1
Cinta pertama
Kadang-kadang aku merasa seperti anak tunggal. Jarak usia antara aku dan kakakku yang membuatku sesekali merasa begitu. Umur mas Yusa sudah tujuh tahun saat yang mulia mama melahirkanku. Selisih usia kami cukup jauh, dan itu membuat mas Yusa dan aku tak pernah bertengkar seperti yang sering kulihat terjadi antara teman-temanku dan saudara-saudara mereka. Kakakku sangat menyayangiku mas Yusa dengan bonus rasa hormat, plus- mungkin agak berlebihan.
Yang jadi masalah, walau kami selalu bersekolah di sekolah yang sama, aku tak pernah benar-benar jadi adik kelas mas Yusa. Waktu aku masuk TK, mas Yusa sudah SD. Waktu aku masuk SD, mas Yusa sudah SMP. Waktu aku masuk SMP, mas Yusa sudah kuliah dan pindah ke Jogja.. membuatku melewati masa remaja dengan perasaan sedikit merana, sebab-seperti kubilang tadi-aku jadi merasa seperti anak tunggal.
Sudah agak lama mas Yusa memutuskan mau kuliah di Jogja, kota kelahiran mama. Selain memang sudah dari dulu bercita-cita kuliah di Universitas Sleman, mas Yusa juga mengaku ingin lebih mengenal kebudayaan keluarga besar kami. Walau tinggal di Palembang, kami berdua sama-sama kelahiran Jogja. Mama asli orang Jogja, sementara papa berasal dari Banyuawangi. Kedua orang tua papa sudah wafat sebelum aku lahir, ayah mama juga sudah wafat, tapi ibunya yang biasa aku panggil ninik (bahasa kejawen) masih sehat dan tinggal di Jogja, mengelola pondokan mahasiswa.
Ninik jadi alasan tambahan mengapa mas Yusa ingin kuliah di Jogja. Mas Yusa ingin menjaga beliau atas saran sepupu kami yang semula tinggal di rumah Ninik dan kuliah di Jogja juga, tapi sudah lulus dan kini bekerja di Bengkulu. Sepupu kami itu-namanya mas Bram, Bram-bilang, Ninik memang sehat-sehat saja, tapi alangkah baiknya kalau wanita seusia beliau tak tinggal sendirian tanpa saudara. Saat ini tak satu pun dari putra-putri Ninik yang tinggal di Jogja. Mereka-termasuk mama-pernah meminta Ninik pindah saja dan tinggal bersama salah satu putra-putrinya, tapi Ninik menolak meninggalkan rumah tempat beliau tumbuh dan kemudia juga membesarkan anak-anaknya.
Waktu pertama mendengar mas Yusa mau kuliah di Jogja, aku yang biasanya jinak dan manis memutuskan menangis sekeras-kerasnya. Bagiku, Jogja dan Pulau Jawa rasanya jauh sekali dari Palembang. Aku tak bisa membayangkan akan sanggup berpisah dari kakakku sejauh itu.
“Ayolah, Alita… kita kan bisa ketemu kalau kamu ke Jogja menengok Ninik!” bujuk mas Yusa. “jangan menangis terus gini dong.. aku janji nanti bakal sering-sering pulang!”
“Tapi, tetep mas nggak bisa pulang tiap hari, kan?” sahutku, merajuk.
“Ya nggak mungkin tiap hari dong…” kata mas Yusa sabar. “kalau telepon tiap hari mungkin masih bisa, tapi pulang kesininya insyaAllah dua bulan sekali deh. Ya?”
Tangisku meledak lagi mendengar kata-kata mas Yusa. “Dua bulan kan lamaaaaaa!”