Udara terasa dingin menusuk tulang, padahal ini belum lagi tengah hari. Aku menggigil sedikit dan mas Erwin mengangkat alisnya. “tunggu di sisni sebentar.” Katanya, lalu meninggalkanku, pergi menuju tempat mobil kakakku diparkir. Sejurus kemudian lelaki itu kembali, kali ini sudah memakai jaket jinsnya dan. Oh, jaket kulit cokelatku tersandang di bahunya!”
Bagi orang lain mungkin ini pemandangan biasa, tapi tidak bagiku. Tak banyak orang yang bersikap semanis itu padaku selain mas Yusa dan papa. Jangan heran kalau demamku langsung kambuh melihat adegan itu. Dutambah lagi, aku mendadak sangaaaaat cemburu pada jaketku.
“pakai nih, biar nggak pilek,” kata mas Erwin sambil mengulurkan jaketku.
Tahu nggak, mas….. kurasa aku nggak akan pernah mencuci jaket yang pernah nempel di bahumu……
“terimakasih. Sebenarnya kan aku bisa ambil sendiri, mas….”
“sekalian ngambil jaketku juga kok.” Sahut mas Erwin sambil duduk menyebelahiku.
“terimakasih.”
Kami berdiaman agak lama, manikmati pemandangan di depan kami. Aku sudah berhenti menggigil, tapi hidungku masih terasa dingin. Lucunya, hatiku terasa hangat. Berada begini dekat dengan lelaki yang diam-diam kukasihi adalah mimpi yang jadi nyata. Mesti dinikmati setiap detiknya, sebab aku tahu kemungkinan peristiwa ini berulang tak terlalu besar,….
“tumben kamu anteng, lit……” mas Erwin akhirnya mulai bicara.
“terpukau kali, mas. Pemandangannya baguuus banget….”
“hmmmm…… menurutmu bagus?” Tanya mas Erwin lagi. “bagus banyak lading sayurnya.”