Mohon tunggu...
yuliana pertiwi
yuliana pertiwi Mohon Tunggu... -

Seorang Pemimpi Yang sedang Berjuang, dan mudah-mudahan idak akan pernah lekang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terlintas Satu Kata

5 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 5 Oktober 2015   10:03 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Ayahmu juga merindukanmu. Dia sangat merindukanmu, dan… tadi kamu bilang aku membunuh Ayahmu? Kapan? 8 tahun yang lalu? Um…Kau mungkin salah lihat honey,” Jawabnya sambil menatapku geli seolah-olah aku itu adalah gadis dungu yang meminta sebuah pengakuan darinya.

“Mike! Cukup… kau bertindak seolah kau hanya merebut mainanku dan membunuh kucing kesayanganku. Kau merebut hidupku Mike, kau membunuh Ayahku, dan sekarang kau bertindak konyol seolah aku ini adalah gadis konyol yang meminta sebuah pengakuan darimu,” Ujarku sambil melepaskan sedikit kekesalanku. Aku menatapnya, ingin sebuah pengakuan darinya atas tindakan yang dilakukannya. Aku ingin sebuah alasan. Hanya itu.

Mike menatapku lekat, matanya yang teduh seperti ingin meneduhiku dari amukan badai yang telah kuciptakan. Aku sangat membenci hal ini. Aku benci dengan kepura-puraanya yang seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia, antara dia dan keluargaku.

“Terkadang mengalahkan ego sendiri itu sulit Sher, 16 tahun aku selalu berkecamuk dengan egoku. Sampai akhirnya aku menemukan lembaran-lembaran hidupku yang nyaris hilang, kau tahu? pada saat itu aku menyadari bahwa ego telah menguasaiku, tapi aku tidak menyalahkannya, dia egoku. Egoku adalah diriku,” Ucapnya lirih sambil tersenyum kepadaku.

Aku menatapnya muak. Muak dengan kata-katanya yang selalu menyimpan sebuah rahasia tentangku. Aku menatapnya tanpa menyadari bahwa air mata telah mencoreng pipiku. Aku menangis. Aku benci ini. Aku tidak ingin terlihat begitu lemah didepannya. Namun, aku terus menatapnya dengan segenap kebencian yang kupunya.

Mike menatapku. Tatapan teduhnya telah digantikan oleh rasa bersalah kepadaku.

“Sher!” Ucapnya melangkah didepanku sambil membuang sisa rokoknya.

Aku bergerak mundur ketika tangannya hendak menjangkau tanganku. Dia berhenti ditempat tanpa melepaskan tatapannya dariku. Aku menangis. Aku menangis selagi aku bisa untuk menangis.

“Sher, Ibumu pasti tidak suka melihatmu menangis seperti itu. Hapus air matamu Sher! Kau tidak ingin menyakiti Ibumu bukan?”

“Apa pedulimu tentangku? Apa pedulimu tentang Ibuku? Kau pikir Ibuku akan tertawa senang setelah apa yang kau lakukan terhadap suaminya?” Jawabku dengan suara bergetar. Sekelebat bayangan Ayah yang tekapar di ruang tengah kembali menghantuiku, aku hanya diam ketika Mike membawaku menuju kota ini. Aku hanya diam.

“Apa yang kau lakukan terhadap Ayahku Mike? Kau membunuhnya, aku melihatnya sendiri Mike. Pisau itu… kau gunakan pisau itu untuk membunuh Ayahku, kau pembunuh Mike… kau itu pembunuh,” Ucapku frustasi diiringi tangisku yang semakin menjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun