Mohon tunggu...
yuliana pertiwi
yuliana pertiwi Mohon Tunggu... -

Seorang Pemimpi Yang sedang Berjuang, dan mudah-mudahan idak akan pernah lekang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terlintas Satu Kata

5 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 5 Oktober 2015   10:03 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pintu kamar Mike menuju balkon berderit. Dia melangkah malas menuju tempat aku berdiri. Aku hanya menatapnya melalui sudut mataku, lalu kembali menatap bintang yang seolah tersenyum kepadaku.

“Kamu belum tidur?” Tanyanya sambil menyulut sebatang rokoknya. Inilah salah satu alasan kenapa aku sangat membenci perokok. Karena Mike adalah seorang perokok.

Aku tidak menggubris pertanyaan Mike, bahkan aku tidak menggubris kedatangannya, dan bahkan mungkin aku juga tidak menggubris kehidupannya.

“Aku juga tidak bisa tidur. Mimpi buruk,” Ujarnya tanpa mempedulikan ketidak pedulianku.

“Kamu tahu, setiap aku menutup mataku, mimpi itu selalu ada. Mimpi itu selalu sama, seolah mimpi itu ingin menyampaikan sebuah pesan padaku, Sher!” Lanjutnya sambil berusaha tetap tenang, walaupun aku dapat mendengar adanya kecemasan yang tersirat dibalik suaranya.

Well, orang buruk yang mempunyai kelakuan buruk memang selalu didatangi oleh mimpi-mimpi buruk, jadi kau tidak usah heran akan hal itu, Mike.” Kelakarku sambil tersenyum puas atas kata-kataku.

Aku meliriknya sekilas melalui sudut mataku. Wajahnya masih tetap tenang. seolah-olah dia tidak mendengarkan perkataanku tadi. Dia menatap bintang-bintang, namun aku yakin dia tidak menatap bintang. Pandangannya kosong, seolah-olah mencerna suatu hal yang mungkin akan segera terjadi.

“Aku merindukan Ibu,” Ujarku secara tiba-tiba setelah terjadi jeda singkat diantara kami. aku langsung merutuki diri atas perkataan bodohku kepada Mike. Aku hanya bisa diam dan berharap dia tidak mendengar perkataanku itu.

“Ibumu juga merindukanmu,” Jawabnya tenang sambil terus menghisap rokoknya tanpa melepas pandangannya dari hamparan langit malam.

“Aku juga merindukan Ayah… Ayahku yang telah kau bunuh 8 tahun yang lalu,” Ucapku sambil menatapnya tajam.

Dia tersenyum konyol menatapku, seolah-olah mengejekku atas perkataanku itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun