Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Drone Asmara

8 Agustus 2021   22:08 Diperbarui: 12 November 2021   11:53 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DRONE ASMARA

Sukir Santoso

Tempat tidur kostku ikut berderak karena aku menggeliat terlalu kuat. Sebetulnya kalau bukan karena dosen cantik itu, aku masih enggan untuk bangkit. Kuliah dari pukul  tujuh pagi hingga pukul tiga belas tanpa jeda membuat aku kelelahan. Aku sudah janjian untuk membuat persiapan foto udara besok pagi.  Sebuah proyek perencanaan pemanfaatan tata-ruang di Kawasan pantai selatan Yogyakarta, dengan focus sekitar Jalur Lintas Selatan. Proyek itu membutuhkan foto udara dan pemetaan Kawasan. Dan dia dosen itu sebagai pimpinanku pada proyek itu.

Mira Mayangsari itu namanya. Dosen muda cantik dengan tubuh tinggi semampai di Fakultasku itu. Ah, dia bukan siapa-siapaku. Aku hanya seorang mahasiswa yang kebetulan ditunjuknya sebagai asisten disebuah proyek bersama Rasya dan Albert.

Guyuran gayung air yang terakhir baru saja selesai, tiba-tiba HP-ku berdering. Sebuah Video Call masuk. Nama Mira Mayangsari dan foto profilnya terpampang di layar. Aku jadi kebingungan dalam kondisi darurat seperti ini. Untuk membiarkannya, aku khawatir bila dia marah. Mau membalasnya juga tidak sopan. Akhirnya kusambar handuk dan kusentuh HP-ku.

"Ton, segera datang ya," kata di seberang sana..

"Ya,ya. Siap mbak,"jawabku.

"Lhoh, kau sedang ngapain?"tanyanya, membuat aku gelagapan. Untung dia  langsung menutup panggilannya.

Setelah semuanya selesai aku meneleponnya balik. "Sorry mbak, tadi aku baru mandi,"aku minta maaf.

"Kalau baru mandi ya jangan dibuka. Jorok."

"Maaf mbak."

Sepuluh menit roda motorku menggelinding sampailah ke sebuah perumahan elit di Kawasan Gamping. Tirtasani Residence. Aku menuju sebuah rumah di pojok blok. Sebuah rumah 2 lantai yang cukup megah.

Tidak perlu aku memencet bell karena mbak Mira sudah berada di teras. Mengenakan kemeja PDL Ripstop dan celana jean ketat kelihatan semakin Tomboy.

"Kau sudah siap?" tanyanya mengkonfirmasi.

"Hanya berdua mbak?" tanyaku. Tim kami biasanya berempat. Mbak Mira, aku, Rasya dan Albert."

"Ya, berdua saja sudah cukup. Kita kan hanya mengecek kesiapan drone kita untuk pengambilan gambar besok pagi."

"Kamu yang nyetir."dia menyerahkan kunci mobil kepadaku.

"Ke lapangan UGM, ke lapangan Denggung atau kemana?"tanyaku. 

Biasanya kami mencoba drone di lapangan UGM atau lapangan denggung.

"Di Turi-Turi Coffee saja biar enak. Kita bisa terbang tanpa gangguan." Katanya."sekalian nanti kita buat rencana jalur terbang untuk proyek kita sambil menikmati kopi. Kamu sudah mempersiapkan data spasialnya?"

"Sudah mbak."

Turi-Turi Coffee itu nama yang terpampang di depan Caf kopi di pinggiran Embung Kaliaji di desa Donokerta kecamatan Turi kabupaten Sleman. Enak untuk bersantai menikmati kopi, sambil  memandang keindahan embung. Sangat proper untuk area latihan dan mencoba  menerbangkan drone.

Kami memilih tempat di pingggiran embung, agar kami bisa menerbangkan drone-drone kami dengan leluasa.

"Kita kalibrasi yang ini dulu,"kata mbak Mira menunjuk  Case DJI Phantom 4 Pro yang kami bawa.

Aku menggangguk dan memulai mengeluarkan drone dari case dan memasang baling-balingnya.

"Kita kalibrasi sensor-sensornya,"perintahnya, kemudian dia membaca manual untuk kalibrasi drone.

Aku senyum saja. Dia seperti mengajari orang yang belum tahu apa-apa tentang drone. Kalibrasi  bagiku sudah bukan masalah sulit. Itu merupakan prosedur standar sebelum penerbangan. Kalibrasi sensor gyro,  akselerometer, barometer, magnetometer dan sensor yang lain sudah terpateri lekat di kepalaku. Kalau boleh sombong penguasaan tekhnologi dan skill jauh lebih tinggi dari dosen yang cantik namun cerewet ini. Sebelum dia tahu tentang drone, aku telah lebih dulu menguasainya. Segala macam drone. DJI, Walkera, Cheerson, Swellpro. Hampir semua drone sudah mengalir di urat darahku.

Kalibrasi selesai. Dia memberi perintah penerbangan sambil mendekat ke tempatku berdiri. Drone mulai take off dan putaran rotor drone yang kuat memusarkan angin yang membawa aroma wangi dari cewek cantik di dekatku itu. Untuk beberapa detik terlelap aku dalam keharuman parfumnya. Sementara cewek tinggi semampai itu ingin menggantikanku untuk memegang  remote.

Sekali lagi ada desiran aneh merayapi sekujur syarafku ketika kulit halus tangannya yang telanjang, bersentuhan dengan kulitku tanganku yang telanjang pula. Kulirik mimik mukanya, jangan-jangan dia tahu apa terjadi dalam diriku. Aku menjauh untuk mengambil jarak dan berusaha untuk bekerja profesional.

Sekitar satu jam drone kami beterbangan di angkasa Turi. Empat drone sudah siap menjalankan misi esok pagi. Dan kamipun pulang.

Malam itu bulan separoh nampak kesepian di langit kostku. Saat itu teman-teman kostku sedang sibuk di kamar masing-masing. Aku memilih untuk mengamati indahnya langit malam, bersama bulan dan bintang gemintang.

Dan di antara titik kordinat bintang bintang itu dapat kubaca jelas tulisan MIRA MAYANGSARI.

Ah andaikata.....

Oh, Mira Mayangsari. Dosenku nan cantik. Gadisku yang jelita. Lirih dari mulutku. Pelan-pelan kebelet keluar, senandung lagu Beautiful Girl  oleh Christian Bautista yang akhir-akhir ini di populerkan lagi oleh  Jose Mari Chan.

