Darah berceceran membasahi lantai. Warnanya yang pekat mengingatkanku pada pejagalan binatang yang kulihat di TV pekan lalu. Namun ini bukan darah binatang yang kulihat di TV itu. Aku hanya bisa mematung menatap seorang pria lengkap dengan stelan baju kerjanya terkapar dilantai tersebut. Bersimbah darah. Tak bernyawa. Wajah yang selalu dihiasi oleh kewibawaan, kini hanya menyiratkan kehampaan. Tatapan yang selalu menyorotkan ketenangan, kini hanya membiaskan kekosongan.
Aku mencoba untuk berteriak, namun aku tak bisa mengeluarkan suaraku. Hanya lengkingan tertahan yang menyiratkan ketakutanku. Hanya malam. Mungkin, hanya malam yang dapat merasakan kegamangan dan ketakutanku itu. Aku hanya bisa memeluk erat teddy bearku. Aku hanya bisa menatap nanar pria yang terkapar di ruang tengah rumahku itu.
Ayahku! Ya, pria terkapar dengan stelan baju kerjanya itu adalah Ayahku.
Lalu, tiba-tiba seorang pria datang menghampiriku. Seorang pria yang pernah dikenal Ibu. Kaosnya dipenuhi oleh darah, dia mengalihkan pisau yang dipegangnya. Dia menyibakkan rambut yang menutupi mataku, mengusap pelan rambutku, tangannya yang berlumuran darah menghapus butiran air yang menghiasi pipiku. Aku ingin berlari, tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa berdiri mematung membiarkan pria tersebut membelai lembut kepalaku. “Tenang… kau aman! Kau tidak usah takut. Aku tidak akan menyakitimu, kita akan segera pergi dari sini,” Ujar pria tersebut sembari mengangkat tubuh mungilku dan membawaku dalam kepekatan malam.
Tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Ini menjadi rahasiaku. Tentunya ini juga akan menjadi rahasia bagi pria yang telah membawaku. Pria yang telah menghancurkan masa kanak-kanak yang seharusnya bisa kukenang, bukan kuredam. Bahkan, bulan yang menggantung indah dilangitpun seolah memalingkan wajahnya atas kejadian yang menimpaku dimalam itu.
Dia membawaku. Membawaku dari kenyataan atas apa yang telah dilakukannya terhadap Ayahku. Membawaku menuju kemarahan dan kebencian terhadap ketidak berdayaanku.
Aku, hanyalah seorang bocah yang berusia 8 tahun. Tapi perlu kalian catat… rasa benciku ke pria ini tidak akan pernah hilang. Tidak, sampai maut menjemputku atau menjemputnya.
***
Aku terbangun ketika cahaya matahari pagi menampar pipiku. Aku terduduk dan memikirkan mimpiku semalam. Sudah 8 tahun berlalu, namun aku masih mengingat jelas bagaimana kejadian dimalam itu. Aku masih mengingat bau amis darah Ayah yang membasahi lantai. Aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana ketakutanku, dan tentunya aku masih mengingat bagaimana kebencianku pada pria itu. Pada pria yang telah merenggut kebahagianku. Pada pria yang tanpa mempunyai alasan yang jelas membunuh Ayahku dan membawaku jauh dari tempat asalku di Virginia.
Aku melirik jam yang terpampang manis di dekat ranjang, disana sudah menunjukan pukul 7. Ini adalah awal semester baru, dan ini juga bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke-16 tahun. Tapi tidak ada yang istimewa dalam pergerakan usiaku menuju ke-16 ini. Tidak ada yang istimewa dalam 8 tahun yang telah kulewati.
Aku beranjak dari lamunanku. Pandanganku terpaku pada kue tart yang tertata manis di meja belajarku. Aku yakin, Mike sudah memesan ini jauh hari untuk ulang tahunku. Namun, siapa kira kalau pada akhirnya kue itu hanya akan berakhir di tempat sampah. sudah ke-8 kalinya aku mendapatkan ini dari Mike, dan sudah 8 kali pula kue itu berakhir tragis di tempat sampah.