menikmati setiap tegukan yang masuk dari kerongkongan tuannya, Wan.Â
"Aku ingin punya pekerjaan, Rin. Apakah kau masih mau membantuku?" Tanya dia.
"Bisa, kau ingin melamar pekerjaan dimana, Wan?" Tanyaku kembali ke Setyawan.
"Ke rumah sakit negeri ternama, Rin. Masih seperti dulu, masih selamanya begitu."
"Dengan impian yang berkali-kali kau impikan tapi tak lekas untuk terealisasikan, bagaimana kau masih berharap harapan yang basi, Wan? Bagaimana dengan profesi yang lain?" Cobaku menawarkan haluan pekerjaan yang lain kepadanya.
Aku berusaha untuk mengembalikan semangatnya, yah. Walaupun aku sendiri juga bisa merangkul sukaku dengan ratapanku sendiri.Â