Beautiful girl wherever you are
I knew when I saw you you had opened the door
I knew that I"d love again after a long long while
I"d love again
You said hello and I turned to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew that I"d love again after a long long while
I"d love again

It was destiny"s game
For when love finally came on
I rushed in line only to find
That you were gone

Wherever you are I fear that I might
Have lost you forever like a song in the night
Now that I"ve loved again after a long long while
I"ve loved again

It was destiny"s game
For when love finally came on
I rushed in line only to find
That you were gone

Beautiful girl I"ll search on for you
"Till all of your loveliness in my arms come true
You"ve made me love again after a long, long while
In love again
And I"m glad that it"s you
Beautiful girl

...............

Rencana pengambilan pada hari pertama hingga hari ketiga adalah Kawasan pantai Gunung Kidul.

SUV mbak Mira melaju melalui jalan-jalan di Gunung Kidul yang berkelok dan naik turun  dengan enak.

SUV 1500 CC matik yang semula aku ragukan kemampuannya itu, ternyata dengan semburan turbonya dapat membawa kami berempat dengan lancar. Mbak Mira duduk di kursi depan di sampingku, Rasya dan Albert di kursi deretan kedua. Kursi paling belakang kami lipat sebagai bagasi tempat kami menaruh drone, case  yang berisi alat-alat seperti GPS, waterpass, theodolite, kompas survey,  pita ukur dan peta lokasi. Selainnya adalah ransel-ransel  kami yang berisi pakaian ganti, buku catatan dan laptop.

Setelah melaju kurang lebih 90 menit kami sampai kota Wonosari. Mbak Mira mengajak kami mampir ke sebuah rumah makan karena sejak pagi memang belum sarapan. Rumah Makan Bu Tiwi Tan Tlogo. Sebetulnya ada sop iga kesukaanku tetapi saat itu aku ingin conform saja dengan mbak Mira. Dia memilih Nila Goreng dan nasi putih, sedang Rasya dan Albert memesan sop daging sapi dan babad goreng kesukaannya. Walaupun Albert itu orang Jakarta tetap juga suka setengah mati dengan babad goreng yang sarat kolesterol itu.

Masih butuh satu jam lebih untuk menuju ke Pantai Timang. Dari Map dapat diketahui jaraknya dari Kota Wonosari 32 kilometer. Kami melaju ke arah pantai Baron. Mendekati pantai Timang mobil mulai terseok. Melewati jalan berbatu kapur mulai yang sebesar kepala kerbau hingga yang sebesar telor ayam, kemudian jalur cor semen. Banyak tukang ojek yang menawarkan jasa. Mobil parkir di sini, dan seterusnya diantar pakai ojek.

"Kami sudah biasa pak."kataku sombong dan diplomatis. Padahal melihat model jalan seperti ini ya baru kali ini. Tetapi hati kami sedikit terhibur dengan pemandangan alam yang menghijau dan segar.

Sesampainya di area wisata pantai Timang kami memilih tempat yang bagus untuk melakukan penerbangan. Remote drone kami butuh tempat yang lapang agar sinyal radio control tanpa gangguan.

Namun Rasya mulai merengek manja pada Albert untuk mengendalikan drone dari pulau atau bukit karang di seberang laut. Dan akhirnya mbak Mira pun tertarik ide pacar Albert tersebut. Tempat itu dapat dicapai melalui jembatan gantung yang beralas papan kayu yang ditata. Alternatif lain melalui gondola tradisional dari bambu.

Kami memutuskan untuk membawa dua drone saja. Peralatan yang lain belum diperlukan. Dua  drone dengan masing-masing dua batre cadangan.

"Ton, aku takut, " kata mbak Mira dengan memegangi tanganku.

"Apa nggak jadi saja?"kataku, meskipun dalam hati aku akan sangat kecewa bila dibatalkan. Kesempatan untuk berpegangan dengan tangan sangat lembut ini sayang kalau dilepaskan.

"Jadi..tapi aku dipegangi." Pucuk dicinta rejeki datang pikirku. Tak terasa aku senyum.

"Kenapa senyum" tanyanya."Kau nggak mau memegangi aku?"

"Eh, mau..mau" jawabku gelagepan.

Gondola yang terbuat dari kayu dan bambu itu hanya muat untuk satu orang. Kami memutuskan untuk melewati jembatan gantung saja. Namun untuk  meniti jembatan gantung ini juga membutuhkan uji nyali dan andrenalin. Jembatan yang di buat dari papan-papan kayu yang dijalin dengan tali itu, memanjang bermeter-meter. Setiap di lewati orang akan bergoyang. Karena membentang di atas ombak maka terkadang pakaian akan basah kena deburan ombak yang meninggi. Walau membutuhkan banyak andrenalin namun cukup aman karena dilindungi dengan jaring dengan tali pegangan di kiri kanan yang kuat.

Rasya dan Albert seperti anak kecil yang diberi mainan berlari kegirangan mendahului menyeberang. Namun setelah beberapa meter melangkah, Rasya memekik kecil dan bergayut ke tubuh Albert. Jembatan gantung itu bergoyang karena menahan berat mereka. Aku dengan tas drone di punggung dan Mbak Mira yang berpegangan lenganku mencoba menapaki papan kayu alas jembatan itu. Satu langkah, dua langkah kami melangkah dengan hati-hati. Papan-papan itu bergoyang setiap kaki kaki kami melangkah. Semakin jauh kami melangkah, semakin kuat goyangannya. 

Ketika deburan ombak menggapai tubuh- tubuh kami, mbak Mira semakin erat pula mencengkeram lenganku. Dan tubuhkupun semakin gemetaran. Bukan karena takut melewati jembatan goyang itu. Tetapi karena tubuh mbak Mira empuk lumer itu semakin lekat dengan tubuhku.

Tiba-tiba mbak Mira menjerit dan memelukku dengan erat. Goyangan yang semakin kuat itu membuat mbak Mira mau jatuh. Entah berapa lama kami berpelukan. Dan entah berapa lama perasaanku terbang ke langit ketujuh.

"Eh, maaf," ucapnya, "aku takut jatuh ke laut di bawah itu.

"Nggak pa pa."jawabku," Aman mbak. Kan ada jaring. Seandainya jatuh hanya jatuh ke jarring."

Kemudian kami berganti posisi. Mbak Mira berada di depanku dan aku menatihnya di belakang. Sampai akhirnya berhasil mencapai ujung jembatan di pulau karang menyusul Rasya dan Albert.

........................................

Pengambilan foto udara di atas kawasan wisata Timang berhasil dengan sukses. Segera kami berpindah ke sebelah barat di Kawasan wisata pantai Krakal.

"Kita beristirahat dulu di penginapan. Nanti sore kita lanjutkan pemotretan." Perintah mbak Mira."

Banyak keindahan alam yang tersembunyi di pantai ini. Pantainya landai dengan hamparan pasir berwarna putih. Dua batu karang sangat besar berwarna hitam yang di tumbuhi rerumputan dan pepohonan perdu yang berwarna hijau nampak kokoh sebagai pembatas pantai dari hantaman ombak laut selatan yang ganas. Warnanya sangat kontras dengan hamparan pasir putih di sekitarnya, namun menciptakan harmoni keindahan yang memukau.

Konon terjadinya pantai ini karena peristiwa negative epirogenesis. Pergerakan kerak bumi yang membuat lapisan bumi yang dulunya berada di bawah laut menyembul ke permukaan laut.

"Ton, mengapa merenung?" aku sedikit terkejut dengan tepukan tangan lembut di punggungku.

"Eh, mbak Mira."

"Sudah selesai pemotretanmu?" tanyanya, sambil duduk glengsor di sampingku. Glengsor adalah istilah bahasa Jawa yang artinya duduk tanpa alas kaki.

"Sudah,"jawabku.

"Kita tinggal membuat DTM dan DSM-nya nanti malam,"katanya.

Tugas untuk membuat Digital Elevation Model dan Digital Surface Model  ini akan menjadi bagianku dan Albert.

Kemudian mbak Mira mengajakku untuk berjalan-jalan di atas pasir pinggiran pantai itu. Sesekali bermain air laut yang menggoda kaki-kaki kami. Lalu kami duduk berdua menikmati  indahnya  sunset di pantai Timang.

.........................

Malamnya kami berempat mulai mendigitasi hasil foto udara seharian. Penerbangan drone dari pantai Timang dapat mengumpulkan data hingga pantai Seruni yang jarak lurusnya 4,3 kilo meter. Sebetulnya drone mampu terbang dengan radius 7 kilometer dari  remote control. Namun kami khawatir bila drone akan hilang kendali. Maka kami memutuskan untuk menerbangkan drone dengan radius maksimum 5 kilo meter.

Dari pantai Timang dapat menjangkau kawasan pantai Dadapan, Jungwok, Wediombo, Nampu, Nglambur, Ngondo hingga Seruni. Dari pantai Krakal bisa ambil foto udara dari pantai Pulang Syawal hingga Baron.

Mengenakan baju santai mbak Mira menempatkan Laptopnya dekat dengan laptopku. Aku sudah siap dengan ArcGIS. Sedang Rasya masih asyik menyanyi diiringi dentingan gitar dari petikan jari Albert. Dua sejoli itu nampak semakin mesra saja. Mbak Mira sempat memperhatikan mereka berdua, namun tanpa berkomentar sedikitpun, kembali sibuk dengan digitasi data.

"Aku buatkan kopi ya,"kata mbak Mira.

Setelah beberapa saat mbak Mira membawa nampan dengan dua mug kopi panas  untuk kami berdua. Aku belum pernah merasakan kopi senikmat ini. Kopi yang disedu oleh tangan tangan lembut dosenku yang jelita. Sambil menyeruput kopi, kulirik Rasya dan Albert. Mereka juga sudah asyik dengan photo mosaic hasil pemotretan tadi siang.

.........................................

Lamunanku berantakan tak keruan ketika HP ku berdering dengan keras. Albert yang menilpun.

"Ton, kau harus ke rumah sakit Sarjito," suara Albert tergopoh-gopoh," Mbak Mira kecelakaan, dan sekarang dibawa ke sana."

Tergesa kularikan motorku menuju RS Sarjito. Rasya dan Albert sudah berada di sana.

"Mbak Mira bagaimana?"tanyaku kepada mereka berdua.

"Mbak Mira baru dibawa ke ruang MRI," jawab Rasya.

Ruang MRI adalah peralatan yang mirip terowongan. Pasien berbaring di atas meja didorong masuk ke dalamnya dengan kaki terlebih dulu. Aku sudah pernah diperiksa di ruang seperti itu ketika aku masih di SMP dulu. Ngeri...

Berkali aku melihat ke jam tanganku. Rasanya lama sekali.

"Tadi mbak Mira lari pagi. Lalu ditabrak pengendara yang ngebut. "

"Di mana si penabrak itu."

" Melarikan diri."

 Aku bergumam diantara geretakan gigiku. Ingin sekali aku menghajar habis-habisan penabrak lari itu.

Sekitar satu jam kemudian pintu ruang MRI terbuka. Sebuah emergency stretcher keluar dari ruangan.

"Hai Toni," ucap mbak  Mira berbaring di atas emergency stretcher didorong oleh dua perawat.

Kami bertiga mengikuti mbak Mira didorong ke sebuah kamar di Wijaya Kusuma.

"Mana keluarga pasien?"tanya seorang dokter yang baru masuk. Aku mengajukan diriku. Dan dokter itu mengajak aku ke ruangnya.

"Anda suaminya?"tanya dokter itu setelah aku duduk di depan mejanya.

"Iya, dok,"jawabku.

 " Calon suami."aku mengoreksi jawabanku.

Suami apa? Calonpun belum, kataku dalam hati. Tapi biarlah aku berbohong yang penting mbak Mira segera tertangani dokter.

"Pasien harus di artroscopy karena didiagnose mengalami ACL." Kata dokter sambil menunjukkan hasil rongten dan MRI."Bagian tulang tidak ada yang mengalami fracture. Namun kami ingin memastikan adanya tearing atau tidak."

"ACL itu apa dok?"

"Anterior Cruciate Ligament  atau cedera ligamen pada lutut akibat mengalami benturan. Dan  harus ditangani secepatnya. Nanti akan baik-baik saja. Nggak sampai lima hari pasti dapat pulang."

Kemudian dokter itu memberi penjelasan padaku dengan istilah-istilah yang tidak begitu aku pahami.

"Jangan khawatir, kami hanya akan membuat sayatan kecil pada bagian lutut."

Setelah menanda tangani beberapa form, aku kembali ke kamar mbak Mira. Sementara Rasya dan Albert pamit pulang. "Temani mbak Mira ya, Ton. Kami akan kembali ke sini nanti malam."

 Sepeninggal mereka tinggal kami berdua di ruang itu.

"Istirahatlah mbak, besok mbak Mira akan menjalani operasi," kataku,"Jangan mikir macem-macem, aku akan menemani mbak di sini."

"Makasih ya Ton, kau sudah mau menemani aku. Aku tak punya siapa siapa di di sini."katanya.

"Aku tadi pingsan. Untung para penolong tidak menemukan nomor papaku. Mereka menilpon Rasya. Dan mereka menusulku ke sini."

"Mbak Mira tidak menilpun Papa atau Mama?"tanyaku.

"Aku tak ingin Papa dan Mamaku mengetahui aku berada di Rumah Sakit. Aku sudah baik-baik saja. Hanya bagian lututku saja yang terasa nyeri."

 

Dokter yang tadi, memasuki ruangan diikuti seorang perawat. Setelah memeriksa dengan dengan stethoscope-nya di bagian dada, lalu menggerakkan kaki mbak Mira dan memeriksa lututnya yang kelihatan membengkak. Kemudian dia menyuruh perawat yang mendampinginya untuk memberikan compress.

"Untuk compress pakai HCP-gel  saja," kata dokter kepada perawat.

"Kami akan melakukan artroscopy dengan melakukan operasi kecil pada lutut nona. Tadi kami sudah berbincang dengan calon suami nona dan sudah menyetujui. "

Mbak Mira mencubit lenganku dengan keras. Namun tidak mengatakan sesuatu. Dokter  sempat melirik dan tersenyum melihat aku kesakitan.

"Tinggal persetujuan nona sebagai pasien."lanjut dokter itu."Kami hanya akan membuat sayatan kecil untuk pada bagian lutut nona,"

Akhirnya setelah dokter itu menjelaskan tentang kondisi medis dan perlunya tindakan operasi itu, akhirnya mbak Mira setuju.

Sepeninggal dokter dan perawat itu, sebuah cubitan keras lagi mendarat di lenganku sampai aku mengaduh.

"Beraninya kamu, Ton, mengaku sebagai calon suamiku."protesnya.

"Ya maaf, maaf aku secara tak sengaja saja mengiyakan, ketika dokter itu bertanya tentangku."

"Tak sengaja, gimana?"

"Maksudku jawabanku meluncur demikian saja,"kataku.

"Kau kan dapat mengatakan, sebagai keluarga dekat, sepupu kek, atau apa kek."

"Ya, maaf." kataku.

"Aku tak kan memaafkanmu," kata mbak Mira,"kecuali...."

"Kecuali apa mbak?"

"Kecuali kau mau menemaniku nanti malam."

"OK, tak apalah untuk menebus kesalahanku,"kataku.

"Tetapi awas kau tidak boleh macam-macam."

"Ya, bu dosen."

Tak berapa lama kemudian mbak Mira memanggilku.

"Ton, aku mau pipis," katanya.

"Ya, aku ambilkan pispot," kataku sambil mencari pispot yang khusus untuk wanita.

"Hush, jangan begitu. Jorok tahu!"katanya, "Ya panggilkan perawat gitu lho. Masya kau yang akan bantu aku dengan pispot."

"Ya,yaaa....mbak." Segera ku angkat aiphone yang ada di ruangan itu dan aku meminta seorang perawat Wanita untuk membantu mbak Mira urinasi. Ketika seorang perawat masuk, aku pergi ke luar ruangan.

Selalu kupanggil perawat setiap mbak Mira membutuhkan bantuan khusus. Hanya makan saja aku boleh membantunya.

"Kau belum ngantuk, Ton."tanya mbak Mira,"bila ngantuk kau dapat tidur di sofa ruang depan itu."

Aku belum merasa mengantuk. Dan rasanya tak tega membiarkan mbak Mira sendirian di ruangan tanpa seorangpun. Aku duduk di kursi di samping tempat mbak Mira terbaring. Akhirnya mbak Mira tidur. Kupandangi wajah perempuan cantik ini beberapa lama. Walaupun dengan mata terpejam nampak sangat mempesona. Andaikata aku menjadi suaminya.....lamunanku melayang ke mana-mana.

Aku terbangun ketika tangan halus menepuk pundakku. Ternyata tak terasa aku tidur dengan menelungkup di pinggiran tempat tidur dekat sekali dengan wajahnya.

...................................................

Sejak pagi persiapan operasi dilakukan. Pakaian mbak Mira diganti dengan pakaian yang longgar milik rumah sakit. Operasi pembedahan berlangsung sekitar  dua jam. Kata dokter, mbak Mira dua hari lagi dapat pulang. Untuk sementara waktu harus menggunakan alat bantu kruk ketiak atau kursi roda dan perlu ada yang menemani.

"Ton. Bolehkah aku minta tolong kepadamu, untuk sementara waktu tinggal di rumahku?"pinta mbak Mira sepulang dari rumah sakit."Aku butuh seseorang. Walaupun di rumah ada mak Ijah."

"Kau minta honor berapa saja akan kubayar asal  dalam batas kewajaran,"

Aku tak menolak permintaannya.Jangankan hanya untuk sementara waktu, menemani selamanya pun aku tak akan keberatan, kataku dalam hati.

Bila dalam proyek, aku berstatus asisten. Di sini aku akan menjadi pembantu yang tugasnya dorong kursi roda. Tetapi untuk bidadariku yang satu ini aku tak akan pernah mengeluh. Hitung-hitung sebagai pendekatan. Walaupun untuk sementara menjadi the secret admirer atau the hidden admirer. Aku pemujamu setengah mati meski aku belum berani untuk mengatakan langsung kepadamu, kataku dalam hati.

Aku sudah akrab dengan rumah ini. Soalnya sebagai asistennya baik di proyek maupun di kampus aku sering berada di rumah ini. Bahkan mbak Mira pernah menyuruh aku pindah dari kosku yang berkamar sempit itu ke rumah ini. Rumah yang luas bangunannya lebih dari 500 meter ini hanya ditempati oleh mbak Mira dan mak Ijah. Tetapi aku menolaknya.

Di rumah itu aku menempati kamar  di lantai dua yang langsung menghadap ke rooftop. Rumah tingkat dua ini memiliki rooftop dengan view pemandangan yang indah. Bila cuaca cerah kita bisa langsung menikmati keindahan gunung Merapi. Rooftop ini juga dapat sebagai ground base untuk menerbangkan drone.

Bila mau renang di bawah ada kolam renang yang langsung dapat dilihat dari kamar utama yang sekarang di tempati mbak Mira. Kamar mbak Mira sebetulnya kamar utama di lantai dua dekat ruang kantor atau lebih tepatnya Studio GIS. Dalam studio itu ada interactive board berukuran 86 inchi dan perangkat computer denga 4 layar lebar berukuran masing-masing 29 inchi. Di ruang ini aku sering membantu mbak Mira untuk pekerjaan mapping. Namun karena cedera lututnya belum pulih benar maka untuk sementara waktu menempati kamar bawah.

Aku kini bukan lagi sebagai asisten di proyek dan di fakultas, tetapi asisten all out. Aku masuk dalam kehidupan mbak Mira. Namun menjadi semakin sulit untuk mengungkapkan yang gelora yang ada di dalam hati ini. Kapan kesempatan itu tiba. Aku tak pernah tahu.

Aku semakin dekat tetapi juga semakin kebingungan untuk mencurahkan isi hati ini kepadanya. Apa aku hanya selamanya menjadi secret admirer atau hidden admirer. Aku semakin dekat dan semakin lekat tetapi juga semakin berat untuk nembak dia. Yah, aku mungkin terlalu cengeng.

................................

Lutut mbak Mira sudah semakin membaik. Sudah tidak memerlukan kursi roda. Meskipun masih harus memakai kruk ketiak, dia sudah bisa berjalan sendiri. Aku tidak perlu mendorong-dorong lagi. Sudah tidak perlu lagi membawa kursi roda di bak belakang bila pergi ke fakultas atau ke Mall.  Walaupun begitu mbak Mira belum mengijinkan aku meninggalkan rumahnya. Alasannya aku masih memiliki tugas menjadi ajudan dan sopir pribadinya.

"Selama aku belum bisa setir sendiri kau harus tetap di sini,"katanya,"kakiku belum kuat untuk menginjak pedal rem."

Lebih dari dua minggu aku meninggalkan kamar kostku. Entah seperti apa kondisi kamar itu. Mungkin sudah menjadi sarang tikus atau penuh kecoa. Hanya laptop, beberapa lembar pakaian dan gitar kesayanganku saja yang aku bawa.

Selama tinggal di rumah ini, di saat-saat aku bebas dari tugasku sebagai girl-sitter aku suka nongkrong di rooftop dengan gitarku.

Malam itu bulan tersenyum di atas perum Tirtasani. Mungkin mentertawakan aku yang masih kelu untuk berucap cinta. Padahal semua sudah di depan mata. Mana hambatanya? Setiap saat sudah di sampingnya. Dekat dan sangat lekat. Ribuan kesempatan sebetulnya untuk mengungkapkan rasa cintaku kepadanya.

Hubunganku dengan mbak Mira masih sebatas buruh dan majikan. Asisten di proyek, asisten di fakultas, sekaligus asisten pribadi di rumah.

Kuambil gitar, lalu jemariku sudah asyik memainkan lagu-lagu cinta. Kusenandungkan lagu sangat lawas dari Crispian St. Peters yang berjudul Willingly. Meskipun lagu itu sangat lawas aku sangat suka melagukannya. Dan inilah hatiku saat ini.

Willingly, I"ll be yours
Willingly, I"ll wait for you
All my love
And all my life
I would give for you
Only you
Wish you were mine
Wish you belong to me

Here and all the time
Wanting you to care for me
Want you to know
I love you so

Oh, could it be
You too need me
We"re wasting time
Say you"ll be mine
My love

Night and day you"re there
In dreams beyond compare
Giving your love so divine
You could make these dreams come true
If you walk into
My love, my life, and say you"re mine

Willingly, I"ll be yours
Willingly, I"ll wait for you
All my love

And all my life
I would give for you
Only you
Wish you were mine
Wish you belong to me

For I"ll be yours
Yes, I"ll be yours
Willingly

........................................

Baru saja lagu selesai. Mak Ijah yang datang mendekatiku.

"Ada apa mak?"tanyaku. Yang kuharap datang sebetulnya mbak Mira, yang datang malah mak Ijah.

"Den Non ingin naik den,"jawabnya," den Non minta den untuk membantunya naik."

Ah, kan gitu yang kuharapkan. Tapi mengapa jadi gemetar ya. Apakah ini saatnya? Hatiku gemuruh Ketika aku menuruni tangga menuju kamar mbak Mira.

"Aku ingin naik. Aku ingin mendengarkan lagu-lagumu, kayaknya enak didengar. Sambil menikmati bulan penuh,"katanya.

Lalu aku papah majikan jelita ini menaiki tangga dan ku bantu duduk di sebuah kursi rotan yang ada di rooftop.

"Ayo teruskan nyanyimu. Aku ingin mendengarkan saja."

"Tidak nyanyi bareng?"tanyaku.

"Nanti bila aku sudah mood, dan dengar lagu apa dulu yang kau nyanyikan."

Kudentingkan kembali dawai gitarku. Kali ini kunyanyikan Say You Say Me dari Lionel Richie.

Say you, say me say it for always
That"s the way it should be
Say you, say me say it together
Naturally

I had a dream I had an awesome dream
People in the park playing games in the dark
And what they played was a masquerade
And from behind of walls of doubt a voice was crying out

Ketika nyanyianku sampai di sini, bibir majikan jelita itu bergerak-gerak ikut mengikuti senandungku.

Say you, say me it for always
That"s the way it should be
Say you, say me say it together
Naturally

As we go down life"s lonesome highway
Seems the hardest thing to do is to find a friend or two
That helping hand
Some one who understands
That when you feel you"ve lost your way
You"ve got some one there to say I"ll show you

Say you, say me it for always
That"s the way it should be
Say you, say me say it together
Naturally

So you think you know the answers, Oh no
Well the whole world has got you dancing
That"s right, I"m telling you
It"s time to start believing oh yes
Believing who you are
You are a shining star

Say you, say me it for always
Oh that"s the way it should be
Say you, say me say it together
Naturally
Say it together, naturally

.........................................

Bulan mulai jemu menunggui kami berdua dan tertatih menuju peristirahatannya di langit barat. Mungkin dia bosan menunggui sikapku yang ragu-ragu. Padahal sudah demikian ngebet untuk menumpahkan seluruh isi hati ke si jelita pujaan. Akhinya mbak Mira ingin dipapah menuruni tangga menuju tempat tidur.

"Terima kasih, Ton,"katanya, setelah berbaring di tempat tidur.

"Selamat malam mbak," jawabku.

Pelahan kutinggalkan mbak Mira, walau masih enggan sebetulnya hati ini untuk segera menaiki tangga menuju kamar atas. Aku ingin berlama-lama bersamanya.

Jam di dinding menunjuk pukul dua puluh tiga tiga puluh menit saat itu. Namun mataku belum mau memejam. Kurutuki sifat ragu-ragu dan pengecutku. Mengapa aku tidak berani menyatakan secara terus terang bila aku bukan hanya mengaguminya tetapi sangat menyayanginya. Yang kuinginka adalah sifat jantan dengan kata-kata eksplisit. Bukan hanya secara implisit dan bersembunyi dala lagu yang kunyanyikan. Mengapa aku tak sanggup mengungkapkan kata sepatahpun seperti dalam seminar? Mengapa seolah ada tembok keraguan, the walls of doubt yang membuat lidah ini kelu?

Akhirnya gejolak hatiku redam setelah aku terlelap.

...................................

Siang itu udara Yogya sangat panas. Mungkin terpengaruh oleh meningkatnya kegiatan vulkanik gunung Merapi. Dari rooftop rumah mbak Mira dapat dilihat dengan jelas kegiatan gunung Merapi. Di malam hari terlihat lahar panas yang meleleh menuruni lereng. Pemandangan yang menakjubkan namun mengerikan bila mengingat keganasannya.

Mbak Mira berdiri di depanku mengenakan Cardigan Cape  dengan motif floral untuk menutupi pakaian renangnya. Siang itu mbak Mira ingin renang di kolam di depan kamarnya. Dia minta aku menemaninya.

"Kau bukan orang lain lagi, Ton," katanya, "kau sudah menemaniku kemana-mana. Ayo temani aku renang."

Aku agak ragu, namun tanpa rasa kikuk sedikitpun di hadapanku, dia melepas jubah Cover Up-nya dan melemparnya ke bangku di sebelah kolam renang. Pemandangan yang menakjubkan itu membuatku berdesir kencang.  

"Ayo cepat turun,"pintanya.

Sesaat aku segan namun akhirnya aku ikut saja melepas pakaian luarku dan terjun ke dalam kolam.

Tubuh jelita yang hanya terbalut halterneck- swimsuit itu meluncur  seperti seekor katak, di kolam renang yang berukuran lebar kira-kira empat meter dan panjang dua belas meter. Pelan-pelan kuikuti mbak Mira yang sudah sampai di ujung. Memang enak berenang di kolam renang seluas ini. Di kolam  ini orang tidak hanya bisa berendam seperti kolam renang mini di perumahan, tetapi orang bisa benar-benar berenang. Asyik kami meluncur dan bermain air di kolam renang yang dipadu dengan taman yang ditata apik itu. Saking keenakan kami enggan untuk keluar dari air.

Namun tiba-tiba mbak Mira menjerit," Tolong kakiku kram!"

Aku meluncur menggapai tubuhnya, kugendong dan kududukkan dipinggiran kolam. Kupijit-pijit bagian kakinya yang  kram agar sirkulasi darah yang membawa oksigen menjadi lancar. Mula-mula memekik kesakitan ketika kupijit dengan keras. Namun setelah beberapa pijatan kejang ototnya mengendor.

"Sudah enakan?" tanyaku.

"Sudah, Terima kasih."

Mbak Mira mencoba bangkit untuk berdiri namun terduduk kembali.

"Masih sakit,"katanya," tolong papah aku ke ruang bilas."

Di sebelah kolam renang tersedia ruang bilas. Kupapah mbak Mira ke sana.

"Sudah kamu keluar dulu, masya kamu akan menungguiku di dalam."

"Sekalian ambilkan cover-up-ku ya," perintahnya lagi.

Kuambilkan cardigan-cape yang berwarna biru muda dan kubawa ke ruang bilas.

"Mak Ijah buatkan susu ya. Dua sekalian," mbak Mira memerintah melalui aiphone, setelah kupapah ke tempat tidur.

"Istirahat dulu,"kataku,"lutut mbak baru saja sembuh. Tadi terlalu lama keasyikan di kolam. Mbak Mira kelelahan."

.........................

Sore itu aku boleh kembali ke kamar kostku. Mbak Mira yang sudah membaik mengijinkan aku untuk meninggalkan rumahnya. Mbak Mira mengantarku ke kost. Ketika mau pergi dia mengulurkan sebuah amplop.

"Ini bayaranmu, selama kau membantu aku di rumahku,"katanya.

Kupandangi SUV berwarna putih itu meninggalkan rumah kostku. Bukan uang sebenarnya yang kuinginkan tetapi cintamu, kataku dalam hati. Tapi biarlah aku memang membutuhkan uang.

 

Kutata kembali kamar kostku yang awut-awutan setelah kutinggal hampir sebulan. Uang dari mbak Mira sebagai honorku selama menjadi asisten pribadinya kugunakan untuk mengecat kamar dan untuk menambah perlengkapan kamar. Sisanya aku simpan untuk persediaan sewaktu aku sedang tak ada job.

Kini di pojok kamar tertata studio kecilku. Sebuah computer desktop dengan layar tunggal 29 inchi bertengger di atas meja computer minimalis. Dari job-jobku yang kudapat sambil kuliah, aku dapat melengkapi alat-alat bantu kuliahku tanpa harus meminta lebih kepada orangtuaku di desa.

................................

Ketika aku bangun dari tidur siangku, mozaik kenangan bersama mbak Mira berbauran dalam benakku. Namun belum dapat disatukan menjadi peta yang dapat dibaca dengan jelas. Seharusnya di kolam renang itu aku dapat mengungkapkan cinta. Saat saling kejar dan bermain air.  Saat tubuh mbak Mira kugendong keluar dari kolam waktu dia kram. Atau Ketika kami duduk berdua di rooftop menikmati indahnya bulan. Momen-momen itu  adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan cinta. Namun momen-momen  itu telah terlewati tanpa satu kata cintapun yang terucap. Apa aku harus menanti mbak Mira yang mengungkapkan cinta. Ah, betapa pengecutnya aku ini.

Untuk memetakan strategi dan taktik untuk mengungkapkan rasa cinta itu masih kekurangan data. Keberanian. Yah keberanian itulah kekuranganku. Entah kenapa aku masih seperti Zainudin dihadapan Hayati dalam kisah Tenggelamnya Kapal Vanderwijk. Novel Cinta karangan Haji Abdoel Moeis yang pernah kubaca waktu SMP dan kutonton dalam film yang disutradarai Sunil Soraya pada tahun 2013. Tenggelamnya kapal Vandewijk itu terjadi di tahun 1936. Ini sudah zaman millennial bro, kataku kepada diri sendiri. Kenapa aku masih demikian sulitnya mengungkapkan cinta, seperti Zainudin yang kehilangan kata-katanya setiap memandang mata Hayati. Ah, aku tak mau kehilangan kamu, Mira Mayangsari.

"The great things are not done by impulse, but by series of small things brought together" itu mengutip kalimat Vincent van Gogh. Ya, sesuatu yang besar tidak akan muncul tiba-tiba, tetapi dari tersusun dari serangkaian hal-hal yang kecil yang terpadu dengan rapi. Seperti dalam pemetaan Geo Information System atau GIS, peta tidak terbentuk sekaligus, tetapi dibentuk dari serangkaian foto mozaik hasil pemotretan dari drone. Untuk hal besar yang namanya cinta ini aku harus bersabar agar dapat terpetakan dengan jelas.

Sebuah pesan Whatsapp masuk,"Hai, Ton. Kita dapat proyek baru. Kutunggu kau di rumahku nanti pukul tujuh untuk membahas persiapan."

"Siyaaaaap,"kutulis jawabannya.

Bagiku yang penting bukan honor proyek itu. Kebersamaan dengan dosenku yang manis itulah yang jauh lebih berarti dari segalanya.

Ketika aku sampai di rumah mbak Mira aku langsung disambut oleh mak Ijah.

" Den Non sudah menunggu den diatas,"kata mak Ijah.

Aku langsung menuju studio di lantai atas. Mbak Mira sudah berada di depan komputernya.

"Lama sekali kau sih, Ton,"katanya padahal baru terlambat sepuluh menit.

"Ini ada proyek pendampingan penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Covid-19,"katanya,"tapi di luar Jawa."

"Kita harus mempersiapkan materi untuk Pelatihan dan pendampingan  Jitupasna."

"Jitupasna itu apa mbak?" tanyaku.

"Masa kau nggak tahu? Pengkajian Kebutuhan Paska Bencana, gitu lho."

Malam itu kami membuat leaflet yang nanti akan diberikan pada calon enumerator. Saking asyiknya bekerja di depan computer, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Sementara sisa kopi di mug kami sudah menjadi dingin.

"Kamu tidur di sini saja,"katanya.

"Di kamar ini mbak?"

"Jangan, kamar ini sudah kutempati kembali. Kau di kamar bawah,"katanya.

Aku menuju kamar di lantai bawah yang berhadapan dengan kolam. Sebuah mozaik lagi untuk menyusun peta cintaku. Namun kapan kesempatan itu datang. Kesempatan untuk mengungkapkan cinta.  Mbak Mira terlalu professional!

......................................

Penerbangan dari Yogyakarta International Airport menuju bandara Tjilik Riwut dengan sekali transit di Jakarta memakan waktu tiga jam empat puluh menit. Dengan taksi kami menuju yang telah dipesan oleh mbak Mira.

Hotel Neo Palma. Hotel itu terletak di jalan Tjilik Riwut dekat sekali dengan Bundaran Besar kota  Palangkaraya dan dekat  juga dengan Rumah Gubernur. Hotel ini langsung berhubungan dengan Mall disampingnya.

Kami segera check in.

"Eh, kita sekamar mbak?"tanyaku, setelah kuketahui Mbak Mira memesan suite-room dengan twinbed.

"Memangnya kenapa? Walaupun sekamar kita tidak satu tempat tidur."katanya," Aku pesan Twin bed bukan double bed. Kamar ini longgar dan enak untuk kerja."

Aku tahu Twinbed adalah dua tempat tidur ukuran satu orang,bila  double bed satu tempat tidur untuk dua orang.

"Yang penting kau jangan macam-macam."tambahnya.

Kami menuju ke kamar mengikuti bell-boy yang membawa barang-barang kami.

Kamar ini luasnya sekitar 40 meter pesegi. Ada dua tempat tidur, dengan ruangan ekstra yang dilengkapi sofa dan meja untuk bekerja. Dari jendela kamar hotel yang lebar itu kami dapat menikmati view kota Palangkaraya.

Aku masih bermalas-malas di tempat tidur sambil menikmati  siaran pertandingan sepak bola dari smart led TV 42 inchi di kamar itu. Mbak Mira sudah berada di depan laptopnya. Dia memang seorang workaholic. Bila sudah bekerja seperti tidak ada lagi hal lain yang penting. Dengan S1 Geografi Universitas Gadjah Mada Cumlaude ditambah gelar master of science penginderaan jauh dan geospasial Boston University membuat ia semakin sibuk dengan karirnya.

Aku bangkit  dan menuju tempat mbak Mira bekerja. Laptopku sudah kusiapkan di atas meja. Meja yang cukup luas untuk dua orang  bekerja. Kemudian kami menyiapkan materi pelatihan yang akan dipresentasikan besuk pagi hingga pukul sebelas malam.

Mbak Mira berganti pakaiannya dengan gaun malam Sweet Dream Lavender Tuck dari katun tipis. Lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur di samping tempat tidurku.

"Kau nggak ganti dengan piyama?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Aku tidak biasa tidur denga piyama,"kataku.

Aku tak terbiasa mengenakan piyama atau jubah tidur dan sebagainya. Paling aku hanya mengenakan celana pendek yang longgar tanpa celana dalam. Tapi kali ini aku tidak melepas celana dalamku. Aku malu bila mbak Mira mengetahui kebiasaan bagian tubuhku ketika aku tidur.

"Good night."katanya.

"Good night," jawabku.

..........................................

Mengenakan  G-string dan bralette backless mbak Mira mendekatiku. Perpaduan antara keindahan dan erotisme  itu membuat seluruh urat nadiku berdesir kencang.

"Ton, apa kau belum pernah melakukannya?" tanya mbak Mira lirih.

"Belum pernah. Belum pernah mbak," jawabku terbata. Tubuhku semakin gemetar ketika tubuh lembut lumer itu menindihku.

"Ayolah Ton, tunggu apalagi. Lakukanlah."

Aku tak sanggup menolak. Seperti bendungan itu tak mampu lagi menahan banjir bah, aku tak sanggup lagi bertahan. Setiap bibir erotis itu memagut bibirku. Bibirkupun membalas dengan penuh hasrat.

Ketika G-string dan bralette mbak Mira terlempar ke bawah tempat tidur. Kami sudah semakin tenggelam. Deru napas kami semakin memburu. Hanya desahan dan rintihan kenikmatan yang terdengar di kamar itu.

"Arrrgggh"

"Argh, Tony,"

"Mira, I love you..."

"I love you too..."

Aku terjaga, ketika terasa cairan hangat meleleh membasahi celanaku. Kulirik mbak Mira masih terlelap tidur dengan Sweet Dream Lavender Tuck-nya. Aku segera berlari ke kamar mandi. Malu bila mbak Mira sampai melihatnya.

Kamar mandi di suite itu dilengkapi dengan bathub.Namun aku menggunakan shower. Aku tidak ingin berlama-lama  di kamar mandi.

"Sudah mandi, Ton?"

"Iya mbak. Supaya nanti tidak tergesa-gesa," jawabku.

Mbak Mira menyibak selimut dan dengan jubah tidurnya pergi ke kamar mandi.

..................................

Hari itu kami akan melakukan pelatihan dan pendampingan di Kabupaten Katingan. Kabupaten Katingan berjarak kira-kira dari Palangkaraya. Kami berangkat bersama para pejabat dari kantor Gubernur.

Pagi itu mbak Mira mengenakan gaun kerja formal berwarna biru tua dengan baju model kerah v-style. 

Dalam balutan busana eksekutif yang anggun itu mbak Mira siap sebagai pemateri utama dalam pelatihan itu.

Aku berangkat lebih dulu ke Katingan untuk mempersiapkan dan mengecek segala keperluan seperti interactive white board, jaringan hub,  sound system dan perlengkapan lainnya. Mbak Mira berangkat bersama para pejabat.

Perjalanan bersama pak Karel sangat menyenangkan. Sepanjang perjalanan terlihat lahan kelapa sawit yang subur menghijau. Perjalanan yang menyenangkan.

Namun tiba-tiba dua truk kelapa sawit menyalib dari belakang dan kurasa suatu benturan keras yang membuat mobil yang kutumpangi terguling. Dan semuanya menjadi gelap.

.............................

Beribu bintang berputaran di depanku. Pandanganku kabur dan sangat kabur. Lamat-lamat aku mendengar seseorang menangis, lalu memanggil namaku. Suara itu semakin jelas dan semakin jelas. Aku mengenali suara itu diantara isak tangisnya.

"Toni, bangunlah. Toni. Aku menyayangi kamu. Oh Toni."

Bayangan itu membentuk titik dan garis pudar. Secara pelahan membentuk wajah seseorang. Ketika menjadi semakin jelas. Nampak olehku wajah yang sangat kukenali mbak Mira.

"Toni. Kau sudah sadar. Terima kasih Tuhan. Ya Allah."Mbak Mira memelukku sambil  menangis.

Seluruh badanku terasa sakit. Kaki dan tanganku juga terasa berat untuk digerakkan.

Kulihat di atasku terbaring tergantung botol infus yang disalurkan dengan selang plastic ke tanganku. Pada hidungku terpasang selang oksigen.Pada beberapa tempat di dadaku  terpasang beberapa kabel yang dihubungkan ke sebuah electrocardiograph. Lalu aku mulai menyadari bahwa aku berada di rumah sakit. Tetapi mengapa aku bisa di rumah sakit.

"Mbak, kenapa aku berada di rumah sakit?"

"Tenanglah,Toni. Kau harus istirahat."

"Kenapa, mbak?"

"Kau mengalami kecelakaan."

Mozaik ingatanku mulai terangkai kembali. Saat itu kami menuju Kabupaten Katingan dengan sebuah mobil mendahului rombongan mbak Mira dan para pejabat. Di tengah perjalanan dua buah truk mendahului kami.Tiba-tiba terjadi benturan keras,Lalu tahu-tahu sudah di rumah sakit ini. Di ruang Instalasi Gawat darurat.

"Kamu mengalami koma, alhamdulillah kau sudah sadar."

"Alhamdulillah,"bisikku.

Kemudian seorang dokter Wanita yang berperawakan kecil, imut seperti anak SMA, masuk diiringi dua orang perawat.

"Abang, harus banyak istirahat dulu ya."katanya sambil memeriksaku,"Jangan banyak bergerak agar lekas sembuh. Untuk sementara waktu di sini dulu. Nanti kalau sudah agak membaik abang akan kami pindahkan ruang rawat inap."

"Kita semua bersyukur, bahwa suami ibu telah sadar."kata dokter itu kepada mbak Mira.

"Ya, alhamdulillah dok."

"Jaga, supaya banyak istirahat."

Sehari setelah aku sadar, aku dipindahkan ke Paviliun Mahoni. Paviliun rumah sakit Permata Hati itu mirip suite-room di hotel. Ada tempat tidur untuk keluarga dan semacam ruang tamu lengkap dengan sofanya.

"Kau baik sekali, mbak Mira,"kataku.

"Ya, ini semua tanggung jawabku. Bukankah kau asistenku?"

"Ya, tetapi kau memang sangat baik padaku,"kataku lagi.

"Kau juga sangat baik padaku Ketika aku sakit. Jadi kita Impas."

"Belum,"kataku.

"Apanya yang belum?"

"Dulu aku hanya mengaku sebagai calon suami. Sekarang mbak Mira mengaku sebagai isteriku."

"Terus apa bedanya. Kan hanya semua urusannya lancar?

"Ya. Tetapi ada lagi yang belum impas. Dulu aku membayar beaya rumah sakit dengan kartu kredit mbak Mira. Sekarang?"

"Aku akan menanggungnya semua, Ton. Jangan khawatir. Kau asistenku. Dan ini kecelakaan dalam kerja."jawabnya meyakinkanku.

"Terima kasih mbak,"aku berhenti sejenak. Kemudian kataku melanjutkan,"tetapi masih ada sesuatu yang lain."

"maksudmu tentang honor?

"Bukan."

"Terus apa lagi?"

"Ketika aku mulai sadar, lamat-lamat aku mendengar mbak Mira mengatakan, aku menyayangimu."

Sesaat pipi manis itu merona dan nampak tersipu, "ah, karena saat itu dalam kedaan panik dan bingung Ketika kau koma."

"Itu yang belum impas."kataku. Aku menghela napas dan melanjutkan,"Aku belum mengatakan sayang kepada mbak Mira."

"Terus aku, kau anggap lancang begitu,"kata mbak Mira,"ya, aku minta maaf untuk hal ini."

"Bukan begitu maksudku. Aku juga harus mengucapkan sayang pula."

"Jadi kau juga ingin mengucapkan sayang? Kau benar-benar sayang aku?"

"Betul mbak. Aku sayang mbak Mira."

"Ok. Sebenarnya aku sayang kau juga. Tapi ...."mbak Mira berhenti.

"Tapi apa mbak?"

"Ada syaratnya."

"Apa syaratnya?"tanyaku.

"Pertama syaratnya kau tak bolh memanggilku mbak lagi"

"ya mbak, eh Mira."

"Yang kedua akan kutunggu saat kau mengucapkan sayang itu. Dan aku akan memutuskan bahwa kau lulus atau tidak."

"Kok kayak Skripsi sih mbak?"

"Mbak lagi, mbak lagi. M  I   R A, ayo katakana."

" M I R A."

"Nah, gitu."

"Nah, aku tunggu itu."

Melihat senyum manjanya. Kucium pipinya berkali-kali. Dan untuk beberapa saat kami berpelukan dan berpagut ciuman.

"I love you, Mira."

"I love you too, Toni."

.................................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun