Mohon tunggu...
yuliana pertiwi
yuliana pertiwi Mohon Tunggu... -

Seorang Pemimpi Yang sedang Berjuang, dan mudah-mudahan idak akan pernah lekang....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terlintas Satu Kata

5 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 5 Oktober 2015   10:03 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mike menggenggam tanganku, dengan lembut dia menghapus bias air mata yang ternyata sudah membasahi pipiku. Dengan lembut, dia mengiringku pergi dari ruangan itu. Persis seperti 8 tahun yang lalu. Persis seperti 8 tahun yang lalu, aku hanya diam. Aku hanya diam ketika melihat mayat Ayah terkapar di ruang tamu rumah kami. Sekarang, akupun hanya bisa diam ketika melihat mayat Mr. Pullman tergeletak tak bernyawa dilantai ruang kerjanya.

***

           Mike berjalan mondar-mandir dengan gelisah ketika kita sampai dirumah. Terlihat jelas bahwa hal itu sangat menganggunya. Ini baru pertama kalinya aku melihat dia serisau itu, bahkan ketika dia membunuh Ayahkupun, dia terlihat tetap tenang.

            “KAU PEMBUNUH, MIKE!” Ucapku lantang. Ini adalah kalimat pertama yang kusuarakan semenjak mimpi buruk yang terjadi di sekolah tadi.

            “Aku tahu, Sher! Kau tidak perlu mengulang kalimat yang sama seperti 8 tahun yang lalu,” Jawab Mike sambil melepas kasar Jaketnya.

            “Aku membencimu, Mike!”

            “Dan Aku menyayangimu,”

            “Kalau Kau menyayangiku, kenapa Kau begitu tega membuat hidupku dipenuhi oleh darah dan kematian? Kau hanya petaka Mike. Kau tidak menyayangiku,” Ujarku sambil menatap Matanya yang sekarang dipenuhi oleh kehancuran.

            Dia menarik nafas pelan, tampaknya dia begitu lelah dengan kejadian yang baru menimpanya.

            “Apakah Aku begitu bejatnya, sampai Kau tidak mau mempercayai kalau Aku sangat menyayangimu?” Tanyanya dengan suara getir. Ada sedikit kegoyahan yang tersirat dibalik suaranya.

            Dia berusaha mengusap pelan kepalaku, tapi aku menepis segala kasih sayang yang dia berikan padaku. Aku menggeleng, berharap dia tidak pernah ada, Mr. Pullman tidak pernah ada, bahkan aku juga berharap si culas Elsie dan Issabel tidak pernah ada dalam kehidupanku. Aku memejamkan mataku, membayangkan kehidupan indahku bersama Ayah dan Ibu. Membayangkan wajah anggun Ibu yang selalu tersenyum ketika aku bangun dari tidurku, membayangkan wajah tegas Ayah yang selalu membuatku takut apabila aku menumpahkan susu cokelatku pada Koran paginya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun