Mohon tunggu...
yuliana pertiwi
yuliana pertiwi Mohon Tunggu... -

Seorang Pemimpi Yang sedang Berjuang, dan mudah-mudahan idak akan pernah lekang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terlintas Satu Kata

5 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 5 Oktober 2015   10:03 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Darah berceceran membasahi lantai. Warnanya yang pekat mengingatkanku pada pejagalan binatang yang kulihat di TV pekan lalu. Namun ini bukan darah binatang yang kulihat di TV itu. Aku hanya bisa mematung menatap seorang pria lengkap dengan stelan baju kerjanya terkapar dilantai tersebut. Bersimbah darah. Tak bernyawa. Wajah yang selalu dihiasi oleh kewibawaan, kini hanya menyiratkan kehampaan. Tatapan yang selalu menyorotkan ketenangan, kini hanya membiaskan kekosongan.

Aku mencoba untuk berteriak, namun aku tak bisa mengeluarkan suaraku. Hanya lengkingan tertahan yang menyiratkan ketakutanku. Hanya malam. Mungkin, hanya malam yang dapat merasakan kegamangan dan ketakutanku itu. Aku hanya bisa memeluk erat teddy bearku. Aku hanya bisa menatap nanar pria yang terkapar di ruang tengah rumahku itu.

Ayahku! Ya, pria terkapar dengan stelan baju kerjanya itu adalah Ayahku.

Lalu, tiba-tiba seorang pria datang menghampiriku. Seorang pria yang pernah dikenal Ibu. Kaosnya dipenuhi oleh darah, dia mengalihkan pisau yang dipegangnya. Dia menyibakkan rambut yang menutupi mataku, mengusap pelan rambutku, tangannya yang berlumuran darah menghapus butiran air yang menghiasi pipiku. Aku ingin berlari, tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa berdiri mematung membiarkan pria tersebut membelai lembut kepalaku. “Tenang… kau aman! Kau tidak usah takut. Aku tidak akan menyakitimu, kita akan segera pergi dari sini,” Ujar pria tersebut sembari mengangkat tubuh mungilku dan membawaku dalam kepekatan malam.

Tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Ini menjadi rahasiaku. Tentunya ini juga akan menjadi rahasia bagi pria yang telah membawaku. Pria yang telah menghancurkan masa kanak-kanak yang seharusnya bisa kukenang, bukan kuredam. Bahkan, bulan yang menggantung indah dilangitpun seolah memalingkan wajahnya atas kejadian yang menimpaku dimalam itu.

Dia membawaku. Membawaku dari kenyataan atas apa yang telah dilakukannya terhadap Ayahku. Membawaku menuju kemarahan dan kebencian terhadap ketidak berdayaanku.

Aku, hanyalah seorang bocah yang berusia 8 tahun. Tapi perlu kalian catat… rasa benciku ke pria ini tidak akan pernah hilang. Tidak, sampai maut menjemputku atau menjemputnya.

***

Aku terbangun ketika cahaya matahari pagi menampar pipiku. Aku terduduk dan memikirkan mimpiku semalam. Sudah 8 tahun berlalu, namun aku masih mengingat jelas bagaimana kejadian dimalam itu. Aku masih mengingat bau amis darah Ayah yang membasahi lantai. Aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana ketakutanku, dan tentunya aku masih mengingat bagaimana kebencianku pada pria itu. Pada pria yang telah merenggut kebahagianku. Pada pria yang tanpa mempunyai alasan yang jelas membunuh Ayahku dan membawaku jauh dari tempat asalku di Virginia.

Aku melirik jam yang terpampang manis di dekat ranjang, disana sudah menunjukan pukul 7. Ini adalah awal semester baru, dan ini juga bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke-16 tahun. Tapi tidak ada yang istimewa dalam pergerakan usiaku menuju ke-16 ini. Tidak ada yang istimewa dalam 8 tahun yang telah kulewati.

Aku beranjak dari lamunanku. Pandanganku terpaku pada kue tart yang tertata manis di meja belajarku. Aku yakin, Mike sudah memesan ini jauh hari untuk ulang tahunku. Namun, siapa kira kalau pada akhirnya kue itu hanya akan berakhir di tempat sampah. sudah ke-8 kalinya aku mendapatkan ini dari Mike, dan sudah 8 kali pula kue itu berakhir tragis di tempat sampah.

Mike hanya menatapku dengan pandangan tak terbaca ketika melihat kue tart beserta kado ulang tahun yang belum kubuka darinya berakhir di tempat sampah. Namun, aku tidak peduli. Aku hanya menatapnya tajam, suatu isyarat bahwa dia dan aku masih berperang. Sulit untuk melupakan apa yang telah dia perbuat 8 tahun yang lalu.

“Selamat ulang tahun Sher, semoga semua yang kamu inginkan bisa tercapai,” Ujarnya dengan senyum tipisnya.

Dia masih sama seperti dulu. Entah kenapa, tidak ada tanda-tanda penuaan diwajahnya. Rahangnya masih tetap kokoh seperti dulu. Tatapannya yang teduh seolah menyiratkan kedamaian. Orang-orang yang belum mengenalnya tidak akan menduga kalau dia adalah seorang pysichopat ulung yang telah membunuh Ayahku

“Ya… aku harap di usia-mu yang ke-16 tahun ini, rasa marahmu padaku akan memudar,” Lanjutnya sambil menatapku lekat tanpa melepaskan senyum hangatnya kepadaku.

Aku memiringkan pandanganku padanya. Ingin rasanya saat ini juga meludahi atau menampar wajahnya yang penuh dengan kemunafikan itu.

“Kau pikir akan semudah itu? Setelah apa yang kau rebut dariku dan kau kira aku akan memaafkanmu. Huh… kau salah Bung, “ Jawabku sambil berlalu pergi menuju kamar mandi.

Rasa marahku tidak akan pernah padam. Rasa marahku ini akan selalu tersulut hingga membentuk kobaran yang sulit untuk diredamkan. Aku sekarang berada di kota besar di New York, Jauh dari tempatku bermil-mil dari Virginia. Sebuah kota yang pastinya akan kurindukan. Walaupun disana masih tertutup rapat kisahku 8 tahun yang lalu.

Aku disini. Bersama orang yang telah membunuh Ayahku. Bersama orang yang telah merenggut kebahagiaanku. Tidak ada yang percaya akan ceritaku. Ketahuilah, hidup ini butuh bukti. Namun, salahkah aku jikalau aku tidak mempunyai bukti atas tragedy 8 tahun yang lalu? Salahkah aku jika aku masih menyimpan dendam yang berkepanjangan kepada Mike?

***

Amory Sheryl Viveza. Kekasih yang sempurna. Itu adalah namaku. Ibu bilang itu adalah nama yang diberikan Ayah kepadaku. Aku tahu kalau Ayah selalu menyayangiku dan Ibu. Walaupun dimasa hidupnya Ayah kerap kali mengabaikan aku dan Ibu. Ibuku meninggal sebelum aku melihat Ayah terkapar di ruang keluarga kami, tepat setelah terjadi pertengkaran hebat dengan Ayah. Namun, aku tidak menyalahkan Ayah. Aku tahu Ayah menyayangiku dan Ibu.

Aku memasuki gerbang sekolah sebelum Mr.Chandler memulai pelajaran bahasa perancis yang bagiku teramat membosankan. Gemuruh bisikan dan suara gaduh mulai terdengar dari sudut kelas. mereka bercerita tentang liburan musim panas yang mengagumkan. Serta betapa ingin mereka menambah waktu liburan mereka supaya bisa untuk menikmati liburan lebih lama lagi.

Aku hanya memutar bola mataku ketika Elsie teman dibelakangku bercerita tentang liburannya di California, Issabel terlihat begitu antusias mendengar penuturan bagaimana Elsie menikmati hari yang indah sambil menikmati sunset di pantai California yang memang terkenal indah. Aku menatap kebelakang melihat Elsie yang tertawa terkikik ketika menceritakan cowok barunya di California kepada Issabel.

Elsie melihatku tepat sebelum aku mengalihkan pandanganku dari tatapannya. Dia tersenyum sinis, tatapannya yang mengejek membuatku ingin meremuk wajah oplosannya yang dipenuhi oleh riasan yang bagiku teramat memilukan. Dia melanjutkan ceritanya kepada Issabel tanpa melepaskan pandangannya dariku.

Perlu kalian ketahui. aku adalah anak aneh. Setidaknya itulah gelar yang kudapat di sekolah ini. Aku tidak trend dalam soal fashion seperti Elsie. Kau akan mudah mengenaliku apabila kita bertemu dijalan atau ditaman, karena siapa lagi yang akan mengenakan baju yang selalu kedodoran lengkap dengan celana jeans bulukan yang selalu kukenakan. Itulah styleku.

Aku bukanlah orang kaya yang berasal dari keluarga konglomerat pemilik dari beberapa yayasan seperti Issabel. Percayalah, Mike selalu memenuhi kebutuhanku. Koleksi motor dan mobil mewahnya teramat sangat membantu untuk memanjakanku, dan juga dia selalu membelikan pakaian bermerk rancangan designer ternama untukku, Namun pemberian dari Mike hanya berakhir ditempat sampah. Mike bukan orang tuaku. Ayah hanyalah seorang pemilik apotek kecil di Virginia, daerah asalku.

Selain anak aneh karena logat inggrisku dan gaya berpakaianku yang jauh dari kata up to date, aku disini juga tidak mempunyai teman. Tapi aku tidak membutuhkan itu. Ketahuilah, banyak teman berarti banyak harapan. Harapan untuk dikenal, harapan untuk disanjung, dan harapan untuk kehilangan. Aku sudah tidak lagi memiliki harapan semenjak malam itu. Karena menurutku harapan itu berbanding lurus dengan kesedihan yang telah kualami. Jadi janganlah terlalu banyak berharap apabila kau tidak kuat untuk bersedih, itu yang sudah kujalani selama 8 tahunku.

***

           Senin sore datang lebih cepat dari yang kukira. Perguliran waktu yang begitu cepat ini membuatku begitu muak. Bahkan aku sudah menghabiskan 30 menit waktuku di Taman. Jujur, aku lebih menikmati kesendirianku disekolah dari pada ‘kebersamaanku’ yang begitu memuakan dengan Mike. Aku tak peduli dengan tatapan aneh teman-teman yang selalu menyertaiku dari pada tatapan Mike yang membuatku begitu bernafsu untuk mencongkel kedua matanya. Aku berharap dia berada di gudang mobilnya ketika aku pulang.

            Namun ternyata aku hanya sekedar berharap. Gemuruh kemarahan kembali menyesakan dadaku, ketika melihat Mike dan Jordan temannya sedang berbincang diselingi teh panas dan majalah sparepart langganannya. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan tajam ketika dia tersenyum kepadaku.

            “Kukira, kau sudah pulang 30 menit yang lalu, ketika ku melihat kamarmu dan kau tidak kutemukan disana,” Ujar Mike sambil menyeruput Teh nya.

            “Tenang Mike, aku tadi hanya ke taman, berharap disana aku bisa menemukan orang aneh sepertiku, dan kau tidak usah mencemaskanku karena aku tidak membutuhkan itu,” Jawabku sambil terus melangkah menuju kamarku.

            “Apa kau tidak mau bergabung Sher? kau pasti akan tertarik dengan beberapa motor koleksi Ayahmu,” Ujar Jordan menghentikan langkahku. Aku berbalik. Ayah? Aku tidak mempunyai Ayah. Tidak, semenjak 8 tahun yang lalu. Mike, bukanlah Ayahku. Kalaupun dia Ayahku, aku lebih memilih untuk terjun dari patung Liberty dari pada menerima kenyataan yang sangat menyeramkan itu.

            “Well, terima kasih Jordan, aku sangat menghargai tawaranmu. Tapi, kurasa aku hanya akan menjadi pengganggu dalam obrolan tak berguna kalian itu, dan perlu ku tegaskan aku tidak mempunyai seorang Ayah. Tidak lagi. Mike, tidak akan bisa menggantikan posisi Ayahku,” Jawabku sambil menatap sinis kearah Mike.

            Mike hanya menatap tenang atas perkataanku, sehingga membuat rasa benci itu kembali tersulut . Namun, aku tak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan rasa benci itu membakarku. Kuharap rasa benciku ini juga akan bisa membakarnya. Tapi, apakah mungkin? Mengingat ketenangannya dalam merespon setiap amarahku, apakah aku bisa membalaskan sedikit dendam ku padanya?

***

Pria dengan gaya urakan itu kembali mendatangi Ibu. Ibu terlihat sangat bahagia melihat mata teduh dari pria itu. Rambutnya yang berwarna daun musim gugur terlihat begitu berkilau. Aku seperti mengenal pria itu, aku mencoba untuk mendekat… mendekat… Dan mendekat. Tapi, entah kenapa sosok pria itu dan Ibuku semakin jauh. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan mereka, pria tersebut mengeluarkan setangkai bunga tulip kepada Ibuku. Aku seperti mengenal pria itu, tapi aku yakin itu bukan Ayah. Lalu tiba-tiba pria tersebut berbalik menatapku, menyeringai dengan tatapan yang memberikan isyarat bahwa dia telah menang.

Mike.

Pria itu adalah Mike.

 

Aku terbangun. Badanku basah oleh keringat atas mimpi aneh yang kualami tadi. Aku mencoba untuk menerka mimpiku itu. Kenapa Mike bisa bersama Ibu? Aku tahu Mike memang sudah mengenal Ibu, tapi mereka hanya berteman. Cuma itu! Selain itu, fakta yang kuketahui, bahwa Mike adalah benalu dalam hubungan Ayah dan Ibuku. Karena, semenjak itu Ayah dan Ibu memang sering bertengkar. Aku masih sangat mengingatnya.

Waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Tapi, aku masih tidak bisa tidur, dan aku tidak mau. Aku tidak mau mimpi itu terulang lagi. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana Mike menyeringai ketika menatapku. Aku semakin membenci pria ini. Dia tidak hanya hadir dalam dunia nyataku, tapi dia juga menjadi benalu dalam mimpi-mimpiku.

Aku beranjak kearah balkon dikamarku. Udara dingin menyejukan otak dan hatiku yang selalu panas. Aku tersenyum. Suasana ini membuatku rindu akan kampung halamanku. Aku menoleh kekamar Mike yang bersebelahan dengan kamarku. Lampu kamarnya menyala, menandakan dia belum tidur. Huh… siapa yang peduli.

Aku kembali menerawang kelangit. Melihat hamparan bintang yang seolah-olah ingin menemani kesendirianku. Aku teringat akan Ibuku yang selalu menemaniku disaat aku tidak bisa untuk tidur. Ibu selalu bilang, bahwasanya aku tidak perlu takut akan malam, karena bintang akan selalu menemani kesendirian disela tidurku. Aku akan selalu tersenyum riang mendengar penuturan Ibu.

Pintu kamar Mike menuju balkon berderit. Dia melangkah malas menuju tempat aku berdiri. Aku hanya menatapnya melalui sudut mataku, lalu kembali menatap bintang yang seolah tersenyum kepadaku.

“Kamu belum tidur?” Tanyanya sambil menyulut sebatang rokoknya. Inilah salah satu alasan kenapa aku sangat membenci perokok. Karena Mike adalah seorang perokok.

Aku tidak menggubris pertanyaan Mike, bahkan aku tidak menggubris kedatangannya, dan bahkan mungkin aku juga tidak menggubris kehidupannya.

“Aku juga tidak bisa tidur. Mimpi buruk,” Ujarnya tanpa mempedulikan ketidak pedulianku.

“Kamu tahu, setiap aku menutup mataku, mimpi itu selalu ada. Mimpi itu selalu sama, seolah mimpi itu ingin menyampaikan sebuah pesan padaku, Sher!” Lanjutnya sambil berusaha tetap tenang, walaupun aku dapat mendengar adanya kecemasan yang tersirat dibalik suaranya.

Well, orang buruk yang mempunyai kelakuan buruk memang selalu didatangi oleh mimpi-mimpi buruk, jadi kau tidak usah heran akan hal itu, Mike.” Kelakarku sambil tersenyum puas atas kata-kataku.

Aku meliriknya sekilas melalui sudut mataku. Wajahnya masih tetap tenang. seolah-olah dia tidak mendengarkan perkataanku tadi. Dia menatap bintang-bintang, namun aku yakin dia tidak menatap bintang. Pandangannya kosong, seolah-olah mencerna suatu hal yang mungkin akan segera terjadi.

“Aku merindukan Ibu,” Ujarku secara tiba-tiba setelah terjadi jeda singkat diantara kami. aku langsung merutuki diri atas perkataan bodohku kepada Mike. Aku hanya bisa diam dan berharap dia tidak mendengar perkataanku itu.

“Ibumu juga merindukanmu,” Jawabnya tenang sambil terus menghisap rokoknya tanpa melepas pandangannya dari hamparan langit malam.

“Aku juga merindukan Ayah… Ayahku yang telah kau bunuh 8 tahun yang lalu,” Ucapku sambil menatapnya tajam.

Dia tersenyum konyol menatapku, seolah-olah mengejekku atas perkataanku itu.

“Ayahmu juga merindukanmu. Dia sangat merindukanmu, dan… tadi kamu bilang aku membunuh Ayahmu? Kapan? 8 tahun yang lalu? Um…Kau mungkin salah lihat honey,” Jawabnya sambil menatapku geli seolah-olah aku itu adalah gadis dungu yang meminta sebuah pengakuan darinya.

“Mike! Cukup… kau bertindak seolah kau hanya merebut mainanku dan membunuh kucing kesayanganku. Kau merebut hidupku Mike, kau membunuh Ayahku, dan sekarang kau bertindak konyol seolah aku ini adalah gadis konyol yang meminta sebuah pengakuan darimu,” Ujarku sambil melepaskan sedikit kekesalanku. Aku menatapnya, ingin sebuah pengakuan darinya atas tindakan yang dilakukannya. Aku ingin sebuah alasan. Hanya itu.

Mike menatapku lekat, matanya yang teduh seperti ingin meneduhiku dari amukan badai yang telah kuciptakan. Aku sangat membenci hal ini. Aku benci dengan kepura-puraanya yang seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia, antara dia dan keluargaku.

“Terkadang mengalahkan ego sendiri itu sulit Sher, 16 tahun aku selalu berkecamuk dengan egoku. Sampai akhirnya aku menemukan lembaran-lembaran hidupku yang nyaris hilang, kau tahu? pada saat itu aku menyadari bahwa ego telah menguasaiku, tapi aku tidak menyalahkannya, dia egoku. Egoku adalah diriku,” Ucapnya lirih sambil tersenyum kepadaku.

Aku menatapnya muak. Muak dengan kata-katanya yang selalu menyimpan sebuah rahasia tentangku. Aku menatapnya tanpa menyadari bahwa air mata telah mencoreng pipiku. Aku menangis. Aku benci ini. Aku tidak ingin terlihat begitu lemah didepannya. Namun, aku terus menatapnya dengan segenap kebencian yang kupunya.

Mike menatapku. Tatapan teduhnya telah digantikan oleh rasa bersalah kepadaku.

“Sher!” Ucapnya melangkah didepanku sambil membuang sisa rokoknya.

Aku bergerak mundur ketika tangannya hendak menjangkau tanganku. Dia berhenti ditempat tanpa melepaskan tatapannya dariku. Aku menangis. Aku menangis selagi aku bisa untuk menangis.

“Sher, Ibumu pasti tidak suka melihatmu menangis seperti itu. Hapus air matamu Sher! Kau tidak ingin menyakiti Ibumu bukan?”

“Apa pedulimu tentangku? Apa pedulimu tentang Ibuku? Kau pikir Ibuku akan tertawa senang setelah apa yang kau lakukan terhadap suaminya?” Jawabku dengan suara bergetar. Sekelebat bayangan Ayah yang tekapar di ruang tengah kembali menghantuiku, aku hanya diam ketika Mike membawaku menuju kota ini. Aku hanya diam.

“Apa yang kau lakukan terhadap Ayahku Mike? Kau membunuhnya, aku melihatnya sendiri Mike. Pisau itu… kau gunakan pisau itu untuk membunuh Ayahku, kau pembunuh Mike… kau itu pembunuh,” Ucapku frustasi diiringi tangisku yang semakin menjadi.

“Sheryl, ku mohon tenang…” Ujarnya sambil menjangkau tanganku dan membenamkanku kedalam pelukannya. Aku mencoba untuk melepaskan pelukan itu ,tapi semakin aku mencoba untuk melepas pelukan itu, dia semakin mengeratkan pelukannya. Seolah dia khawatir untuk kehilangan moment singkat yang telah dia lakukan padaku.

Aku hanya bisa menangis pada dadanya yang bidang, menangisi ketidak berdayaanku atas tindakan yang telah dilakukannya. Aku hanya bisa mengeluarkan segala bentuk amarahku disela isak tangisku yang begitu sulit untuk kuredakan, “Kau membunuh Ayahku Mike, kau menghancurkan hidupku Mike mengelus pelan kepalaku tanpa melepaskan pelukan eratnya dariku.

“Maafkan aku Sher, “ Ujarnya berbisik diantara isak tangisku yang semakin menjadi.

Aku mencoba kembali untuk melepas pelukan Mike. Namun, ketidak berdayaan telah menguasaiku. Aku hanya bisa berbisik pada pelukannya, “Aku membencimu Mike, aku sangat membencimu,” Mike melepas pelukannya, tangannya yang kokoh memegang erat kedua bahuku.

“Aku menyanyangimu Sher, aku menyayangimu dan Ibumu. Aku hanya ingin memiliki kalian berdua. Cuma itu!” Ucapnya lembut sambil menghapus air mataku dan meninggalkanku diantara ketidak mengertianku dari skenario yang telah dirancangnya selama 8 tahun untukku.

***

Aku mengenakan baju terbaikku hari ini (kaos oblong pink + celana jins) . Bukan apa-apa, aku cuma berharap hari ini aku akan segera menemukan hari terbaikku. Ya, mungkin saja dimulai dengan mengenakan hal terbaik dari apa yang kita punya, hari baik itu akan segera datang.

Kepalaku masih berat karena efek tidur jam 5 ku, ditambah lagi dengan kejadian singkat di balkon dengan Mike tadi malam, membuat tenagaku semakin terkuras. Aku lelah. Ya… aku lelah dengan segala kehidupanku yang seolah-olah enggan untuk menemukan titik temu yang kuinginkan.

Ketahuilah, aku cuma ingin bahagia. Hanya itu.

            Mike tersenyum padaku sambil terus berkutat dengan laptopnya. Wajahnya juga menyiratkan kelelahan. Sepertinya dia juga tidak tidur. Katung dimatanya tidak bisa berbohong.

            “Pagi yang melelahkan,” Tegurnya tanpa melepaskan matanya pada layar monitor. Aku hanya menatapnya diam sambil terus menikmati sarapan pagiku.

            “Pagi yang melelahkan adalah awal hari yang melelahkan,” Jawabku sambil terus menikmati sarapanku.

            Mike mengembuskan nafas pelan dengan dramatis sambil diselingi oleh tatapan menyesal yang bagiku sangat menjijikan.

            “Ok… Aku ngalah. Aku minta maaf atas kejadian semalam. Kita anggap saja itu tidak pernah terjadi, maka dari itu hari melelahkanmu akan tergantikan dengan hari yang menyenangkan, itupun jika kau punya, ” Ucapnya santai sambil terus terpaku sibuk dengan laptopnya.

Aku semakin jijik dengan pria ini. Ketenangannya atas amarahku dari perbuatan yang telah dilakukannya membuatku begitu ingin membunuhnya, dan seharusnya itu sudah lama kulakukan.

           Namun, aku berusaha untuk tetap santai. Aku tidak boleh terlihat lemah. Kerapuhanku akan membuatnya semakin menang. Aku tidak menginginkan hal itu. Dia harus merasakan kehancuran 8 tahun yang kulalui.

            “Ya… kau benar Mike, kita anggap saja semua yang terjadi semalam tidak pernah terjadi. Tidak ada tangisan, tidak ada pelukan, dan tidak ada pertengkaran. Tapi sayangnya hanya malam itu, Mike. Aku tidak akan melupakan malam-malam sebelumnya, malam ketika kamu merenggut hidupku,”

Mike melemparkan pandangannya padaku, tatapan teduhnya kembali meneduhiku.

“Terserah apa katamu Sher, aku melakukan itu karena aku yakin kalau aku benar,” Ujarnya sambil mematikan laptopnya dan beranjak pergi, membiarkanku terbakar diantara rasa benci dan ketidak mengertian akan dirinya.

Apa maunya orang ini?

***

Aku sudah mengalami 3 ledakan dalam hidupku. Pertama, ketika aku mengenal Mike. Kedua, ketika aku satu rumah dengan orang yang sangat kubenci itu. Ketiga, ketika aku dengan sangat terpaksa mengerjakan karya ilmiahku dengan Issabel.

Issabel. Adalah orang menyebalkan berikutnya yang seolah dikirim dari planet antah-barantah untuk menceracaui hidupku. Walaupun sebenarnya dia tidak begitu menjengkelkan seperti Elsie, tapi tetap saja dia selalu merendahkan apa yang kupunya dan apa yang ku lakukan.

Aku heran, kenapa Mr.Pullman memasangkanku dengan gadis ini? Aku rela dipasangkan dengan yang lain asalkan bukan dengan dia… Dan Elsie pastinya. Ketahuilah, aku lebih memilih untuk tidak mengikuti pelajaran Mr.Pullman dari pada harus berurusan dengan Issabel maupun Elsie.

“Ok, anak aneh! Kuharap kamu mau sedikit bekerja sama denganku dan juga kuharap kamu bisa sedikit lebih baik, bukannya apa-apa, aku hanya tidak menginginkan nilaiku yang sudah turun drastis menjadi semakin drastis lagi karena aku harus mengerjakan karya ilmiahku bersamamu. Walaupun aku tidak mau,” Ujar Issabel berbisik kepadaku.

Aku hanya menatap tajam kepadanya, ayolah… kau pikir aku juga mau berurusan dengan makhluk setengah alien spertimu? Aku hanya diam. Untuk saat ini aku sangat menghargai pepatah yang berbunyi diam itu adalah emas.

“Issabel, kau tidak usah takut, karena tentunya anak aneh ini juga tidak mau nilai-nilai yang sudah diperolehnya menjadi turun drastis bukan? Jadi, kau hanya tinggal duduk manis sampai karya ilmiahmu itu selesai, dan oh… kalaupun kau tetap mau untuk mengerjakan karya ilmiahmu itu bersamanya, kau bisa mengerjakan itu dirumahnya, sekalian aku mau titip salam cintaku kepada Ayahnya yang ganteng itu, tentunya kau tidak keberatan umm…. S-Sheryl?” Cerarcau Elsie kepadaku, dan aku berani bersumpah, selama 2 tahun yang ku lewati disekolah ini, ini baru pertama kalinya Elsie menyebut namaku. Dia menyebut namaku dengan lafal yang… yah! Menjijikan. Bahkan sangat menjijikan.

Aku memandang sinis kearah mereka. Lalu aku mendekatkan wajahku kearah Elsie.

“Ayahku? Ayahku yang mana? Mike? Tentunya kau pernah dengar kata-kata pengganggu atau pembawa masalah, bukan? Itu adalah Mike. Mike bukan Ayahku. Melainkan seorang pengganggu dan pembawa masalah bagi hidupku. Yah… kurasa kau cocok dengannya Elsie, karena kau dan dia sama. sama-sama pengganggu,” Ujarku sambil memiringkan senyumku.

“Ow… suatu kehormatan bagiku untuk bisa menjadi Nyonya dari keluarga Noel, dan kita akan bertemu setiap hari anak aneh,” Jawabnya berbisik di telingaku sehingga aku dapat merasakan panas nafasnya.

***

Aku menghempaskan tubuhku di sofa. Sangat nikmat rasanya mengetahui Mike sedang tidak berada dirumah. Jadi aku bisa mendinginkan pikiranku sejenak dari bayang-bayang Mike. Sejenak, mimpi yang kualami tadi malam kembali membayangiku. Apa yang disembunyikan oleh Mike?

            Aku memanfaatkan moment ketidak beradaan Mike dirumah ini untuk menyelidiki hal yang tidak kuketahui apa itu. Aku beranjak kekamarnya, setidaknya disana aku bisa menemukan petunjuk atas kecurigaanku akan dirinya. Aku berharap disana aku bisa menemukan sebuah bukti bahwa dia adalah pembunuh Ayahku, perampas masa depanku, benalu dalam kehidupanku.

            Aku menggeledah kamar Mike, mencari sedikit petunjuk dari kehidupanku yang tercecer. Aku melangkah ragu kekamarnya. Bukan apa-apa, selama 8 tahun perputaran waktuku dengannya, ini baru pertama kali aku menginjakan kakiku dikamarnya. Ya… ini yang pertama, dan aku bersumpah ini akan menjadi yang terakhir setelah aku mememukan petunjukku.

            Sejenak pandanganku terpaku pada sebuah foto berpigura sedehana di meja sudut kamarnya. Di pigura itu ada sosok sepasang remaja SMA, lelaki dipigura itu tersenyum sambil merengkuh pundak seorang perempuan disampingnya yang mengenakan seragam pemandu sorak. Ibuku! Perempuan itu adalah Ibuku. Pria itu adalah Mike.

Aku meraih pigura itu, sejenak mataku kembali memanas. Marah, sedih, bingung berkecamuk dalam diriku. Aku marah karena Mike membunuh Ayah. Aku sedih karena ketidak mengertian akan teka-teki hidupku yang teramat sulit untukku dipecahkan. Aku bingung dengan fakta yang mengatakan bahwa Mike pastinya memiliki hubungan dengan Ibu. Mereka tidak hanya berteman.

Aku menatap nanar wanita didalam foto itu. Aku ingin merengkuhnya. Aku ingin berada dipangkuannya seperti dulu. Pasti ada petunjuk lain! Batinku sambil terus menerawang dikamar Mike yang lebih kecil dari pada kamarku. Aku membongkar semua lemari dan bajunya, namun aku tidak menemukan foto Ibu yang lain selain yang ada dipigura itu.

            Aku merusak pigura itu, lalu meraih foto tersebut. Rasa marah dan benci sudah mengambil alih diriku. Aku sangat membencimu Mike, batinku sambil meraih korek api yang terdapat di atas meja itu.

Aku mematik korek yang sudah digenggamanku, dengan pandangan nanar akupun membakar potret Ibu dengan lelaki yang sangat kubenci itu. Ibu tidak pantas memiliki kenangan dari lelaki ini. Kalaupun Ibu memiliki kenangan dengan dia, kenangan itu harus dihancurkan, tanpa sisa.

            Aku membakar potret itu dengan tatapan puas. Aku tidak pernah sepuas ini dalam 8 tahun yang sudah kulalui. Sendainya ada banyak bukti lagi­­­­­­, aku jamin pastinya aku akan sangat menikmati ini. Menyaksikan sisa kenangan Mike yang perlahan hancur akibat ulahku sendiri.

            “Apa yang kau lakukan?” Ujar Mike mengagetkanku. Aku berbalik menatap Mike yang sedang berdiri didepan pintu, memandangiku dengan tatapan tak percaya.

***

            Ini sudah kesekian kalinya Ibu menjemputku disekolah dengan pria itu. Teman lamanya yang ia temui di Mall kemarin. Aku sangat menyukai semua mainan yang diberikan oleh pria itu. Selain itu, dia dan Ibu selalu mengajakku ketaman hiburan yang terdapat di daerah kami. Bahkan, pria itu juga berjanji akan membawaku ke Disney World apabila aku mendapat nilai terbaik di sekolah.

            Mike. Pria itu bernama Mike. Mike dan Ibu adalah teman lama yang tanpa sengaja bertemu di Pusat Perbelanjaan di kota kami, Virginia. Harus kuakui, Mike memiliki sifat yang humoris, tentunya itu sifat yang sangat berbeda dengan sifat Ayah, yang lebih memilih diam dari pada mengeluarkan guyonan-guyonan seperti yang selalu dilakukan oleh Mike.

***

            Aku tersenyum mengejek melihat Mike hanya bediri terpaku di depan pintu. Wajahnya yang selalu dihiasi dengan keteduhan sekarang memancarkan amukan badai yang mungkin tak dapat kuelakkan. Aku menyukai itu. Aku menyukai moment, dimana Mike merasakan kemarahan yang kurasakan selama 8 tahunku.

            “Apa yang kau lakukan, Sher,” Tanyanya untuk yang ke-dua kalinya.

            Aku hanya mengacungkan sebuah potret yang sekarang sudah tak berbentuk kearah Mike.

            “Kurasa, kau perlu sedikit tenaga dan waktu dariku untuk membuang barang-barang tak bergunamu Mike, ya... kebetulan sekarang aku sedang mempunyai banyak waktu dan tenaga untuk itu, Jadi dari pada buang-buang waktu lebih baik kukerjakan sekarang,” Jawabku sarkasme. Sekali lagi! Aku sangat menikmati ini.

            Mike mengepalkan tangannya, lalu dia menghembuskan nafasnya menahan amarah. Dia kembali menatapku sambil memberikan sedikit senyuman seperti yang biasa dia lakukan.

            “Ya... kurasa tugasmu sudah selesai, dan sekarang kau boleh keluar!” Ujar Mike sambil beranjak dari pintu memberi ruang untukku keluar dari kamarnya.

            “keluar dari kamarmu,hmmm ... atau dari hidupmu? Kau tahu, Kalau aku disuruh memilih, aku lebih memilih untuk keluar dari hidupmu,” Ujarku sambil menyeringai puas kearah Mike.

Mike tersenyum mengejek, rasa percaya diri dan angkuhnya yang tadi lenyap kini kembali tumbuh. Sambil mengambil gambar yang sudah tak berbentuk dari genggamanku, Mike menunduk dan menatapku lekat, “Tidak segampang itu, Bocah! Tidak segampang itu kau pergi dari kehidupanku, setelah hal-hal manis yang kulalui bersama Ibumu. Kau tak berhak begitu saja untuk pergi dari kehidupanku!”

Aku menatap Mike tajam, aku tidak akan gentar atas segala intimidasi yang sering dia lakukan padaku. “Ada apa antara kau dan Ibu? Aku yakin kau dan dia tidak hanya sekedar berteman, ” Tanyaku mengeluarkan segala bentuk kekhawatiran dan tanda tanyaku akhir-akhir ini.

            Mike beranjak dari tempatnya berdiri, dengan langkah yang malas dia meraih sebotol wine yang terdapat dilemari disudut ruangan itu. Dengan tenang dia meneguk wine tersebut, mengacuhkan kehadiranku diruangan itu.

            “Ada apa antara kau dan Ibu, Mike?” Tanyaku dengan suara getir untuk yang kedua kalinya.

Mike menatapku dengan tatapan konyol, namun tak urung dia berjalan kearahku.

            “Apa kau yakin, kau akan sanggup menerima masa-masa indah yang sudah kujalani bersama Ibumu, setelah apa yang akan kau dengar nanti?” Tanyanya tersenyum mengejek sambil menunduk padaku sehingga aku dapat mencium aroma nafasnya yang membuat perutku mual.

            “Masa-masa indahmu itu adalah masa lalu Mike. Kau tahu, masa lalu itu tidak akan pernah menang, karena dia akan selalu berada dibelakang. Jadi, kau tidak usah takut untuk menceritakan masa-masa bodohmu bersama Ibuku,” Jawabku sambil menatapnya tajam.

            Mike menggeleng dengan dramatis. Lalu dia kembali meneguk wine yang dipegangnya.

            “Aku dan Ibumu adalah pasangan yang serasi, banyak orang yang iri dengan hubungan kami, termasuk Jack, Ayahmu!” Ujar Mike sambil menyeringai.

            “Ya... akhirnya pintu hati Ibu terbuka dan dia lebih memilih Ayah dari pada pacarnya yang urakan,” Jawabku dengan puas. Mike dan Ibu memang pernah memiliki suatu hubungan. Tapi itu dulu.

            Mike mengerang dramatis sambil meletakkan wine yang tinggal setengah diatas meja diruangan tersebut.

            “Ayolah! Kau belum mendengar setengah dari ceritaku, jadi kau tidak bisa menyimpulkan sendiri endingku dengan Ibumu, Sweety!” Sanggah Mike sambil tersenyum mengejek menatapku.

            Terserah. Fakta sudah jelas, Ibu lebih mencintai Ayah dari pada pria gadungan yang berdiri didepanku. Aku sangat yakin akan hal itu.

            “Dulu... ya, kurang lebih seusiamu, aku dan Ibumu banyak memiliki moment-moment indah,”

Lanjut Mike dengan tatapan nakal, sehingga membuatku bergidik. Namun, Aku tetap tersenyum santai. Aku tidak boleh terpancing dengan segala bentuk ancaman dan diskriminasi yang akan dilakukan orang ini.

            “Kita pernah... yah seperti kau tahu, masa-masa remaja sekarang tidak jauh berbeda dengan masa-masa aku dan Ibumu, bahkan kupikir kisahku dan Ibumu harus diabadikan seperti kisah romance, layaknya Romeo dan Juliet, kau tentunya tahu bukan dengan kisah itu?” Ujar Mike menanggapi gelagatku dengan guyonan yang semakin membuatku muak.

            “Hmmm... seharusnnya aku pergi dari tadi setelah aku membakar habis potret bodoh dirimu dan ibu, tidak seharusnya aku berlama-lama dengan ceritamu yang konyol itu, Mike!”

            Akupun berlalu dari tempat itu. Menghiraukan tawa Mike yang sepertinya menikmati akan amarahku. Aku tidak peduli.

            “Kau tahu Sher? Sampai sekarang aku masih bisa merasakan aroma mint bibir Ibumu, dan kurasa kau akan lebih sakit hati lagi bagaimana kisah romance aku dan ibumu selanjutnya,” Ujar Mike mengejekku. Namun, tak urung langkahkupun terhenti mendengar penuturan Mike.

            “Tutup mulutmu, berengsek!” Geramku yang dibalas dengan tawa kemenangan dari Mike.

***

Aku mengerang ketika melihat Elsie dan Issabel sudah berdiri manis di depan rumahku. Ok! Ini hari Minggu. Seharusnya hari ini aku bisa bersantai sejenak dari dua hama pengangguku disekolah. Bukannya apa-apa, biasanya di hari libur ini Mike lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di luar dari pada dirumah. Seharusnya aku bisa menikmati itu. Menikmati ketidakhadiran Mike di hari liburku. Tapi sepertinya hari ini aku harus mengerahkan kesabaranku dalam menghadapi dua pengganggu disekolah.

“Aku harap kamu tidak lupa dengan karya ilmiah kita, Sheryl” Ujar Issabel ketika aku membukakan pintu untuk mereka, dan entah kenapa semenjak malapetaka karya ilmiahku itu, mereka jadi jarang menggunakan kosa kata anak aneh kepadaku. Ya... kuharap ini merupakan pertanda baik.

“Ya! Kuharap kamu juga tidak lupa bahwa karya ilmiah kita itu hanya untuk dua orang,” Ujarku pada Issabel sambil melirik Elsie, yang sekarang mengenakan Tank top hitam lengkap dengan mini shirt nya. Aku penasaran, apakah Mike akan terpikat dengan perempuan ini seperti laki-laki lain yang mau bertekuk lutut padanya?

“Ehmm... kurasa aku lupa memberitahumu bahwa Elsie juga ku ikut sertakan dalam proyek karya ilmiah kita itu, tentunya kau tidak keberatan bukan kalau Elsie juga ku ikut sertakan,” Jawab Issabel sambil melangkah masuk tanpa kupersilahkan dahulu. Ow ...Shit!

Aku hanya bisa mengekori mereka dari belakang setelah mereka masuk kerumahku. Aku harus segera membereskan karya ilmiah sialan ini. Batinku sambil mempersilahkan mereka duduk.

“Ok! Kalian duduk dulu, sementara aku akan menyiapkan minuman,”

“Ya... Tuan rumah yang baik memang harus begitu,” Kata Elsie sambil menyunggingkan senyum culasnya kepadaku.

Aku hanya bisa menggeleng frustasi atas orang-orang aneh yang berada disekelilingku. Orang aneh? Itu adalah panggilan yang mereka berikan padaku. Apakah aku ini aneh? Atau aku begitu anehnya, sampai-sampai aku merasa asing dengan keadaan disekelilingku?

Aku kembali ke ruang duduk dengan 3 cangkir soda dan beberapa cemilan. Aku harus segera menyelesaikan ini!

“Ehmm.... Lalu dimana Ayahmu?” Ucap Elsie memulai percakapan aneh kami.

Aku hanya memutar mataku. Tapi aku tersenyum menanggapi pertanyaan dari benaluku yang satu ini.

“Ya... seperti yang sering aku katakan padamu, dan mungkin tidak hanya padamu Elsie, tapi ke semua orang, bahwasanya Ayahku meninggal 8 tahun yang lalu, dan Mike... Mike bukanlah Ayahku. Dia hanyalah benalu sepertimu yang selalu menceracaui hidupku. Paham!” Jawabku dengan tegas atas pertanyaan culas dari Elsie.

Elsie bangkit dari tempat duduknya, mengamati keadaan disekelilingnya.

“Jadi, Maksudmu dia tidak berada dirumah?” Tanyanya lagi dengan pandangan yang membuatku mual.

Ya!dia... dia yang dia maksud itu adalah Mike. Aku hanya bisa menghembus nafas pelan sambil menggeleng lemah. Seperti yang sudah aku katakan, bahwasanya aku harus extra sabar dalam menghadapi 2 benaluku ini.

“Dia tidak berada dirumah. Dan seharusnya dia memang tidak ada...” Jawabku dengan suara meninggi.

“Hey... sabar! Apakah begini caramu menyambut tamumu?” Kelakar Issabel sambil menatap rendah padaku. Tatapan yang mengintimidasi!

Aku berjalan kearah pintu, lalu menarik kasar handle dari pintu itu. Aku menatap tajam kepada dua tamu tak diundangku yang kini masih dengan tatapan mengintimidasi mereka.

“Tamu tak diundang itu memang harus diperlakukan seperti ini. Jika kalian tidak menyukai caraku, kalian boleh angkat kaki dari sini, dan... well pintuku cukup lebar buat kalian melangkah keluar dari rumahku,”

Masih dengan pandangan mengintimidasi, merekapun beranjak dari rumahku. Elsie menatapku dengan pandangan yang membuatku bergidik.

“Kau akan menerima balasan atas perlakuanmu itu, anak aneh!” Ujarnya sambil berlalu pergi.

Ya... kurasa itu menandakan bahwa karya ilmiahku juga sudah tamat!

***

            Manusia itu adalah makhluk yang plin-plan. Bahkan sangat plin-plan. Mereka akan segera berubah pikiran ketika mereka dihadapkan pada dua kenyataan. Hidup dan mati. Maju dan mundur. Namun, kebanyakan dari manusia akan memilih mati dan mundur. Mereka memilih mati apabila mereka sudah lelah untuk menghirup nikmat oksigen yang tadinya mereka angkuhkan, “Aku kaya, aku punya segalanya. Aku punya oksigen yang tak terbatas”. Sedangkan mereka akan memilih mundur, apabila mereka sudah lelah untuk mendaki tebing yang semakin terjal, “Aku sudah tidak sanggup mendaki tebing ini, apabila yang kutemui hanyalah ketakutan dan bebatuan yang siap menerjangku. Biarlah aku turun dan mati dalam kegelisahan dari pada aku jatuh dan mati dalam ketakutan”.

Aku hanya bisa mengernyit ketika Mr. Pullman menyuruhku untuk mendatangi ruangannya. Aku tahu maksud dan tujuan dari panggilan Mr.Pullman. Kalau ini sangat berpengaruh terhadap nilai Akademik yang telah kudapat selama disekolah ini, dengan sangat berat hati aku terpaksa menerima kembali Elsie dan Issabel dalam karya ilmiahku, walaupun dengan berbagai tekanan yang akan mereka lakukan. Itu artinya, aku memilih mati dan mundur.

Mr.Pullman menatapku. Sebuah tatapan yang menilai. Kadang, aku tidak begitu mengerti dengan orang-orang yang berpangkat seperti Mr. Pullman. Apakah gelar yang dia peroleh itu memang untuk digunakan menilai ketidak pantasan dari orang lain. Aku merasa bagaikan seorang gadis yang berdiri di atas jembatan rapuh yang mana setiap langkah kakiku meneriakan derit dan ketakutanku akan derasnya sungai yang menyambutku. Aku merasa ditelanjangi dengan tatapan yang tidak aku mengerti dari orang berpangkat ini.

“Saya dengar dari Issabel, Anda ada masalah dengan Karya Ilmiah yang saya berikan?” Tanya Mr. Pullman dengan suaranya yang berat sambil memperbaiki letak kaca matanya.

Aku menarik nafas panjang. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, apakah aku harus menceritakan kalau aku sangat membenci mereka? Apakah aku harus mengatakan pada si tua ini kalau bekerja sama dengan mereka bukanlah sebuah ide yang menguntungkan?

Mr. Pullman menatapku. Menanti sebuah jawaban dariku.

“Sebenarnya, Kami mempunyai sedikit permasalan Mr. Pullman. Maksudku, bukan mengenai Karya Ilmiah yang Anda berikan, tapi kami... permasalahnnya itu memang kami.”

Mr. Pullman terus menatapku dengan tatapan menilainya ,sambil mempermainkan pulpen yang dipegangnya.

“Kau tahu, Issabel itu siapa?”

Ah Ya! Aku tahu. Seorang putri dari saudagar kaya dengan tatapan mengintimidasinya yang selalu membuatku merasa lebih kerdil dari apa yang selalu kubayangkan.

Namun, tak urung aku mengangguk. Tidak ada gunanya berdebat apa dan siapa Issabel dihadapan Mr. Pullman.

“Berarti kamu tahu, konsukuensi yang akan kamu terima?”

Aku terperangah dengan perntanyaan yang diucapkan Mr. Pullman.

“Maaf... Konsukuensi maksud Anda apa Mr. Pullman?” Tanyaku dengan ketidak mengertian atas apa yang diucapkan Mr. Pullman. Apakah tahta beserta jabatan dari orang tua kami sangat berperan penting dalam obrolan ini? Jika memang benar, maka aku berani menjamin bahwa inilah akhir riwayatku dalam mendapatkan nilai yang sempurna di sekolah ini.

Mr. Pullman mengeluarkan secarik kertas dari laci mejanya. Dia menyodorkan secarik kertas tersebut dihadapanku. Aku hanya bisa menerima kertas tersebut dengan tangan gemetar. Aku bahkan tidak dapat merasakan denyut jantungku sendiri. Aku harap, apa yang Aku khawatirkan itu tidak terjadi.

Surat Panggilan. Ya...surat panggilan untuk Mike. Aku hanya bisa memandang surat ditanganku itu dengan tatapan nanar. Beginikah cara mereka memperlakukan anak aneh sepertiku,tanpa meminta sebuah alasan yang ingin kusampaikan pada mereka? Apakah ini bentuk ketidak adilan dari hasil kerja kerasku selama disekolah ini? Mereka lebih menghargai tahta dari pada apa yang kuusahakan.

Aku merasa Issabel adalah seorang Ratu. Mr. Pullman adalah seorang penasihat dari pemilik istana Sang Ratu. Sedangkan aku? Huh... aku hanyalah serdadu miskin yang kerap dijadikan alas kaki bagi sang ratu. Ya... alas kaki. Hina, Bukan?

Mr. Pullman terbatuk pelan. Membuyarkan lamunan atas ketertindasan yang sedang ku alami didetik ini.

“Aku ingin bertemu dengan Walimu. Itupun kalau kamu tetap ingin menjadi bagian dalam mata pelajaran yang kuberikan,” Ujar Mr. Pullman kembali sibuk dengan pekerjaannya. Mengabaikanku dengan rasa amarahku.

Aku marah dan aku merasakan mataku mulai memanas.

“Ok…Aku akan membawa Mike! Aku akan membawa Mike kehadapan Anda Mr.Pullman, dan aku berharap dia mampu membayar Anda lebih dari apa yang telah dilakukan Orang Tua Issabel terhadap Anda, Mr. Pullman,” Kataku seraya pergi meninggalkan Mr. Pullman. Mengabaikan panggilan Mr. Pullman yang mulai meradang mendengar argumentku. Mengabaikan segala bentuk jejak kemarahan dan ketidak adilan yang ku terima.

 

Mike sedang mengutak-atik salah satu mobil antic mewah ketika aku datang di Showroom miliknya. Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan. Aku hanya ingin masalahku dengan Mr. Pullman segera teratasi. Aku ingin segera keluar dari sekolah itu, dari kota ini dan pergi sejauh mungkin.

Mike tidak menyadari kehadiranku, dan akupun terlalu enggan untuk menegurnya. Disaat seperti inipun rasa gengsiku bisa menutupi sejenak amarah yang telah kucecerkan dari sekolah tadi. Aku mengamati punggung Mike yang membalakangiku ketika dia masih sibuk mengutak-atik mobil itu. Ada sedikit keraguan ketika aku hendak menegurnya. Tapi apa yang mesti kulakukan? Dia Waliku, dan sekarang aku membutuhkan sedikit bantuannya.

“Apa kau akan terus berdiri disitu seperti orang tolol atau kau akan segera menyerahkan surat panggilan itu padaku?” Tegur Mike masih dengan posisi membelakangiku dan tetap sibuk dengan mobilnya.

“Kau tahu darimana?” Tanyaku atas ketidak tahuanku dari informasi yang didapatnya.

“Yaaah… tadi si tua Pullman menghubungiku dan dia mengatakan kalau kau mengalami sedikit permasalahan dengan Issabel beserta karya ilmiahmu,”

Aku mengernyit. Kenapa orang ini begitu sulit untuk ditebak? Bahkan, ketika aku sangat membencinya pun, aku tidak pernah tahu apa isi dari kepalanya.

“Kalau kau memilih yang pertama, silahkan kau tetap berdiri disitu mengamatiku sampai jam 7 nanti. Tapi jika kau memilih yang kedua, kau bisa segera menyerahkan surat panggilan padaku itu dan kau boleh pergi dari sini. Pastinya kau tidak mau berlama-lama di tempatku, bukan?” Lanjutnya sambil berbalik dan membersihkan tangannya.

Aku mengeluarkan surat panggilan itu dari ranselku lalu melemparkannya secara kasar kewajah Mike.

“Ku harap kamu mau menggunakan title mu sebagai waliku dengan sangat baik Mike,” Ujarku sambil menyeringai puas.

Mike mengatupkan bibirnya menahan amarah, rahangnya menegang, wajahnya merah padam.

“AMBIL!!!” Ujarnya sambil meraih kasar pergelangan tanganku dan menunjuk kasar pada surat panggilan yang sekarang tergeletak di lantai.

“Ambil surat itu, atau aku banting tubuhmu berserta semua ocehan yang selalu kau lemparkan padaku,”

Aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Aku sangat ingin melihatnya marah, tapi entah kenapa sekarang aku begitu… takut!

“Kau tidak dengar? AMBIL SURAT ITU!” Ujarnya lagi sambil menatapku dengan penuh amarah.

Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh ketakutan, persis seperti 8 tahun yang lalu. Ketika aku melihat dia membunuh Ayahku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku ingin berteriak, tapi keringkihan sudah menggerogoti segala bentuk keberanian yang ku punya.

“Mike, Cukup!” Tegur Jordan sambil melepaskan tanganku yang gemetar dari tangan Mike. Aku bahkan tidak menyadari kehadiran Jordan!

Mike mengusap pelan wajahnya. Terlihat Jordan yang masih menenangkannya, mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak dapat kudengar. Mike hanya terdiam, seolah mengingat kembali kejadian yang terjadi beberapa detik yang lalu. Dengan gontai, dia mengambil surat panggilan yang kulemparkan tadi. Dia melirikku sekilas, lalu diapun meraih sepeda motornya dan meninggalkanku dengan bentuk ketakutan yang masih tersisa.

Jordan memegang lembut bahuku, “Ada sedikit hal, yang memang tidak kamu mengerti dari Mike, Sher!”

Aku tidak bergeming menanggapi perkataan Jordan. Jika Mike menginginkan sedikit pengertian dariku, apakah dia juga akan mau untuk mengerti bagaimana sakit dan ringkihnya aku saat ini?

***

Mike berjalan dengan santai menuju ruangan Mr. Pullman. Hari ini dia mengenakan Jaket kulit lengkap dengan T-shirt putih kesayangannya dan jeans ketat yang selalu mejadi favoritnya. Aku berani jamin, dengan style seperti ini, pastinya Elsie akan semakin tergila-gila dengan Mike. Namun, untungnya kelas sudah berakhir dan hanya tinggal aku dan beberapa murid lainnya yang diantara mereka masih menunggu jemputan.

Aku menghela nafas lega ketika melihat Mike. Ini sudah lewat 15 menit dari yang diberikan oleh Mr. Pullman. Mike tersenyum tipis kepadaku. Semenjak kejadian kemarin, dia tidak pulang kerumah. Kupikir dia membatalkan niatnya untuk memenuhi panggilan dari Mr. Pullman.

Bukannya apa-apa, bukankah semua masalah itu berawal dari dia? Seandainya dia tidak membunuh Ayahku, pastinya sekarang aku bisa menikmati kebersamaan dengan Ayah, dan pastinya lagi aku tidak akan bertemu dengan orang-orang culas seperti Elsie dan Issabel. Semuanya ini berawal dari dia!

“Kau tunggu disini!” Perintahnya sambil berlalu menuju ruangan Mr. Pullman.

Aku hanya bisa memandanginya sambil menahan amarah. Aku tidak akan menyulut kemarahanku disini, karena detik ini aku memang membutuhkan sedikit bantuan darinya.

Aku menghela nafas panjang. Menghalau segala bentuk kekhawatiran yang lalu-lalang dalam benakku. Aku berharap masalah ini akan segera berakhir dan posisiku sebagai murid genius tidak akan tergantikan dengan murid-murid genius lainnya.

Namun, entah kenapa ada sedikit rasa khawatir yang entah dari mana merasuki pikiranku. Entah kenapa aku begitu mengkhawatirkan Mike. Tadi dia terlihat begitu lelah. Seharusnya aku tidak mempedulikan hal itu, masa depanku sekarang lebih berarti dari pada kelelahan Mike yang memang disebabkan olehnya.

Aku selalu mengamati pergeseran detik demi detik pada arloji di pergelangan tanganku. Ini baru berjalan tiga puluh menit dari kedatangan Mike. Tapi, aku merasa tiap detik dan detak yang bertalu selalu menyuarakan kehati-hatianku. Meneriakanku akan panaroma pahit yang menjadi tontonanku 8 tahun yang lalu.

Aku berjalan mondar-mandir menelusuri koridor. Kerap kali aku melirik koridor menuju ruangan Mr. Pullman. Namun, belum ada tanda-tanda kemunculan Mike. Aku melirik pada sekelompok siswa yang tadi berdiri di ujung koridor, namun hanya kesunyian yang menjadi jawaban. Hanya tinggal aku!

Aku melirik untuk yang kedua kalinya pada koridor menuju ruangan Mr. Pullman. Namun, entah kenapa kekhawatiran dan ketakutan semakin menggerogotiku. Aku sudah mencoba untuk mengusir segala bentuk keparanoidan itu, tapi aku tak kuasa. Hati kecilku berbisik agar aku segera mendatangi Mike.

Aku membulatkan tekad. Dengan langkah yang mantap aku berjalan menuju ruangan Mr. Pullman. Handel pintu yang kutarik seolah menjeritkan setiap ketakutanku. Aku mengedarkan pandangan pada setiap sudut ruangan yang dihuni oleh si Tua berkepala plontos itu.

***

Pandanganku terpaku pada sosok Mike yang terlihat panik. Aku terkesiap tidak percaya atas apa yang kulihat, dan kuharap ini hanyalah penglihatanku atas keparanoidanku. Sekejap pandanganku memudar, aku dapat merasakan dinginnya tangan dan kakiku, bahkan aku dapat mendengar detak jantung yang memompakan darah keseluruh tubuhku.

Mike menghampiriku. Terlihat dia begitu panik atas kedatanganku. Aku hanya menatap Mike dengan pandangan nanar. Aku mengalihkan pandangan pada Mr. Pullman yang bersimbah darah, lalu aku kembali menatap Mike.

“Sher, Tadi aku hanya melakukan sedikit pembelaan terhadap kamu, aku- aku hanya tidak mau orang tua ini merendahkanmu atas apa yang telah kau capai di sekolah sialan ini,”

Aku hanya diam mendengar penuturan Mike. Kenapa hidupku selalu dipenuhi oleh ketakutan dan darah? 8 tahun yang lalu dia memporak-porandakan semua harapanku, menghancurkan masa kanak-kanakku, lalu apa yang akan dia lakukan 8 tahun berikutnya padaku? Apakah dia juga akan membunuhku?

Mike menggenggam tanganku, dengan lembut dia menghapus bias air mata yang ternyata sudah membasahi pipiku. Dengan lembut, dia mengiringku pergi dari ruangan itu. Persis seperti 8 tahun yang lalu. Persis seperti 8 tahun yang lalu, aku hanya diam. Aku hanya diam ketika melihat mayat Ayah terkapar di ruang tamu rumah kami. Sekarang, akupun hanya bisa diam ketika melihat mayat Mr. Pullman tergeletak tak bernyawa dilantai ruang kerjanya.

***

           Mike berjalan mondar-mandir dengan gelisah ketika kita sampai dirumah. Terlihat jelas bahwa hal itu sangat menganggunya. Ini baru pertama kalinya aku melihat dia serisau itu, bahkan ketika dia membunuh Ayahkupun, dia terlihat tetap tenang.

            “KAU PEMBUNUH, MIKE!” Ucapku lantang. Ini adalah kalimat pertama yang kusuarakan semenjak mimpi buruk yang terjadi di sekolah tadi.

            “Aku tahu, Sher! Kau tidak perlu mengulang kalimat yang sama seperti 8 tahun yang lalu,” Jawab Mike sambil melepas kasar Jaketnya.

            “Aku membencimu, Mike!”

            “Dan Aku menyayangimu,”

            “Kalau Kau menyayangiku, kenapa Kau begitu tega membuat hidupku dipenuhi oleh darah dan kematian? Kau hanya petaka Mike. Kau tidak menyayangiku,” Ujarku sambil menatap Matanya yang sekarang dipenuhi oleh kehancuran.

            Dia menarik nafas pelan, tampaknya dia begitu lelah dengan kejadian yang baru menimpanya.

            “Apakah Aku begitu bejatnya, sampai Kau tidak mau mempercayai kalau Aku sangat menyayangimu?” Tanyanya dengan suara getir. Ada sedikit kegoyahan yang tersirat dibalik suaranya.

            Dia berusaha mengusap pelan kepalaku, tapi aku menepis segala kasih sayang yang dia berikan padaku. Aku menggeleng, berharap dia tidak pernah ada, Mr. Pullman tidak pernah ada, bahkan aku juga berharap si culas Elsie dan Issabel tidak pernah ada dalam kehidupanku. Aku memejamkan mataku, membayangkan kehidupan indahku bersama Ayah dan Ibu. Membayangkan wajah anggun Ibu yang selalu tersenyum ketika aku bangun dari tidurku, membayangkan wajah tegas Ayah yang selalu membuatku takut apabila aku menumpahkan susu cokelatku pada Koran paginya.

            Mike menggenggam lembut jemariku, terlihat jelas bagaimana penyesalan yang dia rasakan.

            “Kau tidak apa-apa?” Tanyanya cemas.

            Aku melepaskan genggaman Mike dengan kasar. Aku bangkit dari bayang-bayang indahku dan kembali pada bayang-bayang buramku bersama Mike.

           “Aku sakit, Mike! Aku sakit semenjak 8 tahun yang lalu. Kalau Kau menyayangiku seharusnya kau menyadari itu, seharusnya kau menyadari betapa sakit dan ringkihnya Aku ketika setiap hari Aku harus melihat wajah tanpa dosa yang selalu Kau perlihatkan padaku,” Ucapku dengan segenap kesedihan dan kebencian yang kupunya.

            Mike menatapku lekat. Pandangannya nanar. Dia terluka. Tapi aku tidak peduli, posisiku lebih terluka dari pada dia.

            “Kau bejat Mike! Kau hanya trouble maker dalam hidupku, Kau egois!”

            Mike berjalan membelakangiku, lalu dia menghembuskan nafas pelan. Dia kembali menatapku sambil tersenyum, senyuman tulus yang nyaris membuatku muak. Dengan gontai, dia mengambil ponselnya yang terletak di meja dan menyodorkannya padaku.Aku hanya menatap bingung atas tindakan yang dia lakukan. Apa maunya orang ini?

            “Buang jauh-jauh kebencian itu, Sher! Karena itu akan menyakitimu. Kalau kebencianmu itu berasal dariku, maka kumohon buang jauh-jauh Aku dari kehidupanmu,” Ujarnya lirih sambil memindahkan ponsel itu ketanganku.

“Apa maksudmu?”

“Hubungi polisi! Katakan telah terjadi pembunuhan disekolahmu dan kau sudah menemukan pelakunya,” Jawab Mike dingin dan berlalu meninggalkanku menuju kamarnya.

***

3 Bulan Telah Berlalu…

Aku melirik kalender yang tergantung indah dikamarku. Satu hari telah aku lingkari dengan spidol merah. Hari yang sangat aku tunggu-tunggu. Tidak terasa 3 bulan sudah Mike mendekam dalam dinginnya jeruji besi dan besok adalah hari persidangan Mike. Ganjaran yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya.

Aku menang! Ya… aku menang dengan pergulatan emosi yang selalu megaduk perasaanku selama 8 tahun terakhir ini. Aku menikmati penderitaan Mike. Pengakuan singkatku dan pembunuhan yang telah dilakukannya terhadap Mr. Pullman sangat membantuku untuk meremuk kesedihan yang kurasakan. Aku membencinya, dan inilah yang dia dapat dariku.

Aku menghempaskan badanku ke ranjang. Aku bahagia… inilah titik terang dalam hidupku. Aku sangat mensyukuri panggilan dari Mr. Pullman, karena tanpa adanya panggilan itu pastinya tidak akan ada pembunuhan terhadap dirinya, bukan? Aku sangat mensyukuri si tua berkepala botak itu meregang nyawa ditangan Mike. Kalau bukan karena si tua itu, pastinya ini semua tidak akan terjadi.

***

Aku sudah tiba di ruang persidangan. Aku sudah mengenakan baju terbaikku, karena ini adalah hari kemenanganku tentunya aku tidak mau terlihat lusuh dihadapan semua orang. Aku mendatangi kursiku, peranku disini sangat penting dalam hidup dan matinya Mike. Aku harus memanfaatkan posisiku sebagai saksi dalam kasus pembunuhan itu dengan sebaik mungkin.

Aku melihat kearah pintu masuk ketika pandanganku terpaku pada sosok yang kukenal, dengan pakaian tahanannya, dia digiring oleh 3 orang polisi menuju kursi tersangkanya, kursinya, kursi kebesaran Mike. Dia terlihat agak kurus.

Aku berpikir, bagaimana pendapat Elsie apabila dia melihat Mike dengan keadaan seperti ini, apakah dia masih menggila-gilai orang ini?

Gemuruh bisikan mulai mereda ketika Hakim memasuki ruang sidang. Dia membacakan pasal-pasal yang telah dilanggar oleh Mike. Kerap kali Mike menoleh kearah ku, dia tersenyum tipis seperti yang biasa dia lakukan, aku hanya bisa membalas senyumannya dengan senyuman yang penuh dengan kemenangan. Suatu isyarat bahwa aku sangat menikmati kekalahannya.

“Ya… baiklah, mungkin saksi bisa menambahkan,” Ujar sang hakim membuyarkan lamunanku.

Aku gugup. Ini adalah salah satu kebiasaanku berada dalam keramaian.

“Mike seharusnya sudah lama dihukum. Selain membunuh Mr. Pullman yang notabenenya adalah guruku, dia juga membunuh Ayahku ketika aku berusia 8 tahun, ketika aku dan keluargaku berada di Virginia,” Jawabku dengan suara getir yang terdengar sangat menyakinkan.

Mike menunduk. Aku dapat melihat bagaimana sakit dan tertekannya dia. Aku sangat menikmati ini.

“Lalu, kenapa Anda hanya diam? Kenapa anda tidak melakukan laporan, padahal itu sudah terjadi 8 tahun yang lalu? Kenapa anda berani untuk memperkarakan ini sekarang setelah kematian Mr. Pullman?” Tanya Hakim itu untuk yang kedua kalinya.

“Hmm… itu, K-karena…” Aku tidak tahu harus berkata apa, selama ini aku hanya diliputi oleh rasa benci dan dendam. Aku harus memutar otak, aku harus melenyapkan Mike dari kehidupanku. Terlihat Mike menatapku lekat, tampaknya dia juga menunggu sebuah jawaban dariku.

Aku memejamkan mata, aku terpaksa melakukan ini. Demi Ayah dan Ibu.

“Karena Mike mengancamku, dia mengancam akan membunuhku. Dia selalu menyakitiku bahkan dia selalu melecehkanku. Aku takut! Aku hanya tidak mau dia menyakitiku!” Jawabku dengan suara getir dan dihiasi dengan isak tangis tertahan. Kuharap ini akan berhasil.

Mike menggeleng tidak percaya atas pengakuan palsu yang telah kubuat. Matanya menatapku seolah mengatakan kapan aku menyakitimu?melecehkanmu?mengancammu? aku hanya memiringkan senyum kepuasanku terhadap Mike.

“Berdasarkan bukti-bukti dan kesaksian yang diberikan oleh saksi, maka ditetapkan Mr.Mike Noel dikenai hukuman mati,” Ucap Hakim yang diiringi ketok palu dan tepuk tangan riuh.

Aku menatap Mike dengan tatapan puas. Mike hanya menggeleng frustasi.

Tiba-tiba Jordan menghampiriku, dia menatapku dengan tatapan terluka yang diselingi dengan ketidak percayaan.

“Apa yang kau lakukan?” Tanyanya dengan suara getir. Sangat jelas bagaimana dia menyembunyikan kesedihan atas masalah yang menimpa sahabatnya.

“Aku melakukan hal yang seharusnya dari dulu kulakukan,” Jawabku mantap sambil menantang tatapan Jordan.

Jordan menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca memikirkan nasib sahabatnya.

“Seharusnya, Mike mendapatkan ganjaran yang lebih dari pada hanya hukuman mati, Jordan!” Lanjutku sambil berlalu pergi dari keterpukulan Jordan.

***

            1 Bulan sesudah sidang…

            Aku melingkari salah satu tanggal lagi pada kalender kamarku. Aku tersenyum lebar. Dengan langkah malas aku beranjak menuju dapur dan meraih sebotol white rusian dari dalam lemari es. Semenjak menghilangnya Mike dari kehidupanku, aku merasa bebas! Ya… bebas. Bebas untuk bersenang-senang, bebas untuk melakukan apapun demi merayakan kemenanganku. Seperti sekarang ini, aku bebas menenggak alokohol yang ku temukan kemarin di lemari pakaian Mike.

            Kesenanganku sedikit terganggu dengan dering ponselku. Akupun meraih ponsel tersebut. Sebuah pesan dari Jordan : Aku didepan rumah. Buka pintu sekarang, karena kita perlu bicara! Sebuah kalimat yang memerintah. Aku sangat membenci itu!

            Akupun berjalan malas menuju Jordan. Dengan enggan akupun menarik handle pintu dan disambut Jordan dengan muka masam. Aku tersenyum mengejek melihat ekspresi yang mengkhawatirkan darinya.

            “Kenapa ekspresimu seperti itu? Hmmm…. Tenang Jordan, eksekusi temanmu itu baru 3 hari lagi, jadi kau masih mempunyai waktu untuk mengadakan pesta perpisahan dengan temanmu yang menyedihkan itu,” Ejekku pada Jordan yang sekarang mengenakan kaos yang bertulisan I’am guy pada kaosnya.

            Jordan hanya diam. Kemudian dia menatapku lekat. Sebuah tatapan yang tidak bisa kumengerti.

            “Ada apa lagi, Jordan? Kau hanya melihat sisi burukku, sementara kau tidak pernah melihat sisi buruk temanmu itu,” Lanjutku merasa tidak nyaman dengan tatapan Jordan.

            “Aku mengetahui Mike lebih dari apa yang kau ketahui. Apapun tindakan yang dia lakukan, itu karena dia mempunyai alasan yang jelas,” Jelas Jordan tanpa melepaskan tatapannya dariku.

            “Akupun juga mempunyai alasan untuk melakukan itu terhadap Mike!”

            Jordan hanya diam mendengar Argumentku. Kemudian dia menggeleng pelan dan mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya.

            “Mike menitipkan ini padaku. Kuharap kebencian itu tidak membuatmu enggan untuk membuka surat ini,” Ujarnya sambil menyelipkan secarik kertas padaku. Aku hanya mematung melihar secarik kertas yang sekarang berada di genggamanku.

            Aku menatap Jordan dengan pandangan mengejek.

            “Ada apa lagi Jordan? Ya… sejujurnya, detik ini aku sangat bosan berhadapan dengan surat-surat. Apalagi surat tidak penting dari orang yang jelas-jelas tidak penting dalam hidupku,” Ucapku sambil kembali menyerahkan surat itu kepada Jordan.

            Jordan menggenggam erat tanganku yang masih memegang surat dari Mike. Kemudian dia mengusap kepalanya yang sudah mulai ditumbuhi oleh rambut-rambut putih.

            “Semua fakta itu terdapat pada kertas yang kau benci ini, Sher! Mike tahu, kau tidak akan datang menjenguknya, jadi dia menitipkan fakta itu padaku,”

            “Fakta apa?” Tanyaku menatapnya tajam.

            Jordan menggeleng pelan. Tatapannya terlihat hampa, dengan lembut dia mengelus kepalaku.

            “Mike itu menyayangimu dengan caranya yang aneh, jadi aku tidak mau kau menyesal setelah menyadari bagaimana kasih sayang yang diberikan Mike kepadamu,” Ujarnya lirih.

            Aku memutar mataku. Aku sangat bosan mendengar penuturan itu. Kenapa Jordan seolah-olah menyudutkanku atas pengakuanku itu? Apa dia tidak mengetahui, bagaimana tindakan temannya terhadapku?

            “Ok! Mike menyayangiku dan Aku membenci Mike. Kurasa itu akan menjadi fakta baru bagi temanmu yang harus kau sampaikan padanya,” Ujarku sambil memindahkan surat itu kegenggaman Jordan.

            Aku tidak membutuhkan fakta baru. Aku hanya ingin fakta yang ku ketahui ini segera habis ditelan oleh kubangan waktu. Ya! 3 hari lagi faktaku dan Mike akan berakhir.

            “Sher, kamu tahu hal yang paling berharga itu apa? Yaitu detik yang baru saja lewat, karena itu tidak bisa kita ulangi lagi. Jadi aku tidak mau kau menyesali detikmu yang akan datang apabila kau masih diliputi keegoisan pada detikmu yang sekarang,” Ujar Jordan kembali memindahkan secarik kertas itu pada genggamanku.

***

            Aku sekarang berada di ruang tunggu tempat Mike ditahan. Bukannya apa-apa, aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya dan mengatakan betapa menderitanya aku karena menghabiskan 8 tahunku dengan sia-sia bersamanya. Namun, entah kenapa semenjak kedatangan Jordan kemarin, aku kembali diliputi oleh ketegangan. Aku sama sekali belum membuka surat itu, karena sejujurnya aku terlalu takut menemukan fakta baru seperti yang dikatakan oleh Jordan kemarin.

            Mike keluar dari sel tahanannya bersama seorang polisi. Terlihat keletihan menggelayuti wajahnya, dia terlihat sangat kurus! Tembok yang dulu kokoh seolah runtuh dihantam oleh badai. Kepercayaan dirinya yang dulu, seolah lenyap oleh kematian dan darah yang telah dilakukannya. Mike tersenyum kepadaku. Mendung yang tadi menutupinya, kini digantikan oleh siluet cakrawala ketika melihatku berkunjung.

            “Aku tidak menyangka kau datang mengunjungiku,” Tegur Mike tersenyum lebar kepadaku.

            “Jadi kau tidak menyukai aku datang mengunjungimu?”

            “B-bukan begitu, aku pikir tadi itu Jordan, dan… kau tahu,ini pertama kalinya kau mengunjungiku semenjak aku ditahan di tempat terkutuk ini,” Ujarnya tanpa melepaskan tatapannya.

            Aku hanya diam menanggapi omongan Mike. Aku tidak akan memuntahkan kekesalanku yang masih tersisa sekarang. Aku tidak ingin merusak hari terakhir sebelum eksekusinya.

            “A-apakah kau sudah membaca pesan dariku?” Tanyanya gugup dan penuh dengan kehati-hatian.

Aku hanya bisa menanggapi pertanyaan Mike dengan gelisah. Sejujurnya pertanyaan itu sangat menggangguku. Aku sangat ingin segera membaca pesan itu, tapi aku terlalu takut!

Namun, tak urung aku mengangguk. “ Ya! Aku sudah membaca suratmu,” Jawabku singkat.

“Kau sudah membacanya?” Tanyanya menyakinkan dirinya atas apa yang didengarnya. Terlihat ada binar kebahagiaan pada matanya yang letih. Aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu! Itu terlihat jelas bagaimana kerap kali dia menggeser tempat duduknya karena adrenalin yang dia rasakan.

“Kau tahu Sher, aku pikir kau tidak akan pernah mau membuka pesanku itu, dan… kau sudah mengetahui semuanya” Ujarnya menggenggam tanganku.

Aku menepis genggamannya dengan kasar. Terlihat keterkejutan terlukis jelas di wajahnya. Akupun menatapnya dengan wajah menantang.

“Apa kau ingin mengatakan sesuatu?” Tanyanya lirih mencari tatapanku. Akupun membalas tatapan itu dengan dingin. Dingin karena tak ada bara cinta didalamnya.

Akupun mendekatkan wajahku kewajah Mike, aku menatap Mike dengan segenap kebencian yang masih tersisa.

Selamat tinggal, Mike ” Ujarku sambil memiringkan senyumku.

Mike menanggapi perkataanku dengan keburaman yang kembali menutupi. Dia terlihat terluka mendengar kata perpisahan dariku.

“Kau belum memaafkanku,” Ucapnya lirih sambil menggeleng frustasi.

“Maaf ? Tidak akan pernah Mike! Apapun yang akan kau katakan padaku, aku tetap akan membencimu Mike, dan rasa benci itu tidak akan pernah hilang sampai aku mengetahui bahwa kau benar-benar pergi dari kehidupanku!” Jawabku sarkasme.

Mike menggeleng pelan. Dia terlihat begitu lelah! Dia mengusap pelan wajahnya dan, dia menangis. Maksudku… benar-benar menangis. Aku sangat benci melihat seorang lelaki menangis. Wajah tegar mereka tidak dipahat untuk itu. Namun, tak urung akupun sedikit melunak.

“Mike…” Ujarku sambil menyentuh pelan tangannya. Dia menatapku dengan linangan air mata yang sekarang membasahi pipinya. Dia membalas genggamanku, mengusap pelan tanganku, dan mengecupnya. Dia kembali menatapku dengan bulir-bulir yang menghiasi matanya.

“Sher, A-aku… aku ingin memelukmu sekali saja, Sher! Ku mohon, aku ingin memelukmu untuk yang terakhir kalinya… Aku tidak peduli kau membenciku, Aku hanya ingin memelukmu!” Ratap Mike dengan tatapan memohon.

Aku hanya membalas tatapan Mike dengan tatapan nanar. Aku tidak pernah melihatnya seringkih ini. Entah kenapa saat ini, aku ingin merangkulnya dan menyandarkannya dibahuku. Namun, aku terlalu lelah untuk kembali bernegosiasi dengan emosiku.

Aku hanya diam ketika Mike memelukku. Pelukan yang membuatku merasa dilindungi. Ini sudah yang kedua kalinya Mike memelukku. Aku merasa nyaman. Aku tidak pernah merasa sehangat dan senyaman ini. Aku hanya diam ketika Mike kembali terisak pelan. Dia merangkul tubuhku sehingga aku dapat merasakan hangat nafasnya pada kepalaku.

“Aku bejat! Maafkan aku, Sher! Maafkan aku… Eliz maafkan aku, Sayang! Aku bejat…” Isaknya tanpa melepas pelukannya padaku. Aku hanya bisa menahan tangis ketika dia menyebut namaku yang diiringi dengan kata maaf yang begitu tulus. Namun, tangisanku pecah setelah dia menyebut nama Ibuku. Aku hanya bisa menangis lirih pada pelukannya.

***

Inilah hari itu. Aku tidak tahu lagi apakah aku menanti hari ini seperti sebelumnya, atau aku tidak mau hari ini terjadi? Tidak! Ini adalah hari yang kunantikan. 8 tahunku yang penuh dengan petaka akan segera mencapai endingnya. Seharusnya aku menikmati ini. Tapi entah kenapa, setelah kejadian kemarin aku kembali mengalami pergulatan dengan egoku. Aku membenci Mike. Aku harus membenci Mike!

Aku meraih surat dari Mike di laci meja kamarku. Aku ingin membacanya, tapi aku takut! Aku tidak tahu apakah aku akan tumbuh menjadi gadis dungu yang penakut apabila aku selalu dipertemukan dengan fakta baru hidupku. Sungguh! Aku sudah melawan rasa takut itu, tapi rasa takut itu kembali menyerangku ketika aku lengah, menghantuiku dalam tidurku, menghujamku dikala sunyiku.

Aku megusap wajah pelan. Aku membawa surat itu ke kamar Mike. Aku terlalu enggan untuk melangkahkan kakiku kekamarnya, tapi entah kenapa ketakutan itu meneriakan namaku untuk menyeret langkahku menuju ruangan Mike. Aku mengedarkan pandangan pada kamarnya. Tidak ada yang berubah, selain sebuah potret dipigura yang dulu. Sebuah potret dia dan Ibuku yang sudah tak berbentuk karena ulahku.

Aku tersentak dengan dering ponselku. Panggilan dari Jordan.

“Jika kau menghubungiku hanya untuk membahas Mike, maaf aku tidak bisa Jordan!” Jawabku setelah aku menekan tombol deal pada ponselku.

Tidak ada jawaban, Aku hanya bisa mendengar isak tangis Jordan diseberang sana.

“Sher! 1 jam lagi… 1 jam lagi eksekusi Mike, Sher! A-aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, yang aku ingat cuma menghubungimu,” Ujar Jordan dengan isak tangisnya.

Aku hanya diam mendengar penuturan Jordan. Saat ini aku tidak mempunyai argument apa-apa. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan aku tidak tahu lagi apakah aku menikmati hari yang kunanti ini seperti aku menikmati keterpurukan Mike, seperti hari-hari sebelumnya.

“Sher, apakah kau masih disitu?” Tanya Jordan lirih.

“Ya”

“Kau masih ingat kata-kataku?”

“Ya”

“Hargai detikmu Sher! Jangan biarkan detik yang kau lalui ini merusak waktumu yang tersisa karena amarahmu… Ingat! Waktumu masih panjang, Nak!”

Aku hanya bisa mengangguk sambil menahan tangisku yang pastinya tidak dapat dilihat oleh Jordan.

“Maaf, aku mengganggumu. Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa. Hubungi aku jika kau membutuhkanku Sher,” Ujar Jordan lirih dan memutuskan hubungan percakapan kami.

“Ya…” Jawabku lirih setelah Jordan memutuskan percakapan kami.

Aku hanya bisa menatap hampa ponselku. Pandanganku beralih kepada surat yang berada digenggamanku. Aku menarik nafas pelan. Aku hanya berharap, ini bukanlah fakta baru yang membuatku kembali menyusun takdir hidupku yang telah tercecer 8 tahun yang lalu.

Aku membuka surat itu dengan segala kepercayaan diri yang kupunya. Walaupun aku sempat ragu apakah aku masih mempunyai kepercayaan diri untuk itu. Aku hanya bisa terisak pelan ketika aku melihat sebuah tulisan dengan tinta hitam pada kertas yang kupegang…

***

 

To: Sheryl

Aku pengecut! Aku sangat menyadari kalau aku hanyalah pengecut yang berusaha untuk menjadi super heromu. Aku menyadari itu. Aku bukan lelaki pemberani yang bisa melindungi orang-orang yang kukasihi. Aku pengecut! Karena aku pengecut, maka aku menuliskan sebuah pesan yang mungkin hanya berakhir ditempat sampah seperti barang-barang yang kuberikan padamu. Tapi tak masalah… karena aku pengecut.

Aku hanyalah simpleton gila egois yang berusaha mengumpulkan kembali lembaran-lembaran hidup yang telah kucecerkan. Aku egois! Tanpa kusadari keegoisanku telah menyakiti orang-orang yang kukasihi .Termasuk Elizabeth. Ibumu! Aku telah menyakiti Ibumu. Aku hanyalah seorang pengecut yang lari dari kenyataan yang telah kutuai sendiri. Ya… sebuah kenyataan pahit yang kuterima ketika mendengar kabar bahwa Ibumu hamil! Dia mengandung anakku.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak mau keluargaku kehilangan pamor karena aku harus menikahi Eliz. Ayah Eliz hanyalah seorang pemecah batu di kotaku, pastinya keluargaku tidak akan menerima Eliz. Sementara, alasanku mendekati Eliz karena dia adalah wanita paling cantik disekolah. Aku mendekati Ibumu, untuk menaikkan kepopuleranku. Aku berengsek!

Aku memutuskan untuk melanjutkan studyku ke New York untuk menghindari Ibumu. Menghindari kelahiran anakku. Namun, rasa bersalah dan rasa cinta yang mulai tumbuh setelah keberangkatanku ke New York membuatku begitu lumpuh! Aku menyadari, kalau aku sangat merindukan Ibumu.

Aku semakin diliputi oleh rasa bersalah yang teramat besar ketika Eliz mengabarkanku bahwa anakku telah lahir. Eliz mengabarkanku, Sher! Dia tidak membenciku, dia tidak membenci keegoisanku, bahkan aku merasa dia merangkul dan memeluk erat keegoisan yang selalu menaungiku.

Aku sangat mengingat, ketika dia mengabari dan memintaku untuk memberikan nama pada bayi yang tak bersalah itu. Aku hanya bisa menahan malu melihat ketegaran Eliz. Aku tidak pantas, namun Eliz terus mendesakku “Puteri kecilmu, hanya ingin diberi nama oleh Ayahnya!”. Aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana bahagianya Ibumu menyambut kelahiran bayi itu. Sedangkan aku? Aku hanya bisa diliputi oleh rasa malu atas pengkhianatanku.

Sher, Ibumu adalah sosok yang sempurna. Seorang dewi berkeringat empati yang selalu merangkul rasa bersalahku, yang selalu memberikan kata maaf tanpa kuminta. Keanggunan yang terdapat pada kedua sayap Ibumu telah membawaku terbang menuju satu asa yang bernama… cinta.

Aku ingin anakku seperti dia, seorang kekasih yang sempurna. Amory Sheryl Viveza. Itu adalah nama anakku Sher. Itu adalah namamu! Sekarang kau tumbuh menjadi gadis dewasa yang memiliki suatu ambisi untuk merebut kembali kebahagiaanmu yang sudah kuremuk.Aku sangat membenci diriku karena itu! Aku semakin membenci diriku sendiri ketika melihat matamu yang selalu memancarkan kebencian padaku.

Aku semakin takut! Takut, seandainya kau mengetahui fakta lain mengenai hidupmu. Fakta yang sangat kau benci. Fakta yang mengatakan bahwa darah yang mengalir ditubuhmu itu adalah darahku. Aku Ayahmu. Bukan Jack. Jack hanyalah penutup dari rasa maluku. Dia juga menyayangimu, dan dia tidak mau mengakui bahwa kau adalah anakku. Itulah salah satu alasan mengapa aku menghabisi Jack.

Sheryl… Aku ingat 6 bulan yang lalu, ketika aku berjalan disebuah taman hiburan. Aku melihat seorang anak bermain dengan Ayahnya. Aku iri. Aku ingin seperti itu. Tapi itu tidak mungkin, karena aku tidak pantas. Aku tidak pantas menjadi seorang Ayah, dan aku tidak pantas memiliki seorang anak.

Aku telah menghargai ketidak pantasanku itu Sher, sungguh! Namun aku tak lagi kuasa ketika aku dilemparkan dengan sangat keji oleh dosaku ketempat busuk ini. Aku malu untuk mengakui bahwa aku ingin seperti Ayah dari anak itu, memiliki seorang anak yang selalu memanggilnya ‘Ayah’.

Sher, kau tahu… disisa hidupku ditempat busuk ini, aku ingin kau mendatangiku, memelukku erat seperti anak ditaman bermain itu, dan aku sangat ingin kau memanggilku…Ayah!!!

Sher, aku mohon dari lubuk hatiku yang terdalam… panggil aku Ayah, Nak!

 

***

Aku bergeming. Mematung menatap nanar pada surat yang berada di genggamanku. Aku merasa ditelan oleh lidah-lidah api yang siap membakarku. Apakah ini mimpi? Bukan, ini bukan mimpi, karena rasanya tidak mungkin sesakit ini. Mike Ayahku! 2 kata itu terngiang jelas ditelingaku. Orang yang kubenci selama ini adalah Ayahku.

Badanku merosot dilantai. Aku terduduk lesu. Aku masih tidak mempercayai fakta itu. Sejenak, tatapan teduh Mike kembali membayangiku. Tatapan teduh yang seolah ingin memberi ketenangan bagiku. Tapi, aku telah meremuk tatapan teduh itu dengan kebencian dan ketidak tahuanku.

Seharusnya aku meminta sebuah penjelasan dari Mike. Seharusnya aku tidak melaporkan dia ke polisi. Seharusnya aku tidak membuat pengakuan palsu yang telah kulakukan itu. Aku ingin memeluk Mike seperti waktu itu. Aku ingin menangis dalam pelukannya.

Aku semakin tersedu dalam kubangan penyesalan. Apakah ini salah ku? Apakah aku masih membenci Mike, atas pengakuan yang telah dilakukannya? Aku tidak tahu! Aku bingung! Senyuman Mike. Senyuman tulus yang selalu ditujukannya padaku, ternyata bukanlah sebuah kepura-puraan seperti yang selalu kupikirkan.

Akupun bangkit, dengan segenap penyesalanku yang semakin menyesak. Akupun berlari menuju jalanan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin memeluk Mike, oh tidak maksudku… Ayah. Ya! Ayah. Aku ingin memeluk Ayah dengan segenap penyesalan dan kata maaf dariku untuknya. Dia menyayangiku. Aku terus berlari menuju Ayah. Walaupun, aku tahu itu sudah terlambat. Tapi aku tidak peduli. Sepanjang jalan, aku selalu membisikan satu kata yang selalu terlintas dibenakku… Ayah!

***

1 Tahun Kemudian….

Pelangi dikaki langit itu terlihat menguntai indah ketika bersenda gurau dengan siluet cakrawala yang mulai mengeluarkan semburat keemasan. Pemandangan yang indah. Tentunya ini juga akan menjadi fenomena langka di New York. Bahkan, dalam pekatnya waktu yang selalu menyelubungiku akhir-akhir ini, aku sempat berpikir ingin menjadi seperti pelangi itu. Aku ingin menggapai pelangi itu dan menyimpannya disela-sela kerinduanku.

Aku sekarang berada disebuah Apartement besar. Ini adalah salah satu pemberiannya yang tidak bisa kubuang ditempat sampah seperti pemberian-pemberian sebelumnya. Aku senang ditempat ini. Selain aku dapat menikmati pemandangan elok yang kurasakan sekarang, aku juga dapat memandang gedung-gedung pencakar langit yang terlihat begitu menakjubkan apabila lampu-lampu jalanan di kota ini mulai dinyalakan.

Walaupun kehidupanku sempat padam, namun aku selalu mencoba untuk kembali menghidupkan kembali kepadamanku dengan cahaya redup yang masih tersisa. Cahaya redup dari kasih sayang Mike. Setidaknya, ketidak tahuanku itu telah menyongsongku menuju segala asa yang tidak kuketahui dari Mike.

Mike menyayangimu dengan caranya yang aneh. Itulah yang dikatakan Jordan setahun yang lalu ketika diriku masih dibentengi oleh kebencian dan dendam. Dia menyayangiku. Dia menyayangiku, tanpa mempedulikan dendam dan amarahku. Dia tidak mempedulikan jilatan api panas membara yang akan dia terima atas tindakan heroiknya kepadaku.

Jordan mengelus pelan pundakku. Saat ini dia menggantikan posisi Mike untuk melindungi dan menjagaku. Aku tersenyum kepada Jordan. Sejak kejadian itu, Jordan selalu menghiburku. Memberitahuku, kalau ini bukanlah salahku. Kamu hanyalah bagian dari kehidupan Mike yang telah membantunya untuk bertransisi dari kehidupan kelamnya dimasa dulu, jadi semua ini bukanlah salahmu. Itulah yang sering dikatakan Jordan kepadaku.

“Aku sering melihat Mike berdiri di balkon rumah kami ketika sore,”

Jordan tersenyum simpul menanggapi perkataanku, seolah dia sudah mengetahui semua tentang Mike.

“Ayahmu itu aneh! Jalan pikirannya tidak bisa ditebak, terkadang dia terlalu melankolis dalam memainkan perannya sebagai Ayahmu, terkadang dia juga bisa terlihat gila ketika melihat polahmu terhadapnya,”

Aku mengalihkan pandanganku ke Jordan, senyuman yang tadi megulas bibirku terlempar tak berdaya ke lantai dan digantikan dengan redup kesedihan yang menggelayutiku.

“Apa Mike masih menyayangiku?”

“Tentu”

“S-sampai akhir hayatnya?” Tanyaku dengan suara bergetar. Jordan mengelus pelan kepalaku.

Disaat seperti ini, aku jadi teringat Mike. Teringat akan hasrat Mike mengelus kepalaku, dan aku selalu mengelak.

“Sampai kapanpun, Sher! Rasa sayangnya itu hanya untuk kamu. Bahkan, dia lebih menyayangimu dari pada dirinya sendiri,”

Aku menunduk. Seandainya aku membaca pesan itu lebih awal dari eksekusinya. Pasti rasanya tidak akan sesakit ini. Pasti penyesalan itu tidak akan selebar ini. Setidaknya, dia bisa mendengar kata Ayah terucap dari mulutku.

“Aku ingin tahu, apa yang sedang dilakukan Mike sekarang?”

“Tersenyum” Jawab Jordan lirih.

Aku menengadah menatap Jordan, tatapannya yang jenaka menari-nari dipelupuk mataku, membenarkan atas apa yang diucapkannya padaku.

“Mike pasti tersenyum melihatmu tumbuh menjadi gadis yang diinginkannya dan bahkan, dia pasti akan tertawa bahagia setelah mengetahui bahwa kau telah mengetahui fakta yang selama ini ingin disampaikannya padamu,” Ujar Jordan tersenyum padaku.

Aku membalas perkataan Jordan dengan seulas senyuman. Aku tahu, Mike itu adalah malaikatku. Malaikatku yang lupa bagaimana caranya untuk terbang. Mike telah mengajariku satu hal. Pengorbanan. Ya! Pengorbanan. Pengorbanan atas apa yang kita berikan terhadap orang yang kita cintai. Mike tidak peduli, kalau aku sangat membencinya. Dia hanya ingin melindungiku dari amukan badai yang selalu menyerangku. Itulah pengorbanan.

Aku kembali menatap lirih pada langit sore New York. Membayangkan saat ini Mike bediri disampingku. Merangkulku dan mengusap pelan kepalaku. Ayah… aku mencintaimu. Terimakasih atas segala asa dan rasa yang kau tuai dalam kehidupanku. Yakinlah… aku akan menebar asa dan rasa itu sehingga aku bisa merangkul lembut keegoisanmu dimasa lalu. Seperti yang telah dilakukan ibu padamu. Aku mencintaimu, layaknya langit sore yang sekarang merajuk manja pada malam. Aku mencintaimu Ayah…

The End

 

                                                                                               

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun