"Aku cinta sama kamu, sedangkan aku tahu. Banyak trauma-trauma yang masih kau sandang sampai sekarang. Kau tidak percaya dengan laki-laki, kan Rin?"
"Aku paham maksudmu. Benar, apa yang kamu katakan. Aku saja masih kebingungan dengan yang aku geluti sampai bertahun-tahun. Bertahan dengan kedukaan yang sebenarnya telah pergi, tapi masih aku simpan dengan rapi."
Dia yang mencoba memulihkan semua keadaanku yang serba rancu dan membelit otakku untuk membuka hati dan rasa. Tapi...dia bagaimana, yah? Apa kabar.
"Apa saat ini kamu masih berharap dia kembali, Rin." Tanyanya dengan rasa ingin tahu.
"Berharap iya, untuk kembali sepertinya tidak." Jawabku.
Aku yang mencoba menjelaskan kisah lalu kepadanya dengan sangat hati-hati. Aku takut pedih yang telah kubur sejak lama, muncul kembali. Diawali dengan cacian yang dilontarkan kepada seseorang yang sebenarnya sangat aku cintai, yah. Sampai Rindu menemukannya dengan keadaan yang memprihatinkan. Lalu, bangkit dan kokoh. Lantas, dengan berat hati. Ia ku tinggalkan, aku mencoba menepis itu dengan membiarkan dia menciptakan kisahnya sendiri. Mungkin dengan wanitanya sekarang.Â
"Apakah kamu selama hidup begini-begini saja, Rin."
"Tidak. Aku juga ingin sembuh. Tapi, sembuhnya pun tak bisa secepat halilintar yang menyambar langit dengan cipratan kilauannya." Tandasku.
Aku yakin, dia kebingungan dengan pergulatan yang ada di hatiku. Singkat sekali, sampai-sampai malam sudah menyambut kita berdua.
"Aku hanya berharap, Rin. Kamu bisa menafsirkan apa yang ada di diriku."
Terkekeh dengan pernyataannya, yang berusaha membuka fatwa yang sebenarnya sudah lama ia ingin ungkapkan.