Ketika aku bangun dari tidur siangku, mozaik kenangan bersama mbak Mira berbauran dalam benakku. Namun belum dapat disatukan menjadi peta yang dapat dibaca dengan jelas. Seharusnya di kolam renang itu aku dapat mengungkapkan cinta. Saat saling kejar dan bermain air.  Saat tubuh mbak Mira kugendong keluar dari kolam waktu dia kram. Atau Ketika kami duduk berdua di rooftop menikmati indahnya bulan. Momen-momen itu  adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan cinta. Namun momen-momen  itu telah terlewati tanpa satu kata cintapun yang terucap. Apa aku harus menanti mbak Mira yang mengungkapkan cinta. Ah, betapa pengecutnya aku ini.
Untuk memetakan strategi dan taktik untuk mengungkapkan rasa cinta itu masih kekurangan data. Keberanian. Yah keberanian itulah kekuranganku. Entah kenapa aku masih seperti Zainudin dihadapan Hayati dalam kisah Tenggelamnya Kapal Vanderwijk. Novel Cinta karangan Haji Abdoel Moeis yang pernah kubaca waktu SMP dan kutonton dalam film yang disutradarai Sunil Soraya pada tahun 2013. Tenggelamnya kapal Vandewijk itu terjadi di tahun 1936. Ini sudah zaman millennial bro, kataku kepada diri sendiri. Kenapa aku masih demikian sulitnya mengungkapkan cinta, seperti Zainudin yang kehilangan kata-katanya setiap memandang mata Hayati. Ah, aku tak mau kehilangan kamu, Mira Mayangsari.
"The great things are not done by impulse, but by series of small things brought together" itu mengutip kalimat Vincent van Gogh. Ya, sesuatu yang besar tidak akan muncul tiba-tiba, tetapi dari tersusun dari serangkaian hal-hal yang kecil yang terpadu dengan rapi. Seperti dalam pemetaan Geo Information System atau GIS, peta tidak terbentuk sekaligus, tetapi dibentuk dari serangkaian foto mozaik hasil pemotretan dari drone. Untuk hal besar yang namanya cinta ini aku harus bersabar agar dapat terpetakan dengan jelas.
Sebuah pesan Whatsapp masuk,"Hai, Ton. Kita dapat proyek baru. Kutunggu kau di rumahku nanti pukul tujuh untuk membahas persiapan."
"Siyaaaaap,"kutulis jawabannya.
Bagiku yang penting bukan honor proyek itu. Kebersamaan dengan dosenku yang manis itulah yang jauh lebih berarti dari segalanya.
Ketika aku sampai di rumah mbak Mira aku langsung disambut oleh mak Ijah.
" Den Non sudah menunggu den diatas,"kata mak Ijah.
Aku langsung menuju studio di lantai atas. Mbak Mira sudah berada di depan komputernya.
"Lama sekali kau sih, Ton,"katanya padahal baru terlambat sepuluh menit.
"Ini ada proyek pendampingan penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Covid-19,"katanya,"tapi di luar Jawa."