Mohon tunggu...
SofialWidad
SofialWidad Mohon Tunggu... Penulis - Latahzan innalloha ma'ana

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin Instagram : _sofialwidad

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Titik Rata-Rata

29 Maret 2021   12:13 Diperbarui: 30 Maret 2021   08:38 2102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena diplanet ini penuh dengan kesakitan, kebencian dan ambisi, aku ingi tetap yaitu di planet masa kanak-kanak aku akan rindu ramadhan yang slalu riuh dengan sirat semangat berburu kajian pagi dan sore, menyiapkan buka, saling berbagi makanan buka puasa, berebut mendapatkan shaf sholat terbaik, bersahutan melantunkan muraja’ah hafalan Al-Qur’an. Menyenggol mata-mata yang mengantuk saat tarawih dan kajian malam . sungguh aku ingin memutar waktu untuk kembali dan menetap selamanya di masa indah itu, tapi waktulah yang mengharuskanku agar tetap tinggal dimasa ini yang sesuai proporsi seorang manusia.

……………………………………••••••••••………………………………

Sholat ied sudah selesai tinggal nuansa harinya yang tersisa takbir masih di kimandangkan aku menangis tersendu di dalam kamar. “kenapa kamu ka.?” Tanya ayah dengan memelankan suara. “ayah besok kita akan kembali ke Jogja, apakah tak bisa kita tinggal lebih lama disini.?” Rajukku sambil memeluk ayah dengan meminta izin agar acara pulangnya ditunda..”hemh, kalau itu yang membuatmu bahagia dan tersenyum, baiklah kita kembali sesudahnya hari raya ketupat seminggu lagi.” “beneran yah .?” “iyya.” Langsung kupeluk ayah dengan erat aku sangat bahagia hari ini.. akan kubuat satu minggu penuh kesan denga sahabatku Syafira.

Waktu sholat asar tiba aku bergegas mengambil wudhuk untuk sholat setelah selesai sholat aku meranjak sendiri dalam keterpakuanku masih menggunakan mukenah. Astaghfirullah..!! rasanya ingin berlari, bukan untuk menginjak setimbun daun kering lagi atau air yang menggenang di jalan, tapi akan selalu menginjak sejadahku, bersujut dan mengadukan air mata penyesalanku, aku memohon satu tahun lagi umurku. Berikanlah hamba kesempatan untuk menebus dosa yang telah bertumpukan, mungkin, dunia ini adalah mimpi yang berlalu yang diyakini abadi oleh orang yang terlelap tidur mungkin mereka tak tau apa yang akan terjadi. Mungkin saja mereka tak tau apa yang akan terjadi mungkin setelah fajar menyapa, kematian membebaskan dari fantasinya mimpi

Dan malamnyapun aku berkumpul dengan keluarga dengan menikmati cemilan idul fitri yang tak lam telah pergi, senang memang menikmati kesempatan langka bertukar kabar dan cerita bersama sanak keluarga yang ikut hadir di tengah bahagianya suasana dengan ditemani ice cream cheese cake. Apa yang menyelinap diam-diam di tengah obrolan hati-hati ada sombong, dan ada pula dengki, keinginan untuk terlihat lebih hadir di satu pihak berakibat pula pada munculnya rasa minder di sisi lain, saya baru menyadari hal itu belakangan dan kembali merasa malu. Setelah di tempa ramadhan, justru diri ini masih juga tidak dapat menghadiri penyakit hati.

Ah tampaknya tantangan jadi lebih besar setelah ramadhan usai, banyak cobaan yang datang dan nafsu yang merajai seakan menghantam bertubi-tubi kedalamkeseharian yang kujalani. Malam yang panjang ini adalah malam awal kembalinya dunia para muslim ke aktifitas normal aku teringat dari kata Al-Hikam, Ibnu atha’ illah As- Sakandari “amal perbuatan adalah bagaikan gambar yang mati dan ruhnya ialah adanya rasa keikhlasan di dalamnya.” (if one star falls every time we make mistake, I bet the sky is dark already now, so let’s lighten it up again by forgiving each other.) semoga.!!

Untuk setiap kesungguhan kita menyapa ramadhan “taqabbalallahu minna wa minkum, shiyaa- manaa wa shiyaa-makum (semoga selalu ada ruang maaf dalam silaturahmi kita).” Setelah bercengkrama dengan keluarga aku bergegas meninggalkan ruang kelurga dan pergi kekamarku dengan di temani perasaan lelah dan bahagia karena bisa berkumpul dengan keluarga huft. serasa melepas beban berjuta ton pikulan di pundak setelah ku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidurku dan akhirnya terlelap nyenyak dengan ditemani music syahdu alami yang di sediakan Allah yaitu bunyi jangkrik dari luar jendela namanya di desa semuanya masih alami tidak seperti di kota sebelum tidur masih internetan dan banyak lagi.

……………………………………………….••••••••••……………………………………………

Paginya jam alarm berbunyi keras menunjukkan jam 03.30 waktunya mandi dan sholat subuh, berat sekali rasanya bangun dari tempat tidur serasa bantal yang aku tiduri  menghipnotisku untuk kembali padanya dan terlelap tidur, tapi “Bismillah, aku sholat.” Bisikku setelah mandi dan sholat aku kedapur ternyata ibuk sudah masak opor ayam , tempe penyet dan banyak lagi wah serasa air liurku berjatuhan ngeces hehe setelah makan pagi aku mendapat pesan dari Syafira.

Sebelum berangkat tak lupa aku berpamitan ke ibuk dan ayah “buk, aku pamit mau pergi bareng Syafira ke pasar tradisional, udah janji nih mau bawak oleh-oleh ke Jogja nanti senin setelah pulang yaaa.?” Aku setengah berteriak dari dalam kamar dan keluar dari kamar dengan berpakaian rapid an tak lupa jilbab yang senada dengan warna bajuku cokelat penampilan yang simple tapi rapi “iya tapi kesananya pakek apa ka.?” Tanya ibu “pake sepeda pencal peninggalan kakek, hehe.!!” “emang kamu bisa memakainya ta ka.?” Ibuk mulai cemas dan khawatir .

Akupun berlari meninggalkan dapur dan menuju ke tempat penyimpanan sepeda tua belakang rumah ternyata sepeda kakek masih bagus, aku mengeluarkannya dari tempat itu dan sedikit membersihkan debu yang menempel di sepeda kakekku itu sesudah itu akupun mengayuh dengan susah payah dan nafas yang sedikit ngos-ngosan. Selang beberapa menit akhirnya tibalah didepan rumah Syafira “neng Syafira ayo…k.!!” teriakku dari luar halaman rumah Syafira “hemmh tak kira tukang sayur.!!” Syafira terkekeh geli melihatku memakai sepeda peninggalan zaman penjajah ini “ayolah cepat jangan banyak komen deh.!” “iya-iya ayok.” Syafira pun membonceng dibelakangku. Kita harus mengayuh sepeda kadang mendaki, kadang menurun, ketika mendaki kaki sudah tak cukup mengayuh dengan duduk nyantai di sadel “ditambah beratnya Syafira yang berpuluh-puluh ton ini haha.” “ih,Azka” dan harus mengeluarkan urat-urat syaraf melawan tanjakan, terengah, tersengal tapi harus tetap dikayuh. Jika bertemu turun rasanya seperti naik roller-coaster. Wuuuuiiiiih…… setengah berteriak kesenangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun