"Terima kasih, Ton,"katanya, setelah berbaring di tempat tidur.
"Selamat malam mbak," jawabku.
Pelahan kutinggalkan mbak Mira, walau masih enggan sebetulnya hati ini untuk segera menaiki tangga menuju kamar atas. Aku ingin berlama-lama bersamanya.
Jam di dinding menunjuk pukul dua puluh tiga tiga puluh menit saat itu. Namun mataku belum mau memejam. Kurutuki sifat ragu-ragu dan pengecutku. Mengapa aku tidak berani menyatakan secara terus terang bila aku bukan hanya mengaguminya tetapi sangat menyayanginya. Yang kuinginka adalah sifat jantan dengan kata-kata eksplisit. Bukan hanya secara implisit dan bersembunyi dala lagu yang kunyanyikan. Mengapa aku tak sanggup mengungkapkan kata sepatahpun seperti dalam seminar? Mengapa seolah ada tembok keraguan, the walls of doubt yang membuat lidah ini kelu?
Akhirnya gejolak hatiku redam setelah aku terlelap.
...................................
Siang itu udara Yogya sangat panas. Mungkin terpengaruh oleh meningkatnya kegiatan vulkanik gunung Merapi. Dari rooftop rumah mbak Mira dapat dilihat dengan jelas kegiatan gunung Merapi. Di malam hari terlihat lahar panas yang meleleh menuruni lereng. Pemandangan yang menakjubkan namun mengerikan bila mengingat keganasannya.
Mbak Mira berdiri di depanku mengenakan Cardigan Cape  dengan motif floral untuk menutupi pakaian renangnya. Siang itu mbak Mira ingin renang di kolam di depan kamarnya. Dia minta aku menemaninya.
"Kau bukan orang lain lagi, Ton," katanya, "kau sudah menemaniku kemana-mana. Ayo temani aku renang."
Aku agak ragu, namun tanpa rasa kikuk sedikitpun di hadapanku, dia melepas jubah Cover Up-nya dan melemparnya ke bangku di sebelah kolam renang. Pemandangan yang menakjubkan itu membuatku berdesir kencang. Â
"Ayo cepat turun,"pintanya.