" Di mana rumahmu?"
"Di kampung khaif"
"Dari kabilah mana?"
"Dari Bani abdi manaf"
" Wah, hebat kamu, Allah telah memuliakanmu di dunia dan diakhirat. Mengapa kehebatan pemahaman dan hafalanmu tidak engkau arahkan ke fikih agar engkau menjadi lebih baik?"
Dari dialog inilah yang membuatnya memperdalam fiqih, walaupun perhatian kepada syair, belajar sastra dari kampung pedalaman (Badui) tidak diabaikan. Faqih pertama yang dia temui adalah muslim bin Kholid. Selain itu, dia dia juga menghadiri halaqoh pembelajaran Sufyan bin Unaiyah. Dia menulis banyak penjelasan dari alim terakhir ini dalam pelajaran yang beliau sampaikan di hadapan masyarakat umum.
Maka, tak begitu lama, dengan kecerdasannya, dia telah menjadi seorang ahli dalam bidang tafsir serta menguasai ilmu bahasa Arab, padahal saat itu dia masih muda sekali. Bahkan, Sufyan bin Unaiyah, muhadist masjidil haram jika mendapatkan pertanyaan rumit dalam bidang tafsir dan fatwa fiqih, dia menoleh ke arah Syafi'i sambil berkata "coba tanyakan pada anak itu".
Sementara syekh muslim bin Kholid, syekh masjidil haram, yang menjadi guru pertamanya itu, telah mengizinkannya untuk mengeluarkan fatwa pada saat masih berusia 15 tahun. Dia berkata "Berfatwalah kamu hai Abdullah! Demi Allah, engkau sudah layak berfatwa".
Syafi'i juga sudah meriwayatkan hadits ketika masih tinggal di Mekkah, yaitu dari said bin Salim al-qaddah, Daud bin Abdurrahman al-aththar, Abdul Majid Ibnu abdil Aziz bin Abi rawwad al-azdi, semuanya merupakan ulama besar. Dengan demikian, dia telah mempelajari hadits Mekah, telah menghafal fiqih Mekah. Namun demikian, dia tidak berhenti untuk mendalami bahasa Arab di Mekah dan di daerah pedalaman Baduy dan sekitarnya. Pada saat itu, Dia berumur 20 tahun. Maka, benarlah perkataan dari Bisyr Al-marisi, "Aku melihat seorang pemuda di Mekkah jika dia terus hidup, maka dia akan menjadi tokoh yang terkenal sedunia ".
BAB III
PENUTUP