Suara mas Yusa yang terbata-bata saat mengabarkan berita duka itu sesaat lalu membuatku makin menyesal tak berada di dekat kakakku…. Saat kurasa ia sedang sangat membutuhkan dukungan. Dan memikirkan seperti apa perasaan kakakku sepeninggalan mbak Ava membuat air mataku tak bisa berhenti mengalir.
Abel berusaha menenangkanku dengan mengingatkanku bahwa Ninik sedang sakut. Sambil menangis, mama menelponku setelah mas Yusa menelpon, mewanti-wantiku agar tidak mengabarkan berita duka ini pada Ninik. Ninik sayang sekali pada mbak Ava, dan mama khawatir Ninik akan terlalu terkejut kalau dikabari bahwa mbak Ava kini sudah tiada.
HP-Ku bordering lagi.
Abel yang mengangkatnya, sebab aku sedang malas bicara dengan siapa pun. Satu-satunya yang ingin kulakukan sekarang hanya menangis. Menangis sampai air mataku habis. Menangis agar kesedihan yang menyesakkan ini mengalir keluar dari dadaku….
“mas Erwin,” berbisik Abel sambil mengulukan HP padaku. “kamu mau bicara sama dia, nggak?”
Aku mengangguk.
“mas Er-win……ini….. a-a-ku…” kataku. Suaraku keluar dengan susah payah.
“Alit? Aku baru dikabari Yusa…”
“Aku juga, mas” sahutku terisak-isak.
“aku ikut berdukacita, Lit. Ava sudah kayak saudara buat aku…” kata mas Erwin. Mendengar suaranya yang kedengaran aneh, aku tak akan heran kalau ia ternyata sedang menangis juga sepertiku. “kapan kamu mau kesana? Kamu mau ke Banyumas atau langsung ke Wonosobo? Yusa nyuruh kita gimana? Tadia dia nggak jelas ngomongnya dan aku nggak berani Tanya-tanya….”
“aku…. aku nggak tahu, mas…. Aku nunggu mama dan papa. Mama dan papa mau ke mbak Ava juga…. Papa guguh kan nganter mas Yus…. Bawa mobil Ninik…. Sekarang di rumah nggak ada mobil kecuali punya anak kos….”